Kuliah
Titan kali ini agak berbeda, karena dosen Titan yang terkenal cakep ternyata
mengundang seorang pakar jurnalistik yang cukup terkenal, meski masih muda
kepiawaiannya di bidang tulis-menulis tidak perlu diragukan lagi. Selain itu dia
mirip banget sama Keanu Reves saat usianya 20-an. Dosen Titan tampaknya
mengerti sekali bagaimana cara menyemangati mahasiswanya. Inisiatif Pak Dosen
untuk memberikan sedikit kuliah lapangan ini spontan mendapat antusias yang
luar biasa dari mahasiswa, termasuk Titan, ia bersemangat sekali setelah
melihat tampang jurnalis muda yang cerahnya nggak ketulungan.
“Inget
Ario Tan..” ujar Dewi yang nggak tahan melihat muka mupeng Titan.
“Mereka
sesama orang cakep, pasti mereka akan mengerti,” Titan berkilah.
Dewi
skeptis.
“Ya
ampun Dew, cakepnya kayak malaikat,” ujar Titan lagi.
“Dan
lo manusia, jadi kalian nggak akan bisa bersatu!!” Dewi menyadarkan. Melihat
ekspresi wajah Titan yang semakin menggelikan Dewi jadi yakin kalau Titan pasti
lagi bayangin kalau dia lagi ada di dalam dongeng dimana ada malaikat yang
turun dari langit kemudian tinggal di bumi dan jatuh cinta sama Titan, karena
malaikat telah melanggar aturan langit jadi malaikat diusir dari langit lalu
hidup bersama Titan di bumi hingga memiliki anak.
“Deeeewww!!
Kok lo malah bengong sih!!” Titan mengoyak tubuh Dewi pelan. “Melamun apa sih?”
“Heh..eh..apa?” Dewi kaget. Kenapa justru dia
yang memiliki pikiran yang aneh-aneh.
“Dew,
gue jadi bayangin, gimana ya rasanya kalau cowok cakep kayak dia jatuh cinta
sama gue. Gue pasti akan jadi playgirl yang baik buat Ario dan abang jurnalis,”
Titan masih mupeng.
Ternyata
Dewi benar, pikiran Titan nggak jauh-jauh dari situ.
“Tan,
plis deh, malaikat kayak dia dan manusia biasa itu nggak akan bisa bersama,”
Dewi mencoba menyadarkan lagi.
“Eh,
siapa bilang gue manusia biasa! Gue adalah bidadari lupa diri,” ujar Titan
sambil senyum-senyum sok imut.
Dewi
geleng-geleng melihat temannya jadi korban iklan. Ia memilih fokus sama
kuliahnya lagi sebelum ia ikut-ikutan jadi aneh kayak Titan.
“Kali
ini saya akan minta kalian membuat satu rubrik yang berisi liputan tentang
wisata, topiknya bebas, semakin lengkap semakin bagus. Untuk tugas ini, silakan
kalian melakukan research atau survei ke berbagai tempat untuk mendapatkan
informasi sesuai dengan topik yang kalian ambil. No copy paste ya! Ini adalah
tugas kelompok, untuk daftar kelompok bisa kalian lihat di papan pengumuman. Hasilnya,
silakan kalian kirim ke email saya. Ada yang ingin ditanyakan?”
“Deadlinenya
Pak?”
“Satu
minggu.”
“Ada
lagi yang ingin ditanyakan?”
Mahasiswa
diam.
“Oh,
iya, kabar bagusnya, untuk mahasiswa dengan liputan terbaik akan dapat
kesempatan untuk mengikuti internship program di kantor media Kreasindo tempat
Pak Arjuna bekerja.”
Mahasiswa
langsung mupeng, secara itu kantor media yang udah eksis di dunia publishing.
Tanpa basa-basi lagi mahasiswa langsung menyerbu papan pengumuman untuk melihat
rekan kerjanya, termasuk Titan yang berharap banget satu kelompok sama Adrian –
temen sekelasnya yang udah jadi reporter freelance di koran lokal.
“Jadii...gueee..satu kelompok samaaa....” ujar
Titan sambil berdoa supaya nanti waktu buka mata ia bisa melihat harapannya
jadi kenyataan. “Bagas????” ujar Titan lirih, Titan jadi terpaku dengan apa
yang ia lihat barusan.
“Kenapa
sih Tan?” senggol Dewi. “Gue penasaran nih satu kelompok sama siapa.” Dewi
langsung cingak-cinguk menulusuri namanya di papan. “Kumala Dewi...Adam
Samudra...Bagas Dewanata...Titan Mayunda...haaaah?” Dewi ikutan bengong tidak
percaya dengan apa yang dibacanya. “Jadi kita satu rumpun Tan? Sama mereka?”
“Hey..apa
maksudnya satu rumpun dengan kami!” ujar Bagas yang ternyata dari tadi ada
dibelakang mereka bareng Adam. Titan dan Dewi masih berdiri kaku karena kaget.
