SUNSHINE STORY (Chapter 9)




Tiga bulan kemudian...
Titan mandi pagi-pagi sekali, tidak seperti biasanya. Ia sudah dibooking sama Stella tiga hari sebelumnya untuk diajak ke panti asuhan. Stella kini semakin terlihat cantik, nggak cuma wajahnya aja, tapi juga hatinya. Belum lama ini, ia selalu berkunjung ke panti asuhan untuk sekadar menjenguk ataupun membawakan sesuatu untuk anak-anak.
Semuanya, berawal dari dua bulan sebelumnya, Stella pernah hampir tertabrak mobil, namun ia diselamatkan oleh seorang gadis kecil. Stella didorong hingga badannya tersungkur, namun malangnya justru gadis kecil yang menyelamatkan Stella jadi terserempet. Malaikat kecil itu bernama Andien. Stella mencari informasi tentang siapa sesungguhnya Andien itu, hingga akhirnya dia tahu bahwa Andien adalah salah satu anak panti asuhan di kota Solo. Semenjak kejadian tersebut Stella memutuskan untuk menjadi donatur di panti itu, tentu saja itu tidak mengganggunya, sebagian kecil uang sakunya saja sudah berarti banyak bagi anak-anak di panti itu. Stella menganggap Andien seperti adiknya sendiri, mereka begitu dekat.
Stella memarkirkan mobil di tepi jalan, ia memang tidak berencana lama-lama berkunjung ke panti itu, karena ia harus kuliah. Panti itu tidak seramai seperti yang Titan bayangkan, hanya ada tiga anak kecil seumuran lima tahunan yang sedang bermain bersama.
“Anak-anak yang lain kemana La?”
“Sekolah?”
“Andien juga?”
“Iya, dia kelas satu SMP. Dia di SMP favorit loh, kata gurunya dia murid paling pandai di sana, ” ujar Stella bangga.
“Waw,” ujar Titan kagum. “Tapi itu kan sekolah mahal La?”
“Dia dapat beasiswa, jadi gratis, dapat biaya hidup lagi, kayak bidik misi gitu.”
Titan tertegun kagum melihat Stella yang selalu bahagia ketika menceritakan Andien. Pantas saja kalau banyak laki-laki yang rela mengantri buat jadi pacarnya Stella, udah cantik, tajir, baik pula. Bahkan, beberapa laki-laki pernah terang-terangan ikhlas dijadikan simpanan Stella, namun Stella menolak, ia lebih memilih setia. Menurutnya, yang bisa dibanggakan dari wanita itu ya kesetiaannya, lelaki hanya akan mempercayakan hidupnya pada wanita yang setia, bukan pada wanita yang hatinya mudah berpindah.
“Oh, ya nanti kita mampir ke sana, sekalian aku kenalin. Kamu belum pernah bertemu sama dia kan?” ujar Stella lagi.
Titan mengangguk. Tak lama kemudian, ibu panti menghampiri Stella, mereka berbicara sebentar. Lalu Stella pamit pulang.
Stella mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah sekolah. Sekolah yang menjadi sekolah menengah paling favorit di kota yang masih berkembang ini. Stella dan Titan keluar dari mobil dan menuju pintu gerbang.
“Kelasnya ada di situ, yang paling ujung,” ujar Stella sambil menunjuk pada salah satu ruang di lantai dasar. Ruang kelas itu memang dekat dengan gerbang, sehingga membuat isi ruangan itu tampak jelas jika dilihat dari luar.
Stella melambaikan tangannya, senyumnya mengembang. Sekejap Titan mengalihkan pandangannya, mencari-cari sosok yang telah berhasil menciptakan senyum manis di wajah Stella.
Stella masih melambaikan tangannya, seolah memanggil. Lalu datanglah seorang gadis kecil. Oh, ia sungguh cantik, rambutnya panjang dan agak keriting gantung. Kulitnya kuning langsat, hdungnya mancung dan kecil sehingga sangat pas dengan wajahnya yang oval. Gadis itu semakin mendekat, senyumannya makin jelas terlihat, ia sungguh manis dengan lesung pipi yang menggantung di dekat bibirnya, dan matanya terlihat begitu cantik ketika ia sedang tersenyum, keduanya seperti membentuk bulan sabit yang melengkung ke bawah. Ia baru belasan tahun, namun cantiknya sangat memikat. Mungkin karena hatinya yang masih suci, sehingga auranya kecantikannya nampak alami – entah.
