SUNSHINE STORY (Chapter 10)




Kuliah Titan kali ini agak berbeda, karena dosen Titan yang terkenal cakep ternyata mengundang seorang pakar jurnalistik yang cukup terkenal, meski masih muda kepiawaiannya di bidang tulis-menulis tidak perlu diragukan lagi. Selain itu dia mirip banget sama Keanu Reves saat usianya 20-an. Dosen Titan tampaknya mengerti sekali bagaimana cara menyemangati mahasiswanya. Inisiatif Pak Dosen untuk memberikan sedikit kuliah lapangan ini spontan mendapat antusias yang luar biasa dari mahasiswa, termasuk Titan, ia bersemangat sekali setelah melihat tampang jurnalis muda yang cerahnya nggak ketulungan.
“Inget Ario Tan..” ujar Dewi yang nggak tahan melihat muka mupeng Titan.
“Mereka sesama orang cakep, pasti mereka akan mengerti,” Titan berkilah.
Dewi skeptis.
“Ya ampun Dew, cakepnya kayak malaikat,” ujar Titan lagi.
“Dan lo manusia, jadi kalian nggak akan bisa bersatu!!” Dewi menyadarkan. Melihat ekspresi wajah Titan yang semakin menggelikan Dewi jadi yakin kalau Titan pasti lagi bayangin kalau dia lagi ada di dalam dongeng dimana ada malaikat yang turun dari langit kemudian tinggal di bumi dan jatuh cinta sama Titan, karena malaikat telah melanggar aturan langit jadi malaikat diusir dari langit lalu hidup bersama Titan di bumi hingga memiliki anak.
“Deeeewww!! Kok lo malah bengong sih!!” Titan mengoyak tubuh Dewi pelan. “Melamun apa sih?”
 “Heh..eh..apa?” Dewi kaget. Kenapa justru dia yang memiliki pikiran yang aneh-aneh.
“Dew, gue jadi bayangin, gimana ya rasanya kalau cowok cakep kayak dia jatuh cinta sama gue. Gue pasti akan jadi playgirl yang baik buat Ario dan abang jurnalis,” Titan masih mupeng.
Ternyata Dewi benar, pikiran Titan nggak jauh-jauh dari situ.
“Tan, plis deh, malaikat kayak dia dan manusia biasa itu nggak akan bisa bersama,” Dewi mencoba menyadarkan lagi.
“Eh, siapa bilang gue manusia biasa! Gue adalah bidadari lupa diri,” ujar Titan sambil senyum-senyum sok imut.
Dewi geleng-geleng melihat temannya jadi korban iklan. Ia memilih fokus sama kuliahnya lagi sebelum ia ikut-ikutan jadi aneh kayak Titan.
“Kali ini saya akan minta kalian membuat satu rubrik yang berisi liputan tentang wisata, topiknya bebas, semakin lengkap semakin bagus. Untuk tugas ini, silakan kalian melakukan research atau survei ke berbagai tempat untuk mendapatkan informasi sesuai dengan topik yang kalian ambil. No copy paste ya! Ini adalah tugas kelompok, untuk daftar kelompok bisa kalian lihat di papan pengumuman. Hasilnya, silakan kalian kirim ke email saya. Ada yang ingin ditanyakan?”
“Deadlinenya Pak?”
“Satu minggu.”
“Ada lagi yang ingin ditanyakan?”
Mahasiswa diam.
“Oh, iya, kabar bagusnya, untuk mahasiswa dengan liputan terbaik akan dapat kesempatan untuk mengikuti internship program di kantor media Kreasindo tempat Pak Arjuna bekerja.”
Mahasiswa langsung mupeng, secara itu kantor media yang udah eksis di dunia publishing. Tanpa basa-basi lagi mahasiswa langsung menyerbu papan pengumuman untuk melihat rekan kerjanya, termasuk Titan yang berharap banget satu kelompok sama Adrian – temen sekelasnya yang udah jadi reporter freelance di koran lokal.