Suasana mendadak aneh, mereka tidak tahu harus melakukan apa.
“Kita
harus segera merundingkan tema kita. Bagaimana kalau sekarang saja?” ujar Adam
yang berusaha memecah keheningan.
Titan
masih diam, dia enggan sekali menoleh ke belakang. Dewi awalnya juga bingung
harus melakukan apa karena ada Adam, tapi pada akhirnya dia mengerti kalau
kondisi seperti ini tidak baik dibiarkan terlalu lama.
“Ya
udah, kita ke shelter aja gimana, sebelum di sana rame sama anak-anak.” Dewi
angkat bicara memberikan komando. Meski semuanya jadi diam, mereka menurut juga
mengikuti langkah Dewi.
“Oke,
enaknya kita ambil tema apa untuk liputan kita?” tanya Dewi memulai
pembicaraan.
“Kalo
nentuin tempatnya dulu aja gimana, abis itu baru kita sesuaikan sama objek yang
ada di sana apa aja,” Bagas angkat bicara.
“Gue
setuju sama Bagas,” Adam juga bersuara.
“Terus
tempat yang enak dimana, kayaknya kalo daerah Tawangmangu udah biasa banget
deh,” Dewi berujar lagi.
“Kalo
Jogja aja gimana?” usul Bagas.
“Ge
setuju sama Bagas,” ucap Adam lagi.
“Eh,
lo kreatif dikit dong!” Bagas nggak terima.
“Gue tadi mau bilang gitu Gas, cuma keduluan
sama kamu, gue bisa apa?” ujar Adam pasrah.
Menyinggung
soal kreatif, pikiran mereka langsung melayang ke Titan yang dari tadi belum
angkat bicara. Tapi mereka sama-sama mengerti kondisi Titan, jadinya mereka
berpikir mungkin lebih baik Titan diam saja daripada dia membicarakan hal yang
aneh-aneh dan membuat suasana menjadi buruk.
“Oke,
tempatnya kita tentuin di Jogja, gue sih setuju aja emang disana banyak spot
yang bagus. Kamu gimana Tan?” tanya Dewi.
Titan
hanya mengangguk. Bola matanya hanya mampu memandang jauh dan tidak sedikitpun
melihat teman sekelompoknya, terlebih Bagas. Dia emang lagi dapet, jadi
perasaannya agak sensitif meski sebenarnya dia sudah move on.
“Oh
ya, kalo kita ambil tema wisata kuliner aja gimana?” kali ini Adam maju sebelum
keduluan Bagas.
“Udah
biasa ah, kalo wisata pantai aja gimana?” Dewi menimpali.
“Udah
biasa juga kayaknya, kamu tau kan tiap temen-temen kita main ke jogja pasti
tujuan utamanya pantai. Aku yakin kalo orang lain juga punya pemikiran yang
sama kayak kita. Belum lagi pemerintah kota Jogja juga lagi gencar-gencarnya
mempromosikan wisata pantai di sana. Jadi, kalau pantai rasanya itu jadi
destinasi yang udah umum saat ini,” Bagas menjelaskan panjang lebar. “Kalo
wisata malam aja gimana?”
“Dugem?”
sela Dewi.
“Gue
setuju Gas,” Adam bersemangat dan sekejap lupa dengan idenya barusan.
“Gimana
kalo wisata fotografi aja?” seru Titan yang langsung mengagetkan ketiga
sahabatnya. Ketiganya jadi merasa lebih kawatir dengan Titan.
“Ehm...bukannya
setiap orang yang berwisata ke sana juga pasti udah bawa kamera. Itu juga jadi
sekadar dokumentasi doang, bukan tujuan utama, kecuali kalo memang fotografer.
Kalopun ada fotografer yang lagi hunting foto juga pasti mereka bisa hunting
dimana aja, yang penting kan skill-nya bukan tempatnya,” ujar Bagas lagi.
“Aku
rasa ada benarnya juga kata Bagas,” lagi-lagi Adam idem sama Bagas.
Dewi
hanya diam, merasa kalau ia berada di posisi yang serba salah.
“Jadi
maksud gue gini, kota Jogja itu kan emang terkenal memiliki banyak destinasi,
misal seperti kuliner khas Jogja, wisata budaya lokal, kerajinan dan kesenian,
wisata alam, tempat-tempat bersejarah, museum, wisata edukasi, atau mungkin
wisata lain. Nah, kita bisa ambil beberapa dari tempat itu lalu menjelaskan
spot bagusnya dimana, tujuannya ketika wisatawan mengunjungi tempat itu, dia
bisa tau apa yang paling bisa dinikmati dari tempat itu. Mereka nggak harus
pakai kamera SLR atau kursus fotografi kok, yang penting mereka udah liat
keunikan dari tempat itu apa, seenggaknya mereka bisa mengabadikan moment itu
dengan pandangan mata mereka,” jelas Titan.
