“Tahu
tidak kalau cahaya matahari itu hidup?”
Titan
menoleh kaget. Sejak pagi ia hanya berdiam diri di kamarnya, menikmati pagi
dengan sederhana melalui jendela kecil, seperti pagi-pagi sebelumnya.
“Benarkah?”
tanyanya malas.
Dewi
mendekati Titan. Diam-diam tampaknya ia memperhatikan Titan yang tidak pernah
melewatkan menikmati pagi dari balik jendelanya – meski kini Titan agak
berubah. Dewi menjulurkan tangannya, mencoba meraba-raba cahaya yang masuk
melalui jendela itu, mengikuti gerakan yang biasa Titan lakukan.
“Coba
perhatikan, setiap pagi ia lahir dalam keadaan hangat, lalu semakin panas pada
siang harinya, dan kemudian ia akan padam oleh malam. Ia meredup kemudian mati.
Namun, ia akan lahir kembali esok hari...esok hari... esok harinya lagi, dan
selalu mengalami proses yang sama setiap harinya,” ujar Dewi.
“Iya,
tapi aku tidak mengerti maksudmu...” Titan mengernyitkan dahinya, bingung.
“Sama
seperti yang dialami semua orang yang sedang jatuh cinta. Cinta itu datang
perlahan dengan hangat hingga kemudian terbentuk sempurna, namun akhirnya cinta
itu akan hancur juga. Selanjutnya, setiap orang harus melalui waktu satu malam
untuk mendapatkan cintanya yang baru lagi. Selalu aja jeda, selalu ada waktu
untuk istirahat. Mungkin sekarang waktu kamu.”
“Istirahat...?”
“Iya.
Istirahat untuk kamu sendiri. Menyiapkan diri untuk bertemu dia yang mungkin
sekarang juga lagi nunggu kamu.”
Titan
masih bingung. Ia kembali menatap pagi dari balik jendelanya. Mencoba mencari
makna dalam guratan-guratan cahaya yang terlahir dari teralis besi tua yang
menyekat jendelanya. Ia kembali mengulurkan tangannya pelan, mencoba meraba
cahaya-cahaya yang masih hangat itu. Perlahan bibirnya mengembangkan senyum, ia
mulai mengerti.
Benar
juga yang Dewi katakan. Cahaya matahari yang setiap hari bersama kita ternyata
membawa filosofi yang begitu dalam. Cahaya itu hidup bersama kita. Setiap orang
pasti akan mengalami masa satu kali terbit dan satu kali terbenam dalam
perjalanan cinta mereka bersama seseorang – entah apapun yang memisahkan.
Seperti itulah cinta berjalan, seperti perjalanan matahari, berjalan memutar
dan selalu kembali membawa pagi yang baru.
Bagas
sudah menjadi senja dan Titan sudah harus menyiapkan diri untuk menyambut
paginya yang baru. Pagi yang lain. Pagi yang lebih indah dan lebih sejuk. Sudah
sebulan lebih ia berpisah dengan Bagas, Titan memutuskan untuk move on. Ia sangat sadar kalau ia tidak
bisa berlama-lama dengan kondisi seperti ini. Ia berjanji pada dirinya sendiri
untuk tidak bertanya-tanya lagi alasan mengapa Bagas meninggalkannya. Ia hanya
akan melangkah maju.
“Lalu
sekarang apa?”
Dewi
tersenyum. “Sekarang waktunya kamu dan mimpi kamu!” ujar Dewi mantap.
“Nggak
semudah itu Dew, Bagas itu udah dalem banget.”
“Tan,
believe me, if you’re looking for love in
your life, stop it. They will be waiting for you when you start doing things
you love.”
“Aku
kayak pernah denger itu deh,” Titan jadi mikir.
“Paulo
Coelho,” jawab Dewi. “Aku sendiri dari dulu udah yakin sama kalimat itu,
makanya aku santai aja sama yang namanya cinta. Cinta itu pasti bakal dateng,
selama diri kita siap untuk menerima cinta yang tepat. Jadi, nggak perlu nyari,
yang kita perluin adalah menyiapkan diri. Satu hal lagi, apa yang kita dapat
adalah cerminan dari diri kita. Jadi pastikan kalau diri kita udah jadi diri
sendiri yang terbaik, baru deh selanjutnya ngalir sama jalan yang udah
digariskan Tuhan.”
“Kamu
sendiri udah jadian sama Adam. Jadi kamu udah nemu cermin kamu dong?” tanya
Titan.
Mendengar
itu Dewi tertawa lepas sekali. “Adam? Udah putus kok, tepat sebulan setelah aku
sama dia jadian. Lebih cocok jadi temen sih, dia sendiri juga ngerasa gitu.”
“Sebulan?
Cepet banget,” ujar Titan heran.
