ANXIETA




Masih inget banget waktu Rika pertama kali dateng ke kos, nangis-nangis, rentan galau, kalau makan nggak pernah dikunyah. Sekarang? Rika udah jadi pribadi yang lebih strong. Strong yang gue maksud bukan “strong” yang bisa angkat almari besi 15 ton sambil kasih makan ternak, tapi mentalnya yang kuat. Menurut gue, itu semua berproses ketika Rika jadi anak pecinta alam di fakultasnya. Selesai diklat, gue langsung wawancara ke Rika.
“Gimana? Disuruh ngapain aja?”
“Haduh mbak, kemarin itu kita semua dilepas di hutan, nggak boleh bawa bekal, harus survival.”
“Wah, keren. Serasa di rumah dong, jadi bisa ketemu sama kepompong-kepompong yang lain.”
“Keren apa mbak, aku nggak mandi berhari-hari.”
“Nggak ganti baju juga?”
“Iya, emmmhh ... baunya, bisa buat bunuh ikan mbak.”
“Mending beli ikan yang di pasar aja dek, ikannya mati secara terhormat.”
Spontan gue diguyur pake ampas tahu.
“Kemaren itu mbak, masak ada temenku yang ketahuan bawa odol (pasta gigi), trus dihukum disuruh makan odolnya.”
“Waww?” gue bengong. Gue juga pernah ikut gladi SAR, tapi nggak segitunya juga. Emang waktu gladi nggak sempet gosok gigi sih, tapi saat kami diuji di lapangan, kami justru dibawain bekal ransum dan snack khusus buat makan. Itu juga masih ditambahin petugas medis khusus buat ngecek kesehatan kami tiap malam. “Odolnya dimakan beneran? Kamu ikutan makan?”
“Dimakan mbak, tapi aku nggak minta.” *inisiatif bagus
Gue yang awalnya takjub, sekarang berubah jadi prihatin. “Trus kalian dilatih apa lagi?”
“Banyak mbak. Tapi yang paling aku inget, waktu itu kita semua disuruh cari cacing di dalam tanah trus disuruh makan hidup-hidup.”
“Hiiii...”
“Ya ampun mbak, aku nggak berani ngunyah, jadi langsung aku telen. Rasanya masih gerak-gerak gitu di tenggorokan.”
Subhanallah. Itu cacing kalo bisa ngomong, pasti udah ngadu ke guru TK’nya, minta dibalikin hidup-hidup. Kalo gue pasti udah “hoek” duluan, cacingnya juga ikutan muntah kena radiasi jigong di mulut gue. Tapi kerennya, Rika kelihatan baik-baik aja tuh. Kalau biasanya dia kasih makan cacing ke binatang ternaknya, kali ini dia sendiri yang makan cacingnya. *mewakili
Tampaknya, diklat itu udah membuat dia jadi pribadi yang beda dari yang sebelumnya. Tapi perubahan sikap Rika sepertinya masih terkontaminasi sama jiwanya yang dulu. Suatu hari Rika bilang mau naik gunung. Kemajuan nih, dulu aja pas pertama kali ke Solo, nangis. Sekarang udah berani naik gunung, keren. Tapi...
“Mbak, doain aku ya, aku akhir pekan mau naik gunung.”
“Kemana?”
“Gunung Ijen. Pendakian perdana ini mbak, aku takut.” Haduh ini anak, udah pernah makan cacing, tapi masih penakut juga.
“Takut kenapa? Di gunung cowok gantengnya banyak loh...”
“Masak sih mbak?”
“Beneeeer ... perkasaaa ... perkasaaaa ... aaauuurrrrhhh.” *ngeluarin jurus maut cakaran kucing
“Mbak tau darimana?”
“Iyalah, kalo nggak perkasa, naik ojek aja tuh sampe puncak.”
“Yaelah mbak, kukira beneran..”
“Eh, bener, nanti kalo ketemu yang ehem ehem, tolong bawain satu ya?” *kedip kedip genit
“Beres mbak.” Rika langsung semangat.
“Udah ah. Kamu kuliah jam berapa, kok belum siap-siap?”
“Aduh, mbak Tias ngingetin.” Rika diem bentar, roman-romannya kayak gelisah kenapa gitu. “Aku takut berangkat kuliah mbak, takut dibunuh.”
“He?”
Ini adek kos satu lahir dari telenovela apa sih? Kok ade aje masalahnye. Gue aja yang terlahir dengan muka bermasalah nggak sebegononya.
“Lhoh, kok bisa? Emang kamu abis ngapain?” gue tanya lagi.
“Gini mbak, kemaren aku pesen obat peninggi badan ke kakak tingkat, barangnya nggak dikirim-kirim, jadi aku protes kan, minta barangnya segera dikirim. Trus pas barang udah sampai dan mau dikasih ke aku, aku nggak bisa beli mbak. Uangku udah abis buat persiapan naik gunung. Aku takut ini mbak, nanti kalau ketemu di kampus trus aku dibunuh gimana?”
Kuping gue keblinger denger penjelasannya yang panjang lebar itu. Tapi habis itu gue ketawa guling-guling. Ternyata setelah sekian hari ia “dibanting” di hutan, dia masih aja menyimpan rasa cemas yang berlebihan di dalam dirinya. Ternyata gue salah menilai, untuk sisi yang ini, dia nggak berubah. Ya, mungkin aja dia punya gejala anxieta – rasa cemas yang berlebihan. Jadi responnya untuk hal-hal yang sepele jadi agak esktrim.
“Nggak mungkin dibunuh lah dek, paling nanti diem-diem minuman kamu dikasih obat daun dicampur tinta spidol.”
“Aku takut mbak, nanti kalau ketemu dijalan, terus tau-tau aku ditusuk gimana?”
Gue tertawa terpingkal-pingkal sambil nahan perut biar cacingnya nggak keluar. “Iya, nanti aku yang ngeliput beritanya dek. Pesan terakhirnya apa lagi?”
“Serius ini mbak, pokoknya nanti kalau aku mati mbak cari dia ya? Dia perempuan, kakak tingkatku. Ini ni mbak fotonya.”

