SUNSHINE STORY (Chapter 11)




1 BULAN KEMUDIAN

Adam sembuh, ia sudah kembali dari rumah sakit sejak dua minggu yang lalu. Masa pemulihannya pun sudah berakhir. Kini ia sudah memulai aktivitas seperti biasa. Kabarnya, Adam sekarang justru semakin rajin ikut latihan SAR.
Kondisi ini jelas berbeda jauh dengan Titan. Meski Titan telah menemukan kesenangan baru di dunia petualangan, hatinya tampak lelah dalam petualangan cintanya. Hubungan Titan bersama Ario tak bertahan lama. Setelah jalan tiga bulan, Titan  memutuskan untuk mundur dari hubungan mereka, karena Ario ketahuan selingkuh. Ehm...maksudnya Ario ketahuan selingkuh sama Titan. Jadi, selama ini ternyata Titan hanya dijadikan selingkuhan. Parahnya, ternyata Titan bukan selingkuhan Ario satu-satunya. Pria muda yang mapan ini memang dikagumi banyak orang, khususnya wanita, jadi memang dia punya kesempatan untuk menggandeng cewek sana-sini. Lagipula, cowok cakep, atletis, mapan, dan pintar seperti Ario harus punya kekurangan juga kan, persis seperti apa yang diyakini Dewi.
Titan juga menyadari sesuatu, tentang hukum timbal balik. Ia pernah menyelingkuhi Hangga demi bisa bersama Bagas dan  kemudian Bagas meninggalkan dia demi perempuan lain. Sekarang, ia merasakan bagaimana rasanya menjadi selingkuhan. Ia tahu pasti bahwa tidak ada yang nyaman antara selingkuh, diselingkuhi, ataupun menjadi selingkuhan.
Ario berhasil jadi Mr. Hello Goodbye, sosok yang numpang lewat, mudah datang dan mudah pergi. Titan mendapati broken smile-nya lagi. But, everything’s gonna be ok. Setiap orang memang akan mengalami masa satu kali terbit dan satu kali tenggelam bersama pasangannya kan? Meski butuh waktu agak lama untuk move on lagi, Titan tidak menyerah.
Yang Titan inginkan sekarang adalah hidup normal menjadi orang biasa yang bersikap biasa saja, minum air putih di pagi hari sambil menikmati pagi yang sederhana, dan disibukkan dengan aktivitas-aktivitas yang membuat orang lupa kalau hidup ini terlalu naif untuk dijalani.
Ia akan mengambil masa satu malam penantiannya seperti orang-orang yang mengambil cuti tahunan di hari kerja mereka. Menikmati masa istirahatnya untuk memupuk mimpinya menjadi penulis besar. Meski menulis kadang membuat Titan teringat pada Ario, Titan mencoba dewasa. Ia tidak ingin mencampuradukkan antara passion dan cinta.  Ia sudah bertekad untuk lebih menekuni hobinya.
Melihat Titan beberapa kali jatuh dari cinta, Dewi dan Stella pun tak pernah absen untuk memberikan semangat pada Titan.
Be strong baby,” ujar Stella.
“Kan kamu Titan,” ujar Dewi menambahkan. Dewi yang udah lama baikan pun kembali ke runitinas sebelumnya, yakni rajin menebarkan semangat ke orang-orang yang ada di sekitarnya.
Titan tersenyum. Ia seperti menemukan alasan kenapa mamanya memberikan nama Titan kepadanya, ya, agar dia menjadi gadis yang kuat seperti matahari (titan). Matahari tak pernah lelah memberikan cahayanya meski mendung menghadang. Mungkin karena nama itulah, ia selalu merasa dekat dengan cahaya dan alam.
“Ooh iya, soal tugas kita dulu gimana?” Dewi mengalihkan topik.
“Ooh, soal itu, sebelumnya maaf ya, aku sama Bagas memutuskan untuk meliput air terjun itu aja. Jadi temanya aku ganti deh. Sorry nggak ijin kamu sama Adam.”
“Iya nggak masalah. Lagian juga harusnya gue yang minta maaf. Trus hasilnya gimana?”
“Pak Dosen nggak mau kasih tahu tugas siapa yang kepilih. Kita diminta untuk lihat sendiri terbitannya di koran. Katanya sih terbit tanggal 28 Maret gitu.”
“Tanggal 28 bukannya hari ini?” Dewi mulai serius.
“Oh, iya ya?” Titan jadi semangat.
