1 BULAN KEMUDIAN
Adam
sembuh, ia sudah kembali dari rumah sakit sejak dua minggu yang lalu. Masa
pemulihannya pun sudah berakhir. Kini ia sudah memulai aktivitas seperti biasa.
Kabarnya, Adam sekarang justru semakin rajin ikut latihan SAR.
Kondisi
ini jelas berbeda jauh dengan Titan. Meski Titan telah menemukan kesenangan
baru di dunia petualangan, hatinya tampak lelah dalam petualangan cintanya.
Hubungan Titan bersama Ario tak bertahan lama. Setelah jalan tiga bulan,
Titan memutuskan untuk mundur dari
hubungan mereka, karena Ario ketahuan selingkuh. Ehm...maksudnya Ario ketahuan
selingkuh sama Titan. Jadi, selama ini ternyata Titan hanya dijadikan
selingkuhan. Parahnya, ternyata Titan bukan selingkuhan Ario satu-satunya. Pria
muda yang mapan ini memang dikagumi banyak orang, khususnya wanita, jadi memang
dia punya kesempatan untuk menggandeng cewek sana-sini. Lagipula, cowok cakep,
atletis, mapan, dan pintar seperti Ario harus punya kekurangan juga kan, persis
seperti apa yang diyakini Dewi.
Titan
juga menyadari sesuatu, tentang hukum timbal balik. Ia pernah menyelingkuhi
Hangga demi bisa bersama Bagas dan
kemudian Bagas meninggalkan dia demi perempuan lain. Sekarang, ia
merasakan bagaimana rasanya menjadi selingkuhan. Ia tahu pasti bahwa tidak ada
yang nyaman antara selingkuh, diselingkuhi, ataupun menjadi selingkuhan.
Ario
berhasil jadi Mr. Hello Goodbye, sosok yang numpang lewat, mudah datang dan
mudah pergi. Titan mendapati broken smile-nya
lagi. But, everything’s gonna be ok.
Setiap orang memang akan mengalami masa satu kali terbit dan satu kali tenggelam
bersama pasangannya kan? Meski butuh waktu agak lama untuk move on lagi, Titan tidak menyerah.
Yang
Titan inginkan sekarang adalah hidup normal menjadi orang biasa yang bersikap
biasa saja, minum air putih di pagi hari sambil menikmati pagi yang sederhana,
dan disibukkan dengan aktivitas-aktivitas yang membuat orang lupa kalau hidup
ini terlalu naif untuk dijalani.
Ia
akan mengambil masa satu malam penantiannya seperti orang-orang yang mengambil
cuti tahunan di hari kerja mereka. Menikmati masa istirahatnya untuk memupuk
mimpinya menjadi penulis besar. Meski menulis kadang membuat Titan teringat
pada Ario, Titan mencoba dewasa. Ia tidak ingin mencampuradukkan antara passion
dan cinta. Ia sudah bertekad untuk lebih
menekuni hobinya.
Melihat
Titan beberapa kali jatuh dari cinta, Dewi dan Stella pun tak pernah absen
untuk memberikan semangat pada Titan.
“Be strong baby,” ujar Stella.
“Kan
kamu Titan,” ujar Dewi menambahkan. Dewi yang udah lama baikan pun kembali ke
runitinas sebelumnya, yakni rajin menebarkan semangat ke orang-orang yang ada
di sekitarnya.
Titan
tersenyum. Ia seperti menemukan alasan kenapa mamanya memberikan nama Titan
kepadanya, ya, agar dia menjadi gadis yang kuat seperti matahari (titan).
Matahari tak pernah lelah memberikan cahayanya meski mendung menghadang.
Mungkin karena nama itulah, ia selalu merasa dekat dengan cahaya dan alam.
“Ooh
iya, soal tugas kita dulu gimana?” Dewi mengalihkan topik.
