BAHAGIA BERTEMU POHON MANGGA




Udah beberapa hari ini gue ngidam sambal mangga muda. Enggak, gue belum hamil. Ini hanya naluri yang biasa muncul saat musim mangga tiba. Sebenernya gue punya tempat makan favorit yang menyediakan menu sambal mangga muda, tapi kalo kesana cuma beli sambal itu doang malu. Kalau mau nambah beli yang lain, malu juga soalnya uang di dompet nggak cukup. Alih-alih nggak mampu beli, gue cari yang gratisan, abis selama ini gue cuma bisa nelen ludah aja tiap liat mangga muda.
Suatu malam yang berdebu, gue sama adek kos  pulang dari hotspotan. Waktu itu gue bertiga, sama Rika dan Firda. Kami melewati jalan kecil yang ada di sepanjang pagar pembatas kampus. Jalan ini baru aja jadi, di sampingnya ditanami pohon mangga yang berjajar rapi mengikuti jalan. Sebagai anak kos yang tuna mangga, muka gue pun langsung mupeng.
“Wuaaaaa...pohon mangganya berbunga, aduh ada buahnya kecil-kecil,” ujar gue gemes kayak pengantin baru yang liat anak kecil terus kepengen. “Ini punya siapa ya?”
“Punya kampus mbak, kan nanemnya bareng jalan ini dibangun,” ujar Firda.
Sekejap, di otak gue langsung terlintas niat jahat. “Ambil ah, udah bayar SPP juga.” *ada gitu hubungannya mangga sama SPP?
“Tapi itu masih kecil mbak, kemudaan,” ucap Rika.
“Ini mangga apa sih? Kok bentuknya agak aneh. Aku baru liat deh jenis mangga kayak gini.” Kata Firda lagi.
“Iya..ya..mangga apa ni?” Sembari mikir. “Ah, coba aja deh.”
Sambil jalan, mata gue fokus di deretan pohon mangga, berharap menemukan mangga yang udah bisa dipetik, minimal yang bijinya udah agak keras. Setelah agak lama berjalan, gue melihat satu pohon mangga yang buahnya lumayan lebat. Ukuran buahnya agak kecil, namun sepertinya udah bisa dikonsumsi. Sayangnya, letak buahnya lumayan tinggi.
Karena gue yang paling boncel, gue pun menghasut adek kos untuk membantu mengambil mangga kampus itu. Mereka berdua lompat-lompatan seperti peserta lomba balap karung dan gue jurinya. *ketawa devil
“Itu dek, ituuu...yang sebelah kanan,” gue memberi aba-aba ke Rika.
“Firda ambilin yang sebelah sini ya, jinjit..jinjit...”
Semuanya pun langsung mengikuti aba-aba gue.
“Susah mbak, tinggi banget,” kata Firda
“Aku angkat ya?”
“Emang mbak Tias kuat?”
“Ooh iya, ya udah kamu lompat aja.”
“Yang ini juga mbak, tinggi banget mangganya.”
“Bentar...bentar...tak cariin kayu.”
“Eh, nggak usah mbak, aku tak naik pagar trus lompat aja.”
Aduh, gue jadi terharu adek kos sampai mau mengorbankan nyawanya gitu. Gue udah kayak emak tiri yang mengeksploitasi anak bungsunya. Tapi hati gue bicara, makasih ya adek kos, kalian udah mau meninggalkan sejenak harga diri kalian demi gue, hiks. Untung aja adek kos gue jomblo semua, jadi nggak ada yang berpotensi diputusin pacarnya gara-gara ini. Gue masih memberikan komando ini itu ke mereka. Suara lompatan kaki “jlak jlugg jlak jlugg” semakin riuh terdengar, sehingga orang-orang yang lewat pada ngelihatin. Tapi cuek aja, selama yang lewat bukan satpam, kami aman.
“Udah mbak, yang lain masih kecil-kecil tuh..” kata Rika sambil membawa dua mangga di tangannya. Firda juga dapat dua. Baju mereka belepotan kena serpihan kotoran pohon. Perjuangan mereka menghasilkan empat mangga, kalo disambel udah cukup lah.
“Makasih ya adek kosku yang cantik, semoga kalian mendapat pahala yang setimpal.” *gue lupa kalo gue udah nyuruh mereka ambil mangga secara ilegal
Kami lanjut jalan lagi menuju kosan, ketika sampai di ujung jalan dan mau nyebrang, kami melewati satu pohon mangga lagi yang buahnya lebat. Tapi melihat pohon itu, bukannya seneng, kami justru menyesal.
“Lhoh, yang sini ternyata lebih lebat dari yang tadi,” ujar gue kecewa.
Adek kos lebih kecewa lagi, “Aduh, iya ni mbak, mana buahnya rendah lagi. Nih, aku nggak jinjit aja udah bisa metik. ”
“Sayang banget ya, padahal tadi udah antara hidup dan mati. Nyesek, liat buah yang ini besar-besar.”
Gue jadi merasa berdosa, biar usaha mereka nggak sia-sia, ya udah deh, gue metik lagi mangga yang gedhe. Gue ambil lagi dua buah, jadi total jarahan kali ini ada enam.
“Kalo buat sambel kebanyakan nih, nanti sisanya dibikin rujak atau manisan aja.”
Semua setuju *adek kos yang baik. Sesampainya di kosan, gue langsung mecah salah satu mangga buat tester. Gue belah pakai pisau lalu gue cobain.
Hidung gue mengendus-endus.“Ehm...kok aromanya wangi-wangi aneh ya?” *hidung gerak-gerak nyedot aromannya
Kebetulan Ayu lewat, “Itu mangga dari mana mbak?”
“Dari kampus.”
Dia duduk, lalu mencium mangga yang udah gue potong barusan. Matanya melirik kesana kesini kayak mikir apa gitu. Lalu tak lama kemudian dia bilang, “Ini bukannya mangga hias mbak?”
“Masak sih?” *motong mangga dikit trus gue jilatin
Dia ikut nyobain juga, lalu alisnya berkerut. “Aneh, berserat, sepet, gimana gitu. Aromanya juga bukan yang harum seger. Ini sih mangga hias mbak, nggak bisa dimakan.”
GLEKK. Ternyata gue salah target. Pantesan buahnya pada menggantung di pohon, nggak ada yang metik. Pohon mangga yang ada di dalam kampus aja ludes, ini yang letaknya di pinggir jalan raya, sering dilewatin orang malah awet. Jadi perjuangan adek kos tadi sia-sia dong.
“Gimana mbak Tias, enak mangganya?” tanya Firda yang baru ikutan nimbrung.
Gue diem, “Ehmmmmm...kamu kan capek banget. Jadi kamu istirahat aja dulu, bahas mangganya minggu depan aja ya..” *kabur ke bulan
***
Sumber gambar https://medium.com/@PolBishop/10-trees-with-worldwide-fame-d80dda638557#.t0s1emzen





2 komentar:

BAHAGIA BERTEMU POHON MANGGA