Keduanya pun langsung cabut dari kosan, meninggalkan Stella begitu saja lalu beli koran di pinggir jalan. Dewi terlihat paling semangat karena ia ingin sekali mengikuti program internship yang ditawarkan. Ia mengambil koran yang baru saja diambil Titan dari rak penjualnya. Secepat kilat ia membuka rubrik wisata, seolah tangannya memiliki insting tajam menemukan halaman yang dicari. Perlahan ia membaca judulnya.
“Surga baru di Yogyakarta: Curug Banyunibo...oleh...Adam dkk...”
Mendengar itu, Titan bengong, kaget, lalu senyum-senyum.
“Punya kita ni Tan?”
“Coba lihat,” Titan mengambil koran yang dipegang Dewi, memastikan kalau Dewi nggak salah baca. “Wah, beneran Dew, punya kita, yeieyeyeye....”
Keduanya pun jingkrak-jingkrak. Mereka lupa kalau mereka ada di pinggir jalan dan korannya juga belum dibayar. Jadi, setelah mereka dicolek sama penjualnya baru mereka sadar.
Mereka memberi kabar baik ini kepada Adam dan Bagas. Namun, diantara kedua pria ini, tampaknya hanya Adam yang bahagia. Bagas awalnya pengen banget ikut magang, tapi liburan semester mendatang akan ada event gedhe di luar kota, jadi dia nggak bisa ikut.
“Jadi kita bisa magang bareng-bareng dong,” ujar Titan senang.
Titan mengangguk. Ia tampak senang, tapi suara hatinya ingin dia melakukan sesuatu yang lain sebelum mengikuti program magang itu. Titan tidak tahu pasti. Entahlah, sejak kunjungannya ke Banyunibo kala itu, hatinya sering bergejolak, seolah menginginkan sesuatu yang lebih. Tentang hasratnya itu, Titan berjanji pada dirinya akan mencari tahu.
***
“Inget besok kita ke pantai, Tan,” ujar Dewi mengingatkan.
“Inget tuh Tan, jangan menduakan kita-kita sama naskah lo lagi!” Stella menambahi.
“Iya, beib, gue pasti inget kok. Tapi besok aku laptop ya?”
“Buat apaan?”
“Siapa tau aja, aku ada ide buat nulis.”
“Yaelah, ni anak. Masih mau nulis juga?” ujar Dewi agak kesal.
“Pleaseeee?” Titan memelas.
Melihat muka Titan yang melasnya dipaksakan, Dewi pun ingin menahan muntah, hingga akhirnya dia menyerah.
“Iya, deh.”
Titan bangun pagi sekali. Sebelumnya ia telah berhasil menghasut Dewi dan Stella untuk berangkat ke pantai habis subuh. Awalnya ide ini menuai kritik tajam dari kedua sahabat Titan, terlebih Stella yang tidak biasa bangun subuh hari.
“Ngapain sih Tan, ke pantai jam segitu? Nelayannya aja belum balik,” ujar Dewi heran.
“Iya ni anak, aneh tau nggak. Wuah, jangan-jangan modus mau dagang di pantai ni anak,” ujar Stella.
“Bukaaan. Pantai di pagi hari itu bagus, jadi kan kita bisa menikmati sunrise di sana. Lagian kan besok akhir pekan, kalo kita berangkatnya kesiangan, nanti pantainya ramai, jadi nggak seru dong.”
Titan yang notabenenya aneh memang susah berperilaku seperti orang normal. Untungnya Stella dan Dewi mau idem mendengar alasan Titan yang agak masuk akal. Esok harinya, ketika hendak berangkat, Titan langsung mengepaki baju gantinya dan memasukkan ke dalam bagasi.
“Lo nggak mandi dulu, Tan?” tanya Stella.
“Enggak. Dingin,” Jawab Titan pendek.
“Sialan ni anak. Udah bikin orang bangun pagi, sekarang masih mau ngeracunin pake bau badan.”
“Kamu mandi aja La, sama Dewi. Lagian juga aku anti air, jadi nggak bisa mandi,” Titan membela diri.
“Gue juga nggak mandi kalo gitu,” ujar Stella.
Gubrakk.
“Aku juga nggak mandi deh, dingin banget,” Dewi ikutan.