“Ooh,
soal itu, sebelumnya maaf ya, aku sama Bagas memutuskan untuk meliput air terjun
itu aja. Jadi temanya aku ganti deh. Sorry nggak ijin kamu sama Adam.”
“Iya
nggak masalah. Lagian juga harusnya gue yang minta maaf. Trus hasilnya gimana?”
“Pak
Dosen nggak mau kasih tahu tugas siapa yang kepilih. Kita diminta untuk lihat
sendiri terbitannya di koran. Katanya sih terbit tanggal 28 Maret gitu.”
“Tanggal
28 bukannya hari ini?” Dewi mulai serius.
“Oh,
iya ya?” Titan jadi semangat.
Keduanya
pun langsung cabut dari kosan, meninggalkan Stella begitu saja lalu beli koran
di pinggir jalan. Dewi terlihat paling semangat karena ia ingin sekali
mengikuti program internship yang ditawarkan. Ia mengambil koran yang baru saja
diambil Titan dari rak penjualnya. Secepat kilat ia membuka rubrik wisata,
seolah tangannya memiliki insting tajam menemukan halaman yang dicari. Perlahan
ia membaca judulnya.
“Surga
baru di Yogyakarta: Curug Banyunibo...oleh...Adam dkk...”
Mendengar
itu, Titan bengong, kaget, lalu senyum-senyum.
“Punya
kita ni Tan?”
“Coba
lihat,” Titan mengambil koran yang dipegang Dewi, memastikan kalau Dewi nggak
salah baca. “Wah, beneran Dew, punya kita, yeieyeyeye....”
Keduanya
pun jingkrak-jingkrak. Mereka lupa kalau mereka ada di pinggir jalan dan
korannya juga belum dibayar. Jadi, setelah mereka dicolek sama penjualnya baru
mereka sadar.
Mereka
memberi kabar baik ini kepada Adam dan Bagas. Namun, diantara kedua pria ini,
tampaknya hanya Adam yang bahagia. Bagas awalnya pengen banget ikut magang,
tapi liburan semester mendatang akan ada event gedhe di luar kota, jadi dia
nggak bisa ikut.
“Jadi
kita bisa magang bareng-bareng dong,” ujar Titan senang.
Titan
mengangguk. Ia tampak senang, tapi suara hatinya ingin dia melakukan sesuatu
yang lain sebelum mengikuti program magang itu. Titan tidak tahu pasti.
Entahlah, sejak kunjungannya ke Banyunibo kala itu, hatinya sering bergejolak,
seolah menginginkan sesuatu yang lebih. Tentang hasratnya itu, Titan berjanji
pada dirinya akan mencari tahu.
***
“Inget
besok kita ke pantai, Tan,” ujar Dewi mengingatkan.
“Inget
tuh Tan, jangan menduakan kita-kita sama naskah lo lagi!” Stella menambahi.
“Iya,
beib, gue pasti inget kok. Tapi besok aku laptop ya?”
“Buat
apaan?”
“Siapa
tau aja, aku ada ide buat nulis.”
“Yaelah,
ni anak. Masih mau nulis juga?” ujar Dewi agak kesal.
“Pleaseeee?”
Titan memelas.
Melihat
muka Titan yang melasnya dipaksakan, Dewi pun ingin menahan muntah, hingga
akhirnya dia menyerah.
“Iya,
deh.”
Titan
bangun pagi sekali. Sebelumnya ia telah berhasil menghasut Dewi dan Stella
untuk berangkat ke pantai habis subuh. Awalnya ide ini menuai kritik tajam dari
kedua sahabat Titan, terlebih Stella yang tidak biasa bangun subuh hari.
“Ngapain
sih Tan, ke pantai jam segitu? Nelayannya aja belum balik,” ujar Dewi heran.
“Iya
ni anak, aneh tau nggak. Wuah, jangan-jangan modus mau dagang di pantai ni
anak,” ujar Stella.
“Bukaaan.
Pantai di pagi hari itu bagus, jadi kan kita bisa menikmati sunrise di sana.
