Tiga bulan kemudian...
Titan
mandi pagi-pagi sekali, tidak seperti biasanya. Ia sudah dibooking sama Stella
tiga hari sebelumnya untuk diajak ke panti asuhan. Stella kini semakin terlihat
cantik, nggak cuma wajahnya aja, tapi juga hatinya. Belum lama ini, ia selalu
berkunjung ke panti asuhan untuk sekadar menjenguk ataupun membawakan sesuatu
untuk anak-anak.
Semuanya,
berawal dari dua bulan sebelumnya, Stella pernah hampir tertabrak mobil, namun
ia diselamatkan oleh seorang gadis kecil. Stella didorong hingga badannya
tersungkur, namun malangnya justru gadis kecil yang menyelamatkan Stella jadi
terserempet. Malaikat kecil itu bernama Andien. Stella mencari informasi
tentang siapa sesungguhnya Andien itu, hingga akhirnya dia tahu bahwa Andien
adalah salah satu anak panti asuhan di kota Solo. Semenjak kejadian tersebut
Stella memutuskan untuk menjadi donatur di panti itu, tentu saja itu tidak
mengganggunya, sebagian kecil uang sakunya saja sudah berarti banyak bagi
anak-anak di panti itu. Stella menganggap Andien seperti adiknya sendiri,
mereka begitu dekat.
Stella
memarkirkan mobil di tepi jalan, ia memang tidak berencana lama-lama berkunjung
ke panti itu, karena ia harus kuliah. Panti itu tidak seramai seperti yang
Titan bayangkan, hanya ada tiga anak kecil seumuran lima tahunan yang sedang bermain
bersama.
“Anak-anak
yang lain kemana La?”
“Sekolah?”
“Andien
juga?”
“Iya,
dia kelas satu SMP. Dia di SMP favorit loh, kata gurunya dia murid paling
pandai di sana, ” ujar Stella bangga.
“Waw,”
ujar Titan kagum. “Tapi itu kan sekolah mahal La?”
“Dia
dapat beasiswa, jadi gratis, dapat biaya hidup lagi, kayak bidik misi gitu.”
Titan
tertegun kagum melihat Stella yang selalu bahagia ketika menceritakan Andien.
Pantas saja kalau banyak laki-laki yang rela mengantri buat jadi pacarnya
Stella, udah cantik, tajir, baik pula. Bahkan, beberapa laki-laki pernah
terang-terangan ikhlas dijadikan simpanan Stella, namun Stella menolak, ia
lebih memilih setia. Menurutnya, yang bisa dibanggakan dari wanita itu ya
kesetiaannya, lelaki hanya akan mempercayakan hidupnya pada wanita yang setia,
bukan pada wanita yang hatinya mudah berpindah.
“Oh,
ya nanti kita mampir ke sana, sekalian aku kenalin. Kamu belum pernah bertemu
sama dia kan?” ujar Stella lagi.
Titan
mengangguk. Tak lama kemudian, ibu panti menghampiri Stella, mereka berbicara
sebentar. Lalu Stella pamit pulang.
Stella
mengemudikan mobilnya menuju ke sebuah sekolah. Sekolah yang menjadi sekolah
menengah paling favorit di kota yang masih berkembang ini. Stella dan Titan
keluar dari mobil dan menuju pintu gerbang.
“Kelasnya
ada di situ, yang paling ujung,” ujar Stella sambil menunjuk pada salah satu
ruang di lantai dasar. Ruang kelas itu memang dekat dengan gerbang, sehingga
membuat isi ruangan itu tampak jelas jika dilihat dari luar.
Stella
melambaikan tangannya, senyumnya mengembang. Sekejap Titan mengalihkan
pandangannya, mencari-cari sosok yang telah berhasil menciptakan senyum manis
di wajah Stella.
Stella
masih melambaikan tangannya, seolah memanggil. Lalu datanglah seorang gadis
kecil. Oh, ia sungguh cantik, rambutnya panjang dan agak keriting gantung.
Kulitnya kuning langsat, hdungnya mancung dan kecil sehingga sangat pas dengan
wajahnya yang oval. Gadis itu semakin mendekat, senyumannya makin jelas
terlihat, ia sungguh manis dengan lesung pipi yang menggantung di dekat
bibirnya, dan matanya terlihat begitu cantik ketika ia sedang tersenyum,
keduanya seperti membentuk bulan sabit yang melengkung ke bawah. Ia baru
belasan tahun, namun cantiknya sangat memikat. Mungkin karena hatinya yang
masih suci, sehingga auranya kecantikannya nampak alami – entah.