Alhasil, ketiganya tidak mandi. Stella dan Dewi memutuskan untuk mandi di kamar mandi umum di jalan kalau sudah pulang dari pantai. Sedangkan Titan, tetap berencana tidak mandi sampai ia pulang ke kosan, dari hari-hari sebelumnya memang sudah diniati mandi sehari sekali pas sorenya, karena paginya sudah kena air pantai, jadi itungannya pagi udah mandi.
Udara pagi yang dingin tajam menusuk kulit, namun sama sekali tak menyurutkan hasrat mereka untuk menikmati pantai. Terlebih hari ini adalah hari spesial untuk Dewi, ia sedang berulang tahun. Ia tidak ingin ada keisengan ataupun acara ngerjain-ngerjain nggak penting di hari ulang tahunnya, ia hanya ingin hari ulang tahun yang sederhana, menikmati pantai bersama teman-temannya.
Meski Dewi yang berulang tahun, hari ini Titan yang punya semangat paling tinggi, karena pagi ini, tidak ada pagi yang sederhana lagi. Kali ini ia akan menikmati pagi di pantai yang biru, bukan lagi dari balik jendelanya.
“Sumringah banget yang punya pagi,” sindir Dewi.
Titan tersenyum simpul.
Angin pantai berhembus sejuk menerpa wajah pagi yang masih kaku. Belum ada tanda-tanda matahari terbit, karena mereka sampai pukul lima pagi. Matahari memang tidak akan tampak ketika pagi, ia hanya akan kelihatan jika sudah menginjak pukul delapan. Namun, langit pagi di pantai sungguh indah dengan beberapa bintang yang menggantung pada langit yang hampir menguning.
“Lihat deh, guratan airnya bagus ya?” ujar Titan sambil menunjuk laut dengan ombak kecilnya yang bergilir.
Stella dan Dewi pun mengangguk setuju. Pantai masih tampak remang, namun ketenangan inilah yang memang mereka cari, seolah pantai ini hanya milik mereka bertiga.
Dewi memejamkan matanya, merasakan harmonisasi alam dan pagi yang bersamanya ketika itu. Dalam hati ia berkata, terima kasih Tuhan. Ia membentangkan tangannya merasakan angin yang semakin lama semakin kencang, perlahan ombak-ombak kecil menyapa kakinya. Dewi menganggap alam yang masih ramah itu adalah kado dari Tuhan yang menunjukkan bahwa Tuhan masih sayang dan memperhatikan umatnya.
Tiba-tiba dari belakang, Dewi dikagetkan oleh Titan dan Stella.
Happy birthday to you...happy birthday to you...happy birthday... happy birthday... happy birthday...Dewi...” Titan dan Dewi menyanyikan lagu itu bersama-sama sambil membawakan pizza yang di beri lilin ulang tahun.
“Owh..God!” teriak Dewi kaget. Ia tak menyangka kalau ia akan mendapatkan kejutan seperti itu.
“Ini pizza?” Tanya Dewi heran sama apa yang dilihatnya. “Sumpah, kalian temen yang aneh!”
“Ah, berisik lo. Buruan make a wish!”
Dewi pun langsung mengucapkan doa. Menurut malaikat tangan kanan yang denger doanya Dewi sih, doanya kayak gini.
Tuhan, terima kasih sudah menganugerahi segala kebaikan dalam hidup hamba. Terima kasih sudah menganugerahi teman-teman yang baik seperti mereka. Terima kasih untuk cinta yang pernah aku rasakan, meski tak bisa ku miliki. Terima kasih atas hadirnya orang-orang yang selalu ada untuk hamba. Terima kasih Tuhan.
Kemudian Dewi meniup lilinnya. Stella dan Titan pun bergantian memeluk Dewi dan memberikan ucapan selamat.
“Lo berdoa apa tadi?” tanya Titan iseng.
“Aku berdoa semoga kamu jadi rajin mandi, biar kamu jomblonya nggak kelamaan.”
“Wuah, kayaknya susah buat dikabulkan deh itu doanya,” Stella menyela.
“Hish!” Titan manyun-manyun lalu menyirati air ke Stella. Stella yang tidak mau kalah, menyerahkan pizza’nya ke Dewi lalu balas dendam ke Titan. Jadilah, mereka berdua perang-perangan seperti anak kecil. Dewi, selaku makhluk yang paling dewasa di antara mereka pun lebih memilih untuk menjadi penonton yang bijak sambil menikmati pizzanya.
Dewi duduk bersantai, menyandarkan dirinya ke pohon kelapa yang tumbuh di tepi pantai. Banyak pohon yang memagari pantai ini, hingga tepiannya tampak teduh. Pengunjung pun makin lama makin ramai. Akhir pekan selalu seperti ini, penuh dengan orang-orang yang berebut mencari kesejukan.
