Nasib Teman Sedarah




Di masa-masa modern seperti ini, orang-orang mulai menunjukkan bahwa dirinya berbeda dari orang lain. Sekarang, orang anti banget sama stempel “like others”. Di antara banyaknya orang yang berlomba-lomba menjadi “beda” itu, gue menemukan gejala serupa yang mulai nampak pada temen kos gue, sebut aja “Memey”. Di dalam penampilannya yang lugu dan susah kebawa arus, ternyata dia punya kebiasaan-kebiasaan yang menurut gue under normal – seolah dia memang punya standar kelakuan normal untuk dirinya sendiri.
Di balik mukanya yang imut, dia selalu melakukan rutinitas yang gue nggak ngerti maksudnya apaan dan kenapa dia ngelakuin itu. Setiap pulang kuliah, sebelum masuk ke kamarnya sendiri dia selalu masuk ke kamar gue dan bilang, “Sotooooong!!”. Gue nggak paham nama sotong itu lahir dari mana, tiba-tiba dia manggil gue “sotong” aja gitu.
Hal aneh lain adalah dia selalu “da daah” – yang harusnya pakai tangan – pakai kaki sambil nunjukin muka imutnya. Nggak cuma itu, sehabis bangun tidur, dia sering masuk ke kamar gue nggak pake ba bi bu, lalu dengan muka tanpa dosa tidur di kasur gue yang mungil imut.
“Kalo kamu emang cuma mau tidur, kenapa harus pakai pindah tempat segala??! Makan waktu, makan tenaga! Kan lebih efisien kalau kamu tetep tidur manis di kamar kamu sendiri kak bro!!”
“Berisik! Jangan ganggu aku!!” balasnya.
“Eh??” *Ini yang punya kamar siapa??
Biarpun gue udah makan ikan salmon sampe buyut-buyutnya juga, otak gue tetep nggak bisa nangkep maksud dia apaan. Tapi, meski tahu reaksi gue yang segitu o’onnya karena emang nggak paham sama sikapnya, dia cuek aja, anteng, dan tidur dengan tenangnya. Setelah beberapa puluh menit kemudian, dia tau-tau bangun, lalu pindah ke kamarnya lagi dan tidur. What the??
“Terus tadi kamu pindah ke kamarku itu maksudnya apaaan??!!” *ngunyah mur baut 7 kilo
Gue nggak digubris dan dia balik tidur dengan pulasnya sementara hidung gue masih kembang kempis gara-gara menahan marah. Suweeer keweer keweer ya, ini makhluk absurd banget. Rasanya pengen banget naburin garam di depan pintu kamar gue, biar dia nggak bisa masuk.
Kejadian seperti itu tidak hanya terjadi sekali dua kali, tapi hampir setiap hari dan meski dia sering banget denger gue teriak-teriak karena hal itu, dia nggak kapok untuk mengulangi kebiasaannya di hari esok, hari esoknya lagi, hari esok dan esoknya lagi, dan seterusnya sampai Spiderman jadi anggota boyband. Sampai saat ini pun, gue masih nggak ngerti motivasinya pindah-pindah ke kamar gue apaan?
Suatu hari ketika gue lagi ngobrol sama dia, gue iseng-iseng nanya, “Golongan darah kamu apa?”
“A, kenapa?” jawabnya.
“Serius loh!! Enggak, kamu pasti AB!!” gue nggak bisa menerima kenyataan kalau ternyata golongan darahnya sama kayak gue. Tuhan, aku bisa gila.
Secara ya dia selalu punya dunianya sendiri yang orang lain nggak ngerti, dia bahkan bisa tidur meski ada bencana alam melanda, itu kan dia banget, sedang golongan darah A adalah sosok yang perfectionist, serius, dan nggak aneh-aneh. Lalu bisa-bisanya dia...?
“Lha emang kenapa sih? Temenku juga banyak yang nggak percaya,” jawabnya santai. Gue nggak ngerti lagi deh, dia itu sebenarnya nggak terima atau justru mengakui.
Tu kan bener dugaan gue. Pasti yang meriksa lagi ambeien nih, jadi nggak konsen meriksa trus hasil tesnya ketuker. Atau kemungkinan terburuk, dia memang punya golongan darah A *Owwh, nooo!!
Gue pernah baca kalau orang dengan golongan darah A itu cenderung bergaul dengan orang yang sama, setipe, sejalan, sejalur, sepemahaman, dan senonoh, eh? Jujur, gue benci banget pernyataan itu, jangan-jangan selama ini dia gentayangan nggak jelas di kamar gue gara-gara dia mendeteksi keberadaan golongan darah A di diri gue. *tidaaaak!!