“Karena
aku sama dia sama-sama udah nemu jalan yang lebih pas. Kok jadi kamu yang
kawatir sih, aku sama dia aja baik-baik aja loh...” ujar Dewi santai. Di
matanya sama sekali tak tampak kegalauan. Bahkan selama ini Titan mengira Dewi
baik-baik saja, ternyata dia pernah patah hati juga. Titan jadi punya temen
buat move on.
“Tau
nggak, Tan, aku udah lama mikir, sebenarnya hidup ini tentang apa sih. Sampai
akhirnya aku ngerti. Life is about the
people you meet and the things you create with them. So, go out and share our
passion with them! Adam yang udah ngajarin aku tentang hal ini. Now, I just wanna live my dreams. Don’t you?”
Tanpa
aba-aba Titan langsung meluk Dewi. Nggak salah ibunya memberi nama cewek satu
ini dengan nama “Dewi”, ia memang tampak seperti itu.
“Makasih
ya Dew, lo udah kayak emak gue,” kata Titan memuji.
“Ah,
sialan lo!” Dewi sekejap melepaskan pelukan Titan dengan paksa karena merasa
jijik.
“Sekarang
masalahnya, aku nggak tahu mau ngapain? Selama ini selalu ngapa-ngapain sama
Bagas. Jadi sekarang kalau mau ngelakuin apa aja, pasti inget sama dia.”
“Ya
udah, cari kesibukan lain. Bersihin kosan kek, bersihin kamarku kek, atau
mandiin Stella gitu,” jawab Dewi sambil tertawa geli.
Mendengar
namanya disebut sekali, Stella pun langsung muncul secara gaib di depan pintu
kamar Titan.
“Ada
yang manggil aku ya?”
Dewi
dan Titan pun menyambut dengan tawa *
Titan akhirnya bisa ketawa juga.
“Ini
nih, temen kita lagi galau La,” ledek Dewi.
“Siapa?
Titan?” Stella langsung mengamati wajah Titan dalam-dalam. “Enggak ah, mukanya
masih sama jeleknya kayak dulu. Setahuku sih, orang kalo abis putus cinta itu
selalu kelihatan lebih cantik soalnya mau balas dendam.”
Titan
langsung manyun-manyun. Malaikat jahat di hatinya tiba-tiba berbisik, ide bagus. Tapi ketika sadar kalau
wajahnya udah mentok segitu, jadi ya sudah ia milih buat nggak melakukan usaha
yang hasilnya bakal sia-sia. Lagipula Bagas juga bukan tipe orang yang “ngeh”
sama orang cantik.
“Aku
sudah move on ya!” Titan membela
diri. “Aku juga nggak butuh balas dendam.”
“Bagus,
Tan.” Dewi mengangguk setuju. “Kalau kamu butuh obat penambah nafsu move on, kamu bilang aja sama aku, aku
punya stok molto banyak kalau kamu mau minum. Biar kamu bisa nge-fly.”
“Aku
juga punya odol banyak, kalo kamu mau ngemil pas lagi depresi gara-gara
kepikiran dia,” tambah Stella.
“Atau
kamu mau ngemil obat nyamuk? Aku ada nih,” tambah Dewi lagi.
Titan
cemberut tingkat akut. Melihat teman-temannya berlaku jahat tak terkira,
semangat Titan buat move on jadi
mendarah daging. Tapi, Titan bersyukur sekali dianugerahi teman-teman seperti
mereka. Teman yang selalu bisa membuat ia ketawa-ketawa najis disaat Titan
kehilangan sebagian kebahagiaannya. Sering orang mengatakan, cinta datang dan
pergi, namun sahabat akan tetap tinggal. Ternyata benar.
Malam
harinya, Titan galau lagi. Ia memutuskan untuk melihat bintang di atas atap
kosan. Ide bodoh memang, tapi karena Titan memang orang yang absurd jadi ya sah
sah saja. Tak banyak yang dapat ia lakukan di atas genteng, terlebih ia takut
dengan ketinggian, jadi ia hanya merebahkan dirinya melihat langit malam dengan
taburan bintang yang jaraknya jutaan tahun cahaya dari tempatnya.
Desiran
angin lebih terasa kencang ketika ia berada di atap, pikiran Titan jadi sedikit
dingin karenanya. Sekali lagi, matanya yang kecil membuatnya belajar betapa
luasnya jagad raya ini dan Titan hanya sebagian kecil dari dunia yang telah
Tuhan ciptakan.
Kos
Titan adalah bangunan tertinggi di dataran itu, jadi Titan bisa melihat langit
dengan lebih luas tanpa terhalang gedung-gedung lain. Di atap sederhana itu ia
merasa lebih dekat dengan langit, lebih dekat dengan Tuhan. Otaknya kembali berpikir,
Tuhan keren banget, ciptaan Tuhan
begitu banyak bahkan hingga di luar jangkauan pikiran manusia, namun Tuhan
tidak pernah merasa rumit karenanya. Titan sendiri, baru dapat masalah kecil,
hidupnya sudah berantakan. Ia jadi malu sendiri.