“Selamat ulang tahun ya, Dew,” ujar seseorang dari belakang.
Dewi terkejut sekali dengan suara yang didengarnya. Suara yang pernah lekat dengan hatinya.
“Adam? Kamu kok di sini?”
Adam hanya tersenyum. Matanya memandang sosok perempuan yang masih asik main air yang berjarak agak jauh darinya.
Dewi menatap mata Adam dalam-dalam, ia mulai mengerti sesuatu. Mata Adam yang dingin selalu berubah mendadak kalem ketika melihat sosok itu.
“Maaf ya, Dew. Maaf kalau aku menyakiti kamu seperti ini. Tapi dia, entah mengapa dia begitu berbeda.” Mata Adam masih menikmati sosok indah di hadapannya.
Dewi hanya diam. Dewi sendiri heran, selama ini ia tak pernah berhasil membuat Adam seperti itu. Namun, gadis itu, dia yang hanya diam dan tak melakukan apa-apa justru bisa meluluhkan hati Adam. Ia ingat, Adam pernah mengatakan kalau hatinya hanya muat untuk satu orang, dan itu bukan Dewi. Gadis beruntung itu adalah Titan. Memang sangat perih rasanya, terlebih sosok yang amat dicintai Adam adalah sahabatnya sendiri.
Dewi jadi teringat ketika mereka pergi ke air terjun Banyunibo. Waktu Dewi tak sengaja menekan tombol yang memperlihatkan semua koleksi foto yang ada di kamera Adam. Yang paling banyak adalah foto Titan, foto yang diambil secara diam-diam. Juga ketika Adam dibawa ke rumah sakit, Dewi menegaskan semuanya dan Adam mengiyakan. Jadi semua prasangka Dewi benar adanya. Itulah alasan mengapa Adam meminta maaf kala di rumah sakit itu – juga sekarang.
“Dia selalu suka pagi. Dia suka menikmati pagi dari balik jendelanya,” ujar Dewi pelan. Tanpa sadar matanya memerah. Sesungguhnya sangat sakit ketika ia harus membahas orang lain ketika bersama orang yang disayanginya.
Selama ini Dewi tidak mengiyakan ketika ia dijodohkan dengan seorang dokter karena hatinya masih ditinggali satu nama, Adam. Seperti Adam yang hatinya hanya muat untuk satu orang, Dewi pun belum mengijinkan orang lain untuk menempati hatinya. Selama ini ia hanya menyimpan perasaan itu sendiri, terlebih dari Titan.
“Dia selalu punya senyum yang tulus,” Adam menambahkan.
Mereka saling diam.
“Sejak kapan, Dam?” tanya Dewi.
Adam melihat Dewi sejenak. Ia melihat mata yang begitu tulus, namun tetap saja ia tak bisa membalas perasaan tulus Dewi. Ia tak sanggup mengingkari dirinya sendiri yang amat mencintai Titan.
“Mmh?? Dia? Rasanya sejak pandangan pertama. Sejak pertama ketemu di OSPEK,“ Adam menjelaskan. “Tapi rasanya dia tidak menyadari, lagipula dia punya daya ingat yang buruk.” Adam tertawa kecil.
Dewi sebenarnya tahu, kalau diam-diam Adam sering memperhatikan Titan, bahkan sebelum Titan dekat dengan Bagas. Dewi yakin, Adam pun menyimpan hal ini dari Bagas karena tidak ingin merusak hubungan mereka.
Melihat Adam yang hanya diam meski menyukai Titan, Dewi jadi penasaran terhadap Adam. Dewi diam-diam memperhatikan Adam. Perlahan, ia justru jatuh hati karena kebiasaan memperhatikannya itu. Sayangnya, hati Adam tak mudah berubah, meski ia sudah membiarkan dirinya untuk belajar mencintai Dewi.
“Kenapa ya, aku bisa suka sama orang yang nggak suka mandi kayak Titan?” Adam ngomong sendiri.
Dewi pun jadi terkekeh sendiri. Jika dibandingkan dengan dirinya, jelas Dewi lebih rajin mandi ketimbang Titan.
“Kamu harus bilang sama dia, biar dia tau. Seenggaknya dengan itu aku jadi lega.”
Dalam hati, Adam mengutuki dirinya sendiri yang telah jahat menyakiti perempuan sebaik Dewi.
