SUNSHINE STORY (Chapter 7)




Buku-buku linguistik terbitan tahun 90-an itu masih terpajang rapi di rak buku Titan yang terletak di sudut kamar. Titan memandanginya dari setengah jam yang lalu. Yang ada di pikirannya hanya satu, “Kenapa ia menyimpan buku akademik sebanyak itu? Kenapa harus beli buku asli, bukan fotokopi?” Maklum, mahasiswa sesat satu ini memang agak jauh dari yang namanya suka baca buku, terlebih buku akademik. Titan mengoleksi buku itu juga karena tuntutan mata kuliah yang ia ikuti. Titan sedang berada di antara perasaan bingung dan menyesal. Ia berpikir, mungkin ia akan punya cukup uang untuk liburan jika ia tidak membeli buku asli koleksinya yang lumayan mahal itu.
“Heh, bengong aja lo!” Dewi tiba-tiba nyelonong masuk kamar Titan.
Titan hanya berekspresi datar. Otak tercemarnya masih berpikir tentang liburan semester yang tampaknya akan menjadi suram baginya. Ia sungguh tidak akan sanggup kalau harus menjalani libur kuliah yang hampir tiga bulan hanya dengan hibernasi di rumah. Dan parahnya lagi harus dijalani tanpa Bagas yang sudah dibooking dengan kesibukan yang bertubi-tubi itu.
“Tan, aku pinjem kemeja putih kamu, dua!” ujar Dewi.
Mendengar pertanyaan Dewi, Titan tersentak dan sejenak mengabaikan kecemasan finansialnya.
“Eh, kamu nggak mau tanya aku ada kemeja putih atau enggak?” Titan melirik sinis.
“Iya, makanya kamu jangan bengong mulu. Kayaknya aku pernah lihat kamu pakai kemeja putih, itu punya kamu bukan? Aku pinjem.”
Titan nyengir. Norma kesantunan sepertinya sudah lama hilang dari kamus persahabatan mereka. Titan membuka almarinya, mencari kemeja putih di antara tumpukan bajunya yang warna-warni.
“Buat apa sih?” Titan sok penasaran.
“Buat training.”
“Training?” Titan menoleh kaget. “Training apaan? Emang kamu diterima kerja dimana? Kok bisa sih, kan masih kuliah?”
Dewi yang nggak tega melihat muka penasaran Titan, akhirnya jelasin juga.
“Jadi gini, belum lama kemaren aku dapet info dari Om aku, kalau di resto punya temennya lagi ada lowongan. Ya udah, aku ambil. Lagian juga pakainya ijazah SMA, lumayan kan ngisi waktu tiga bulan, itung-itung nambah pengalaman daripada nggak ada kerjaan.”
“Oh, kirain kerjaan beneran,” Titan mendesis datar.
“Lhoh, ini juga kerjaan beneran, Tan!” Dewi menegaskan. “Kan tujuannya buat belajar. Jadi bekerja itu nggak harus selalu enak dan gaji gede, toh aku belum ada pengalaman apa-apa.”
Titan diem, hatinya sedikit tergores, karena Dewi bisa dewasa banget sedang dia enggak. Titan ingin juga seperti itu, tapi bingung juga mau mulai darimana.
“Terus les-lesan kamu gimana?”
“Oh, itu aku udah digantiin sama temen. Lagian nanti juga aku masih ngajar kok. Kemarin temen di Surabaya nawarin buat ngajar anak-anak jalanan yang ada di sana, jadi guru sukarelawan gitu. Ini nanti kalau udah kerja di sana ya aku sekalian ngajar juga. Sambil menyelam minum air.” Dewi tersenyum. Ia terlihat mantap sekali dengan rencananya itu.
 “Kamu mau kerja di Surabaya?”
“Iya. Lumayan kan dapet suasana baru.”
Titan speechless. Dewi keren banget, pikirnya dalam hati. Dewi yang masih muda sudah mampu handle kerjaan ini itu dan tanggung jawab sama hidupnya sendiri.
Titan diam, lalu tiba-tiba saja pikirannya kembali pada masalah finansialnya. Sekejap otak Titan bekerja dan memberikan ide.
 “Aku ikut kamu dong, Dew. Lowongannya masih ada nggak?”
“Yang di resto ini? Udah tutup Tan,” ujar Dewi.