Bagas
diem, dalam hati ia sependapat juga meski ide yang dikemukakan Titan agak
ribet. Adam diem, ia setuju juga dengan pendapat Titan, namun ada yang lebih
menyita perhatiannya, ia secara tak sengaja melihat sepintas Bagas menyimak
Titan dengan pandangan cukup dalam ketika Titan bicara, sepertinya ia mulai
mengerti apa yang membuat Bagas pernah jatuh cinta pada Titan. Melihat hal itu,
Adam jadi senyum-senyum sendiri.
Titan kalau lagi ngomong serius memang
kelihatan kharismatik dan beda dari biasanya, meski gaya bicaranya biasa saja.
Sementara itu, Dewi dengan muka polosnya masih terpukau dengan penjelasan Titan
yang panjang, lebar, dan rumit, namun menakjubkan.
“Eh, kalian kenapa?” tanya Titan yang lagi
bingung melihat ketiga temannya berperilaku tidak wajar. Ketiga temannya
langsung tersentak dan salah tingkah.
***
Titan
menyiapkan perlengkapannya, begitu pula dengan Dewi, Adam, dan Bagas. Semuanya
bersiap untuk liputan pertama mereka. Hari yang dipilih adalah akhir pekan,
karena nantinya ini akan menjadi liputan yang panjang.
“Oke,
seperti yang telah kita bagi sebelumnya. Adam di bagian dokumentasi, Titan dan
Dewi bagian naskah, selebihnya gue dibagian wawancara,” ujar Bagas menegaskan.
“Semua perlengkapan sudah siap?”
“Sudah!”
jawab semuanya tegas.
Bagi
mereka, ini bukan liputan biasa. Mereka sudah memutuskan untuk meliput sesuatu
yang terkadang luput dari pandangan banyak orang. Jadi untuk persiapannya, tak
hanya persiapan fisik yang mereka lakukan, tapi juga mental dan persiapan lain.
Adam bahkan, menyiapkan alat-alat survival untuk jaga-jaga. Maklum, meski masih
menyandang status mahasiswa, Adam sudah menjadi salah satu anggota SAR, jadi
persiapannya sampai sejauh itu. Salah satu moto hidup favoritnya adalah “Safety
first”.
Dewi
pun sebelumnya juga rajin joging, meskipun tidak ada hubungannya, tapi entah
mengapa ia merasa itu perlu. Selain untuk melatih ketahanan fisik, Dewi juga
sedang berusaha mempertahankan bentuk tubuhnya.
Titan?
Tak mau kalah dengan yang lain, jauh hari sebelum liputan, Titan sudah
menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya agar tak kelaparan sewaktu meliput nanti.
Super sekali. Tak hanya itu, persiapan mental juga ia lakukan, kali ini Titan
sudah benar-benar memantapkan hatinya untuk tidak gelisah lagi ketika
berhadapan dengan Bagas. Ia telah membulatkan tekad untuk tidak membawa
perasaan terlukanya kala itu.
Kalau
Bagas, tak seperti ketiga temannya yang mempersiapkan ini itu. Ia rileks saja,
maklum pengalamannya menghandle event
organizer membuatnya lihai untuk bekerja di lapangan.
“Untuk
destinasi pertama, kita ambil air terjun Banyunibo. Lokasinya ada di sebuah
desa di Gunung Kidul. Air terjunnya masih virgin. Kita akan ekspose spot bagus
di tempat itu,” Adam memberikan penjelasan.
“Bagus
nggak air terjunnya?” ujar Titan polos.
“Kita
akan membuat tempat itu bagus nanti,” jawab Adam mantap.
Selain
dikenal sebagai survivor, Adam juga dikenal sebagai fotografer yang handal.
Jadi, kali ini semua rekannya percaya dan yakin sama Adam.
“Oke,
hari ini kita ke air terjun dulu. Kalau udah selesai baru kita selami destinasi
yang ada di kota,” Bagas memberikan komando lagi.
“Oh
iya, soal daftar yang kita buat kemarin, masih ada kali suci, pantai drini,
candi prambanan, Kota Gede, sama alun-alun Jogja. Yakin tiga hari cukup?” tanya
Dewi.
“Insyaallah,
bisa,” ujar Adam dan Bagas hampir bersamaan.
Titan
pun mengikuti dengan anggukan. Dewi jadi tak ragu lagi.
***
Adam dan Bagas menyiapkan motornya. Sementara
itu Titan dan Dewi pasang muka bimbang. Keduanya gelisah karena hal yang persis
sama.
“Aduh,
gue bonceng siapa nih?” kira-kira begitulah yang mereka rasakan.