“Aku bakal seneng kalau kalian bisa jadian. Aku sayang sama kalian berdua,” ujar Dewi lagi.
Adam terdiam. Tidak tahu harus mengatakan apa. Adam mengenggam tangan Dewi, berharap suasana hati Dewi akan menjadi lebih baik karena itu.
“Kamu nggak perlu jaga perasaan aku. Aku udah dijodohin kok. Jangan kawatir, dia lebih tampan dari kamu,” ujar Dewi diikuti tawa kecil. Namun jauh di dalam matanya ada kesedihan yang tak terkatakan.
Adam hanya diam. Memaku.
“Bulan depan aku mau cuti, aku dapat tugas pelatihan diving ke luar Jawa. Kamu bisa tolong jagain Titan buat aku, Dew?” tanya Adam.
“Hah?” Dewi speechless. Ia memalingkan mukanya dari Adam. “Nggak mau. Kalau mau dia baik-baik aja, jaga sendiri. Kan kamu yang harusnya jaga dia! Kan kamu yang punya perasaan sama dia!Selama ini aku udah jaga dia. Kamu pikir aku ngelakuin itu buat siapa?”
Adam makin terdiam.
“Kamu yang seharusnya jaga Titan buat aku Dam, dia sahabat aku. Aku belum pernah ngerasain damainya persahabatan hingga aku ketemu sama mereka.”
Dewi tak kuat menahan hatinya. Ia melambaikan tangannya ke arah Titan dan Stella, mereka berdua pun berhenti main air dan kembali menghampiri Dewi.
Dengan wajah terkejut Titan menyapa sosok tidak asing yang ada di hadapannya.
“Adam? Kamu di sini juga? Sejak kapan?” tanya Titan heran.
“Baru kok.”
Dewi tak sanggup berlama-lama di tempat itu karena ada Adam, jadi ia segera memotong pembicaraan untuk pergi menjauh sejenak.
 “La, nyari es kelapa muda yuk? Haus nih. Pizza lo asin tau nggak,” ujar Dewi sambil menggandeng Stella pergi.
“Asin?” ujar Stella heran. Selama ini Dewi nggak pernah protes sama pizza full cheese yang sudah dicap sebagai makanan favoritnya.
Stella jadi penasaran sama sikap Dewi yang mendadak aneh. Raut muka Dewi juga tidak secerah sebelumnya. Dewi juga hanya diam. Tak tahan melihat sahabatnya gelisah, Stella memberanikan diri bertanya pada Dewi.
“Dewi, jangan simpan masalah kamu sendiri. Kamu kenapa?”
Dewi hanya diam. Ia langsung merangkul Stella dan menangis.
Stella pun menepuk lembut bahu Dewi. Setelah keadaan membaik, Dewi baru menceritakan semuanya kepada Stella. Mendengar cerita Dewi, Stella hanya diam bergeming.
“Kamu bisa, Dew. Orang yang kamu temui saat ini tidak akan menjadi satu-satunya orang dalam hidup kamu,” ujar Stella.
Dewi terdiam. Ia teringat, ia dulu pernah mengatakan hal yang sama terhadap Titan. Dan kini, ia mendapatkan kata-katanya kembali.
Jadi, begini cara Tuhan bekerja, menguji validitas prinsip yang telah dibangun manusia untuk dirinya sendiri, ujar Dewi dalam hati. Ia tertawa kecil menertawai dirinya sendiri. Kini ia menemukan satu alasan mengapa ia tidak boleh bersedih lagi, karena ia sedang diuji dengan prinsipnya sendiri – dan ia tahu pasti bahwa Tuhan ingin dia lolos.
“Makasih ya La. Kalian itu udah kayak saudara buat aku. Adanya kalian aja udah cukup.”
Stella tersenyum simpul. Dipeluknya tubuh Dewi yang tinggi kurus.
Move on ya Dew. Aku sama Titan juga sayang banget sama kamu, Dew...”
***
Deburan ombak makin keras terdengar. Angin pantai berhembus makin kencang. Hamparan laut makin terlihat biru. Pagi yang sempurna sudah lewat seiring datangnya cahaya matahari yang makin menguning. Pagi memang selalu lekat dengan cahaya. Seperti hati Adam yang diam-diam tak bisa lepas dari Titan.
Adam dan Titan masih saling berdiam diri sejak lima belas menit yang lalu. Dewi sepertinya sengaja memberikan ruang untuk mereka berdua.