Setelah mengetahui golongan darahnya A, gue makin susah menerima kenyataan tiap dia melahirkan tingkah aneh baru. Seperti ketika dia ngajakin gue joging.
“Besok joging yuk Yas.”
“Ayooook!!” jawab gue bersemangat. Gue yakin banget kalau joging adalah obat yang ampuh ngatasin jerawat – nggak ada yang tau teorinya dari mana, gue hanya yakin kalau itu bener. Jadi, tiap ada yang ngajakin joging, gue langsung sigap nyiapin celana training.
“Mau jam berapa?”
“Jam enam aja gimana? Kamu bangun pagi loh, jangan kesiangan!” gue memberikan rambu-rambu ke dia biar nggak molor seperti biasanya.
“Besok kamu bangunin aku ya kalau kesiangan,” ujarnya manja sambil elus-elus pintu.
“Iya, tapi pintu kamar kamu jangan dikunci ya, jadi biar aku bisa masuk buat bangunin kamu. Abis kamu kalau dibangunin dari luar nggak ngefek.” *menahan diri untuk nggak ngelemparin skrup ke dia
“Aku nggak suka kalau pintu kamarku nggak terkunci.”
“Errr ....Ya udah, pintunya dikunci nggak apa-apa, tapi besok kalau aku teriak-teriak kamu bangun yak?” *pasang kuda-kuda sambil milih ukuran skrup yang paling besar
Misscall aja! Misscall aja!” pintanya genit.
“Ya udah, besok aku misscall deh.” *remes-remes skrup biar licin
“Oke deh, tapi kalau aku bisa bangun yak.”
Pletaaaakkk!! Twiiiiiiiiiiiiing!! Cethaaaakkk!! *skrupnya sukses kena jidat
Kan yang ngajakin joging eluuuu!!! Kenapa gue yang susah?? Gue sama sekali nggak bisa nangkep maksud dari sikapnya barusan apaan.
Semakin hari, kelakuan random dia makin beragam, mau nggak mau gue harus menyiapkan mental lebih tangguh untuk menghadapi hal-hal nggak masuk akal yang datang dari dia. Gue jadi berpikir, sebenarnya dia itu sedang mencoba menjadi berbeda atau emang dari sononya udah kayak gitu. *balik badan, jeduk-jedukin kepala ke tembok
Ada yang bilang, bahwa sesuatu yang keluar dari diri kita akan kembali ke diri kita sendiri, entah itu baik atau buruk. Gue rasa itu bener. Entah sejak kapan, dia juga mengalami hal-hal yang nggak biasa. Setelah dia berhasil bikin gue gemes sama tingkahnya, tampaknya secara nggak sengaja gue juga udah berhasil bikin dia gemes karena tingkah gue.
Suatu hari, ketika matanya sedang sakit, ia minta obat tetes mata ke gue. Takut sakit matanya makin parah, gue langsung kasih tunjuk kotak P3K gue yang ada di rak kosmetik. Dia pun langsung sigap mengambil obat lalu meneteskan ke matanya.
“Makasih ya Yas,” katanya.
“Yo’i, cepet sembuh kak bro.”
Sepuluh menit kemudian.
“Periiihhhh! Periiiiihhh!! Aduh, mata gue merah!!” teriaknya.
“Lha kan mata kamu emang lagi sakit. Mau diperiksain ke dokter apa?” tanya gue.
Dia cuma berdecak lalu balik lagi ke kamarnya. Melihat dia tampaknya baik-baik saja, gue juga nggak gimana-gimana lagi. Beberapa saat kemudian, dia tau-tau udah nempel di pinggiran pintu kamar gue. Spontan gue kaget, ini anak emang susah muncul dengan cara yang biasa aja.
“Kamu tu bikin kaget tau nggak!!”
Dia cuek, tetep nempel di pinggiran pintu sambil otak-atik kosmetik gue. Udah terbiasa dengan tingkah anehnya, gue balik fokus ke rutinitas dan berusaha untuk tidak terkecoh.
“Yas ....” ujarnya pelan.
Gue diem. Gue udah janji sama diri gue sendiri untuk tidak terlibat dalam komunikasi yang tidak penting seperti sebelum-sebelumnya.
“Yas ...?” ujarnya lagi.
“Hmm?” *mencoba untuk tetap cuek
“Tolong liatin tanggal ini dong, ini mataku yang salah atau gimana?” ujarnya sambil ngasih gue obat tetes mata yang tadi gue tawarin ke dia.