 “Jadii...gueee..satu kelompok samaaa....” ujar Titan sambil berdoa supaya nanti waktu buka mata ia bisa melihat harapannya jadi kenyataan. “Bagas????” ujar Titan lirih, Titan jadi terpaku dengan apa yang ia lihat barusan.
“Kenapa sih Tan?” senggol Dewi. “Gue penasaran nih satu kelompok sama siapa.” Dewi langsung cingak-cinguk menulusuri namanya di papan. “Kumala Dewi...Adam Samudra...Bagas Dewanata...Titan Mayunda...haaaah?” Dewi ikutan bengong tidak percaya dengan apa yang dibacanya. “Jadi kita satu rumpun Tan? Sama mereka?”
“Hey..apa maksudnya satu rumpun dengan kami!” ujar Bagas yang ternyata dari tadi ada dibelakang mereka bareng Adam. Titan dan Dewi masih berdiri kaku karena kaget. Suasana mendadak aneh, mereka tidak tahu harus melakukan apa.
“Kita harus segera merundingkan tema kita. Bagaimana kalau sekarang saja?” ujar Adam yang berusaha memecah keheningan.
Titan masih diam, dia enggan sekali menoleh ke belakang. Dewi awalnya juga bingung harus melakukan apa karena ada Adam, tapi pada akhirnya dia mengerti kalau kondisi seperti ini tidak baik dibiarkan terlalu lama.
“Ya udah, kita ke shelter aja gimana, sebelum di sana rame sama anak-anak.” Dewi angkat bicara memberikan komando. Meski semuanya jadi diam, mereka menurut juga mengikuti langkah Dewi.
“Oke, enaknya kita ambil tema apa untuk liputan kita?” tanya Dewi memulai pembicaraan.
“Kalo nentuin tempatnya dulu aja gimana, abis itu baru kita sesuaikan sama objek yang ada di sana apa aja,” Bagas angkat bicara.
“Gue setuju sama Bagas,” Adam juga bersuara.
“Terus tempat yang enak dimana, kayaknya kalo daerah Tawangmangu udah biasa banget deh,” Dewi berujar lagi.
“Kalo Jogja aja gimana?” usul Bagas.
“Ge setuju sama Bagas,” ucap Adam lagi.
“Eh, lo kreatif dikit dong!” Bagas nggak terima.
 “Gue tadi mau bilang gitu Gas, cuma keduluan sama kamu, gue bisa apa?” ujar Adam pasrah.
Menyinggung soal kreatif, pikiran mereka langsung melayang ke Titan yang dari tadi belum angkat bicara. Tapi mereka sama-sama mengerti kondisi Titan, jadinya mereka berpikir mungkin lebih baik Titan diam saja daripada dia membicarakan hal yang aneh-aneh dan membuat suasana menjadi buruk.
“Oke, tempatnya kita tentuin di Jogja, gue sih setuju aja emang disana banyak spot yang bagus. Kamu gimana Tan?” tanya Dewi.
Titan hanya mengangguk. Bola matanya hanya mampu memandang jauh dan tidak sedikitpun melihat teman sekelompoknya, terlebih Bagas. Dia emang lagi dapet, jadi perasaannya agak sensitif meski sebenarnya dia sudah move on.
“Oh ya, kalo kita ambil tema wisata kuliner aja gimana?” kali ini Adam maju sebelum keduluan Bagas.
“Udah biasa ah, kalo wisata pantai aja gimana?” Dewi menimpali.
“Udah biasa juga kayaknya, kamu tau kan tiap temen-temen kita main ke jogja pasti tujuan utamanya pantai. Aku yakin kalo orang lain juga punya pemikiran yang sama kayak kita. Belum lagi pemerintah kota Jogja juga lagi gencar-gencarnya mempromosikan wisata pantai di sana. Jadi, kalau pantai rasanya itu jadi destinasi yang udah umum saat ini,” Bagas menjelaskan panjang lebar. “Kalo wisata malam aja gimana?”
