Buku-buku
linguistik terbitan tahun 90-an itu masih terpajang rapi di rak buku Titan yang
terletak di sudut kamar. Titan memandanginya dari setengah jam yang lalu. Yang
ada di pikirannya hanya satu, “Kenapa ia
menyimpan buku akademik sebanyak itu? Kenapa harus beli buku asli, bukan
fotokopi?” Maklum, mahasiswa sesat satu ini memang agak jauh dari yang
namanya suka baca buku, terlebih buku akademik. Titan mengoleksi buku itu juga
karena tuntutan mata kuliah yang ia ikuti. Titan sedang berada di antara
perasaan bingung dan menyesal. Ia berpikir, mungkin ia akan punya cukup uang
untuk liburan jika ia tidak membeli buku asli koleksinya yang lumayan mahal
itu.
“Heh,
bengong aja lo!” Dewi tiba-tiba nyelonong masuk kamar Titan.
Titan
hanya berekspresi datar. Otak tercemarnya masih berpikir tentang liburan
semester yang tampaknya akan menjadi suram baginya. Ia sungguh tidak akan
sanggup kalau harus menjalani libur kuliah yang hampir tiga bulan hanya dengan
hibernasi di rumah. Dan parahnya lagi harus dijalani tanpa Bagas yang sudah
dibooking dengan kesibukan yang bertubi-tubi itu.
“Tan,
aku pinjem kemeja putih kamu, dua!” ujar Dewi.
Mendengar
pertanyaan Dewi, Titan tersentak dan sejenak mengabaikan kecemasan
finansialnya.
“Eh,
kamu nggak mau tanya aku ada kemeja putih atau enggak?” Titan melirik sinis.
“Iya,
makanya kamu jangan bengong mulu. Kayaknya aku pernah lihat kamu pakai kemeja
putih, itu punya kamu bukan? Aku pinjem.”
Titan
nyengir. Norma kesantunan sepertinya sudah lama hilang dari kamus persahabatan
mereka. Titan membuka almarinya, mencari kemeja putih di antara tumpukan
bajunya yang warna-warni.
“Buat
apa sih?” Titan sok penasaran.
“Buat
training.”
“Training?”
Titan menoleh kaget. “Training apaan?
Emang kamu diterima kerja dimana? Kok bisa sih, kan masih kuliah?”
Dewi
yang nggak tega melihat muka penasaran Titan, akhirnya jelasin juga.
“Jadi
gini, belum lama kemaren aku dapet info dari Om aku, kalau di resto punya
temennya lagi ada lowongan. Ya udah, aku ambil. Lagian juga pakainya ijazah
SMA, lumayan kan ngisi waktu tiga bulan, itung-itung nambah pengalaman daripada
nggak ada kerjaan.”
“Oh,
kirain kerjaan beneran,” Titan mendesis datar.
“Lhoh,
ini juga kerjaan beneran, Tan!” Dewi menegaskan. “Kan tujuannya buat belajar.
Jadi bekerja itu nggak harus selalu enak dan gaji gede, toh aku belum ada
pengalaman apa-apa.”
Titan
diem, hatinya sedikit tergores, karena Dewi bisa dewasa banget sedang dia
enggak. Titan ingin juga seperti itu, tapi bingung juga mau mulai darimana.
“Terus
les-lesan kamu gimana?”
“Oh,
itu aku udah digantiin sama temen. Lagian nanti juga aku masih ngajar kok.
Kemarin temen di Surabaya nawarin buat ngajar anak-anak jalanan yang ada di
sana, jadi guru sukarelawan gitu. Ini nanti kalau udah kerja di sana ya aku
sekalian ngajar juga. Sambil menyelam minum air.” Dewi tersenyum. Ia terlihat mantap
sekali dengan rencananya itu.
“Kamu mau kerja di Surabaya?”
“Iya.
Lumayan kan dapet suasana baru.”
Titan
speechless. Dewi keren banget,
pikirnya dalam hati. Dewi yang masih muda sudah mampu handle kerjaan ini itu dan tanggung jawab sama hidupnya sendiri.
Titan
diam, lalu tiba-tiba saja pikirannya kembali pada masalah finansialnya. Sekejap
otak Titan bekerja dan memberikan ide.
“Aku ikut kamu dong, Dew. Lowongannya masih
ada nggak?”
“Yang
di resto ini? Udah tutup Tan,” ujar Dewi.