Titan
kembali merasakan hembusan angin yang menerpa dirinya. Angin terasa semakin
silir, semakin segar, dan semakin melegakan – mungkin angin telah mengikuti
suasana hatinya. Titan mencoba melepaskan pikirannya, ia ingin istirahat
sebentar saja, menikmati malam dengan sederhana, sendiri. Ia ingin meleburkan
perasaan galaunya pada malam yang semakin larut. Ia ingin membagi perasaannya
hanya dengan Tuhan, karena hanya Tuhan yang tahu pasti apa yang ia rasakan.
Titan
berdiam diri cukup lama, matanya masih menerawang pada jutaan bintang yang sebenarnya
tak menghiraukan keberadaannya. Namun, Titan senang, bintang itu sahabat Titan
juga, sahabat yang telah meyakinkan Titan kalau Tuhan sungguh ada. Dan Ia tidak
pernah tidur.
Titan
kembali teringat pada apa yang Dewi bicarakan siang tadi, tentang mimpi,
tentang passion, tentang hidup yang
harus ditata. Pikirannya kembali berputar. Benar
juga, setiap orang harus punya mimpi. Jadi
aku nggak boleh stuck dong, aku harus melakukan sesuatu biar hidupku berarti,
begitu hatinya bicara. Titan langsung terbangun dari rebahannya. Ia segera
kembali ke dalam kosan, menculik Dewi yang sudah tidur nyenyak di kasurnya yang
empuk untuk diajak sharing.
“Dew,
bantu aku cari kerjaan.”
“Kamu
bangunin aku jam dua belas malem cuma buat bilang itu? Ah, sialan lo!”, Dewi
nggak terima. Ia berusaha balik ke kamar tidurnya namun dicegah oleh Titan.
“Aku
serius Dew! Kamu bilang, sekarang waktunya aku bermimpi, jadi bantuin aku ya?
Aku ingin mencari kesibukan apa gitu, siapa tahu aku nemu passion aku di situ?”
Dewi
menghela nafas panjang, ada rasa sedikit sesal dalam dadanya karena pembicaraan
tentang mimpi yang mereka obrolkan tadi siang tampaknya sudah membuat tidurnya
disabotase. Dewi membetulkan duduknya, menyandar ke tembok, sambil memeluk
bantalnya yang empuk. Matanya makin tegas menatap, agar kantuknya cepat hilang.
Ia memandang wajah Titan dan ia tertegun karena ia melihat ada sebuah niat yang
tersirat di dalamnya.
“Passion itu jiwa kamu. Hal yang nggak
bisa nggak kamu lakuin. Hal yang paling bisa membuat kamu merasa enjoy,” Dewi berujar.
“Kerjaan
apa yang bikin aku merasa enjoy?”
Titan garuk-garuk kepala.
“Bukan
kerjaan Titan, passion itu nggak harus kerjaan kamu. Biasanya orang kerja kan
untuk cari duit buat mewujudkan tujuan hidup mereka, seperti bangun rumah, beli
mobil, atau apa gitu. Kalau passion itu itu buat memenuhi kebutuhan jiwa kamu,
kesenangan kamu.”
“Jadi
passion itu hobi?”
“Bukan
juga, mirip sih, tapi nggak sama. Ibaratnya nih, ‘hobi’ itu pekarangannya
‘passion’. Daripada hanya di pekarangan, mending masuk ke rumahnya sekalian.
Harus ada nilai dalam hobi itu biar jadi passion.”
Titan
termenung sejenak, memikirkan hal yang ia sukai dan hal yang paling sering ia
lakukan.
“Aku
paling suka menikmati pagi Dew, terus passion aku apa?”
Krik...krik...krik...
Titan
polos banget. Dewi jadi pesimis, Titan kayaknya emang nggak bakat dimana-mana.
Dewi mengamati Titan dalam-dalam, mencoba mencari sisi positifnya yang sudah
tertimbun energi aneh-aneh yang menyelimuti dirinya.
“Gimana
kalo kamu coba ikutan sayembara nulis cerpen atau nulis apa gitu. Dulu waktu
jadi guru relawan, aku liat kamu sering ngajarin anak-anak buat belajar dari
hal-hal yang sederhana di sekitar mereka kan? Kenapa kamu nggak coba
menyalurkan pengamatan sederhana kamu itu dalam bentuk tulisan? Biar orang lain
juga bisa tahu.”