Titan menunduk lesu, karena pundi-pundi penghasilannya gagal terbentuk.
“Tapi kalau mau ikut ngajar bisa banget,” lanjut Dewi bersemangat. “Sekali-kali mengabdi kan nggak apa-apa. Toh, kamu dapat pahala juga dari Tuhan, jadi kan sama aja nggak jadi tenaga gratisan.”
Titan terdiam makin dalam. Iya juga, jadi mahasiswa biasa itu ngebosenin juga, kerjaannya kuliah, nongkrong, ngerumpi di kosan. Biarpun Titan males, di hatinya yang paling dalam, sebenarnya ia punya nurani yang bisa bicara juga. Katanya mahasiswa, tapi kalau nggak punya kontribusi lebih sama aja kayak siswa biasa dan nggak pantes menyandang gelar “maha”, kata-kata itu sempat terbesit dalam benak Titan. Wajahnya tiba-tiba saja menggalau seperti orang yang baru saja mengalami pergolakan batin yang kuat.
“Aku ikut deh, tapi aku nggak ada duit buat hidup di sana,” ujar Titan namun agak ragu.
“Serius?? Kalau masalah itu sih kamu bisa tenang Tan, program ini udah kerjasama sama yayasan apa gitu, aku lupa. Jadi kamu bakal dapat uang makan dan biaya operasional ntar.”
“Lhoh, katanya sukarelawan?” Titan senang mendengarnya tapi ia agak bingung.
“Iya, kan ini fasilitas, jangan disamain sama honor,” Dewi menjelaskan.
Sekejap wajah Titan yang galau pun berubah jadi bahagia. Nurani emang nggak pernah salah, batinnya.
“Daftarnya gimana Dew?”
“Seleksinya pakai IPK kok. Kamu masih 3,8 kan?”
Titan langsung senyum-senyum imut, hatinya lega sekali, karena kalau harus melewati tes mengajar, Titan tidak yakin akan mampu. Untungnya otak Titan lumayan encer, meski rada-rada males kuliah dan males mandi, IPK-nya nggak ikutan males-malesan.
“Stella gimana?” tanya Titan.
“Dia mah udah jelas bantuin nyokapnya di butik. Secara butiknya udah kayak jamur, dimana-mana ada.”
“Eh, hellllooooow...!!! Aku seperti mendengar ada sesuatu yang menyebut-nyebut namakuuu...” Tiba-tiba Stella berteriak dari dalam kamarnya.
Jelas saja Stella mendengar obrolan mereka, kamar Stella kan tepat di depan kamar Titan yang jadi TKP tindak kriminal ngerumpi barusan. Stella ikutan nimbrung ke kamar Titan.
“Iya, Tan, ikut aja. Kan lumayan tuh, itung-itung belajar jadi orang.” Stella ikutan membujuk Titan.
Titan yang tadinya ragu pun mendadak jadi yakin banget, melihat kedua sahabatnya pada positif, ia ketularan positif juga. Lagian juga Titan nggak mungkin menghabiskan liburan bersama Bagas, kan dia sibuk. Jadi Titan memilih menyibukkan diri juga, agar pikirannya tidak lari ke Bagas terus, agar ada hal hal lain yang mengisi pikirannya selain Bagas.
***

Titan tidak menyangka sebelumya kalau ia akan menjadi guru. Ia mulai membaca kembali buku-buku koleksinya untuk kembali mengasah otak. Ia juga menyiapkan buku-buku bahasa Inggris dan bahasa Indonesia untuk bekal mengajar nanti. Sekejap, ia tidak jadi menyesal karena telah membeli buku-buku yang telah memenuhi almari bukunya. Meski saat itu buku linguistik murni tidak ia gunakan, ia yakin pasti buku itu akan tetap bermanfaat nantinya.
Memasuki minggu kedua liburannya, Titan dinyatakan lolos seleksi jadi guru relawan. Titan dan Dewi mulai sibuk dengan mempersiapkan diri untuk mulai mengajar. Titan yang memang tidak memiliki kesibukan lain selain mengajar anak-anak jalanan, sudah bertekad untuk mengisi waktu luangnya dengan nongkrong di pos pengajaran daripada nongkrong di kosan sendirian, karena Dewi pasti sibuk bekerja.
 “Aku deg deg’an.. Dew,” Titan berujar cemas.