“Kakak sedang apa di sini?” tanya Andien lugu.
“Kakak cuma mau kasih ini ke kamu,” ujar Stella sambil mengeluarkan bingkisan dari dalam tasnya.
“Makan siang?”
Stella mengangguk sambil tersenyum.
“Kakak baik sekali, terima kasih,” ujar Andien sambil memeluk Stella.
Stella membalas pelukan itu dengan hangat, ia mengusap-usap rambut Andien lalu mencium keningnya.
Teduhnya pemandangan seperti ini, batin Titan. Perasaan wanita yang selalu menyukai anak kecil, orang-orang menyebutnya dengan naluri keibuan. Titan merasa Stella telah memiliki naluri itu lebih dulu sebelum dirinya.
Pada hari itu Stella bangun pagi sekali. Ia langsung menuju dapur. Anak-anak kosan yang masih pada molor pun jadi geger karena aroma sedap yang menyerbu seluruh penjuru kamar. Aroma ayam fillet saus teriyaki yang dibuat oleh Stella telah menuai banyak kontroversi. Anak-anak kosan jadi mendadak lapar di pagi buta. Titan tadinya berpikir Stella masak itu untuk dimakan sekosan bareng-bareng, namun ternyata anggapannya salah. Menyentuh masakan itu saja tak boleh, apalagi mencicipinya. Ternyata masakan kontroversial itu untuk Andien, malaikat kecil Stella.
Titan melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Stella kan ada kuliah jam sebelas dan dia belum siap-siap. Titan ingin mengingatkan, namun di satu sisi Titan tidak tega mengakhiri pemandangan indah di depannya. Titan bingung. Tiba-tiba ponsel Titan berdering. Ia menatap layar ponselnya. Nomor tak dikenal.
Iseng banget sih, batin Titan.
Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Namun ponsel itu terus berbunyi, hingga lebih dari tiga panggilan. Titan mulai gerah, ia pun kembali mengambil ponselnya lalu meneriman panggilan itu.
“Halo?” sapa Titan ketus.
“Selamat pagi, benar ini dengan saudara Titan?”
“Iya, saya sendiri.” Ia melembutkan suaranya karena penelpon kelihatannya sopan sekali, dan untuk ukuran laki-laki, suaranya sangat halus. “Maaf ini siapa?” tanya Titan heran.
“Selamat, novel Anda masuk nominasi pemenang. Nanti soft filenya tolong dikirim ya? Jangan lupa sertakan biodata penulis juga.”
“Hah?” Titan bengong. “Wuah, becanda nih?”
“Ini serius mbak.”
 “SERIUS???!!” ujar Titan bersemangat namun nadanya mengancam.
“Dua rius” ujar penelfon itu santai.
“Ah, tukang bohong lo pasti. Pasti ini penipuan undian berhadiah ya?” Titan mulai curiga.
“Bukan mbak.” Belum selesai penelpon itu bicara, Titan sudah menyela.
“Emmm...jangan-jangan kamu pelaku mama minta pulsa ya? Hayo ngaku? Aku nggak akan ketipu sama kamu.”
Terdengar suara menghela nafas dari penelpon, tapi Titan tidak peduli. Ia merasa orang itu tidak lucu sama sekali.
Si penelfon tertawa kecil. “Ini serius, pasti emailnya belum dibuka ya? Saya sudah kirim email dari seminggu yang lalu, nanti silakan di cek di blog kami kalau tidak percaya.”
“Ini siapa sih?”
“Oh, iya, saya Ario, editor dari penerbit Ilufa.”
“Ario??? Ario, editor yang cakep itu? Ario penerjemah film yang masih muda tapi terkenal banget itu?” tanya Titan bertubi-tubi hampir tak percaya.
Penelpon itu hanya tersenyum kecil. “Saya tunggu soft file’nya segera ya?” ujarnya masih dengan nada halus.