Secara
nggak enak banget kalau abis putus terus kelihatan boncengan bareng, ntar
dikira balikan lagi. Pihak cowok sih santai aja, soalnya udah bawaan kaum
mereka yang nggak mau ribet tentang apapun. Setelah agak lama galau, Titan
akhirnya mutusin untuk bonceng Adam. Titan berpikir semua ini untuk menjaga
perasaan Karina dan Dewi.
Dewi
tersenyum, pelan ia berbisik, “Makasih ya Tan..”, lalu pergi membonceng Bagas.
Titan tersentak, bukan karena apa yang diucapkan Dewi barusan, tapi karena ia
melihat sorot mata Dewi yang tampak berbeda.
Bagas
menstarter motornya, memulai perjalanan liputan panjang mereka. Adam pun
menyusul. Mereka berkendara menyusuri sepanjang jalan Solo-Jogja, lalu menuju
ke selatan menuju Piyungan dan dimulailah tantangan yang pertama – menaklukkan
tanjakan bukit bintang menuju Patuk.
Ada
tanjakan jahanam dan berliku-liku yang siap untuk mereka lintasi. Mereka
melewati daerah yang berbukit-bukit, sebelah kanan terbentang hutan yang luas,
sisi jalan yang lain terdapat jurang yang cukup curam. Perjalanan semakin
menantang karena mereka disambut tikungan-tikungan tajam di sepanjang jalan.
Tepi-tepi jalan hanya ada rerumputan, tanpa pagar pembatas jalan.
Titan
yang tadinya anteng, jadi rajin baca doa semenjak melintasi jalan horor itu.
Adam yang nggak sengaja denger pun, tersenyum simpul berkali-kali.
“Tenang
Tan, abis ini bakal ada pemandangan bagus,” ujar Adam mencoba menghibur Titan.
“Eh?
Serius??” Titan kaget. “Kok lo tau?”
“Ya,
kan sebelumnya aku udah survei ke tempat ini. Di jamin deh, kamu nggak bakal
nyesel.”
“Sama
Bagas?” ujar Titan spontan.
Adam
terdiam.
Tak
lama Titan menyesali ucapannya. Ia sudah berjanji untuk tidak membawa
perasaannya, tapi ia telah melanggar.
“Jadi
ke air terjun ini, ide kamu ya?” ujar Titan memulai pembicaraan lagi.
“Bukan,”
ujar Adam santai. “Ini ide Bagas, kebetulan aku tau tempatnya, jadi aku yang
survei. Kan kemarin kita udah bagi tugas, Bagas yang survei di dalam kota,
sisanya bagianku.”
“Oooh..”
Titan manggut-manggut.
“Eh,
Tan, lihat deh sekeliling kamu,” ujar Adam tiba-tiba. “Itu kebun coklat.”
“Wuuaaa...”
Titan bengong melihat pemandangan pohon coklat yang terhampar luas di depan
matanya. Beribu-ribu pohon coklat berjajar rapi di sekeliling jalan dengan buah
coklat yang menggantung di setiap dahannya. Daunnya tampak lebat dan
rimbun. Terlihat semakin jauh, semakin
hijau pula pepohonan itu. Untuk yang kesekian kalinya mata Titan tidak lelah
untuk mengagumi pemandangan sederhana yang alam sediakan.
Melihat
hamparan pepohonan rimbun itu, Titan jadi berpikir, mata kita ini berapa mega pixel ya? Tuhan baik banget udah kasih mata
yang resolusinya bahkan nggak bisa ditandingi sama kamera SLR. Tuhan emang Maha
Keren.
“Tan?”
seru Adam lagi. “Jangan bengong terus, bentar lagi kita sampai di daerah
Bobung.”
“Hah?
Udah mau sampai? Daerah apa tadi? Bagong?” sahut Titan seperti anak kecil.
“Belum.
Tuh di depan udah deket sama daerah Bobung,” Adam menjelaskan dengan sabar.
“Itu daerah sentra pengrajin topeng batik di deket sini, biasanya tempat ini
jadi tujuan wisata juga.”
“Oooh..”
Titan manggut-manggut lagi. Ia menyiapkan matanya untuk melihat pemandangan
lagi. “Wuuuaaah, bagus ya Dam. Tapi kok sepi ya?” Perasaan Titan tiba-tiba tak
enak.
Adam
memilih untuk diam dan tak menjawab. Ia pernah mendengar kabar sebelumnya,
kalau daerah sekitar itu memang agak angker. Jadi, ia memilih untuk tidak
menyinggung sedikitpun tentang hal itu.
Sementara
itu, Bagas dan Dewi sudah jauh berada di depan. Mereka tampaknya juga asyik
dengan pembicaraan mereka sendiri. Tak lama kemudian, terlihat Bagas menepikan
motornya, Adam dan Titan pun menyusul. Tampaknya mereka telah tiba di dusun Batur, lokasi air
terjun Banyunibo berada.