“Kakak
sedang apa di sini?” tanya Andien lugu.
“Kakak
cuma mau kasih ini ke kamu,” ujar Stella sambil mengeluarkan bingkisan dari
dalam tasnya.
“Makan
siang?”
Stella
mengangguk sambil tersenyum.
“Kakak
baik sekali, terima kasih,” ujar Andien sambil memeluk Stella.
Stella
membalas pelukan itu dengan hangat, ia mengusap-usap rambut Andien lalu mencium
keningnya.
Teduhnya pemandangan seperti ini, batin Titan.
Perasaan wanita yang selalu menyukai anak kecil, orang-orang menyebutnya dengan
naluri keibuan. Titan merasa Stella telah memiliki naluri itu lebih dulu
sebelum dirinya.
Pada
hari itu Stella bangun pagi sekali. Ia langsung menuju dapur. Anak-anak kosan
yang masih pada molor pun jadi geger karena aroma sedap yang menyerbu seluruh
penjuru kamar. Aroma ayam fillet saus teriyaki yang dibuat oleh Stella telah
menuai banyak kontroversi. Anak-anak kosan jadi mendadak lapar di pagi buta.
Titan tadinya berpikir Stella masak itu untuk dimakan sekosan bareng-bareng,
namun ternyata anggapannya salah. Menyentuh masakan itu saja tak boleh, apalagi
mencicipinya. Ternyata masakan kontroversial itu untuk Andien, malaikat kecil
Stella.
Titan
melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh. Stella kan ada
kuliah jam sebelas dan dia belum siap-siap. Titan ingin mengingatkan, namun di
satu sisi Titan tidak tega mengakhiri pemandangan indah di depannya. Titan
bingung. Tiba-tiba ponsel Titan berdering. Ia menatap layar ponselnya. Nomor
tak dikenal.
Iseng banget sih, batin Titan.
Ia
memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Namun ponsel itu terus berbunyi,
hingga lebih dari tiga panggilan. Titan mulai gerah, ia pun kembali mengambil
ponselnya lalu meneriman panggilan itu.
“Halo?”
sapa Titan ketus.
“Selamat
pagi, benar ini dengan saudara Titan?”
“Iya,
saya sendiri.” Ia melembutkan suaranya karena penelpon kelihatannya sopan
sekali, dan untuk ukuran laki-laki, suaranya sangat halus. “Maaf ini siapa?”
tanya Titan heran.
“Selamat,
novel Anda masuk nominasi pemenang. Nanti soft filenya tolong dikirim ya?
Jangan lupa sertakan biodata penulis juga.”
“Hah?”
Titan bengong. “Wuah, becanda nih?”
“Ini
serius mbak.”
“SERIUS???!!” ujar Titan bersemangat namun
nadanya mengancam.
“Dua
rius” ujar penelfon itu santai.
“Ah,
tukang bohong lo pasti. Pasti ini penipuan undian berhadiah ya?” Titan mulai
curiga.
“Bukan
mbak.” Belum selesai penelpon itu bicara, Titan sudah menyela.
“Emmm...jangan-jangan
kamu pelaku mama minta pulsa ya? Hayo ngaku? Aku nggak akan ketipu sama kamu.”
Terdengar
suara menghela nafas dari penelpon, tapi Titan tidak peduli. Ia merasa orang
itu tidak lucu sama sekali.
Si
penelfon tertawa kecil. “Ini serius, pasti emailnya belum dibuka ya? Saya sudah
kirim email dari seminggu yang lalu, nanti silakan di cek di blog kami kalau
tidak percaya.”
“Ini
siapa sih?”
“Oh,
iya, saya Ario, editor dari penerbit Ilufa.”
“Ario???
Ario, editor yang cakep itu? Ario penerjemah film yang masih muda tapi terkenal
banget itu?” tanya Titan bertubi-tubi hampir tak percaya.
Penelpon
itu hanya tersenyum kecil. “Saya tunggu soft file’nya segera ya?” ujarnya masih
dengan nada halus.
Titan
speechless. Ia malu sekali sekaligus
senang. Titan masih belum sepenuhnya percaya dengan apa yang ia dengar barusan,
tapi ia bahagia sekali. Wajahnya memerah dan senyumnya mengembang lebar sekali.