Lagian kan besok akhir pekan, kalo kita berangkatnya kesiangan, nanti pantainya
ramai, jadi nggak seru dong.”
Titan
yang notabenenya aneh memang susah berperilaku seperti orang normal. Untungnya
Stella dan Dewi mau idem mendengar alasan Titan yang agak masuk akal. Esok
harinya, ketika hendak berangkat, Titan langsung mengepaki baju gantinya dan
memasukkan ke dalam bagasi.
“Lo
nggak mandi dulu, Tan?” tanya Stella.
“Enggak.
Dingin,” Jawab Titan pendek.
“Sialan
ni anak. Udah bikin orang bangun pagi, sekarang masih mau ngeracunin pake bau
badan.”
“Kamu
mandi aja La, sama Dewi. Lagian juga aku anti air, jadi nggak bisa mandi,”
Titan membela diri.
“Gue
juga nggak mandi kalo gitu,” ujar Stella.
Gubrakk.
“Aku
juga nggak mandi deh, dingin banget,” Dewi ikutan.
Alhasil,
ketiganya tidak mandi. Stella dan Dewi memutuskan untuk mandi di kamar mandi
umum di jalan kalau sudah pulang dari pantai. Sedangkan Titan, tetap berencana
tidak mandi sampai ia pulang ke kosan, dari hari-hari sebelumnya memang sudah
diniati mandi sehari sekali pas sorenya, karena paginya sudah kena air pantai,
jadi itungannya pagi udah mandi.
Udara
pagi yang dingin tajam menusuk kulit, namun sama sekali tak menyurutkan hasrat
mereka untuk menikmati pantai. Terlebih hari ini adalah hari spesial untuk
Dewi, ia sedang berulang tahun. Ia tidak ingin ada keisengan ataupun acara
ngerjain-ngerjain nggak penting di hari ulang tahunnya, ia hanya ingin hari
ulang tahun yang sederhana, menikmati pantai bersama teman-temannya.
Meski
Dewi yang berulang tahun, hari ini Titan yang punya semangat paling tinggi,
karena pagi ini, tidak ada pagi yang sederhana lagi. Kali ini ia akan menikmati
pagi di pantai yang biru, bukan lagi dari balik jendelanya.
“Sumringah
banget yang punya pagi,” sindir Dewi.
Titan
tersenyum simpul.
Angin
pantai berhembus sejuk menerpa wajah pagi yang masih kaku. Belum ada
tanda-tanda matahari terbit, karena mereka sampai pukul lima pagi. Matahari
memang tidak akan tampak ketika pagi, ia hanya akan kelihatan jika sudah
menginjak pukul delapan. Namun, langit pagi di pantai sungguh indah dengan
beberapa bintang yang menggantung pada langit yang hampir menguning.
“Lihat
deh, guratan airnya bagus ya?” ujar Titan sambil menunjuk laut dengan ombak
kecilnya yang bergilir.
Stella
dan Dewi pun mengangguk setuju. Pantai masih tampak remang, namun ketenangan
inilah yang memang mereka cari, seolah pantai ini hanya milik mereka bertiga.
Dewi
memejamkan matanya, merasakan harmonisasi alam dan pagi yang bersamanya ketika
itu. Dalam hati ia berkata, terima kasih
Tuhan. Ia membentangkan tangannya merasakan angin yang semakin lama semakin
kencang, perlahan ombak-ombak kecil menyapa kakinya. Dewi menganggap alam yang
masih ramah itu adalah kado dari Tuhan yang menunjukkan bahwa Tuhan masih
sayang dan memperhatikan umatnya.
Tiba-tiba
dari belakang, Dewi dikagetkan oleh Titan dan Stella.
“Happy birthday to you...happy birthday to you...happy
birthday... happy birthday... happy birthday...Dewi...” Titan dan Dewi
menyanyikan lagu itu bersama-sama sambil membawakan pizza yang di beri lilin
ulang tahun.