Mereka
memarkirkan motornya di sebuah teras rumah sederhana milik warga. Titan dan
Dewi memandang sekeliling, di pandangan mereka tak terlihat sedikitpun
pemandangan air terjun atau bahkan suara air.
“Kita
udah sampai?” tanya Dewi.
“Hampir,”
ujar Bagas. “Kita harus jalan kaki buat ke sana, nggak jauh kok, paling sekitar
300 meter.”
Bagas
yang memimpin rombongan, ia berada di depan untuk menunjukkan jalan, Dewi dan
Titan berjalan mengikutinya. Adam, berada di paling belakang untuk memastikan
semua temannya aman. Dengan membawa semua peralatan dan bekal, mereka mulai
berjalan menyusuri jalan setapak melewati semak-semak dan tegal milik warga.
Titan
terlihat bersemangat sekali, di sepanjang perjalanan bibirnya sering
menyunggingkan senyum-senyum nggak jelas. Matanya berbinar melihat teduhnya
pemandangan sekitar.
“Udah
hampir sampai ni Gas,” Adam berseru dari belakang.
Bagas
mengangguk. Ia menghentikan langkahnya. Suara gemericik air mulai terdengar.
“Guys.
Selamat datang di Banyunibo,” ujar Bagas sambil memandang ke air terjun.
Teman-teman
yang lain mengikuti Bagas. Berdiri tegap memandang air terjun dari kejauhan.
Dari tempat mereka berdiri tampak sebuah air terjun berketinggian kurang lebih
18 meter mengalir dengan derasnya.
Perjuangan
mereka belum selesai. Di hadapan mereka sudah berdiri kokoh berbagai bongkahan
batu yang super besar di sepanjang rute menuju air terjun. Dari titik inilah
Adam mulai pasang badan memilihkan celah di antara bebatuan itu untuk mereka
lewati.
“Kok
bisa ada batu di sini ya?” tanya Titan.
“Menurut
warga sini sih, batu-batu besar ini rubuh saat gempa bumi di Jogja tahun 2006
silam,” Adam menjelaskan.
Lagi-lagi
Titan hanya bisa manggut-manggut.
“Barang
bawaan, kita tinggal di sini aja ya. Cukup bawa alat dokumentasi dan bekal
sekucupnya aja,” ujar Adam memberikan komando.
Yang
lain mengikuti apa yang disarankan Adam dan mulai bergerak. Dengan beberapa
carabiner, Adam memasangkan tali di setiap bongkahan batu agar mudah dilalui
temannya.
Perlahan
mereka mendaki bebatuan itu. Raut muka Titan agak aneh, entah mengapa
petualangannya kali ini mengingatkan ia pada Bagas, mengingatkan pada kenangan
mereka yang sering menikmati pagi bersama, mengingatkan betapa Bagas sangat
menyukai dunia yang penuh petualangan seperti ini. Sementara Bagas cuek aja.
Mungkin benar kata orang, orang yang sering naik gunung itu hidupnya bebas.
Mungkin Bagas seperti itu. Sekejap hati Titan berontak minta move on dan sekali
lagi Titan pun memantapkan hatinya.
Di
sisi lain, jauh di lubuk hati Titan bersemayam perasaan senang yang bukan main.
Hatinya seperti terbangun dari tidur yang sangat lama. Hatinya seolah bergairah
mencium aroma petualangan. Mata Titan yang awalnya redup mulai menyala
mengobarkan semangat. Perlahan tersirat senyum di bibirnya.
“Keren ya Dew? Seruu!!” ungkap Titan. “Nggak
tahu kenapa, rasanya seperti ini jiwa gue.”
Dewi
senyum-senyum melihat Titan yang senengnya kayak anak kecil nemu mainan baru,
nemu passion baru. Dewi pun tak kalah bahagia, dengan setulus hati ia tidak
menyesal karena telah rajin joging sebelumnya. Kini ia bisa menggunakan
kekuatan kakinya.
Langkah
demi langkah mereka kerahkan dengan pasti. Tak lama kemudian, mereka mulai merasakan
percikan-percikan kecil air yang datang dari air terjun.
“Segarnyaaaaa!!
Suhanallah,” ucap Titan lagi. “Akhirnya sampai juga.” Memang di sepanjang
perjalanan ini Titan yang paling cerewet. Komen ini itu, tanya ini itu, kagum
ini itu, tak ada jedanya.
Debit
air terjun yang lumayan besar membuat suara gemuruh yang kencang.
Percikan-percikan air yang mengenai bebatuan tampak jernih. Senyuman mulai
mengembang di bibir mereka, perasaan lega karena telah menemukan air terjun
terungkap jelas di mata mereka.
Tuhan keren banget, batin Titan.
“Bagus
ya tempatnya,” ujar Dewi kagum. “Bersih lagi.”
“Iya
dong Dew, kan masih virgin. Belum banyak orang yang tahu tempat ini,” Adam
memberi penjelasan.