“Ya ampun Tan, hari ini kan cuma perkenalan sama anak-anak.” Dewi yang memang sudah pengalaman ngajar pun tidak grogi sedikitpun.
Sebelumnya, Titan dan Dewi berkenalan dengan pengajar lain dan orang-orang yang ada di balik program tersebut. Selanjutnya, para pengajar muda yang sudah bergabung diperkenalkan kepada anak-anak. Tidak ada yang spesial, namun hati Titan sungguh tersentuh ketika melihat puluhan pasang mata yang mempunyai semangat belajar dalam keterbatasan mereka.
Hari pertama mengajar. Titan membiasakan dirinya mengajar di sebuah ruangan kecil yang hanya muat untuk lima belas orang termasuk dirinya. Ruang sederhana yang berisikan jam dinding dan papan tulis serta semangat belajar anak-anak rasanya sudah cukup sempurna bagi Titan mengajar. Setelah mengenalkan diri, Titan mencoba melakukan pendekatan terhadap anak didiknya.
“Coba sekarang gantian kakak yang denger suara kalian. Di sini ada nggak yang mau berbagi cerita sama kakak tentang cita-cita kalian?” tanya Titan.
“Aku kak, aku kak, akuuu...” ujar mereka bersahutan.
Melihat mereka sangat bersemangat, Titan langsung menunjuk mereka satu per satu.
“Aku mau jadi polisi Kak!”
“Aku polwan!!”
“Hakim Kak!”
“Presiden!!”
Titan senang sekali melihat muridnya semakin bersemangat, meski penuh dengan keterbatasan mereka masih tetap punya mimpi. Titan jadi terharu.
“Coba kamu yang cita-citanya pengen jadi presiden, masih ingat nggak presiden pertama kita siapa?”
“Emm..Bung Tarno Kak!!” jawabnya.
Serentak teman-temannya tertawa, “Itu Pak Tarno.”
Mendengar itu Titan jadi ikut tertawa. “Yang lain ada yang bisa bantu jawab?”
“Bung Karno Kak!”
“Yup, benar sekali. Wuah ternyata kalian pintar sekali ya. Coba deh, kakak pengen denger lagi apa cita-cita kalian? Kamu..” ujar Titan sambil menunjuk seorang siswa yang duduk di pojok.
“Aku ingin punya banyak pohon Kak,” ujarnya polos.
Titan terdiam, lalu ia tersenyum simpul.
“Adik kecil, siapa namanya?” tanya Titan.
“Shanny kak,” ujarnya polos.
Kalimat yang Shanny ucap barusan, biarpun sederhana tapi terasa menohok sekali di hati Titan. Di masa-masa seperti rasanya sudah jarang sekali orang yang mau memperhatikan lingkungan mereka. Pohon, air bersih, udara bersih, tak ada mempedulikan hal itu.
“Cita-cita yang mulia sekali, Shanny,” ujar Titan dengan kagum. “Jadi, benar ya adik-adik, kita semua butuh pohon, jadi kita harus menjaga mereka agar air dan udara kita tetap bersih.”
Tingkah laku polos anak-anak agaknya membuat Titan mulai menyukai kesibukan barunya, pertanyaan-pertanyaan yang kadang tidak ada hubungannya dengan pelajaran juga kadang dilontarkan oleh anak-anak itu. Tak jarang anak-anak pura-pura ijin ke kamar mandi ketika diberi pertanyaan yang agak susah. Anak-anak yang lugu, Titan selalu menyukai wajah mereka yang apa adanya, tanpa tipu.
Selanjutnya, Titan meminta seluruh anak didiknya membuat puisi untuk siapapun yang mereka kasihi. Titan mengarahkan mereka untuk berlatih mengungkapkan kasih sayang dengan puisi.
“Anggap puisi ini hati kalian. Tuangkan apapun yang kalian rasakan dalam barisan-barisan kalimat. Berilah puisi itu jiwa kalian,” begitu yang Titan katakan pada muridnya.