Titan
menunduk lesu, karena pundi-pundi penghasilannya gagal terbentuk.
“Tapi
kalau mau ikut ngajar bisa banget,” lanjut Dewi bersemangat. “Sekali-kali
mengabdi kan nggak apa-apa. Toh, kamu dapat pahala juga dari Tuhan, jadi kan
sama aja nggak jadi tenaga gratisan.”
Titan
terdiam makin dalam. Iya juga, jadi mahasiswa biasa itu ngebosenin juga,
kerjaannya kuliah, nongkrong, ngerumpi di kosan. Biarpun Titan males, di
hatinya yang paling dalam, sebenarnya ia punya nurani yang bisa bicara juga. Katanya mahasiswa, tapi kalau nggak punya
kontribusi lebih sama aja kayak siswa biasa dan nggak pantes menyandang gelar
“maha”, kata-kata itu sempat terbesit dalam benak Titan. Wajahnya tiba-tiba
saja menggalau seperti orang yang baru saja mengalami pergolakan batin yang
kuat.
“Aku
ikut deh, tapi aku nggak ada duit buat hidup di sana,” ujar Titan namun agak
ragu.
“Serius??
Kalau masalah itu sih kamu bisa tenang Tan, program ini udah kerjasama sama yayasan
apa gitu, aku lupa. Jadi kamu bakal dapat uang makan dan biaya operasional
ntar.”
“Lhoh,
katanya sukarelawan?” Titan senang mendengarnya tapi ia agak bingung.
“Iya,
kan ini fasilitas, jangan disamain sama honor,” Dewi menjelaskan.
Sekejap
wajah Titan yang galau pun berubah jadi bahagia. Nurani emang nggak pernah salah, batinnya.
“Daftarnya
gimana Dew?”
“Seleksinya
pakai IPK kok. Kamu masih 3,8 kan?”
Titan
langsung senyum-senyum imut, hatinya lega sekali, karena kalau harus melewati
tes mengajar, Titan tidak yakin akan mampu. Untungnya otak Titan lumayan encer,
meski rada-rada males kuliah dan males mandi, IPK-nya nggak ikutan
males-malesan.
“Stella
gimana?” tanya Titan.
“Dia
mah udah jelas bantuin nyokapnya di butik. Secara butiknya udah kayak jamur,
dimana-mana ada.”
“Eh,
hellllooooow...!!! Aku seperti mendengar ada sesuatu yang menyebut-nyebut
namakuuu...” Tiba-tiba Stella berteriak dari dalam kamarnya.
Jelas
saja Stella mendengar obrolan mereka, kamar Stella kan tepat di depan kamar
Titan yang jadi TKP tindak kriminal ngerumpi barusan. Stella ikutan nimbrung ke
kamar Titan.
“Iya,
Tan, ikut aja. Kan lumayan tuh, itung-itung belajar jadi orang.” Stella ikutan
membujuk Titan.
Titan
yang tadinya ragu pun mendadak jadi yakin banget, melihat kedua sahabatnya pada
positif, ia ketularan positif juga. Lagian juga Titan nggak mungkin
menghabiskan liburan bersama Bagas, kan dia sibuk. Jadi Titan memilih
menyibukkan diri juga, agar pikirannya tidak lari ke Bagas terus, agar ada hal
hal lain yang mengisi pikirannya selain Bagas.
***
Titan
tidak menyangka sebelumya kalau ia akan menjadi guru. Ia mulai membaca kembali buku-buku
koleksinya untuk kembali mengasah otak. Ia juga menyiapkan buku-buku bahasa
Inggris dan bahasa Indonesia untuk bekal mengajar nanti. Sekejap, ia tidak jadi
menyesal karena telah membeli buku-buku yang telah memenuhi almari bukunya.
Meski saat itu buku linguistik murni tidak ia gunakan, ia yakin pasti buku itu
akan tetap bermanfaat nantinya.
Memasuki
minggu kedua liburannya, Titan dinyatakan lolos seleksi jadi guru relawan. Titan
dan Dewi mulai sibuk dengan mempersiapkan diri untuk mulai mengajar. Titan yang
memang tidak memiliki kesibukan lain selain mengajar anak-anak jalanan, sudah
bertekad untuk mengisi waktu luangnya dengan nongkrong di pos pengajaran
daripada nongkrong di kosan sendirian, karena Dewi pasti sibuk bekerja.
“Aku deg deg’an.. Dew,” Titan berujar cemas.