Dewi
tersenyum, melihat Adam memberikan penjelasan tanpa ragu, Dewi merasa kalau
memang tidak perlu ada jarak yang khusus di antara mereka. Ia tak harus jaga
jarak. Ia harus mulai terbiasa berbicara
dengan cara yang biasa dengan Adam.
“Bagusnya
lagi, masyarakat sekitar sini ramah-ramah loh. Kemarin waktu survei, ada warga
sekitar sini yang nunjukin jalannya ke aku, hehe,” Adam menambahkan lagi. “Kita
mulai yuk?”
Segera
Adam menyiapkan kameranya untuk dokumentasi. Tak mau kalah, Titan diam-diam
membawa handycam untuk membuat video tentang tempat itu, ia meminta Dewi untuk
jadi naratornya – secara suara Dewi bagus. Sementara itu Bagas, mencari warga
yang kebetulan ada di sekitar air terjun untuk diwawancarai. Semua Titan kemas
dalam rekamannya.
Setelah
semua selesai, mereka pun memanjakan diri dengan bermain air. Semua tampak
senang menikmati pemandangan alam itu.
“Foto-foto
yuk?” seru Titan.
Adam
kembali pasang badan meladeni permintaan sahabatnya.
Berbagai
pose mereka paparkan. Perlahan-lahan Titan pun semakin mencair, tak kaku lagi
ketika ada Bagas. Tak lupa jua, ia foto sebanyak-banyaknya dengan Dewi. Dari
dulu kan Titan diem-diem kagum sama sosok emak angkat ini. Tercurahkan semua
canda dan tawa, menghiasi kebersamaan mereka.
“Dam,
dari tadi motret melulu. Sini gantian, aku yang fotoin,” ujar Dewi. Ia melaju
ke arah Adam, meraih kameranya dan memaksa Adam untuk bergabung dengan yang
lain. Tak sengaja jarinya menekan tombol sehingga menampakkan semua koleksi
foto yang tersimpan di dalamnya.
Ketika
melihat ke kamera, mata Dewi tertegun, mendapati banyak sekali foto seorang
gadis, gadis yang ia kenal. Hatinya bertanya, kenapa bisa ada banyak sekali fotonya di sini? Jadi benar dia? Semua fotonya tampak diambil dengan diam-diam.
Dewi
tak mampu mengungkapkan tanya dalam benaknya. Ia hanya diam, lalu mencoba
tersenyum. Toh Adam sudah bukan miliknya
sejak lama, batinnya sambil menertawakan dirinya sendiri. Lagipula ia sudah
mantab untuk mengejar mimpinya, jadi biarlah...biarlah semua berlalu. Cukup
kenangan itu yang bersamanya.
Dewi
menghela nafas, menenangkan diri. Ia kembali menatap kawan-kawannya. Meminta
mereka berfose. Ia berusaha sekali untuk tersenyum, bahkan ketika melihat Adam.
Tapi mungkin hatinya tak cukup mampu, jadi ia memalingkan pandangannya lagi.
Adam sepertinya mengatahui perubahan sikap Dewi yang tiba-tiba. Ia tak mampu
tersenyum. Wajahnya menoleh.
Tak
terasa hari sudah agak sore, matahari mulai tak bersemangat lagi menampakkan
cahayanya. Mereka memutuskan untuk segera pergi ke kota mencari penginapan agak
esok harinya bisa menyiapkan liputan berikutnya.
“Turunnya
hati-hati ya..” ujar Bagas memberi peringatan. Beberapa bebatuan memang agak
licin karena lumut yang menempel. Musim hujan memang sudah berlangsung cukup
lama. Oleh karenanya lumut-lumut itu tumbuh subur menyelimuti bebatuan.
Dengan
hati-hati mereka menapakkan kaki di bebatuan, mencari bagian yang aman untuk
dipijak. Tiba-tiba...
Sruuuuggggghhh...terdengar
suara bagaian dari bebatuan terjatuh.
Bebatuan
yang diinjak Dewi runtuh. Tubuh Dewi terperosok ke bawah. Secepat kilat tangan
Adam menangkapnya, menggenggam tangan Dewi lalu menariknya ke atas. Tapi naas,
Adam justru terpeleset lumut ketika bergerak menarik Dewi. Sekejap, tubuh
mereka berdua terguling ke bawah. Mereka jatuh bersamaan, tubuh kekar Adam
berusaha melindungi Dewi dengan memeluknya agar tak mengenai batu.
Tubuh
mereka terhenti di bebatuan besar. Keduanya tak sadarkan diri karena membentur
banyak batu sebelumnya. Parahnya lagi, kaki Adam terjepit di antara bebatuan.
Semua terjadi begitu cepat, sampai-sampai Bagas dan Titan tak mampu menolong.
Secepatnya mereka pergi mencari bantuan.