Lalu mereka dengan bersemangat menuliskan setiap hembusan perasaan yang melintasi hati mereka. Melihat semangat anak-anak yang sangat besar, Titan semakin tidak menyesal mengikuti program pengajaran ini. Biarpun ini hanya langkah kecil, setidaknya Titan sudah mencoba memenuhi kewajiban yang sudah diamanahkan dalam pembukaan Undang-Undang yang selama ini hanya kita hafalkan, “Mencerdaskan kehidupan bangsa”. Satu harapan yang selalu ia sematkan dalam hatinya, semoga wajah bangsa kita yang selama ini kita anggap sebagai Ibu tidak selalu seperti ini. Hanya memandang sepihak dari banyak kepentingan, sehingga generasi muda seperti mereka tak lagi diperhatikan. Indonesia membutuhkan lebih banyak jiwa yang mampu membangun.
Pikiran Titan jadi melayang sendiri. Entah apa yang merasukinya. Ia mencoba kembali fokus terhadap anak-anak.
Titan meminta beberapa siswa membacakan puisinya di depan kelas, lalu meminta siswa lain untuk menanggapi. Perlahan, anak-anak semakin aktif. Meski anak-anak banyak yang masih malu untuk berbicara di dalam kelas, Titan membujuk mereka untuk belajar berbicara di depan orang banyak. Anak-anak sangat nyaman dengan cara mengajar Titan yang luwes dan santai. Mereka jadi mudah akrab.
Di akhir pembelajaran, tak lupa Titan memberikan sedikit motivasi dan tebak-tebakan untuk mengasah otak anak-anak. Selain itu, anak-anak juga pasti membutuhkan sesuatu yang tidak biasa agar pertemuan kali itu tidak mudah dilupakan dan agar anak-anak tidak sabar untuk pembelajaran berikutnya.
“Adik-adik, ada yang pernah kelilipan?”
“Pernaaaaah,” teriak semua anak di dalam kelas.
“Kalian tahu ‘kelilipan’ itu kata dasarnya apa?”
“Hah?”
Anak-anak bengong. Mereka mengernyitkan dahinya dan saling berpandangan. Mereka saling menatap dengan penuh tanda tanya. Mereka saling berbisik pada teman-teman yang ada di sekitarnya untuk menanyakan jawaban. Namun nihil. Setelah agak lama, kelas menjadi sangat sunyi, mata mereka pada akhirnya menuju pada satu arah, yaitu Titan. Semua siswa menatap Titan dengan tatapan penasaran yang dalam.
“Apa, hayo?”
Anak-anak masih terdiam. Setelah agak lama, seorang anak memberanikan diri untuk bicara.
“Lilip Kak...”
Titan menggeleng.
“Lilipan?”
Titan menggeleng lagi.
Sekejap anak-anak tertawa keras sekali, karena kata itu terdengar asing dan lucu di telinga mereka. Titan pun tersenyum kecil.
“Bukan dik...Yang lain ada yang tahu?” tanya Titan lagi.
Anak-anak menggeleng. Titan kembali tersenyum, lalu ia menjelaskan dengan pelan.
“Kelilipan itu kata dasarnya ‘kelilip’. Kelilip itu artinya benda yang kecil sekali, seperti abu atau agas. Nah, kalau kelilipan itu artinya kemasukan kelilip.”
“Oohhh...”ujar anak-anak berbarengan sambil manggut-manggut.
Melihat ekspresi anak-anak yang polos, Titan terharu sekali. Ia seperti menemukan kesenangan tersendiri ketika mampu mengajarkan anak-anak untuk memahami hal-hal sederhana di sekitar mereka atau bahkan hal-hal kecil yang sering mereka alami.
Orang Indonesia memang seharusnya seperti ini, mengerti bahasanya sendiri, agar kelak mampu menjaga bahasa yang telah menjadi warisan budaya bangsa Indonesia. Agar bangsa yang besar ini tak lupa akan jati dirinya. Agar bangsa yang megah ini mampu menjaga harga dirinya. Titan membatin dalam hati.
“Adik-adik, kalau ada waktu luang, biasakanlah untuk membaca buku, agar pengetahuan kita menjadi luas. Juga biasakan untuk membaca kamus, agar perbendaharaan kata kalian makin banyak,” begitu pesan Titan di akhir pertemuannya.
“Siaaaaap Kak!!” teriak anak-anak bersamaan.
Pengalaman yang menarik di hari pertama Titan mengajar. Titan sendiri tidak sabar untuk bertemu anak-anak lagi. Ia juga tak sabar menceritakan apa yang ia alami hari itu kepada Bagas.