Titan
mengernyitkan dahinya, mencoba mencerna kata-kata Dewi yang panjang. Lambat
laun, mukanya berseri. Ia mulai menyadari kalau selama ini ia selalu menjadi
pengamat yang baik. Ia punya kemampuan mendeskripsikan sesuatu dengan jelas. Ia
juga suka mengamati hal-hal sederhana dan kadang suka membuat teori-teori tidak
penting yang sering disambut dengan rasa heran dari orang-orang disekitarnya –
karena Titan aneh, karena Titan suka memperhatikan hal-hal yang tidak banyak
diperhatikan orang. Ia juga teringat, kalau selama ini secara diam-diam dia
banyak menuliskan kebiasaan-kebiasaan aneh teman-teman sekosnya, juga hal-hal
aneh yang ia temui atau bahkan yang ia ciptakan sendiri. Dan ia sering
bercerita dengan dirinya sendiri tentang apa saja. Dia juga sering merenung dan
berpikir meski beban hidupnya tidak berat. Titan tersenyum bangga, menyadari
keanehannya selama ini ternyata adalah kelebihannya.
“Makasih
Dew, beneran deh, kamu memang emak yang baik,” ujar Titan sambil mengulurkan
tangannya untuk meluk Dewi.
Dewi
yang jelas-jelas jijik pun langsung pasang kuda-kuda. Titan jadi mengurungkan
niatnya.
“Kamu
serius mau nulis?” tanya Dewi dengan wajah serius dan tidak percaya.
Titan
langsung nyengir kuda. “Yaaaah, Dew, baru aja kamu bangun semangat aku,
sekarang udah kamu patahin lagi.”
Otak
Dewi langsung merespon, kalau ia tidak buru-buru membangun semangat Titan lagi,
ia sendiri yang akan repot nanti, nggak bisa tidur sampai pagi gara-gara harus
nemenin Titan menggalau.
“Ya
udah Tan, nulis aja, jalan kamu kayaknya emang di situ. Kamu kan udah jadi
editor, ya biarpun freelance kan
seenggaknya kamu udah belajar dikit-dikit tentang dunia penerbitan. Siapa tahu
ntar bisa jadi penulis besar, jadi kamu nggak perlu pusing lagi dikejar deadline ngedit. Kayaknya juga enakan
jadi penulis ketimbang jadi editor.” Dewi sebenarnya iseng mengucapkan kalimat
itu, karena ia sudah sangat mengantuk dan ia berharap dapat kembali tidur
dengan nyenyak tanpa gangguan Titan. Namun, siapa sangka kalimat itu memberi
efek mujarab. Mendengarnya, senyum Titan kembali hidup – sungguh anak yang
mudah dihasut.
Hari-hari
selanjutnya jadi rajin online, cari
informasi sayembara nulis yang diadakan oleh penerbit mayor, indie, organisasi,
ataupun kampus. Ia juga jadi lebih sering menulis diari – yang isinya aib
temen-temennya, buat latihan nulis. Tawaran ngedit buku novel juga lumayan
banyak. Titan yang dulunya setiap hari sibuk tidur, kini sehari-harinya selalu
dikejar deadline. Dewi dan Stella
saja sampai kalah sibuk.
Ketekunan
Titan dalam menulis ternyata membuahkan hasil. Tulisan pertama yang ia ikutkan
dalam sebuah sayembara penulisan cerpen komedi berhasil masuk nominasi pemenang
dan akan segera dicetak. Meski baru satu buku antologi, namun Titan sudah
sangat amat bangga. Ia jadi makin semangat buat nulis.
Dewi
sampai angkat jempol sama Titan yang ternyata berhasil pada tulisan pertamanya
– meski isinya banyak nyela Dewi dan Stella belum lagi namanya nggak
disamarkan. Dewi menyebut ini dengan “risiko temenan sama Titan”.
“Keren
Tan, ini yang namanya keberuntungan pemula. Sekali nyoba langsung menang, biar
kamu semangat di sini,” begitu ucap Dewi memberikan dukungan.
Titan
pun makin semangat. Dia jadi punya ide buat menulis kumpulan cerpen yang isinya
aib temen-temen kosnya.
***
Suatu
hari, Dewi mengajak Titan ke toko buku. Titan yang memang lagi suka nulis pun
langsung mengangguk semangat. Stella yang nggak mau dibilang “cuma cantik” pun
ikutan nimbrung.
“Tapi
kita mau ngapain ke toko buku?” tanya Titan masih bingung.
“Beli
bubur ayam,” jawab Dewi sekenanya.
“Nyari
buku lah Tan, novel, komik, buku kuliah, buat kamu buku tulis juga cukup deh,”
Stella menyela. “Toko buku itu tempat nongkrong yang bagus buat asah otak Tan,
jadi nongkrong itu nggak cuma bisa di mall doang.” Stella nggak nyadar kalau
kata-katanya barusan lebih cocok buat dirinya sendiri.