Beberapa
warga yang berada di dekat lokasi berdatangan turut membantu. Keduanya
dilarikan di sebuah rumah sakit di Jogjakarta. Titan dan Bagas menunggui dengan
perasaan cemas. Tak lama setelah perisitwa itu, Dewi siuman, lukanya tak parah,
hanya ada sedikit memar. sebelumnya, ia hanya tak sadarkan diri karena tubuhnya
jatuh di bebatuan berkali-kali. Namun Adam, ia belum sadar. Pergelangan kakinya
tampak membiru dan bengkak. Dokter segera membawa Adam ke ruangan untuk
diperiksa.
“Gimana
nih Gas?” ujar Titan khawatir.
“Kamu
tenangin diri kamu ya, aku udah menghubungi orang tua Adam, mereka ada di luar
kota, jadi kemungkinan besok baru bisa sampai sini,” Bagas menenangkan. “Jadi,
untuk sementara ini, aku aja yang jaga mereka.”
Titan
paham, di saat-saat seperti ini memang dibutuhkan ketenangan agar ia tetap
berpikir jernih dan bisa membantu lebih banyak.
“Soal
liputan kita, mungkin cukup satu destinasi aja, kita kan nggak mungkin
ninggalin mereka saat ini,” tambah Bagas. “Jadi sekarang perjuangan ada di
tangan kamu Tan.”
Titan
mengangguk mantab. Tak masalah bagi Titan untuk menyelesaikan bagiannya,
asalkan semua teman-temannya lekas membaik.
***
Titan
terlihat serius di hadapan laptopnya. Sudah sejak satu jam yang lalu ia
mengerjakan laporannya. Membuat artikel tentang liputannya siang itu. Ia memutar
otaknya untuk mencari sudut pandang baru agar artikelnya layak baca. Ide yang
awalnya tentang wisata fotografi untuk mengenali spot bagus di beberapa kawasan
pun kini akan diganti dengan ide baru.
Ia
berpikir untuk mengangkat tema kearifan lokal dengan nuansa teduh yang
menyelimutinya. Titan kembali menggerakkan jari-jarinya, memaksa mereka untuk
bekerja lebih cepat dalam menghasilkan kata-kata. Ia memutuskan untuk menyelesaikan laporannya
malam ini juga agar bisa secepatnya kembali ke rumah sakit menjenguk Dewi dan
Adam.
Beberapa
waktu kemudian, ketika Titan masih terlarut dalam pekerjaannya, terdengar suara
seseorang mengetuk pintu kamarnya.
Mungkin Stella, pikir Titan.
Ia membukakan pintu. Ternyata benar. Stella datang dengan raut muka sedih, sebelumnya
ia telah mendengar kabar dari Titan tentang kejadian siang itu.
“Kamu
nggak apa-apa Tan?” tanya Stella sambil memeluk Titan.
“Aku
baik-baik aja La,” jawab Titan. “Dewi sama Adam yang kenapa-kenapa. Mereka
masih di rumah sakit. Tapi dokter bilang, kemungkinan besok Dewi udah bisa
pulang, dia hanya butuh istirahat. Kalau Adam, mungkin harus mendapat perawatan
beberapa hari.”
“Trus
siapa yang jaga mereka sekarang?”
“Ada
Bagas kok.”
“Ya
udah, besok kita jemput Dewi, sekalian jenguk Adam.”
Titan
mengiyakan, lalu ia segera merampungkan tugasnya. Segera ia mengirimkan
tugasnya vie email, lalu beristirahat. Esoknya, pagi hari sekali mereka berdua
berangkat ke rumah sakit. Stella mengemudikan mobilnya dengan cukup kencang
agar lekas sampai. Tak salah, jarak yang cukup jauh hanya ia tempuh selama satu
setengah jam.
Mereka
berdua bergegas menuju kamar Dewi dan Adam dirawat. Dari kejauhan tampak Bagas
duduk di luar kamar Adam. Titan mendekatinya.
“Adam
udah siuman?” tanyanya.
“Udah,
sejak semalem.”
“Dewi?”
“Dewi
baik-baik aja. Kata dokter yang memeriksanya tadi pagi, Dewi udah boleh pulang
hari ini,” Bagas menjelaskan. “Ini sekarang dia lagi di dalam jenguk Adam.”
“Ya
udah, aku menemui mereka dulu ya?” ujar Titan pamit meninggalkan Bagas.
Buru-buru
Bagas menggenggam lengan Titan. “Mereka lagi ngobrol serius,” selanya. “Kita
tunggu di sini dulu aja.”
Langkah
Titan sekejap terhenti. Ia mengurungkan niatnya untuk segera masuk. Dari balik jendela
kaca kamar Adam, tampak jelas Adam dan Dewi sedang membicarakan sesuatu yang
serius. Terlihat Dewi menitikkan air mata, pandangannya sayu, tatapannya dalam.