“Owh..God!”
teriak Dewi kaget. Ia tak menyangka kalau ia akan mendapatkan kejutan seperti
itu.
“Ini
pizza?” Tanya Dewi heran sama apa yang dilihatnya. “Sumpah, kalian temen yang
aneh!”
“Ah,
berisik lo. Buruan make a wish!”
Dewi
pun langsung mengucapkan doa. Menurut malaikat tangan kanan yang denger doanya
Dewi sih, doanya kayak gini.
Tuhan, terima kasih sudah menganugerahi
segala kebaikan dalam hidup hamba. Terima kasih sudah menganugerahi teman-teman
yang baik seperti mereka. Terima kasih untuk cinta yang pernah aku rasakan,
meski tak bisa ku miliki. Terima kasih atas hadirnya orang-orang yang selalu
ada untuk hamba. Terima kasih Tuhan.
Kemudian
Dewi meniup lilinnya. Stella dan Titan pun bergantian memeluk Dewi dan
memberikan ucapan selamat.
“Lo
berdoa apa tadi?” tanya Titan iseng.
“Aku
berdoa semoga kamu jadi rajin mandi, biar kamu jomblonya nggak kelamaan.”
“Wuah,
kayaknya susah buat dikabulkan deh itu doanya,” Stella menyela.
“Hish!”
Titan manyun-manyun lalu menyirati air ke Stella. Stella yang tidak mau kalah,
menyerahkan pizza’nya ke Dewi lalu balas dendam ke Titan. Jadilah, mereka
berdua perang-perangan seperti anak kecil. Dewi, selaku makhluk yang paling
dewasa di antara mereka pun lebih memilih untuk menjadi penonton yang bijak
sambil menikmati pizzanya.
Dewi
duduk bersantai, menyandarkan dirinya ke pohon kelapa yang tumbuh di tepi
pantai. Banyak pohon yang memagari pantai ini, hingga tepiannya tampak teduh.
Pengunjung pun makin lama makin ramai. Akhir pekan selalu seperti ini, penuh
dengan orang-orang yang berebut mencari kesejukan.
“Selamat
ulang tahun ya, Dew,” ujar seseorang dari belakang.
Dewi
terkejut sekali dengan suara yang didengarnya. Suara yang pernah lekat dengan
hatinya.
“Adam?
Kamu kok di sini?”
Adam
hanya tersenyum. Matanya memandang sosok perempuan yang masih asik main air
yang berjarak agak jauh darinya.
Dewi
menatap mata Adam dalam-dalam, ia mulai mengerti sesuatu. Mata Adam yang dingin
selalu berubah mendadak kalem ketika melihat sosok itu.
“Maaf
ya, Dew. Maaf kalau aku menyakiti kamu seperti ini. Tapi dia, entah mengapa dia
begitu berbeda.” Mata Adam masih menikmati sosok indah di hadapannya.
Dewi
hanya diam. Dewi sendiri heran, selama ini ia tak pernah berhasil membuat Adam
seperti itu. Namun, gadis itu, dia yang hanya diam dan tak melakukan apa-apa
justru bisa meluluhkan hati Adam. Ia ingat, Adam pernah mengatakan kalau
hatinya hanya muat untuk satu orang, dan itu bukan Dewi. Gadis beruntung itu
adalah Titan. Memang sangat perih rasanya, terlebih sosok yang amat dicintai
Adam adalah sahabatnya sendiri.
Dewi
jadi teringat ketika mereka pergi ke air terjun Banyunibo. Waktu Dewi tak
sengaja menekan tombol yang memperlihatkan semua koleksi foto yang ada di
kamera Adam. Yang paling banyak adalah foto Titan, foto yang diambil secara
diam-diam. Juga ketika Adam dibawa ke rumah sakit, Dewi menegaskan semuanya dan
Adam mengiyakan. Jadi semua prasangka Dewi benar adanya. Itulah alasan mengapa
Adam meminta maaf kala di rumah sakit itu – juga sekarang.