“Kamu
kan bisa sekalian ngecek buku kamu masuk di rak mana, siapa tau masuk jajaran
buku novel terlaris,” Dewi mulai serius.
Titan
manggut-manggut, “Oke deh.”
Mereka
pun langsung berangkat. Sejak Titan putus dari Bagas, mereka bertiga sering
terlihat bersama. Sesampainya di toko buku, Stella langsung menuju ke rak buku
yang isinya resep-resep makanan. Titan dan Dewi langsung melirik curiga,
jangan-jangan Stella udah dikasih deadline nikah sama ortunya. Dewi pun
berjalan-jalan menyelami rak buku satu ke rak buku lain. Titan yang memang dari
awal tidak ada tujuan, hanya membututi Dewi kemanapun ia pergi. Dewi yang
lama-lama risih pun mulai protes.
“Serius
deh Tan, aku jadi kayak emak kamu beneran kalau kamu nggak berhenti ngikutin
aku kayak gini.”
Titan
langsung manyun-manyun. Ia sendiri juga tidak ikhlas kalau dikira anaknya Dewi
yang secara fisik memang lebih cantik, nanti malah dibanding-bandingin. Titan
mencoba pergi ke lantai dua, kata mbak penjaganya di lantai dua sedang ada
diskon gede-gedean. Siapa tahu ada buku yang menarik, Titan langsung cabut.
Di
lantai dua, Titan nyegir kuda. Memang benar ada diskon besar-besaran, tapi
khusus buku-buku bisnis. Titan mau pakai buat apa buku-buku macam itu. Namun, malaikat
baik di hati kecilnya bicara, “Tan, kalau kamu baca buku motivasi bisnis, siapa
tahu ntar kamu jadi rajin mandi. Kalau kamu udah rajin mandi, peluang sukses
kamu akan semakin besar. Karena orang yang berpenampilan rapi dan wangi itu merupakan
ciri-ciri orang yang sukses.” Meski malaikat baik di hati Titan agak bodoh,
tapi bener juga ya. Titan pun jadi punya biat buat melihat-lihat buku bisnis
itu.
Entah
bagaimana, secara ajaib Titan tertarik pada sebuah buku bersampul biru yang
terpajang di rak yang berada di tengah-tengah ruangan itu. Ia seperti tidak
sadar mendekati buku itu. Tangannya mencoba meraih buku itu dan tiba-tiba ia
terkejut ketika tak sengaja menyentuh tangan yang hendak mengambil buku itu
juga. Pandangan Titan jadi teralihkan pada pemilik tangan yang munggkin secara
tidak sadar tertarik pada aura buku itu pula.
“Bagas??”
ujar Titan kaget.
“Titan?”
Bagas juga kaget.
Mereka
berdua sama-sama tercengang dengan kebetulan yang aneh itu. Hati mereka
sama-sama bicara, selalu seperti ini.
Pandangan Titan terhenti pada wajah Bagas yang rasanya sempat hilang. Titan
hampir tak percaya mampu melihatnya dari jarak dekat lagi.
“Kamu
tertarik sama buku kayak gini juga Tan?”
“Hah?”
Titan bengong.
“Buku
bisnis seperti ini?” Belum sempat Titan menjawab, Bagas sudah berkata lagi.
“Kalau aku suka banget, apalagi sejak bantuin di EO liburan kemarin.”
Titan
masih bengong. Ia tidak menjawab apa-apa. Titan tidak suka buku bisnis. Ia
bahkan tidak tahu mengapa ia meraih buku itu tadi. Lalu tiba-tiba datang seorang
perempuan cantik yang mendekati Bagas. Ia
berkulit putih, rambutnya panjang keriting gantung, namun terlihat
sangat lembut. Kakinya terlihat jenjang dan mulus, sehingga terlihat sangat
seksi dengan rok mini yang ia kenakan.
“Udah
ketemu bukunya belum sayang,” ujar wanita cantik itu pada Bagas.
Titan
speechless. Sayang?? Kata itu terekam sangat jelas di otak Titan. Hati Titan
merasa seperti tertikam pisau yang tajam. Jadi,
Bagas sudah punya pacar baru? Tapi sejak kapan? Titan bertanya-tanya pada
dirinya sendiri.
“Udah
nih,” ujar Bagas sambil menunjuk pada bukunya. Lalu ia kembali menoleh ke Titan
dan berpamitan.
Titan
masih diam memaku, matanya masih menatap kosong. Kedua bola matanya yang mungil
hampir tertutup air mata, namun ia berusaha menahannya. Dengan hati berat, Titan
mencoba tersenyum pada pasangan baru itu. Ia berusaha sekali menutupi kekalutan
di hatinya dengan senyum.