***
Titan mengambil ponselnya. Ia mecoba menghubungi Bagas. Ia tidak sabar mencurahkan segala perasaan yang ada di hatinya ketika itu. Ia menekan menu call pada nomor Bagas, namun tidak diangkat. Titan mencobanya berkali-kali, namun masih tetap sama. Perasaan gusar mulai menyelimuti hati Titan. Sebelumnya ia selalu membagi apapun dengan Bagas dan kali ini ia ingin Bagas merasakan juga kebahagiaan yang ia rasakan.
“Sibuk apa sih?” gerutu Titan.
Ia menatap ponselnya agak lama, wajahnya cemberut. Sudah tiga hari ini tidak ada kabar dari Bagas. Titan rindu, akhir-akhir ini memang dia disibukkan dengan persiapannya mengajar. Bagas? Rasanya dia lebih sibuk lagi. Hal itulah yang menyebabkan komunikasi di antara mereka sedikit terhambat.
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Titan duduk-duduk santai di kamar kosnya yang baru. Ia gelisah, namun ia harus istirahat. Ia harus mengajar pagi-pagi sekali besok. Matanya sudah terasa berat, tapi ada kerinduan yang mengganjal di hatinya hingga ia susah tidur. Ia merebahkan dirinya ke kasur, ia mengambil dompet yang tergeletak di samping bantalnya. Dibukanya kancing penutup dompet itu, tampaklah satu foto yang selalu mengobati kerinduan Titan. Foto Bagas dan Titan, hanya foto itu yang mampu meringankan rasa rindu Titan.
Titan memandanginya lama sekali, diusap-usapnya wajah Bagas dalam foto itu. Hatinya berdesis, aku kangen sekali Gas. Titan membawa kerinduannya hingga ia terlelap.
Esok harinya....
“Tan...bangun, hey!!” ujar Dewi sambil mengoyak tubuh Titan yang masih tertidur pulas di kamarnya.
“Hmmmhh...”jawab Titan malas. Ia masih nyaman dengan posisi tidurnya kala itu.
“Udah hampir jam tujuh!!” teriak Dewi.
“Hah?” Titan kaget dan reflek bangun.
“Ayo berangkat bareng. Aku ngajar pagi hari ini,” ujar Dewi.
“Aku nggak usah mandi ya, Dew?”
Dewi manyun-manyun. Ia menarik paksa tubuh Titan lalu menyeretnya ke kamar mandi.
“Deeeeww, mandiin sekalian...” ujar Titan manja. Ia emang paling suka bikin Dewi jijik.
“Aaaaargh!!” Dewi pun teriak-teriak histeris karena merasa dirinya telah didzolimi. “Aku panggilin Pak kos ya buat mandiin kamu?”
“Tidaaaaak!!” gantian Titan yang teriak histeris.
Dewi ketawa cekikikan. “Jangan mandi lama-lama!” ujar Dewi memberi peringatan.
Selesai mandi, Titan beres-beres. Ia memberesi ponsel dan dompetnya yang semalam tergeletak berantakan di ranjangnya. Ada satu pesan diterima, dari Bagas.
Maaf ya, semalem aku lembur. Mungkin akhir-akhir ini aku akan jarang menghubungi kamu. Nite hanie, sweet dream :)
Meski hanya sebuah pesan. Titan lega sekali membacanya. Ia pun jadi punya semangat lebih untuk hari ini.
Hari kedua mengajar, semuanya berjalan lancar. Titan semakin mahir dengan pekerjaan barunya. Ia semakin dekat dengan anak-anak.
Kota ini tampaknya telah memberikan sedikit perbedaan pada Titan dalam menjalani hidupnya. Titan tak lagi menikmati pagi dengan melihat cahaya dari lereng gunung, Titan hanya menikmati paginya dengan sederhana di dalam kamar, melalui jendelanya, seperti pagi-pagi sebelumnya. Ia juga mulai suka membaca buku apa saja – bahkan buku filsafat, tak tahu darimana datangnya rasa suka buku itu. Titan juga mulai menyukai anak-anak.
Hari demi hari, minggu demi minggu Titan lalui dengan bersemangat. Ia mulai lekat dengan kesibukan barunya. Ia membiasakan dirinya untuk menjadi orang yang sibuk, karena ia tidak ingin dirinya sendiri tersiksa karena selalu memikirkan Bagas. Komunikasi mereka makin hari makin buruk. Jika Titan luang, Bagas sibuk, begitu juga sebaliknya. Paling mentok mereka hanya saling sms untuk menyapa atau sekadar memberi semangat, itupun jika longgar.