Perhatian Stella dan Andien sampai teralihkan pada tingkah Titan yang mendadak
aneh. Stella yang mulai kawatir pun segera meminta Andien untuk kembali ke
kelas, takut adik barunya terjangkit penyakit aneh-anehnya Titan.
“Iya..iya
mas, nanti saya kirimkan filenya,” ujar Titan gugup.
“Oke.
Gitu aja ya, terima kasih, selamat pagi.”
“Pa...gii,”
jawab Titan.
Titan
masih saja terpaku dengan ponselnya yang sudah lama mati. Sesekali ia cengar-cengir
aneh. Stella yang merasa makin aneh dengan Titan pun, nggak tahan buat nyela.
“Kenapa
Tan? Kumat?”
“Novel
aku diterima!!!”
“Serius
loh?”
“Iya
serius, nanti deh aku cek di blog sama di emailku.”
Stella
menghela nafas. “Itu mah namanya belum pasti, Tan. Tapi selamat deh. Udah yuk
balik, udah mau masuk nih.”
“Oke,”
jawab Titan masih dengan senyum dan mata yang berbinar-binar.
Sesampainya
di kosan, Titan langsung mengecek pengumuman pemenang sayembara novel yang ia
ikuti. Ternyata benar. Titan memenangkan sayembara itu, bukan menjadi pemenang
pertama sih, namun novelnya berhasil menjadi pilihan favorit editor. Bagi
pemula seperti Titan, tentu hal seperti ini adalah berkah yang luar biasa.
Mendapat kontrak penerbitan adalah salah satu hal yang ia impikan semenjak ia
menggeluti dunia kepenulisan. Kini ia semakin yakin kalau menulis adalah
passionnya.
“Nggak
rugi dong move on kamu, Tan?” ujar
Dewi.
Titan
tersenyum, hatinya menyadari sesuatu. Ini karena Bagas juga. Semua lelah yang
membentuk dirinya saat ini, kekuatan dari kelemahan-kelemahan yang selalu
menyerangnya, semuanya menjadi energi positif.
“Jadi
benar yang dibilang orang-orang, kalau kekuatan kita itu justru terbentuk dari
rasa sakit,” jawab Titan.
“Setuju.
Itu baru Titan gue.”
Titan
tersenyum.
“So, finally you find your light, right?”
“Ah,
bisa aja lo, Dew!” ujar Titan sambil menonjok lembut bahu Dewi.
“Wuah
kamu musti sungkem sama editor kamu tuh, Tan?”
Oopss. Titan tergelitik dengan ucapan
Dewi barusan. Iya juga, Titan udah nuduh editornya yang aneh-aneh jadi dia
harus minta maaf.
“Iya
deh.” Dalam hati, Titan berharap banget semoga editornya udah lupa sama semua
kejadian memalukan itu.
Hari-hari
selanjutnya, Titan disibukkan dengan naskahnya yang masih harus diedit sana-sini.
Titan mendadak jadi pelanggan abadi warnet sebelah kosan karena harus buka
email hampir tiap hari. Titan juga harus ngebut lembur buat selesain naskahnya.
Perkembangan
naskah Titan tidak cukup baik. Pertama, editornya minta cerita awal pertemuan
kedua tokoh utamanya diganti saja dengan hal lain yang lebih menarik. Kedua, editornya
minta konflik dari ceritanya ditambah. Ketiga, editornya minta ending ceritanya
dibuat yang beda, menarik, dan tidak terduga.
Titan
mendengus kesal. Ini mah, sama aja gue
bikin cerita baru, edi!! Titan ngomel-ngomel sendiri di bilik warnet.
Setiap Titan kesal dengan editornya, ia selalu memanggilnya dengan “edi” yang
merupakan kependekan dari “editor”. Kalau
ceritanya banyak yang diubah kayak gini, kok bisa ya naskah aku menang. Apa
jangan-jangan salah pilih novel tuh editornya, pikir Titan lagi.
Setelah
lelah berkutat dengan pikirannya sendiri. Titan memutuskan untuk balik kos dan
mulai menggarap editan naskahnya yang belum tahu mau dibawa kemana.
Titan
menarik nafas dalam, membuka laptopnya, sambil memikirkan hal apa saja yang
akan ia tulis. Perlahan ia membuka file-nya. Ia kembali membaca naskah itu halaman
demi halaman.