“Ya
ampun Tan, hari ini kan cuma perkenalan sama anak-anak.” Dewi yang memang sudah
pengalaman ngajar pun tidak grogi sedikitpun.
Sebelumnya,
Titan dan Dewi berkenalan dengan pengajar lain dan orang-orang yang ada di
balik program tersebut. Selanjutnya, para pengajar muda yang sudah bergabung
diperkenalkan kepada anak-anak. Tidak ada yang spesial, namun hati Titan
sungguh tersentuh ketika melihat puluhan pasang mata yang mempunyai semangat
belajar dalam keterbatasan mereka.
Hari
pertama mengajar. Titan membiasakan dirinya mengajar di sebuah ruangan kecil
yang hanya muat untuk lima belas orang termasuk dirinya. Ruang sederhana yang
berisikan jam dinding dan papan tulis serta semangat belajar anak-anak rasanya
sudah cukup sempurna bagi Titan mengajar. Setelah mengenalkan diri, Titan mencoba
melakukan pendekatan terhadap anak didiknya.
“Coba
sekarang gantian kakak yang denger suara kalian. Di sini ada nggak yang mau
berbagi cerita sama kakak tentang cita-cita kalian?” tanya Titan.
“Aku
kak, aku kak, akuuu...” ujar mereka bersahutan.
Melihat
mereka sangat bersemangat, Titan langsung menunjuk mereka satu per satu.
“Aku
mau jadi polisi Kak!”
“Aku
polwan!!”
“Hakim
Kak!”
“Presiden!!”
Titan
senang sekali melihat muridnya semakin bersemangat, meski penuh dengan
keterbatasan mereka masih tetap punya mimpi. Titan jadi terharu.
“Coba
kamu yang cita-citanya pengen jadi presiden, masih ingat nggak presiden pertama
kita siapa?”
“Emm..Bung
Tarno Kak!!” jawabnya.
Serentak
teman-temannya tertawa, “Itu Pak Tarno.”
Mendengar
itu Titan jadi ikut tertawa. “Yang lain ada yang bisa bantu jawab?”
“Bung
Karno Kak!”
“Yup,
benar sekali. Wuah ternyata kalian pintar sekali ya. Coba deh, kakak pengen
denger lagi apa cita-cita kalian? Kamu..” ujar Titan sambil menunjuk seorang siswa
yang duduk di pojok.
“Aku
ingin punya banyak pohon Kak,” ujarnya polos.
Titan
terdiam, lalu ia tersenyum simpul.
“Adik
kecil, siapa namanya?” tanya Titan.
“Shanny
kak,” ujarnya polos.
Kalimat
yang Shanny ucap barusan, biarpun sederhana tapi terasa menohok sekali di hati
Titan. Di masa-masa seperti rasanya sudah jarang sekali orang yang mau
memperhatikan lingkungan mereka. Pohon, air bersih, udara bersih, tak ada
mempedulikan hal itu.
“Cita-cita
yang mulia sekali, Shanny,” ujar Titan dengan kagum. “Jadi, benar ya adik-adik,
kita semua butuh pohon, jadi kita harus menjaga mereka agar air dan udara kita
tetap bersih.”
Tingkah
laku polos anak-anak agaknya membuat Titan mulai menyukai kesibukan barunya,
pertanyaan-pertanyaan yang kadang tidak ada hubungannya dengan pelajaran juga
kadang dilontarkan oleh anak-anak itu. Tak jarang anak-anak pura-pura ijin ke
kamar mandi ketika diberi pertanyaan yang agak susah. Anak-anak yang lugu,
Titan selalu menyukai wajah mereka yang apa adanya, tanpa tipu.
Selanjutnya,
Titan meminta seluruh anak didiknya membuat puisi untuk siapapun yang mereka
kasihi. Titan mengarahkan mereka untuk berlatih mengungkapkan kasih sayang
dengan puisi.
“Anggap
puisi ini hati kalian. Tuangkan apapun yang kalian rasakan dalam
barisan-barisan kalimat. Berilah puisi itu jiwa kalian,” begitu yang Titan
katakan pada muridnya.
Lalu
mereka dengan bersemangat menuliskan setiap hembusan perasaan yang melintasi
hati mereka. Melihat semangat anak-anak yang sangat besar, Titan semakin tidak
menyesal mengikuti program pengajaran ini. Biarpun ini hanya langkah kecil,
setidaknya Titan sudah mencoba memenuhi kewajiban yang sudah diamanahkan dalam
pembukaan Undang-Undang yang selama ini hanya kita hafalkan, “Mencerdaskan kehidupan
bangsa”. Satu harapan yang selalu ia sematkan dalam hatinya, semoga wajah
bangsa kita yang selama ini kita anggap sebagai Ibu tidak selalu seperti ini.