Titan sama sekali tidak menyukai kondisi ini, tapi mau bagaimana lagi, kehidupannya bukan hanya tentang Bagas dan ia sudah memiliki tanggung jawab atas apapun yang ia jalani sekarang.
Hingga waktu berjalan lebih dari sebulan, kondisi masih berjalan seperti ini. Mereka masih jarang berkomunikasi. Jauh di dalam hati Titan, ia merasa ada yang kurang tanpa hadirnya Bagas. Seharusnya Bagas adalah orang pertama yang ikut merasakan bahagia yang Titan rasakan. Seharusnya segala yang hari-hari yang ia alami, ia bagi dengan Bagas. Namun tak bisa. Untungnya masih ada Dewi, sahabat Titan yang selalu memberi semangat, sahabat yang telah membuat Titan banyak belajar untuk menyadari banyak hal.
Titan mencoba menekan rasa rindunya dengan mencari kesibukan lain. Dan benar, ia menemukan sebuah lowongan kerja freelance di sebuah penerbit di Jogjakarta sebagai editor novel. Pekerjaan yang tidak terlalu susah untuk Titan yang kuliahnya di jurusan linguistik, setidaknya ilmunya bisa menjadi bekal ketika ia bekerja di situ.
Dewi pun sangat mendukung Titan untuk mengambil pekerjaan itu, terlebih pekerjaan itu bisa dikerjakan dimanapun dan Titan tidak perlu setiap hari masuk kantor. Novel yang sudah diedit cukup dikirimkan lewat email dan fee-nya akan dikirimkan lewat rekening bank. Pekerjaan tanpa tatap muka yang amat menyibukkan. Setiap hari Titan selalu lembur hingga malam untuk menyelesaikan editannya. Setiap hari bergumul dengan deadline penyerahan naskah yang bertubi-tubi.
Kesibukannya yang padat membuat Titan tak lagi resah dengan kerinduannya. Ia mulai terbiasa dengan sms Bagas yang muncul di layar ponselnya hanya sekali dalam seminggu atau bahkan lebih dari seminggu. Entah apa yang membuat Bagas begitu sibuk, Titan tidak mau ambil pusing lagi. Ia memantapkan hatinya untuk tetap percaya pada Bagas entah apapun kesibukannya.
***
“Seminggu lagi Tan,” ujar Dewi dengan mata berbinar-binar.
Titan tersenyum tipis. “Nyaman juga ya di sini, serasa nemu rumah baru.”
“Rumah ya...?”
“Iya, Dew...Selama aku ada di suatu tempat bersama orang-orang yang membuat aku nyaman. Aku akan menyebut tempat itu sebagai rumah.”
“Iya, ini rumah kita...” Dewi mengembangkan senyumnya.
Titan dan Dewi saling menatap dengan senyum. Selalu ada ‘klik’ dalam persahabatan mereka yang membuat keduanya merasa begitu nyaman.
“Kalau ini rumah kita, berarti anak-anak itu anak-anak kita dong?” Titan menatap Dewi dengan tatapan aneh.
Dewi pun menatap balik dengan tatapan najis ke Titan. “Ogah, gue punya anak sama lo! Cewek bukan, cowok bukan. Masak aku yang udah cantik permanen kayak gini punya keturunan dari kamu yang notabenenya ‘aneh’. Aaaargh, tidaaaakk!!” Dewi teriak geli plus jijik.
Keduanya saling bercanda tawa menikmati malam di sela-sela kesibukan mereka. Masa-masa seperti ini lah yang suatu saat pasti akan mereka rindukan ketika mereka dihadapkan pada jalan yang tidak sama lagi. Masa-masa persahabatan yang pekat dengan canda, tawa, dan tangis.
“Bagas gimana?” tanya Dewi tiba-tiba.