Bener juga, perkenalan yang biasa, ujar Titan
dalam hati. Titan meneruskan membacanya, hatinya berbicara lagi, konfliknya gini, kurang apa ya? Sekejap
ia teringat pada kata-kata editornya, lalu Titan tersenyum menertawai dirinya
sendiri.
“Ternyata
aku bodoh,” ujar Titan sambil tersenyum kecut pada dirinya sendiri.
Ia
masih mengamati naskahnya yang berantakan. Ia berpikir untuk memberinya bumbu agar
lebih sedap untuk dibaca. Lama sekali ia merenung di depan laptopnya. Wajahnya
yang mulanya kusut jadi makin kusut karena dipaksa berpikir. Denting jam serasa
berbunyi keras sekali di dalam otaknya.
Tik...tok...tik...tok...tik...tok....tik...tok...tik...tok.....
Ahaaa!! Ting, secara ajaib
muncul lampu terang di dalam otak Titan. Wajah Titan sekejap berubah penuh
harapan. Ia mendapatkan ide baru. Ia segera mengetikkan segala isi otaknya
sebelum semuanya hilang. Jari-jari Titan mulai lemas menekan tombol-tombol pada
keyboardnya.
Pembukaan,
konflik, ending cerita, tiba-tiba saja semua jalan cerita itu bersinergi dengan
indah dalam ide Titan. Satu peristiwa, dua peristiwa, dan seterusnya....
“Ahaaaa!!
Yess!! Si Edi pasti terkejut sama keahlian aku dalam menulis!” ujar Titan
bangga karena naskahnya sudah selesai.
“Lo
ngapain sih, Tan? Teriak-teriak sendiri dari tadi, mending lo sholat sonoh udah
magrib dari tadi tuh,” ujar Stella dari dalam kamarnya.
“Astaga,
ternyata udah malem.” Titan buru-buru sholat. Stella emang baik, meski beda
keyakinan, dia sering mengingatkan Titan dan Dewi untuk menjalankan ibadahnya,
kalau mereka lagi lupa.
Selesai
sholat. Titan kembali berkutat dengan naskahnya lagi. Dewi dan Stella sampai
bosen liatnya. Semenjak Titan suka nulis, dia suka mengurung diri di kamar,
seperti anak kosan dalam tempurung.
Malamnya,
Titan langsung mengirimkan hasil editannya. Namun, ternyata kerjaan masih belum
terhenti di sini. Dua hari sesudahnya, Titan dapat email lagi kalau naskahnya
masih ada kekurangan, ceritanya sudah bagus namun kurang sedikit luwes dan
kurang mengalir.
Titan
langsung menalikan kain putih di jidatnya dan siap tempur buat naskahnya lagi.
Setelah diperbaiki Titan mengirim lagi naskah editannya. Dua hari kemudian,
Titan mendapat email lagi kalau tata bahasanya masih ada beberapa kekurangan.
Titan mulai gigit jari dan merasa heran, ini
editor kerjaannya ngapain sih, begitu pikirnya. Meski tak pernah tatap
muka, hubungan mereka terlihat rumit. Kisah segitiga antara Titan, Ario, dan
naskah Titan memang penuh dengan skandal.
Masa
pengerjaan naskah Titan memakan waktu hampir satu bulan hingga Ario mengatakan
bahwa naskahnya layak terbit. Meski hatinya sempat gondok, karena editornya
banyak tuntutan, Titan tetap bersyukur karena akhirnya sebagian mimpinya
terwujud juga.
Titan
merasa itu adalah kado terindah dari Tuhan karena Titan berhasil move on dengan cara yang positif. Tak
hanya itu, ternyata diam-diam ia semakin dekat dengan editornya meski awalnya
mereka penuh dengan konflik.
Ario
adalah editor muda yang sudah menggeluti dunia penerbitan sejak lima tahun
terakhir. Meski masih muda, kiprahnya sebagai editor tidak diragukan lagi. Tak
hanya itu, ia juga ahli penerjemah film ataupun novel. Untuk orang yang bekerja
di balik layar, dia cukup terkenal. Hal itu juga yang menjadi salah satu alasan
mengapa Titan menjadi sedikit antusias dengan pria bernama Ario ini.