Hanya memandang sepihak dari banyak kepentingan, sehingga generasi muda seperti
mereka tak lagi diperhatikan. Indonesia membutuhkan lebih banyak jiwa yang
mampu membangun.
Pikiran
Titan jadi melayang sendiri. Entah apa yang merasukinya. Ia mencoba kembali
fokus terhadap anak-anak.
Titan
meminta beberapa siswa membacakan puisinya di depan kelas, lalu meminta siswa
lain untuk menanggapi. Perlahan, anak-anak semakin aktif. Meski anak-anak
banyak yang masih malu untuk berbicara di dalam kelas, Titan membujuk mereka
untuk belajar berbicara di depan orang banyak. Anak-anak sangat nyaman dengan
cara mengajar Titan yang luwes dan santai. Mereka jadi mudah akrab.
Di
akhir pembelajaran, tak lupa Titan memberikan sedikit motivasi dan
tebak-tebakan untuk mengasah otak anak-anak. Selain itu, anak-anak juga pasti
membutuhkan sesuatu yang tidak biasa agar pertemuan kali itu tidak mudah
dilupakan dan agar anak-anak tidak sabar untuk pembelajaran berikutnya.
“Adik-adik,
ada yang pernah kelilipan?”
“Pernaaaaah,”
teriak semua anak di dalam kelas.
“Kalian
tahu ‘kelilipan’ itu kata dasarnya apa?”
“Hah?”
Anak-anak
bengong. Mereka mengernyitkan dahinya dan saling berpandangan. Mereka saling
menatap dengan penuh tanda tanya. Mereka saling berbisik pada teman-teman yang
ada di sekitarnya untuk menanyakan jawaban. Namun nihil. Setelah agak lama,
kelas menjadi sangat sunyi, mata mereka pada akhirnya menuju pada satu arah,
yaitu Titan. Semua siswa menatap Titan dengan tatapan penasaran yang dalam.
“Apa,
hayo?”
Anak-anak
masih terdiam. Setelah agak lama, seorang anak memberanikan diri untuk bicara.
“Lilip
Kak...”
Titan
menggeleng.
“Lilipan?”
Titan
menggeleng lagi.
Sekejap
anak-anak tertawa keras sekali, karena kata itu terdengar asing dan lucu di
telinga mereka. Titan pun tersenyum kecil.
“Bukan
dik...Yang lain ada yang tahu?” tanya Titan lagi.
Anak-anak
menggeleng. Titan kembali tersenyum, lalu ia menjelaskan dengan pelan.
“Kelilipan
itu kata dasarnya ‘kelilip’. Kelilip itu artinya benda yang kecil sekali,
seperti abu atau agas. Nah, kalau kelilipan itu artinya kemasukan kelilip.”
“Oohhh...”ujar
anak-anak berbarengan sambil manggut-manggut.
Melihat
ekspresi anak-anak yang polos, Titan terharu sekali. Ia seperti menemukan
kesenangan tersendiri ketika mampu mengajarkan anak-anak untuk memahami hal-hal
sederhana di sekitar mereka atau bahkan hal-hal kecil yang sering mereka alami.
Orang Indonesia memang seharusnya
seperti ini, mengerti bahasanya sendiri, agar kelak mampu menjaga bahasa yang
telah menjadi warisan budaya bangsa Indonesia. Agar bangsa yang besar ini tak
lupa akan jati dirinya. Agar bangsa yang megah ini mampu menjaga harga dirinya. Titan membatin
dalam hati.
“Adik-adik,
kalau ada waktu luang, biasakanlah untuk membaca buku, agar pengetahuan kita
menjadi luas. Juga biasakan untuk membaca kamus, agar perbendaharaan kata
kalian makin banyak,” begitu pesan Titan di akhir pertemuannya.
“Siaaaaap
Kak!!” teriak anak-anak bersamaan.
Pengalaman
yang menarik di hari pertama Titan mengajar. Titan sendiri tidak sabar untuk
bertemu anak-anak lagi. Ia juga tak sabar menceritakan apa yang ia alami hari
itu kepada Bagas.