Titan
jadi tidak bersemangat berada di tempat itu lama-lama. Ia pun segera turun ke
lantai satu, kembali mendekati Dewi dan berharap agar kedua sahabatnya ingin
segera pulang juga.
Dewi
dan Stella juga tidak sengaja melihat Bagas dan seorang perempuan cantik baru
saja keluar dari toko buku itu. Mereka berdua memandang Titan dengan tatapan iba,
lalu memutuskan untuk segera kembali ke kos.
Di
perjalanan, Dewi yang tak tahan melihat wajah Titan masih muram pun akhirnya
angkat bicara.
“Namanya
Karina. Dia adik tingkat kita, Tan. Aku dengar mereka pacaran sudah sekitar tiga
bulan mereka jadian.”
“Tiga
bulan? Liburan semester kemarin kan Bagas masih pacaran sama aku. Jadi selama
ini Bagas selingkuh?”
Dewi
dan Stella hanya diam. Keduanya memandang dengan tatapan prihatin ke Titan sejenak lalu mengalihkannya lagi karena
tak tega.
“Kok
kamu baru bilang sama aku sih Dew?” tanya Titan lagi.
“Karena
aku nggak tahu bener atau enggak. Aku hanya mendengar dari anak-anak kampus
aja. Adam juga selalu diem kalau aku tanya masalah ini. Status mereka di
facebook grup jurusan kita ‘in
relationship’, tapi namanya nggak disebutin, jadi aku nggak berani bilang.
Takut salah.” Dewi menunduk lesu, hatinya terasa berat mengatakan semua hal
tidak enak seperti itu kepada sahabatnya sendiri.
Titan
terdiam, ia sungguh tidak percaya Bagas telah menyelingkuhinya, bahkan dengan
adik tingkatnya sendiri. Kenapa harus adik
tingkat? Pikirnya berontak. Rasanya lebih sakit melihat Bagas jadian sama
adik tingkat ketimbang jalan sama cewek asing yang nggak dia kenal. Selama ini
Titan mengira kalau Bagas itu bukan tipe orang yang suka menilai orang dari
fisiknya, ternyata ia salah. Selama ini ia kira Bagas itu cowok yang beda,
ternyata dia sama aja seperti laki-laki munafik lain. Titan menyadari, ternyata
orang baik pun masih berpotensi buat menyakiti orang lain. Ia merasakan sakit
yang lebih dalam dari sebelumnya, namun di satu sisi ia juga menyesal karena
pernah menangisi Bagas dan menganggap bahwa dirinya yang salah.
“Ini
udah jadi obrolan panas di kampus, Tan. Tapi mereka cuma berani ngomongin di
belakang kamu. Mereka bilang, Bagas dan Karina sama-sama ninggalin pacarnya buat
jadian.”
“Jadi
Karina sebenernya udah punya pacar?”
“Aku
nggak tahu pasti, tapi mereka bilang seperti itu.”
“Gila
ya?” Titan mengacak-acak rambutnya. Hatinya gerah. Suasana makin panas.
***
Kampus
jadi terasa seperti sauna bagi Titan, panas. Tapi ia mencoba tetap mendinginkan
kepalanya biar nggak pecah. Meski Titan hanya mendengar cerita dari Dewi yang
kebenarannya masih belum valid, Titan tidak berusaha mencari tahu kebenarannya.
Ia hanya mengalir, karena ia yakin yang namanya kebenaran itu nggak perlu
diumbar-umbar pasti dia akan muncul sendiri.
Dan
benar, lambat laun Bagas makin terang-terangan dekat sama Karina. Cantik sih,
lebih cantik dari Titan, jadi wajar, begitu pikir orang banyak, Titan juga –
tapi tetep aja Bagas kurang ajar. Karena cerita yang ia dengar dari Dewi
ternyata benar, mereka jadian sejak liburan semester lalu. Kisah cinta
segiempat antara Titan, Bagas, Karina, dan pacar Karina sudah bukan jadi
rahasia lagi. Semua orang jadi iba tiap liat Titan, teman-teman sekelasnya juga
nggak ada yang berani godain Titan dalam masalah ini, soalnya takut Titan
nangis, meski Titan cuek-cuek aja. Titan merasa nggak perlu nangisin Bagas,
karena memang nggak pantes buat ditangisin.
Suatu
kali Titan pernah kepikiran buat nulis kisahnya lalu mengirimkannya ke redaksi.
Tapi sahabatnya, Dewi dan Stella, menyarankan dia untuk tidak melakukan itu.
“Just forgive him,” ujar Stella..
“Forgive to forget,” Dewi menambahkan.