“Dugem?” sela Dewi.
“Gue setuju Gas,” Adam bersemangat dan sekejap lupa dengan idenya barusan.
“Gimana kalo wisata fotografi aja?” seru Titan yang langsung mengagetkan ketiga sahabatnya. Ketiganya jadi merasa lebih kawatir dengan Titan.
“Ehm...bukannya setiap orang yang berwisata ke sana juga pasti udah bawa kamera. Itu juga jadi sekadar dokumentasi doang, bukan tujuan utama, kecuali kalo memang fotografer. Kalopun ada fotografer yang lagi hunting foto juga pasti mereka bisa hunting dimana aja, yang penting kan skill-nya bukan tempatnya,” ujar Bagas lagi.
“Aku rasa ada benarnya juga kata Bagas,” lagi-lagi Adam idem sama Bagas.
Dewi hanya diam, merasa kalau ia berada di posisi yang serba salah.
“Jadi maksud gue gini, kota Jogja itu kan emang terkenal memiliki banyak destinasi, misal seperti kuliner khas Jogja, wisata budaya lokal, kerajinan dan kesenian, wisata alam, tempat-tempat bersejarah, museum, wisata edukasi, atau mungkin wisata lain. Nah, kita bisa ambil beberapa dari tempat itu lalu menjelaskan spot bagusnya dimana, tujuannya ketika wisatawan mengunjungi tempat itu, dia bisa tau apa yang paling bisa dinikmati dari tempat itu. Mereka nggak harus pakai kamera SLR atau kursus fotografi kok, yang penting mereka udah liat keunikan dari tempat itu apa, seenggaknya mereka bisa mengabadikan moment itu dengan pandangan mata mereka,” jelas Titan.
Bagas diem, dalam hati ia sependapat juga meski ide yang dikemukakan Titan agak ribet. Adam diem, ia setuju juga dengan pendapat Titan, namun ada yang lebih menyita perhatiannya, ia secara tak sengaja melihat sepintas Bagas menyimak Titan dengan pandangan cukup dalam ketika Titan bicara, sepertinya ia mulai mengerti apa yang membuat Bagas pernah jatuh cinta pada Titan. Melihat hal itu, Adam jadi senyum-senyum sendiri.
 Titan kalau lagi ngomong serius memang kelihatan kharismatik dan beda dari biasanya, meski gaya bicaranya biasa saja. Sementara itu, Dewi dengan muka polosnya masih terpukau dengan penjelasan Titan yang panjang, lebar, dan rumit, namun menakjubkan.
 “Eh, kalian kenapa?” tanya Titan yang lagi bingung melihat ketiga temannya berperilaku tidak wajar. Ketiga temannya langsung tersentak dan salah tingkah.
***
Titan menyiapkan perlengkapannya, begitu pula dengan Dewi, Adam, dan Bagas. Semuanya bersiap untuk liputan pertama mereka. Hari yang dipilih adalah akhir pekan, karena nantinya ini akan menjadi liputan yang panjang.
“Oke, seperti yang telah kita bagi sebelumnya. Adam di bagian dokumentasi, Titan dan Dewi bagian naskah, selebihnya gue dibagian wawancara,” ujar Bagas menegaskan. “Semua perlengkapan sudah siap?”
“Sudah!” jawab semuanya tegas.
Bagi mereka, ini bukan liputan biasa. Mereka sudah memutuskan untuk meliput sesuatu yang terkadang luput dari pandangan banyak orang. Jadi untuk persiapannya, tak hanya persiapan fisik yang mereka lakukan, tapi juga mental dan persiapan lain. Adam bahkan, menyiapkan alat-alat survival untuk jaga-jaga. Maklum, meski masih menyandang status mahasiswa, Adam sudah menjadi salah satu anggota SAR, jadi persiapannya sampai sejauh itu. Salah satu moto hidup favoritnya adalah “Safety first”.