Titan sedikit tersentak, namun ia hanya menoleh malas. Selama lebih dari dua bulan ia hanya berkomunikasi dengan Bagas beberapa kali – dengan sms, karena sekali lagi Bagas sangat susah untuk ditelfon. Pesan singkat mereka pun hanya sapaan atau sekadar basa-basi menanyakan keadaan. Titan menggelengkan kepalanya, ia benar-benar merasakan tidak ada hal yang bisa ia diceritakan tentang pria yang masih menjadi kekasihnya itu. Masa yang indah bersama dunia barunya, sayangnya tanpa Bagas, ya...seperti dunia ini yang tidak pernah sempurna. Bagusnya, Titan bukan tipe orang yang suka hanyut dan mengalah pada keadaan, jadi ia selalu berusaha membangun semangatnya sendiri. Dia mengalir seperti air, namun ia tetap memiliki kehidupannya sendiri.
Waktu terus berjalan, hingga akhirnya mereka sampai pada akhir perjalanan panjang mereka di kota sibuk nomor dua di negara besar ini. Waktunya meninggalkan anak-anak yang mereka kasihi. Baik Titan maupun Dewi rasanya enggan sekali meninggalkan tempat ini, tempat yang belum lama ini menaungi mereka. Tempat yang membuat mereka banyak belajar tentang kehidupan. Namun, apa daya memang harus selesai di sini, dan mereka akan dihadapkan pada hal baru lagi.
Pertemuan selama liburan itu menyisakan kenangan yang dalam di benak Titan dan Dewi. Hanya kenangan itu dan selembar foto yang dapat Titan bawa kembali ke dunianya semula. Titan sendiri mendapatkan bingkisan tak terduga dari salah seorang muridnya, Shanny, ia menuliskan sebuah surat dan selembar puisi yang diam-diam ia selipkan ke dalam tas Titan ketika mereka berpamitan.
Dalam perjalanan pulang dari Surabaya, Titan membaca surat itu. Shanny sangat bahagia bertemu dengan Titan, begitu ucapnya dalam surat. Ia banyak mengungkapkan pengalamannya di jalanan dan perasaannya ketika mengikuti kelas Titan. Ia juga bilang, kalau ia akan sangat merindukan Titan, Titan terharu sekali membaca surat itu. Shanny juga menuliskan puisi, kali ini untuk Titan. Pikiran Titan mulai melayang-layang pada kenangan yang telah mereka ukir bersama selama dua bulan silam. Semua bayang-bayang manis itu membuat Titan jadi senyum-senyum sendiri.
***
Liburan semester telah berakhir.Titan kini kembali disibukkan dengan kuliahnya – yang sebenarnya tidak terlalu padat. Sebenarnya, bukan masalah kuliah yang ia kawatirkan, namun Bagas. Apakah Bagas sudah berubah atau Bagas masih tetap Bagas yang ia kenal dulu. Entah mengapa, jika menyangkut Bagas, pikiran Titan menjadi berantakan.
Hari pertama kuliah, ia tidak menemui sosok Bagas dalam kelasnya. Begitu pula dengan hari kedua dan ketiga. Ini aneh, pikir Titan. Tapi Bagas memang selalu aneh. Ketika itu, Titan hanya yakin kalau Bagas pasti punya alasan yang kuat untuk apapun yang ia lakukan – Bagas juga orang yang menganut hukum tanggung jawab. Pada hari berikutnya, Titan mulai menemui sosok yang lama ia rindukan. Betapa bahagianya ia waktu itu.
“Bagas,” sapa Titan dengan mata yang berbinar-binar. Tampak jelas kerinduan yang ia simpan lama di benaknya.
Bagas tersenyum. “Eh, Titan, apa kabar?”
Titan agak terdiam, mendengar Bagas menanyakan hal itu. Pertanyaan yang wajar untuk orang yang sudah lama tidak bertemu, tapi masalahnya mereka itu pacaran. Titan berharap Bagas mengucapkan kata “kangen” atau sejenisnya ketika mereka bertemu. Titan jadi merasa kikuk sendiri.
“Kenapa sih kamu Gas? Kayak tamu jauh aja,” Titan mencoba mencairkan suasana.
Tapi Bagas hanya diam. Entah mengapa sikapnya menjadi begitu aneh. Titan semakin bingung dengan sikap Bagas yang tidak bisa ditebak seperti ini. Kerinduan yang mulanya tersimpan di benak Titan berubah menjadi perasaan penuh tanya.
“Maaf ya Tan, aku harus buru-buru.” Bagas pun pergi meninggalkan Titan.