***
Titan
mengambil ponselnya. Ia mecoba menghubungi Bagas. Ia tidak sabar mencurahkan
segala perasaan yang ada di hatinya ketika itu. Ia menekan menu call pada nomor Bagas, namun tidak
diangkat. Titan mencobanya berkali-kali, namun masih tetap sama. Perasaan gusar
mulai menyelimuti hati Titan. Sebelumnya ia selalu membagi apapun dengan Bagas
dan kali ini ia ingin Bagas merasakan juga kebahagiaan yang ia rasakan.
“Sibuk
apa sih?” gerutu Titan.
Ia
menatap ponselnya agak lama, wajahnya cemberut. Sudah tiga hari ini tidak ada
kabar dari Bagas. Titan rindu, akhir-akhir ini memang dia disibukkan dengan
persiapannya mengajar. Bagas? Rasanya dia lebih sibuk lagi. Hal itulah yang
menyebabkan komunikasi di antara mereka sedikit terhambat.
Waktu
menunjukkan pukul sepuluh malam. Titan duduk-duduk santai di kamar kosnya yang
baru. Ia gelisah, namun ia harus istirahat. Ia harus mengajar pagi-pagi sekali
besok. Matanya sudah terasa berat, tapi ada kerinduan yang mengganjal di
hatinya hingga ia susah tidur. Ia merebahkan dirinya ke kasur, ia mengambil
dompet yang tergeletak di samping bantalnya. Dibukanya kancing penutup dompet
itu, tampaklah satu foto yang selalu mengobati kerinduan Titan. Foto Bagas dan
Titan, hanya foto itu yang mampu meringankan rasa rindu Titan.
Titan
memandanginya lama sekali, diusap-usapnya wajah Bagas dalam foto itu. Hatinya
berdesis, aku kangen sekali Gas.
Titan membawa kerinduannya hingga ia terlelap.
Esok
harinya....
“Tan...bangun,
hey!!” ujar Dewi sambil mengoyak tubuh Titan yang masih tertidur pulas di
kamarnya.
“Hmmmhh...”jawab
Titan malas. Ia masih nyaman dengan posisi tidurnya kala itu.
“Udah
hampir jam tujuh!!” teriak Dewi.
“Hah?”
Titan kaget dan reflek bangun.
“Ayo
berangkat bareng. Aku ngajar pagi hari ini,” ujar Dewi.
“Aku
nggak usah mandi ya, Dew?”
Dewi
manyun-manyun. Ia menarik paksa tubuh Titan lalu menyeretnya ke kamar mandi.
“Deeeeww,
mandiin sekalian...” ujar Titan manja. Ia emang paling suka bikin Dewi jijik.
“Aaaaargh!!”
Dewi pun teriak-teriak histeris karena merasa dirinya telah didzolimi. “Aku
panggilin Pak kos ya buat mandiin kamu?”
“Tidaaaaak!!”
gantian Titan yang teriak histeris.
Dewi
ketawa cekikikan. “Jangan mandi lama-lama!” ujar Dewi memberi peringatan.
Selesai
mandi, Titan beres-beres. Ia memberesi ponsel dan dompetnya yang semalam
tergeletak berantakan di ranjangnya. Ada satu pesan diterima, dari Bagas.
Maaf ya, semalem aku lembur. Mungkin
akhir-akhir ini aku akan jarang menghubungi kamu. Nite hanie, sweet dream :)
Meski
hanya sebuah pesan. Titan lega sekali membacanya. Ia pun jadi punya semangat
lebih untuk hari ini.
Hari
kedua mengajar, semuanya berjalan lancar. Titan semakin mahir dengan pekerjaan
barunya. Ia semakin dekat dengan anak-anak.
Kota
ini tampaknya telah memberikan sedikit perbedaan pada Titan dalam menjalani
hidupnya. Titan tak lagi menikmati pagi dengan melihat cahaya dari lereng
gunung, Titan hanya menikmati paginya dengan sederhana di dalam kamar, melalui
jendelanya, seperti pagi-pagi sebelumnya. Ia juga mulai suka membaca buku apa
saja – bahkan buku filsafat, tak tahu darimana datangnya rasa suka buku itu.
Titan juga mulai menyukai anak-anak.