Mungkin ia telah menyesal membuat keadaan Adam menjadi seperti itu. Terlebih
lagi mereka punya hubungan yang dekat sebelumnya. Begitulah yang dipikirakan
semua orang.
Titan
menoleh ke arah mereka sejenak, tak sengaja ia melihat moment itu. Penampakan
Adam yang sedang membelai lembut rambut Dewi, tapi ada yang aneh, bibir
bergerak pelan melantunkan kata maaf.
Mengapa Adam minta maaf? Sepintas muncul
pertanyaan itu dalam benak Titan. Tapi kemudian ia menimpali sendiri. Mungkin Adam meminta maaf karena sudah
membuat Dewi khawatir. Sudahlah, lagipula itu bukan urusannya. Titan
mengacak-acak rambutnya sendiri, agar tak berpikir yang aneh-aneh lagi.
“Ayo,
kita masuk,” ujar Bagas mengagetkan Titan.
Ketiganya
pun masuk ke dalam ruangan Adam. Di dalam, Adam dan Dewi sudah menyambut dengan
senyum, senyum yang mereka buat untuk menutupi luka mereka. Stella langsung
mendekat menghampiri Dewi, memeluk dengan penuh khawatir.
“Gue
khawatir banget Dew,” ujar Stella lirih.
“Gue
nggak apa-apa La,” Dewi menenangkan.
“Gimana
kondisi kamu Dam?” tanya Bagas.
“Gue
nggak apa-apa kok Gas,” ujar Adam santai.
“Nggak
apa-apa gimana Dam, kaki kamu biru-biru gitu,” sela Titan. “Kami khawatir tau
nggak.”
“Alaaah,
nggak apa-apa Tan, cuma retak dikit, hehe,” Adam cengar-cengir. “Sorry ya udah
bikin khawatir.”
Semuanya
lega, melihat Adam sudah bisa bercanda, itu artinya lukanya nggak sampai
melukai mental. Pembicaraan mereka pun turut mengalir, Titan menyumbang suara
paling banyak dengan kekonyolan-kekonyolan yang begitu saja tampak dari
dirinya.
“Dewi
gimana nih? Jadi pulang hari ini?” tanya Stella.
“Kata
dokter sih udah boleh pulang,” jawab Dewi singkat.
“Ya
udah kalo gitu biar gue sama Titan urus administrasinya sekarang.”
Titan
pun langsung cabut ke bagian administrasi bareng Stella. Dewi merasa beruntung
banget punya teman seperti mereka yang selalu peduli. Dengan penuh semangat
Titan berjalan, hingga tak sadar ia menabrak seseorang.
“Ario?”
Titan kaget setengah mati mendapati kekasihnya berada di rumah sakit yang
tengah ia kunjungi. Sebelumnya Titan bahkan tidak memberikan kabar apapun
kepada Ario, begitu pula sebaliknya. Ario pun kaget melihat Titan. Gerak
tubuhnya seperti tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya diam terpaku. Lalu
datang seorang wanita paruh baya menggandengnya dengan terburu-buru.
“Ayo
nak, istrimu sudah menunggu,” begitu ujarnya.
Titan
semakin kaku dalam diamnya. Hatinya serasa ditusuk benda yang sangat tajam.
Pikirannya kalut dengan banyak pertanyaan. Bibirnya bergetar tak percaya dengan
apa yang barusan ia dengar. Matanya hanya mampu mengikuti ke arah mereka pergi.
Ario terlihat menurut dan pergi dengan buru-buru. Keduanya berjalan cepat ke
arah ruang bersalin, Ario bahkan tak menoleh lagi ke belakang. Titan hanya
mampu menatapnya dengan rasa kecewa yang teramat dalam.
“Istri??”
tanyanya pada diri sendiri.
Mata
Titan berkunang-kunang. Ia terduduk lemas. Air matanya mengalir tak terbendung.
“Tan...?”
ujar Stella pelan sambil mengelus pundaknya. Ia pun tak mampu berucap kata
melihat kawannya sekali lagi dikhianati.
“Selama
ini Ario udah baik banget La,” Titan mulai mengungkapkan kegelisahannya. “Aku
nggak nyangka ternyata selama ini aku cuma selingkuhannya.”
Stella
mengelus pundak Titan, ia tahu saat itu ia harus jadi pendengar yang baik untuk
sahabatnya.
“Ario
jahat...” ucap Titan sambil menangis semakin deras. Mukanya memerah, ia mencoba
menghela nafas berkali-kali untuk menenangkan diri, tapi tetap saja itu tak
mampu menahan air matanya agar tidak keluar.
Stella
menggenggam erat tangan Titan, lalu memeluk dan mengusap rambutnya.
“Kamu
kuat Tan..kamu bisa,” Stella mencoba memberikan semangat.
***
Sumber gambar http://www.forbes.com/forbes/welcome/
0 komentar:
Posting Komentar