Dewi pun sebelumnya juga rajin joging, meskipun tidak ada hubungannya, tapi entah mengapa ia merasa itu perlu. Selain untuk melatih ketahanan fisik, Dewi juga sedang berusaha mempertahankan bentuk tubuhnya.
Titan? Tak mau kalah dengan yang lain, jauh hari sebelum liputan, Titan sudah menyiapkan bekal sebanyak-banyaknya agar tak kelaparan sewaktu meliput nanti. Super sekali. Tak hanya itu, persiapan mental juga ia lakukan, kali ini Titan sudah benar-benar memantapkan hatinya untuk tidak gelisah lagi ketika berhadapan dengan Bagas. Ia telah membulatkan tekad untuk tidak membawa perasaan terlukanya kala itu.
Kalau Bagas, tak seperti ketiga temannya yang mempersiapkan ini itu. Ia rileks saja, maklum pengalamannya menghandle event organizer membuatnya lihai untuk bekerja di lapangan.
“Untuk destinasi pertama, kita ambil air terjun Banyunibo. Lokasinya ada di sebuah desa di Gunung Kidul. Air terjunnya masih virgin. Kita akan ekspose spot bagus di tempat itu,” Adam memberikan penjelasan.
“Bagus nggak air terjunnya?” ujar Titan polos.
“Kita akan membuat tempat itu bagus nanti,” jawab Adam mantap.
Selain dikenal sebagai survivor, Adam juga dikenal sebagai fotografer yang handal. Jadi, kali ini semua rekannya percaya dan yakin sama Adam.
“Oke, hari ini kita ke air terjun dulu. Kalau udah selesai baru kita selami destinasi yang ada di kota,” Bagas memberikan komando lagi.
“Oh iya, soal daftar yang kita buat kemarin, masih ada kali suci, pantai drini, candi prambanan, Kota Gede, sama alun-alun Jogja. Yakin tiga hari cukup?” tanya Dewi.
“Insyaallah, bisa,” ujar Adam dan Bagas hampir bersamaan.
Titan pun mengikuti dengan anggukan. Dewi jadi tak ragu lagi.
***
 Adam dan Bagas menyiapkan motornya. Sementara itu Titan dan Dewi pasang muka bimbang. Keduanya gelisah karena hal yang persis sama.
“Aduh, gue bonceng siapa nih?” kira-kira begitulah yang mereka rasakan.
Secara nggak enak banget kalau abis putus terus kelihatan boncengan bareng, ntar dikira balikan lagi. Pihak cowok sih santai aja, soalnya udah bawaan kaum mereka yang nggak mau ribet tentang apapun. Setelah agak lama galau, Titan akhirnya mutusin untuk bonceng Adam. Titan berpikir semua ini untuk menjaga perasaan Karina dan Dewi.
Dewi tersenyum, pelan ia berbisik, “Makasih ya Tan..”, lalu pergi membonceng Bagas. Titan tersentak, bukan karena apa yang diucapkan Dewi barusan, tapi karena ia melihat sorot mata Dewi yang tampak berbeda.
Bagas menstarter motornya, memulai perjalanan liputan panjang mereka. Adam pun menyusul. Mereka berkendara menyusuri sepanjang jalan Solo-Jogja, lalu menuju ke selatan menuju Piyungan dan dimulailah tantangan yang pertama – menaklukkan tanjakan bukit bintang menuju Patuk.
Ada tanjakan jahanam dan berliku-liku yang siap untuk mereka lintasi. Mereka melewati daerah yang berbukit-bukit, sebelah kanan terbentang hutan yang luas, sisi jalan yang lain terdapat jurang yang cukup curam. Perjalanan semakin menantang karena mereka disambut tikungan-tikungan tajam di sepanjang jalan. Tepi-tepi jalan hanya ada rerumputan, tanpa pagar pembatas jalan.