Hari
demi hari, minggu demi minggu Titan lalui dengan bersemangat. Ia mulai lekat
dengan kesibukan barunya. Ia membiasakan dirinya untuk menjadi orang yang
sibuk, karena ia tidak ingin dirinya sendiri tersiksa karena selalu memikirkan
Bagas. Komunikasi mereka makin hari makin buruk. Jika Titan luang, Bagas sibuk,
begitu juga sebaliknya. Paling mentok mereka hanya saling sms untuk menyapa
atau sekadar memberi semangat, itupun jika longgar.
Titan
sama sekali tidak menyukai kondisi ini, tapi mau bagaimana lagi, kehidupannya
bukan hanya tentang Bagas dan ia sudah memiliki tanggung jawab atas apapun yang
ia jalani sekarang.
Hingga
waktu berjalan lebih dari sebulan, kondisi masih berjalan seperti ini. Mereka
masih jarang berkomunikasi. Jauh di dalam hati Titan, ia merasa ada yang kurang
tanpa hadirnya Bagas. Seharusnya Bagas adalah orang pertama yang ikut merasakan
bahagia yang Titan rasakan. Seharusnya segala yang hari-hari yang ia alami, ia
bagi dengan Bagas. Namun tak bisa. Untungnya masih ada Dewi, sahabat Titan yang
selalu memberi semangat, sahabat yang telah membuat Titan banyak belajar untuk
menyadari banyak hal.
Titan
mencoba menekan rasa rindunya dengan mencari kesibukan lain. Dan benar, ia
menemukan sebuah lowongan kerja freelance
di sebuah penerbit di Jogjakarta sebagai editor novel. Pekerjaan yang tidak
terlalu susah untuk Titan yang kuliahnya di jurusan linguistik, setidaknya
ilmunya bisa menjadi bekal ketika ia bekerja di situ.
Dewi
pun sangat mendukung Titan untuk mengambil pekerjaan itu, terlebih pekerjaan
itu bisa dikerjakan dimanapun dan Titan tidak perlu setiap hari masuk kantor. Novel
yang sudah diedit cukup dikirimkan lewat email dan fee-nya akan dikirimkan lewat rekening bank. Pekerjaan tanpa tatap
muka yang amat menyibukkan. Setiap hari Titan selalu lembur hingga malam untuk
menyelesaikan editannya. Setiap hari bergumul dengan deadline penyerahan naskah yang bertubi-tubi.
Kesibukannya
yang padat membuat Titan tak lagi resah dengan kerinduannya. Ia mulai terbiasa
dengan sms Bagas yang muncul di layar ponselnya hanya sekali dalam seminggu
atau bahkan lebih dari seminggu. Entah apa yang membuat Bagas begitu sibuk,
Titan tidak mau ambil pusing lagi. Ia memantapkan hatinya untuk tetap percaya
pada Bagas entah apapun kesibukannya.
***
“Seminggu
lagi Tan,” ujar Dewi dengan mata berbinar-binar.
Titan
tersenyum tipis. “Nyaman juga ya di sini, serasa nemu rumah baru.”
“Rumah
ya...?”
“Iya,
Dew...Selama aku ada di suatu tempat bersama orang-orang yang membuat aku
nyaman. Aku akan menyebut tempat itu sebagai rumah.”
“Iya,
ini rumah kita...” Dewi mengembangkan senyumnya.
Titan
dan Dewi saling menatap dengan senyum. Selalu ada ‘klik’ dalam persahabatan
mereka yang membuat keduanya merasa begitu nyaman.
“Kalau
ini rumah kita, berarti anak-anak itu anak-anak kita dong?” Titan menatap Dewi
dengan tatapan aneh.
Dewi
pun menatap balik dengan tatapan najis ke Titan. “Ogah, gue punya anak sama lo!
Cewek bukan, cowok bukan. Masak aku yang udah cantik permanen kayak gini punya
keturunan dari kamu yang notabenenya ‘aneh’. Aaaargh, tidaaaakk!!” Dewi teriak
geli plus jijik.
Keduanya
saling bercanda tawa menikmati malam di sela-sela kesibukan mereka. Masa-masa
seperti ini lah yang suatu saat pasti akan mereka rindukan ketika mereka
dihadapkan pada jalan yang tidak sama lagi. Masa-masa persahabatan yang pekat
dengan canda, tawa, dan tangis.
“Bagas
gimana?” tanya Dewi tiba-tiba.