Benar
juga. Lagi pula, balas dendam dengan cara seperti ini juga nggak akan membuat
keadaan jadi lebih baik, belum lagi yang ditulis adalah aib seseorang, yang ada
cuma nambah dosa. Titan jadi teringat kata-kata bijak dari editor seniornya
kalau seorang penulis yang baik itu selalu bisa membuat pembacanya lebih lega
atau lebih pintar ketika membaca tulisannya. Mending, nulis tingkah aneh-aneh anak kosan, pikirnya. Meski
sebenarnya sama saja sih, tapi setidaknya teman-teman Titan sudah ikhlas selama
tokoh Titan juga nggak kalah malu-maluin dalam cerita itu.
Titan
move on. Dia semakin rajin menulis,
rajin mandi, rajin ngampus, rajin baca qur’an, rajin baca buku, rajin apa aja.
Ia membiarkan dirinya sibuk, agar pikirannya tidak lari memikirkan hal kecil
yang nggak berguna.
Perlahan
kehidupan Titan mulai berubah. Ia semakin dekat dengan dunia penerbitan. Meski
ia sudah tidak mengedit novel lagi, tapi deadline sayembara nulis bertubi-tubi.
Titan fokus sama mimpi barunya untuk menjadi seorang penulis. Titan jadi nggak
begitu mikirin yang namanya cinta lagi. Seperti ketika Stella mencoba
mengenalkan Titan dengan temannya di kampus, Titan menolaknya.
“Kenalan
dulu aja lah Tan. Dia cakep kok,” bujuk Stella.
“Stella
sayang, aku nggak peka sama cowok cakep. Jadi ya sama aja, nggak ngefek.”
“Ya
udah ntar aku kenalin sama yang jelek,” Stella keukeuh.
“Yang
cakep sama yang jelek semuanya buat kamu aja deh,” Titan masih cuek.
“Aku
juga masih jomblo La. Yang cakep kira-kira mau nggak ya sama aku?” ujar Dewi sok
imut.
Stella
nyengir-nyengir. Titan pun pura-pura nggak denger. Mereka sepakat buat nggak
mengijinkan siapapun deket sama Dewi karena mendadak ortunya mau jodohin dia
sama dokter cakep, baik, tajir pula. Meski Dewi belum meng’iya’kan, karena
alasanya Dewi lagi bersemangat mengejar mimpi, tapi tetap saja durian jatuh
seperti pak dokter itu tidak boleh diabaikan – kecuali kalau Dewi mau
menghibahkan pada salah satu temannya.
Titan
juga lagi semangat banget mengejar mimpinya. Belum lama ini ia ingin menjadi
penulis novel atau setidaknya pernah punya buku yang pengarangnya dia sendiri,
bukan buku yang penulisnya keroyokan lagi.
Setiap
ada event menulis dari penerbit selalu diikuti Titan. Namun, jalan tak semulus
apa yang diinginkan. Titan kembali menulis tingkah aneh-aneh temannya, namun tidak
masuk nominasi pemenang – mungkin Tuhan memang tidak akan memberi ijin lagi
untuk menulis hal buruk tentang orang lain. Titan menulis aibnya sendiri,
ditolak. Titan menulis cerpen fiksi, ditolak juga. Titan menulis cerita anak,
juga ditolak. Titan menulis flashfiction, masih ditolak juga. Sudah sekitar
lebih dari dua puluh cerita yang sudah gagal menang dalam event yang Titan
ikuti. Terakhir, ia mencoba membuat novel. Namun sebenarnya Titan sudah agak down karena sering ditolak. Tapi, Dewi
dan Stella nggak pernah absen memberikan semangat.
“Seseorang
pasti akan mengalami hal seperti ini, ia berada di titik dimana ia hampir
menyerah. Di saat seperti itulah dibutuhkan keyakinan yang kuat untuk selalu
maju karena langkahnya memang tinggal sedikit lagi,” ujar Stella.
“Betul
Tan, satu langkah lagi. Nggak ada perjuangan yang sia-sia.” Dewi menambahkan.
“Tapi
saingan aku itu banyak, yang mimpi ingin jadi penulis pasti nggak hanya aku
doang. Belum lagi saingannya penulis-penulis senior.” Titan masih pesimis.
“Novel
kamu sudah dapat berapa halaman?” tanya Dewi.
“Baru
dua puluh.”
“Sudah
dua puluh kan? Berarti tinggal bikin sisanya!” ujar Dewi bersemangat.
“Lagian
ya Tan, kamu udah sering ditolak kan? Lalu apa masalahnya kalau ditolak lagi?”
Stella menambahkan.