“Dia
selalu suka pagi. Dia suka menikmati pagi dari balik jendelanya,” ujar Dewi
pelan. Tanpa sadar matanya memerah. Sesungguhnya sangat sakit ketika ia harus
membahas orang lain ketika bersama orang yang disayanginya.
Selama
ini Dewi tidak mengiyakan ketika ia dijodohkan dengan seorang dokter karena
hatinya masih ditinggali satu nama, Adam. Seperti Adam yang hatinya hanya muat
untuk satu orang, Dewi pun belum mengijinkan orang lain untuk menempati
hatinya. Selama ini ia hanya menyimpan perasaan itu sendiri, terlebih dari
Titan.
“Dia
selalu punya senyum yang tulus,” Adam menambahkan.
Mereka
saling diam.
“Sejak
kapan, Dam?” tanya Dewi.
Adam
melihat Dewi sejenak. Ia melihat mata yang begitu tulus, namun tetap saja ia
tak bisa membalas perasaan tulus Dewi. Ia tak sanggup mengingkari dirinya
sendiri yang amat mencintai Titan.
“Mmh??
Dia? Rasanya sejak pandangan pertama. Sejak pertama ketemu di OSPEK,“ Adam
menjelaskan. “Tapi rasanya dia tidak menyadari, lagipula dia punya daya ingat
yang buruk.” Adam tertawa kecil.
Dewi
sebenarnya tahu, kalau diam-diam Adam sering memperhatikan Titan, bahkan
sebelum Titan dekat dengan Bagas. Dewi yakin, Adam pun menyimpan hal ini dari
Bagas karena tidak ingin merusak hubungan mereka.
Melihat
Adam yang hanya diam meski menyukai Titan, Dewi jadi penasaran terhadap Adam.
Dewi diam-diam memperhatikan Adam. Perlahan, ia justru jatuh hati karena
kebiasaan memperhatikannya itu. Sayangnya, hati Adam tak mudah berubah, meski
ia sudah membiarkan dirinya untuk belajar mencintai Dewi.
“Kenapa
ya, aku bisa suka sama orang yang nggak suka mandi kayak Titan?” Adam ngomong
sendiri.
Dewi
pun jadi terkekeh sendiri. Jika dibandingkan dengan dirinya, jelas Dewi lebih
rajin mandi ketimbang Titan.
“Kamu
harus bilang sama dia, biar dia tau. Seenggaknya dengan itu aku jadi lega.”
Dalam
hati, Adam mengutuki dirinya sendiri yang telah jahat menyakiti perempuan
sebaik Dewi.
“Aku
bakal seneng kalau kalian bisa jadian. Aku sayang sama kalian berdua,” ujar
Dewi lagi.
Adam
terdiam. Tidak tahu harus mengatakan apa. Adam mengenggam tangan Dewi, berharap
suasana hati Dewi akan menjadi lebih baik karena itu.
“Kamu
nggak perlu jaga perasaan aku. Aku udah dijodohin kok. Jangan kawatir, dia
lebih tampan dari kamu,” ujar Dewi diikuti tawa kecil. Namun jauh di dalam
matanya ada kesedihan yang tak terkatakan.
Adam
hanya diam. Memaku.
“Bulan
depan aku mau cuti, aku dapat tugas pelatihan diving ke luar Jawa. Kamu bisa
tolong jagain Titan buat aku, Dew?” tanya Adam.
“Hah?”
Dewi speechless. Ia memalingkan mukanya dari Adam. “Nggak mau. Kalau mau dia
baik-baik aja, jaga sendiri. Kan kamu yang harusnya jaga dia! Kan kamu yang
punya perasaan sama dia!Selama ini aku udah jaga dia. Kamu pikir aku ngelakuin
itu buat siapa?”
Adam
makin terdiam.