Titan
sedikit tersentak, namun ia hanya menoleh malas. Selama lebih dari dua bulan ia
hanya berkomunikasi dengan Bagas beberapa kali – dengan sms, karena sekali lagi
Bagas sangat susah untuk ditelfon. Pesan singkat mereka pun hanya sapaan atau
sekadar basa-basi menanyakan keadaan. Titan menggelengkan kepalanya, ia
benar-benar merasakan tidak ada hal yang bisa ia diceritakan tentang pria yang
masih menjadi kekasihnya itu. Masa yang indah bersama dunia barunya, sayangnya
tanpa Bagas, ya...seperti dunia ini yang tidak pernah sempurna. Bagusnya, Titan
bukan tipe orang yang suka hanyut dan mengalah pada keadaan, jadi ia selalu
berusaha membangun semangatnya sendiri. Dia mengalir seperti air, namun ia
tetap memiliki kehidupannya sendiri.
Waktu
terus berjalan, hingga akhirnya mereka sampai pada akhir perjalanan panjang
mereka di kota sibuk nomor dua di negara besar ini. Waktunya meninggalkan
anak-anak yang mereka kasihi. Baik Titan maupun Dewi rasanya enggan sekali
meninggalkan tempat ini, tempat yang belum lama ini menaungi mereka. Tempat
yang membuat mereka banyak belajar tentang kehidupan. Namun, apa daya memang
harus selesai di sini, dan mereka akan dihadapkan pada hal baru lagi.
Pertemuan
selama liburan itu menyisakan kenangan yang dalam di benak Titan dan Dewi.
Hanya kenangan itu dan selembar foto yang dapat Titan bawa kembali ke dunianya
semula. Titan sendiri mendapatkan bingkisan tak terduga dari salah seorang
muridnya, Shanny, ia menuliskan sebuah surat dan selembar puisi yang diam-diam
ia selipkan ke dalam tas Titan ketika mereka berpamitan.
Dalam
perjalanan pulang dari Surabaya, Titan membaca surat itu. Shanny sangat bahagia bertemu dengan Titan, begitu ucapnya dalam
surat. Ia banyak mengungkapkan pengalamannya di jalanan dan perasaannya ketika
mengikuti kelas Titan. Ia juga bilang, kalau ia akan sangat merindukan Titan,
Titan terharu sekali membaca surat itu. Shanny juga menuliskan puisi, kali ini
untuk Titan. Pikiran Titan mulai melayang-layang pada kenangan yang telah
mereka ukir bersama selama dua bulan silam. Semua bayang-bayang manis itu
membuat Titan jadi senyum-senyum sendiri.
***
Liburan
semester telah berakhir.Titan kini kembali disibukkan dengan kuliahnya – yang
sebenarnya tidak terlalu padat. Sebenarnya, bukan masalah kuliah yang ia
kawatirkan, namun Bagas. Apakah Bagas sudah berubah atau Bagas masih tetap
Bagas yang ia kenal dulu. Entah mengapa, jika menyangkut Bagas, pikiran Titan
menjadi berantakan.
Hari
pertama kuliah, ia tidak menemui sosok Bagas dalam kelasnya. Begitu pula dengan
hari kedua dan ketiga. Ini aneh,
pikir Titan. Tapi Bagas memang selalu aneh. Ketika itu, Titan hanya yakin kalau
Bagas pasti punya alasan yang kuat untuk apapun yang ia lakukan – Bagas juga
orang yang menganut hukum tanggung jawab. Pada hari berikutnya, Titan mulai
menemui sosok yang lama ia rindukan. Betapa bahagianya ia waktu itu.
“Bagas,”
sapa Titan dengan mata yang berbinar-binar. Tampak jelas kerinduan yang ia
simpan lama di benaknya.
Bagas
tersenyum. “Eh, Titan, apa kabar?”
Titan
agak terdiam, mendengar Bagas menanyakan hal itu. Pertanyaan yang wajar untuk
orang yang sudah lama tidak bertemu, tapi masalahnya mereka itu pacaran. Titan
berharap Bagas mengucapkan kata “kangen” atau sejenisnya ketika mereka bertemu.
Titan jadi merasa kikuk sendiri.
“Kenapa
sih kamu Gas? Kayak tamu jauh aja,” Titan mencoba mencairkan suasana.
Tapi
Bagas hanya diam. Entah mengapa sikapnya menjadi begitu aneh. Titan semakin
bingung dengan sikap Bagas yang tidak bisa ditebak seperti ini. Kerinduan yang
mulanya tersimpan di benak Titan berubah menjadi perasaan penuh tanya.
“Maaf
ya Tan, aku harus buru-buru.” Bagas pun pergi meninggalkan Titan.