Meski
Ario terkadang bawel, tapi menurut Titan ia baik juga. Lambat laun mereka semakin
dekat. Mereka saling berkirim pesan, sering telfon-telfonan, sering chatingan,
sering apa aja. Gara-gara ini, Titan jadi demam hp, kemana-mana bawa hp, nyuci,
jemur baju, angkat jemuran, nyetrika, ke kamar mandi, kemana aja bawa hp. Titan
juga jadi sering senyum-senyum sendiri sama hp-nya, hingga orang-orang yang
melihatnya pasti langsung dapat menyimpulkan kalau Titan lagi jatuh cinta.
Yup,
jatuh CINTA. Kata-kata yang sakral itu telah menempel pada hati dan otak Titan.
Ario dan Titan hanya beberapa kali bertemu, setiap Ario luang ia menyempatkan
diri untuk main ke Surakarta – salah satu alasan yang membuat Titan melting. Tak hanya itu, sejak dekat
dengan Ario, Titan jadi sering nongkrong di cafe. Beberapa orang menilai ada
bagusnya juga Titan jatuh cinta, ia seperti naik kelas. Mereka yang berpendapat
seperti itu tidak tahu kalau tiap malem Titan nggak pernah absen dari
angkringan dekat kosan.
Tapi
memang pertemuan Titan dengan Ario selalu menjadi kenangan yang manis. Ario
selalu bisa memperlakukan Titan dengan baik. Seperti yang terjadi waktu Ario
mengajak Titan ke toko buku.
“Emang
kalo editor harus sering ke toko buku ya?” tanya Titan polos.
“Enggak
sih, lebih sering ngadepin laptop sama ketemu penulis.”
Ario
menggandeng tangan Titan dan mengajaknya berkeliling sebelum Titan lebih
cerewet lagi.
“Liat
deh,” ujar Ario lagi sambil menunjukkan berbagai buku novel yang baru
diterbitkan beberapa bulan terakhir. “Penulis itu harus suka mengamati yang
kayak gini”
Titan
bingung. “Maksudnya?”
“Karena
kamu suka nulis, ada baiknya kamu cari tau tentang selera pasar yang lagi rame
saat ini apa, jadi ketika kamu mengirim tulisan, kemungkinan ditolaknya itu
dikit.”
“Oh...”
Titan yang memang masih penulis newbie pun manggut-manggut setuju.
“Selain
itu kamu juga perlu tau gimana penulis-penulis lain menuliskan ceritanya, biar
tau gaya bahasa mereka. Dengan begitu, kamu jadi terbantu untuk nemuin gaya
tulisan kamu sendiri.”
Titan
manggut-manggut lagi.
“Satu
lagi, setiap penulis itu nggak boleh putus asa biarpun sering ditolak. Coba
kamu lihat buku-buku best seller di sini, semua penulisnya pasti pernah
ngerasain kerasnya berusaha hingga mereka mampu melahirkan karya yang bagus
kayak gini.”
Titan
diam, bengong, ia terpukau sekali dengan kalimat Ario barusan.
“Jangan
diem aja, aku jadi kayak bawa anak ke sini.” Ario nyeletuk ngeliat Titan yang
cuma absen manggut-manggut doang.
“Ehee..”
Titan nyengir.
“Eh,
ngomong-ngomong kamu suka ke toko buku nggak nih? Aku jadi nggak enak kalo kamu
kesininya terpaksa,” ujar Ario.
“Enggak
kok..”
“Lhoh,
jadi nggak suka ke toko buku??” Ario kaget.
“Eh,
bukan gitu. Maksud aku, aku nggak terpaksa. Justru aku yang makasih udah
diajarin banyak, hehe.”
Ario
tersenyum.
Sifat
Ario yang kebapakan seperti itulah yang udah bikin Titan nggak pernah berhenti
senyum tiap mikirin dia. Setelah dekat selama tiga bulan, akhirnya mereka
jadian juga. Meski hanya bisa LDR’an, Titan tetep seneng. Biar bagaimanapun
Ario udah bantu Titan buat lebih move on
dari Bagas. Ario tampak spesial karena Titan ketemu Ario pas Titan nemuin
passionnya, Titan jadi berpikir kalau passion Titan dan Ario emang udah sepaket
dari awal.
***
Sumber gambar http://thenovelfactory.blogspot.co.id/2012/05/13-writing-second-draft-of-your-novel.html
0 komentar:
Posting Komentar