Titan hanya diam memaku, melihat Bagas yang telah berubah seperti orang asing. Sikapnya yang tidak biasa itu membuat Titan tidak tahu harus melakukan apa. Esok harinya, Titan mencoba mendekati Bagas lagi, mungkin ia sedang ada masalah. Namun, hasilnya nihil. Bagas tidak bicara, ia selalu menjauh. Dia menjauh begitu saja, tanpa alasan yang jelas.
Hubungan mereka semakin jauh setiap harinya hingga hampir satu bulan. Bagas jadi susah untuk diajak bertemu, Bagas jadi susah untuk diajak keluar, Bagas sudah tidak pernah mengirim pesan duluan, Bagas selalu menjaga jarak. Lama-lama Titan tidak tahan dengan kondisi ini, hingga suatu hari ketika mereka bertemu di kampus, Titan memaksa Bagas untuk berbicara, berdua. Titan hanya meminta penjelasan, setidaknya agar ia tahu bahwa memang sedang ada masalah di antara mereka.
Titan menatap Bagas dengan tatapan dalam. Ia sangat berharap Bagas mau memberitahukan apa yang sedang terjadi di antara mereka. Namun, Bagas hanya diam. Titan sendiri juga bingung harus mulai dari mana. Keduanya terdiam, membisu. Bahkan, Bagas tidak melihat Titan sama sekali.
Titan mengulurkan tangannya ke dagu Bagas dengan lembut lalu memalingkannya ke wajah Titan,  “Jadi...kita kenapa?”
Titan menatap Bagas dengan penuh tanya, berharap Bagas akan bicara. Bagas tertunduk lemas, matanya masih tampak seperti tidak berani melihat Titan.
“Maaf Tan...maaf...aku nggak bisa lagi,” ujar Bagas pelan.
Titan kaget, matanya sekejap membelalak seperti tidak percaya dengan apa yang ia dengar. “Tapi...kenapa? Apa aku ada salah?”
Bagas menggeleng, lalu perlahan ia menatap Titan, “Aku...hanya nggak bisa. Maaf....” Lalu Bagas pergi meninggalkan Titan.
Suasana hati Titan menjadi begitu hening. Titan hanya mampu menatap kosong. Bagas memutuskan hubungan secara sepihak, namun Titan tidak bisa berbuat apa-apa. Meski Titan yakin Bagas menyimpan penjelasan lebih dari itu, tetap saja ia tidak dapat memaksa Bagas untuk bicara. Titan hanya mampu menghela nafas panjang, matanya mulai berair. Ia masih tidak percaya, Bagas yang selama ini menjadi paginya telah hilang.
Titan tidak pernah membayangkan hubungannya akan berakhir dengan buruk seperti ini. Tanpa kejelasan. Sejak saat itu pun Titan hanya bertemu dengan Bagas ketika kuliah saja dan suasana kelas terasa tidak pernah nyaman lagi seperti sebelumnya, karena sosok Bagas sebenarnya masih ada di benak Titan. Sayangnya, sosok itu hanya sekadar kenangan, bukan Bagas yang sesungguhnya.
Bagas masih tetap diam. Bahkan ketika teman-teman sekelas mulai membicarakan kerenggangan mereka yang tiba-tiba, Bagas masih tidak peduli. Ia hanya sibuk dengan organisasinya, dengan dunianya yang kini hanya menjadi miliknya sendiri. Titan merasa seperti orang asing di mata Bagas, begitu pula sebaliknya. Bagas telah menjadi lukisan cinta terindah yang pernah Titan temui, bagaimana mungkin Titan bisa semudah itu melupakan wajah telah yang begitu dalam mengukir hatinya. Titan kembali teringat pada kata-kata Bagas ketika senja itu, ia mengatakan kalau senja selalu menjadi akhir dari perjalanan cahaya matahari. Titan rasa itu benar, perjalanan cintanya kini sudah mencapai senja. Pikiran Titan melayang-layang pada bayangan Bagas kala itu, kala mereka menikmati senja yang sempurna. Titan tergelitik dengan pikirannya sendiri, merasa bodoh, karena dulu telah mengingkari senja. Mengingkari kalau senja adalah akhir, kini ia paham.
***
Sumber gambar  http://www.sadkhin.com/blog/i_can_do_it.html




0 komentar:

Posting Komentar

SUNSHINE STORY (Chapter 7)