Titan
hanya diam memaku, melihat Bagas yang telah berubah seperti orang asing.
Sikapnya yang tidak biasa itu membuat Titan tidak tahu harus melakukan apa.
Esok harinya, Titan mencoba mendekati Bagas lagi, mungkin ia sedang ada
masalah. Namun, hasilnya nihil. Bagas tidak bicara, ia selalu menjauh. Dia
menjauh begitu saja, tanpa alasan yang jelas.
Hubungan
mereka semakin jauh setiap harinya hingga hampir satu bulan. Bagas jadi susah
untuk diajak bertemu, Bagas jadi susah untuk diajak keluar, Bagas sudah tidak
pernah mengirim pesan duluan, Bagas selalu menjaga jarak. Lama-lama Titan tidak
tahan dengan kondisi ini, hingga suatu hari ketika mereka bertemu di kampus,
Titan memaksa Bagas untuk berbicara, berdua. Titan hanya meminta penjelasan,
setidaknya agar ia tahu bahwa memang sedang ada masalah di antara mereka.
Titan
menatap Bagas dengan tatapan dalam. Ia sangat berharap Bagas mau memberitahukan
apa yang sedang terjadi di antara mereka. Namun, Bagas hanya diam. Titan
sendiri juga bingung harus mulai dari mana. Keduanya terdiam, membisu. Bahkan,
Bagas tidak melihat Titan sama sekali.
Titan
mengulurkan tangannya ke dagu Bagas dengan lembut lalu memalingkannya ke wajah
Titan, “Jadi...kita kenapa?”
Titan
menatap Bagas dengan penuh tanya, berharap Bagas akan bicara. Bagas tertunduk
lemas, matanya masih tampak seperti tidak berani melihat Titan.
“Maaf
Tan...maaf...aku nggak bisa lagi,” ujar Bagas pelan.
Titan
kaget, matanya sekejap membelalak seperti tidak percaya dengan apa yang ia
dengar. “Tapi...kenapa? Apa aku ada salah?”
Bagas
menggeleng, lalu perlahan ia menatap Titan, “Aku...hanya nggak bisa. Maaf....” Lalu
Bagas pergi meninggalkan Titan.
Suasana
hati Titan menjadi begitu hening. Titan hanya mampu menatap kosong. Bagas
memutuskan hubungan secara sepihak, namun Titan tidak bisa berbuat apa-apa. Meski
Titan yakin Bagas menyimpan penjelasan lebih dari itu, tetap saja ia tidak
dapat memaksa Bagas untuk bicara. Titan hanya mampu menghela nafas panjang,
matanya mulai berair. Ia masih tidak percaya, Bagas yang selama ini menjadi
paginya telah hilang.
Titan
tidak pernah membayangkan hubungannya akan berakhir dengan buruk seperti ini.
Tanpa kejelasan. Sejak saat itu pun Titan hanya bertemu dengan Bagas ketika
kuliah saja dan suasana kelas terasa tidak pernah nyaman lagi seperti
sebelumnya, karena sosok Bagas sebenarnya masih ada di benak Titan. Sayangnya,
sosok itu hanya sekadar kenangan, bukan Bagas yang sesungguhnya.
Bagas
masih tetap diam. Bahkan ketika teman-teman sekelas mulai membicarakan
kerenggangan mereka yang tiba-tiba, Bagas masih tidak peduli. Ia hanya sibuk
dengan organisasinya, dengan dunianya yang kini hanya menjadi miliknya sendiri.
Titan merasa seperti orang asing di mata Bagas, begitu pula sebaliknya. Bagas
telah menjadi lukisan cinta terindah yang pernah Titan temui, bagaimana mungkin
Titan bisa semudah itu melupakan wajah telah yang begitu dalam mengukir hatinya.
Titan kembali teringat pada kata-kata Bagas ketika senja itu, ia mengatakan kalau
senja selalu menjadi akhir dari perjalanan cahaya matahari. Titan rasa itu
benar, perjalanan cintanya kini sudah mencapai senja. Pikiran Titan
melayang-layang pada bayangan Bagas kala itu, kala mereka menikmati senja yang
sempurna. Titan tergelitik dengan pikirannya sendiri, merasa bodoh, karena dulu
telah mengingkari senja. Mengingkari kalau senja adalah akhir, kini ia paham.
***
Sumber gambar http://www.sadkhin.com/blog/i_can_do_it.html
0 komentar:
Posting Komentar