“Hah?” gue jadi kawatir jangan-jangan ini anak sakit parah beneran sampai nggak bisa baca.
“Ini 23 Januari 2012 bukan sih?” tanyanya.
Gue langsung ambil obat tetes yang dibawanya lalu membaca tanggal dibaliknya.
“Iya, bener nih 23 Januari.”
“Sekarang tanggal berapa?”
HEPP!! Sekarang kan tanggal 4 April 2012. Mampus gue. Jadi obat itu ... udah ... kadaluarsa ... huaaaa!! Ternyata gue udah bikin sakitnya tambah parah. Gue langsung sungkem sama dia. Tapi serius, kejahatan ini benar-benar tidak disengajakan.
Layaknya peribahasa mati satu tumbuh seribu, tumbuh juga kejahatan gue yang lainnya. Peristiwa ini terjadi ketika kami makan di kantin Perpustakaan – jadi kalau mahasiswa lain ke perpus buat minjem buku, kami ke sana buat makan.
Seperti perempuan pada umumnya, kami duduk berhadapan – biar enak ngobrolnya, menunggu pesanan datang, dan ngomongin banyak hal yang terlintas di otak kami.
 Tak lama kemudian, seseorang duduk di bangku sebelah, membelakangi temen gue. Gue langsung terpana sama tasnya orang itu yang masih terbuka. Spontan gue kasih kode ke Memey buat memberitahukan hal itu, karena dia berada lebih dekat dengannya.
“Cewek atau cowok nih?” tanya Memey. Karena posisi mereka adu punggung, jadi temen gue nggak bisa lihat dia laki-laki atau perempuan. Dia juga nggak “ngeh” sama kedatangan orang itu, jadi nggak sempat merhatiin. Belum lagi kalau dilihat dari belakang juga susah untuk diidentifikasi, rambutnya sebahu, diurai, jadi nggak begitu kelihatan dia laki-laki atau perempuan. Gue langsung cingak-cinguk untuk memastikan jenis kelaminnya.
“Cewek kok,” ujar gue mantep.
“Bener?”
“Iya, tadi aku lihat kok waktu dia nengok ke samping,” ujar gue lirih.
Memey langsung balik badan menjalankan misi.
“Mbak, maaf, tasnya kebuka,” ujar Memey sambil nepuk pundak orang tersebut.
Tapi nggak ada respon.
“Mbak, tasnya kebuka, takutnya ada barang penting di situ,” ujar Memey lagi.
Masih nggak ada respon. Gue sama temen jadi bingung. Ada apa dengan orang itu, misterius banget, jadi kayak Limbad versi kampus.
“Ya udah deh biarin,” bisik gue.
Kami kembali melanjutkan makan siang siang kami. Lima menit kemudian, orang itu meninggalkan meja makannya dan pergi ke kasir. Gue sama Memey yang merasa heran dengan orang itu pun memperhatikan dengan saksama pergerakannya ketika meninggalkan kantin.
Seettt, orang itu pergi meninggalkan kasir dan menuju ke arah kami. Mata gue dan Memey terpaku. Pandangan kami fokus pada bulu-bulu yang mengakar di bawah hidungnya.
GYAAAA!! Cowoooookk!
Ternyata oh ternyata si mister Limbadh laki tulen booo. Gue jadi berdosa sama Memey, hohohoo.
“Hhahahaa, ampun bukkk!!” perasaan tadi yang gue lihat cewek kok sekarang jadi ganteng, berkumis, dan berjenggot gini, gue nggak ngerti. Sementara itu Memey udah ngelihatin gue dari tadi sambil bawa sumpit yang siap digetokin di kepala gue.
Jadi, biarpun gue selalu berhasil dibuat gemes sama tingkah aneh-anehnya, diem-diem secara nggak sengaja gue juga udah jahat banget sama dia, hahaha. Kayaknya emang bener kalau orang dengan golongan darah A cenderung bergaul dengan orang-orang yang setipe dengan mereka.
Gue mulai mengerti kalau gue dan Memey sama-sama bakat buat nggak sengaja bikin gemes orang. Gue jadi mulai membuka hati untuk menerima kenyataan kalau gue sama dia “sedarah”. Gue juga mulai mengerti kalau dia sama sekali tidak berusaha untuk menjadi berbeda – dia hanya berbeda dengan sendirinya. Satu lagi, dia adalah salah satu sohib terbaik gue.
***
Sumber gambar http://www.kusuka.com/2014/09/12/kenalan-sama-golongan-darah-o-yuk-guys/




0 komentar:

Posting Komentar

Nasib Teman Sedarah