Gue makin ketawa jumpalitan. Kalo kayak gini, kayaknya dia jadi lebih serem daripada kakak tingkatnya. Well, setelah lama phobia nggak jelas, akhirnya adek kos berani berangkat kuliah juga. Sore harinya, Rika muncul lagi di kosan dalam keadaan utuh, segar bugar, dan udah beli makan malam. *Hish, tau gitu gue nitip!
Setelah menginjakkan kaki di kamarnya, Rika pergi ke kamar Indah.
“Indah, doain aku ya, aku mau naik gunung.”
“Iya.”
“Eh, serius Indah, aku kan takut ketinggian.”
Haduh, ni anak, dikiranya naik tiang listrik kali ya, gue sampe senyum-senyum sendiri dengernya. Gue nggak nyangka juga kalau dia bakal minta doa ke orang-orang. Udah kayak mau hijrah ke planet apa gitu.
Merespon permintaannya Rika, Indah pun langsung keluar menuju ruang TV, tempat anak-anak berkumpul
“Temen-temen, nanti abis magrib kita semua kumpul di sini ya. Nanti kita bareng-bareng kirim doa ke Rika,” ucap Indah lagi. “Katanya Rika mau naik gunung.”
“Eh, eh, eh ... jangaaaann! Masak dikirimin Yasin?” Rika protes.
“Ohh ... ya udah temen-temen, nanti kita kirimin Al Fatihah.”
“Yaaah ... sama aja.”
“Lhoh, doa apa sih Rik?” *ni anak juga nggak kalah polos sama Rika, jadi maklum ya, kalo durasi mereka ngobrol agak lama
“Ya doa biar selamat atau apa gitu.”
“Ooooh ... iya ... selamaaaat....” *ngacungin tangannya ke Rika sambil mukanya diimut-imutin
Rika gemes. “Udah, aku doa sendiri aja.”
***
Sumber gambar http://www.health.com/health/gallery/0,,20646990,00.html




0 komentar:

Posting Komentar

ANXIETA