Titan speechless. Ia malu sekali sekaligus senang. Titan masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang ia dengar barusan, tapi ia bahagia sekali. Wajahnya memerah dan senyumnya mengembang lebar sekali. Perhatian Stella dan Andien sampai teralihkan pada tingkah Titan yang mendadak aneh. Stella yang mulai kawatir pun segera meminta Andien untuk kembali ke kelas, takut adik barunya terjangkit penyakit aneh-anehnya Titan.
“Iya..iya mas, nanti saya kirimkan filenya,” ujar Titan gugup.
“Oke. Gitu aja ya, terima kasih, selamat pagi.”
“Pa...gii,” jawab Titan.
Titan masih saja terpaku dengan ponselnya yang sudah lama mati. Sesekali ia cengar-cengir aneh. Stella yang merasa makin aneh dengan Titan pun, nggak tahan buat nyela.
“Kenapa Tan? Kumat?”
“Novel aku diterima!!!”
“Serius loh?”
“Iya serius, nanti deh aku cek di blog sama di emailku.”
Stella menghela nafas. “Itu mah namanya belum pasti, Tan. Tapi selamat deh. Udah yuk balik, udah mau masuk nih.”
“Oke,” jawab Titan masih dengan senyum dan mata yang berbinar-binar.
Sesampainya di kosan, Titan langsung mengecek pengumuman pemenang sayembara novel yang ia ikuti. Ternyata benar. Titan memenangkan sayembara itu, bukan menjadi pemenang pertama sih, namun novelnya berhasil menjadi pilihan favorit editor. Bagi pemula seperti Titan, tentu hal seperti ini adalah berkah yang luar biasa. Mendapat kontrak penerbitan adalah salah satu hal yang ia impikan semenjak ia menggeluti dunia kepenulisan. Kini ia semakin yakin kalau menulis adalah passionnya.
“Nggak rugi dong move on kamu, Tan?” ujar Dewi.
Titan tersenyum, hatinya menyadari sesuatu. Ini karena Bagas juga. Semua lelah yang membentuk dirinya saat ini, kekuatan dari kelemahan-kelemahan yang selalu menyerangnya, semuanya menjadi energi positif.
“Jadi benar yang dibilang orang-orang, kalau kekuatan kita itu justru terbentuk dari rasa sakit,” jawab Titan.
“Setuju. Itu baru Titan gue.”
Titan tersenyum.
So, finally you find your light, right?
“Ah, bisa aja lo, Dew!” ujar Titan sambil menonjok lembut bahu Dewi.
“Wuah kamu musti sungkem sama editor kamu tuh, Tan?”
Oopss. Titan tergelitik dengan ucapan Dewi barusan. Iya juga, Titan udah nuduh editornya yang aneh-aneh jadi dia harus minta maaf.
“Iya deh.” Dalam hati, Titan berharap banget semoga editornya udah lupa sama semua kejadian memalukan itu.
Hari-hari selanjutnya, Titan disibukkan dengan naskahnya yang masih harus diedit sana-sini. Titan mendadak jadi pelanggan abadi warnet sebelah kosan karena harus buka email hampir tiap hari. Titan juga harus ngebut lembur buat selesain naskahnya.
Perkembangan naskah Titan tidak cukup baik. Pertama, editornya minta cerita awal pertemuan kedua tokoh utamanya diganti saja dengan hal lain yang lebih menarik. Kedua, editornya minta konflik dari ceritanya ditambah. Ketiga, editornya minta ending ceritanya dibuat yang beda, menarik, dan tidak terduga.
Titan mendengus kesal. Ini mah, sama aja gue bikin cerita baru, edi!! Titan ngomel-ngomel sendiri di bilik warnet. Setiap Titan kesal dengan editornya, ia selalu memanggilnya dengan “edi” yang merupakan kependekan dari “editor”. Kalau ceritanya banyak yang diubah kayak gini, kok bisa ya naskah aku menang. Apa jangan-jangan salah pilih novel tuh editornya, pikir Titan lagi.
Setelah lelah berkutat dengan pikirannya sendiri. Titan memutuskan untuk balik kos dan mulai menggarap editan naskahnya yang belum tahu mau dibawa kemana.
Titan menarik nafas dalam, membuka laptopnya, sambil memikirkan hal apa saja yang akan ia tulis. Perlahan ia membuka file-nya. Ia kembali membaca naskah itu halaman demi halaman.