Titan
nyengir, tapi ia tertawa juga. Ia sadar segalanya tidak semudah itu, namun
Titan tahu betul kalau teman-temannya bermaksud ingin memberikan semangat. Ia
jadi berpikir ulang untuk menyerah. Ia meyakinkan dirinya untuk tidak hanya
sekadar menjadi pemimpi namun orang yang mampu mewujudkan mimpi, atau bahkan menjadi
orang yang mampu menginspirasi mimpi-mimpi orang lain. Ia memang masih belajar
mewujudkan mimpi, namun ia tidak akan membiarkan dirinya menjadi orang yang
gagal belajar. Karena mimpi itu jelas patut diperjuangkan.
Minggu-minggu
selanjutnya Titan jadi sering mengurung diri di dalam kamar demi menyelesaikan
novelnya. Bagus memang, sayangnya semangatnya yang menggebu-gebu ini
menimbulkan efek samping, yaitu Titan balik lagi jadi jarang mandi, dengan alasan
tunggal, di kejar deadline. Untungnya
Titan jarang-jarang keluar kamar, jadi anak kos yang lain tetap aman dari
bencana keracunan.
Lembar
demi lembar Titan hasilkan dengan memaksakan otaknya bekerja lebih keras. Hari
terus berganti, hingga semuanya sampai pada hari itu. Hari dimana Titan
mengembangkan senyum yang lebih lebar dari biasanya, tawa yang lebih renyah
dari biasanya. Jemarinya tampak lelah, namun bibir Titan sungguh memiliki
senyum yang bahagia. Semua karena Titan sudah berhasil menyelesaikan naskahnya.
Musik
mp3 masih mengalun pelan dari laptopnya. Titan masih menggerakkan kursor dan
membenahi naskahnya. Jari-jari tangannya menari lepas di atas keyboard, seolah
keyboard adalah dunia mereka sendiri.
“Jadi ini benar-benar menjadi hal yang kamu
sukai sekarang?” tanya Titan pada dirinya sendiri. Ia tersenyum, seolah
menjawab “iya” dengan pasti. Ia sendiri tidak tahu sejak kapan ia suka menulis,
yang ia tahu hanya ia mencoba dan tidak begitu peduli pada hasilnya.
Ia
hanya membiarkan jari-jari tangannya melukiskan pikiran mereka sendiri,
membiarkan mereka lepas dan menari sesuka mereka. Perlahan, keyboard menjadi
tempat yang nyaman untuk mereka tinggal. Jari-jari itu terasa lebih hidup di
atasnya, seolah mereka memiliki jiwa mereka sendiri.
“Jadi ini passion?” Titan bertanya lagi
pada dirinya. Kali ini dahinya mengerut, Titan menghentikan ketikannya dan tertawa
kecil. Ia tidak tahu – atau mungkin tidak yakin. Namun, di dalam hati, Titan
sadar betul kalau ia nyaman sekali dengan apa yang ia lakukan. Menulis seolah
telah mengisi jiwanya yang kosong. Awalnya, ia hanya melakukan untuk lari dari
Bagas, namun perlahan hal itu berubah. Menulis sudah menjadi bagian dari
dirinya, bagian yang tak dapat ia tinggalkan.
Titan
mengacak-acak rambutnya dan menertawai dirinya sendiri yang agak konyol. Ia
kembali fokus pada LCD yang ada di hadapannya.
“Kenapa
aku ini?” Titan bergumam sendiri. Lalu seperti ada suara yang berbicara di
dalam kepalanya, “I just act on it.”
Setiap
orang pasti mengalami masa-masa seperti ini. Berbicara pada diri sendiri
tentang diri kita. Dan secara ajaib, muncul keyakinan-keyakinan baru yang
berhasil dibentuk oleh diri kita yang lain. Keyakinan yang selanjutnya akan
menjadi pondasi di kaki kita yang akan selalu kita percayai dan kita gunakan
untuk meringankan beban hidup kita.
Titan
juga percaya pada dirinya sendiri. Percaya bahwa yang ia alami adalah bagian
dari proses kedewasaannya. Ia kembali menatap hatinya yang sudah lama meyakini
kalau setiap manusia pasti diciptakan untuk sebuah tujuan yang besar. Kewajiban
kita sebagai manusia adalah mencari tahu alasan mengapa kita dilahirkan di bumi
yang luas ini, mencari tahu peran kita dimana, lalu memberikan yang terbaik di
dalamnya, selalu memberikan yang terbaik untuk mewujudkan rencanan Tuhan dalam
menciptakan kehidupan yang Agung.
“I’ll give my best, I promise, ” ujar
Titan lagi.
Telunjuk
Titan mengetuk-ngetuk halus pada keybordnya. Ia kembali mengecek naskahnya
sekali lagi, hingga hatinya yakin. ia mengarahkan kursornya ke menu
file-print-all pages. Bibirnya mengembangkan senyum. Perjuangannya terhenti
sejenak di sini.
***
Sumber gambar http://www.wallpaperup.com/ 247236/ woman_mood_girl_hair_sunset_sunrise.html
0 komentar:
Posting Komentar