“Kamu
yang seharusnya jaga Titan buat aku Dam, dia sahabat aku. Aku belum pernah
ngerasain damainya persahabatan hingga aku ketemu sama mereka.”
Dewi
tak kuat menahan hatinya. Ia melambaikan tangannya ke arah Titan dan Stella,
mereka berdua pun berhenti main air dan kembali menghampiri Dewi.
Dengan
wajah terkejut Titan menyapa sosok tidak asing yang ada di hadapannya.
“Adam?
Kamu di sini juga? Sejak kapan?” tanya Titan heran.
“Baru
kok.”
Dewi
tak sanggup berlama-lama di tempat itu karena ada Adam, jadi ia segera memotong
pembicaraan untuk pergi menjauh sejenak.
“La, nyari es kelapa muda yuk? Haus nih. Pizza
lo asin tau nggak,” ujar Dewi sambil menggandeng Stella pergi.
“Asin?”
ujar Stella heran. Selama ini Dewi nggak pernah protes sama pizza full cheese
yang sudah dicap sebagai makanan favoritnya.
Stella
jadi penasaran sama sikap Dewi yang mendadak aneh. Raut muka Dewi juga tidak
secerah sebelumnya. Dewi juga hanya diam. Tak tahan melihat sahabatnya gelisah,
Stella memberanikan diri bertanya pada Dewi.
“Dewi,
jangan simpan masalah kamu sendiri. Kamu kenapa?”
Dewi
hanya diam. Ia langsung merangkul Stella dan menangis.
Stella
pun menepuk lembut bahu Dewi. Setelah keadaan membaik, Dewi baru menceritakan
semuanya kepada Stella. Mendengar cerita Dewi, Stella hanya diam bergeming.
“Kamu
bisa, Dew. Orang yang kamu temui saat ini tidak akan menjadi satu-satunya orang
dalam hidup kamu,” ujar Stella.
Dewi
terdiam. Ia teringat, ia dulu pernah mengatakan hal yang sama terhadap Titan.
Dan kini, ia mendapatkan kata-katanya kembali.
Jadi, begini cara Tuhan bekerja, menguji
validitas prinsip yang telah dibangun manusia untuk dirinya sendiri, ujar Dewi
dalam hati. Ia tertawa kecil menertawai dirinya sendiri. Kini ia menemukan satu
alasan mengapa ia tidak boleh bersedih lagi, karena ia sedang diuji dengan
prinsipnya sendiri – dan ia tahu pasti bahwa Tuhan ingin dia lolos.
“Makasih
ya La. Kalian itu udah kayak saudara buat aku. Adanya kalian aja udah cukup.”
Stella
tersenyum simpul. Dipeluknya tubuh Dewi yang tinggi kurus.
“Move on ya Dew. Aku sama Titan juga
sayang banget sama kamu, Dew...”
***
Deburan
ombak makin keras terdengar. Angin pantai berhembus makin kencang. Hamparan
laut makin terlihat biru. Pagi yang sempurna sudah lewat seiring datangnya
cahaya matahari yang makin menguning. Pagi memang selalu lekat dengan cahaya.
Seperti hati Adam yang diam-diam tak bisa lepas dari Titan.
Adam
dan Titan masih saling berdiam diri sejak lima belas menit yang lalu. Dewi
sepertinya sengaja memberikan ruang untuk mereka berdua.
“Pagi
yang sama...seperti kemarin,” ujar Adam.
“Nggak
ada pagi yang sama, Dam,” Titan protes.
Dalam
hati Adam, sebenarnya ia sependapat dengan Titan, tidak ada satu hal apapun
yang sama di dunia ini, termasuk pagi.
“Kamu
apa kabar?” tanya Adam lagi.
“Ya
ampun Adam, kita kan ketemu di kampus tiap hari,” Titan heran sekali dengan
pertanyaan Adam yang terdengar aneh di telinganya.
“Jadi,
kamu tahu kalau aku teman sekelas kamu?” tanya Adam lagi.