Bener juga, perkenalan yang biasa, ujar Titan dalam hati. Titan meneruskan membacanya, hatinya berbicara lagi, konfliknya gini, kurang apa ya? Sekejap ia teringat pada kata-kata editornya, lalu Titan tersenyum menertawai dirinya sendiri.
“Ternyata aku bodoh,” ujar Titan sambil tersenyum kecut pada dirinya sendiri.
Ia masih mengamati naskahnya yang berantakan. Ia berpikir untuk memberinya bumbu agar lebih sedap untuk dibaca. Lama sekali ia merenung di depan laptopnya. Wajahnya yang mulanya kusut jadi makin kusut karena dipaksa berpikir. Denting jam serasa berbunyi keras sekali di dalam otaknya.
Tik...tok...tik...tok...tik...tok....tik...tok...tik...tok.....
Ahaaa!! Ting, secara ajaib muncul lampu terang di dalam otak Titan. Wajah Titan sekejap berubah penuh harapan. Ia mendapatkan ide baru. Ia segera mengetikkan segala isi otaknya sebelum semuanya hilang. Jari-jari Titan mulai lemas menekan tombol-tombol pada keyboardnya.
Pembukaan, konflik, ending cerita, tiba-tiba saja semua jalan cerita itu bersinergi dengan indah dalam ide Titan. Satu peristiwa, dua peristiwa, dan seterusnya....
“Ahaaaa!! Yess!! Si Edi pasti terkejut sama keahlian aku dalam menulis!” ujar Titan bangga karena naskahnya sudah selesai.
“Lo ngapain sih, Tan? Teriak-teriak sendiri dari tadi, mending lo sholat sonoh udah magrib dari tadi tuh,” ujar Stella dari dalam kamarnya.
“Astaga, ternyata udah malem.” Titan buru-buru sholat. Stella emang baik, meski beda keyakinan, dia sering mengingatkan Titan dan Dewi untuk menjalankan ibadahnya, kalau mereka lagi lupa.
Selesai sholat. Titan kembali berkutat dengan naskahnya lagi. Dewi dan Stella sampai bosen liatnya. Semenjak Titan suka nulis, dia suka mengurung diri di kamar, seperti anak kosan dalam tempurung.
Malamnya, Titan langsung mengirimkan hasil editannya. Namun, ternyata kerjaan masih belum terhenti di sini. Dua hari sesudahnya, Titan dapat email lagi kalau naskahnya masih ada kekurangan, ceritanya sudah bagus namun kurang sedikit luwes dan kurang mengalir.
Titan langsung menalikan kain putih di jidatnya dan siap tempur buat naskahnya lagi. Setelah diperbaiki Titan mengirim lagi naskah editannya. Dua hari kemudian, Titan mendapat email lagi kalau tata bahasanya masih ada beberapa kekurangan. Titan mulai gigit jari dan merasa heran, ini editor kerjaannya ngapain sih, begitu pikirnya. Meski tak pernah tatap muka, hubungan mereka terlihat rumit. Kisah segitiga antara Titan, Ario, dan naskah Titan memang penuh dengan skandal.
Masa pengerjaan naskah Titan memakan waktu hampir satu bulan hingga Ario mengatakan bahwa naskahnya layak terbit. Meski hatinya sempat gondok, karena editornya banyak tuntutan, Titan tetap bersyukur karena akhirnya sebagian mimpinya terwujud juga.
Titan merasa itu adalah kado terindah dari Tuhan karena Titan berhasil move on dengan cara yang positif. Tak hanya itu, ternyata diam-diam ia semakin dekat dengan editornya meski awalnya mereka penuh dengan konflik.
Ario adalah editor muda yang sudah menggeluti dunia penerbitan sejak lima tahun terakhir. Meski masih muda, kiprahnya sebagai editor tidak diragukan lagi. Tak hanya itu, ia juga ahli penerjemah film ataupun novel. Untuk orang yang bekerja di balik layar, dia cukup terkenal. Hal itu juga yang menjadi salah satu alasan mengapa Titan menjadi sedikit antusias dengan pria bernama Ario ini.