“Pagi yang sama...seperti kemarin,” ujar Adam.
“Nggak ada pagi yang sama, Dam,” Titan protes.
Dalam hati Adam, sebenarnya ia sependapat dengan Titan, tidak ada satu hal apapun yang sama di dunia ini, termasuk pagi.
“Kamu apa kabar?” tanya Adam lagi.
“Ya ampun Adam, kita kan ketemu di kampus tiap hari,” Titan heran sekali dengan pertanyaan Adam yang terdengar aneh di telinganya.
“Jadi, kamu tahu kalau aku teman sekelas kamu?” tanya Adam lagi.
Titan tertawa terpingkal-pingkal. Jika Adam bermaksud menyindirnya, ia telah berhasil.
“Jangan salah ya...aku mulai mengenal kalian semua sejak semester empat,” Titan membela diri, meski ia tahu kalau hal itu bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan.
“Mmmh...” Adam berujar pelan.
Hati Adam pelan mengatakan, gue pasti bakal kangen banget sama lo, Tan.
Adam mencoba mengumpulkan keberanian di hatinya untuk mengungkapkan perasaan yang selama ini dipendamnya. Jantungnya berdegup makin kencang. Entah mengapa ia merasa gugup. Adam memang tak pandai berbicara pada wanita.
“Tan...”
“Iya?” Titan menoleh.
“Emmh..akuuu...”
“Hah?” Titan mengernyitkan dahinya, heran.
“Emh..Aku hanya mau bilang makasih...”
“Hahh?” Titan makin heran melihat tingkah Adam yang aneh. “Makasih?”
“Makasih kamu udah dateng,” ujar Adam pelan. Matanya menatap dalam ke dalam dua bola mata Titan seolah ingin mengatakan perasaannya yang lebih dalam dari itu. Namun, mulutnya serasa terkunci.
Titan terdiam, entah mengapa ketika melihat mata Adam, hatinya jadi merinding. Ia tak mampu mengatakan apa-apa.
“Ah, lupakan...” Adam tiba-tiba berpaling.
“Hahh??” Titan kembali bengong setengah mati. Ini anak aneh banget, pikirnya. Namun, hatinya tak mengingkari kalau ia sempat merinding ketika menatap mata Adam.
“Aku pulang dulu ya, salam buat Dewi dan Bella,” ujar Adam buru-buru lalu pergi meninggalkan Titan.
Titan makin bengong. Beneran Adam aneh banget, pikirnya lagi. Titan bahkan belum sempat memberitahukan kalau nama sahabatnya sebenarnya adalah Stella bukan Bella.
Tak lama kemudian Dewi dan Stella datang.
“Loh, Adam mana?” tanya Dewi.
“Pergi. Nggak tahu tu anak aneh banget dari tadi,” jawab Titan.
“Aneh gimana?” Stella gantian nanya.
“Iya aneh.” Titan aja sampai bingung jawabnya gimana. “Dia itu ngomongnya sepatah-sepatah, nggak jelas. Kayak mau ngomong apa gitu, tapi nggak jadi, terus pergi aja gitu. Ah, nggak tau deh, selama ini juga aku liat dia pendiem banget.”
Dewi menghela nafas melihat tingkah Titan yang polos banget. Dewi yakin sekali kalau Adam pasti belum mengatakannya.
“Ya udah balik yuk, kita udah lama banget di sini,” ujar Stella memotong. Stella sendiri tidak tahu harus berbuat apa, Titan dan Dewi sama-sama sahabatnya.
“Pulang? Ini kan baru jam sepuluh La?”
“Aku ada urusan mendadak di kampus,” jawab Stella asal.
“Lah, ini kan hari Minggu? Kampus juga libur.”
Jadi ketahuan deh bohongnya.
“Aku mau ajak Andien liat-liat kampus, biar dia tahu kampusnya nanti kayak apa,” jawab Stella lagi.
“Hah?” Titan heran sama Stella yang nggak masuk akal.
Stella lupa, Andien kan masih kelas satu SMP, jadi kuliahnya juga masih lama banget.
“Ya udah kita pulang.”
Melihat Stella yang dari tadi keukeuh banget, Titan akhirnya mengalah. Ia tak menyadari sedikitpun mengapa semua temannya tiba-tiba bersikap aneh.
***
Sumber gambar https://plus.google.com/102580920245111807664/posts




0 komentar:

Posting Komentar

SUNSHINE STORY (Chapter 11)