Titan
tertawa terpingkal-pingkal. Jika Adam bermaksud menyindirnya, ia telah
berhasil.
“Jangan
salah ya...aku mulai mengenal kalian semua sejak semester empat,” Titan membela
diri, meski ia tahu kalau hal itu bukanlah sesuatu yang bisa dibanggakan.
“Mmmh...”
Adam berujar pelan.
Hati
Adam pelan mengatakan, gue pasti bakal
kangen banget sama lo, Tan.
Adam
mencoba mengumpulkan keberanian di hatinya untuk mengungkapkan perasaan yang
selama ini dipendamnya. Jantungnya berdegup makin kencang. Entah mengapa ia
merasa gugup. Adam memang tak pandai berbicara pada wanita.
“Tan...”
“Iya?”
Titan menoleh.
“Emmh..akuuu...”
“Hah?”
Titan mengernyitkan dahinya, heran.
“Emh..Aku
hanya mau bilang makasih...”
“Hahh?”
Titan makin heran melihat tingkah Adam yang aneh. “Makasih?”
“Makasih
kamu udah dateng,” ujar Adam pelan. Matanya menatap dalam ke dalam dua bola
mata Titan seolah ingin mengatakan perasaannya yang lebih dalam dari itu.
Namun, mulutnya serasa terkunci.
Titan
terdiam, entah mengapa ketika melihat mata Adam, hatinya jadi merinding. Ia tak
mampu mengatakan apa-apa.
“Ah,
lupakan...” Adam tiba-tiba berpaling.
“Hahh??”
Titan kembali bengong setengah mati. Ini
anak aneh banget, pikirnya. Namun, hatinya tak mengingkari kalau ia sempat merinding
ketika menatap mata Adam.
“Aku
pulang dulu ya, salam buat Dewi dan Bella,” ujar Adam buru-buru lalu pergi
meninggalkan Titan.
Titan
makin bengong. Beneran Adam aneh banget,
pikirnya lagi. Titan bahkan belum sempat memberitahukan kalau nama sahabatnya
sebenarnya adalah Stella bukan Bella.
Tak
lama kemudian Dewi dan Stella datang.
“Loh,
Adam mana?” tanya Dewi.
“Pergi.
Nggak tahu tu anak aneh banget dari tadi,” jawab Titan.
“Aneh
gimana?” Stella gantian nanya.
“Iya
aneh.” Titan aja sampai bingung jawabnya gimana. “Dia itu ngomongnya
sepatah-sepatah, nggak jelas. Kayak mau ngomong apa gitu, tapi nggak jadi,
terus pergi aja gitu. Ah, nggak tau deh, selama ini juga aku liat dia pendiem
banget.”
Dewi
menghela nafas melihat tingkah Titan yang polos banget. Dewi yakin sekali kalau
Adam pasti belum mengatakannya.
“Ya
udah balik yuk, kita udah lama banget di sini,” ujar Stella memotong. Stella
sendiri tidak tahu harus berbuat apa, Titan dan Dewi sama-sama sahabatnya.
“Pulang?
Ini kan baru jam sepuluh La?”
“Aku
ada urusan mendadak di kampus,” jawab Stella asal.
“Lah,
ini kan hari Minggu? Kampus juga libur.”
Jadi
ketahuan deh bohongnya.
“Aku
mau ajak Andien liat-liat kampus, biar dia tahu kampusnya nanti kayak apa,”
jawab Stella lagi.
“Hah?”
Titan heran sama Stella yang nggak masuk akal.
Stella
lupa, Andien kan masih kelas satu SMP, jadi kuliahnya juga masih lama banget.
“Ya
udah kita pulang.”
Melihat
Stella yang dari tadi keukeuh banget, Titan akhirnya mengalah. Ia tak menyadari
sedikitpun mengapa semua temannya tiba-tiba bersikap aneh.
***
Sumber gambar https://plus.google.com/102580920245111807664/posts
0 komentar:
Posting Komentar