Meski Ario terkadang bawel, tapi menurut Titan ia baik juga. Lambat laun mereka semakin dekat. Mereka saling berkirim pesan, sering telfon-telfonan, sering chatingan, sering apa aja. Gara-gara ini, Titan jadi demam hp, kemana-mana bawa hp, nyuci, jemur baju, angkat jemuran, nyetrika, ke kamar mandi, kemana aja bawa hp. Titan juga jadi sering senyum-senyum sendiri sama hp-nya, hingga orang-orang yang melihatnya pasti langsung dapat menyimpulkan kalau Titan lagi jatuh cinta.
Yup, jatuh CINTA. Kata-kata yang sakral itu telah menempel pada hati dan otak Titan. Ario dan Titan hanya beberapa kali bertemu, setiap Ario luang ia menyempatkan diri untuk main ke Surakarta – salah satu alasan yang membuat Titan melting. Tak hanya itu, sejak dekat dengan Ario, Titan jadi sering nongkrong di cafe. Beberapa orang menilai ada bagusnya juga Titan jatuh cinta, ia seperti naik kelas. Mereka yang berpendapat seperti itu tidak tahu kalau tiap malem Titan nggak pernah absen dari angkringan dekat kosan.
Tapi memang pertemuan Titan dengan Ario selalu menjadi kenangan yang manis. Ario selalu bisa memperlakukan Titan dengan baik. Seperti yang terjadi waktu Ario mengajak Titan ke toko buku.
“Emang kalo editor harus sering ke toko buku ya?” tanya Titan polos.
“Enggak sih, lebih sering ngadepin laptop sama ketemu penulis.”
Ario menggandeng tangan Titan dan mengajaknya berkeliling sebelum Titan lebih cerewet lagi.
“Liat deh,” ujar Ario lagi sambil menunjukkan berbagai buku novel yang baru diterbitkan beberapa bulan terakhir. “Penulis itu harus suka mengamati yang kayak gini”
Titan bingung. “Maksudnya?”
“Karena kamu suka nulis, ada baiknya kamu cari tau tentang selera pasar yang lagi rame saat ini apa, jadi ketika kamu mengirim tulisan, kemungkinan ditolaknya itu dikit.”
“Oh...” Titan yang memang masih penulis newbie pun manggut-manggut setuju.
“Selain itu kamu juga perlu tau gimana penulis-penulis lain menuliskan ceritanya, biar tau gaya bahasa mereka. Dengan begitu, kamu jadi terbantu untuk nemuin gaya tulisan kamu sendiri.”
Titan manggut-manggut lagi.
“Satu lagi, setiap penulis itu nggak boleh putus asa biarpun sering ditolak. Coba kamu lihat buku-buku best seller di sini, semua penulisnya pasti pernah ngerasain kerasnya berusaha hingga mereka mampu melahirkan karya yang bagus kayak gini.”
Titan diam, bengong, ia terpukau sekali dengan kalimat Ario barusan.
“Jangan diem aja, aku jadi kayak bawa anak ke sini.” Ario nyeletuk ngeliat Titan yang cuma absen manggut-manggut doang.
“Ehee..” Titan nyengir.
“Eh, ngomong-ngomong kamu suka ke toko buku nggak nih? Aku jadi nggak enak kalo kamu kesininya terpaksa,” ujar Ario.
“Enggak kok..”
“Lhoh, jadi nggak suka ke toko buku??” Ario kaget.
“Eh, bukan gitu. Maksud aku, aku nggak terpaksa. Justru aku yang makasih udah diajarin banyak, hehe.”
Ario tersenyum.
Sifat Ario yang kebapakan seperti itulah yang udah bikin Titan nggak pernah berhenti senyum tiap mikirin dia. Setelah dekat selama tiga bulan, akhirnya mereka jadian juga. Meski hanya bisa LDR’an, Titan tetep seneng. Biar bagaimanapun Ario udah bantu Titan buat lebih move on dari Bagas. Ario tampak spesial karena Titan ketemu Ario pas Titan nemuin passionnya, Titan jadi berpikir kalau passion Titan dan Ario emang udah sepaket dari awal.
***
Sumber gambar http://thenovelfactory.blogspot.co.id/2012/05/13-writing-second-draft-of-your-novel.html




0 komentar:

Posting Komentar

SUNSHINE STORY (Chapter 9)