Titan yang tadinya anteng, jadi rajin baca doa semenjak melintasi jalan horor itu. Adam yang nggak sengaja denger pun, tersenyum simpul berkali-kali.
“Tenang Tan, abis ini bakal ada pemandangan bagus,” ujar Adam mencoba menghibur Titan.
“Eh? Serius??” Titan kaget. “Kok lo tau?”
“Ya, kan sebelumnya aku udah survei ke tempat ini. Di jamin deh, kamu nggak bakal nyesel.”
“Sama Bagas?” ujar Titan spontan.
Adam terdiam.
Tak lama Titan menyesali ucapannya. Ia sudah berjanji untuk tidak membawa perasaannya, tapi ia telah melanggar.
“Jadi ke air terjun ini, ide kamu ya?” ujar Titan memulai pembicaraan lagi.
“Bukan,” ujar Adam santai. “Ini ide Bagas, kebetulan aku tau tempatnya, jadi aku yang survei. Kan kemarin kita udah bagi tugas, Bagas yang survei di dalam kota, sisanya bagianku.”
“Oooh..” Titan manggut-manggut.
“Eh, Tan, lihat deh sekeliling kamu,” ujar Adam tiba-tiba. “Itu kebun coklat.”
“Wuuaaa...” Titan bengong melihat pemandangan pohon coklat yang terhampar luas di depan matanya. Beribu-ribu pohon coklat berjajar rapi di sekeliling jalan dengan buah coklat yang menggantung di setiap dahannya. Daunnya tampak lebat dan rimbun.  Terlihat semakin jauh, semakin hijau pula pepohonan itu. Untuk yang kesekian kalinya mata Titan tidak lelah untuk mengagumi pemandangan sederhana yang alam sediakan.
Melihat hamparan pepohonan rimbun itu, Titan jadi berpikir, mata kita ini berapa mega pixel ya? Tuhan baik banget udah kasih mata yang resolusinya bahkan nggak bisa ditandingi sama kamera SLR. Tuhan emang Maha Keren.
“Tan?” seru Adam lagi. “Jangan bengong terus, bentar lagi kita sampai di daerah Bobung.”
“Hah? Udah mau sampai? Daerah apa tadi? Bagong?” sahut Titan seperti anak kecil.
“Belum. Tuh di depan udah deket sama daerah Bobung,” Adam menjelaskan dengan sabar. “Itu daerah sentra pengrajin topeng batik di deket sini, biasanya tempat ini jadi tujuan wisata juga.”
“Oooh..” Titan manggut-manggut lagi. Ia menyiapkan matanya untuk melihat pemandangan lagi. “Wuuuaaah, bagus ya Dam. Tapi kok sepi ya?” Perasaan Titan tiba-tiba tak enak.
Adam memilih untuk diam dan tak menjawab. Ia pernah mendengar kabar sebelumnya, kalau daerah sekitar itu memang agak angker. Jadi, ia memilih untuk tidak menyinggung sedikitpun tentang hal itu.
Sementara itu, Bagas dan Dewi sudah jauh berada di depan. Mereka tampaknya juga asyik dengan pembicaraan mereka sendiri. Tak lama kemudian, terlihat Bagas menepikan motornya, Adam dan Titan pun menyusul. Tampaknya  mereka telah tiba di dusun Batur, lokasi air terjun Banyunibo berada.
Mereka memarkirkan motornya di sebuah teras rumah sederhana milik warga. Titan dan Dewi memandang sekeliling, di pandangan mereka tak terlihat sedikitpun pemandangan air terjun atau bahkan suara air.
“Kita udah sampai?” tanya Dewi.
“Hampir,” ujar Bagas. “Kita harus jalan kaki buat ke sana, nggak jauh kok, paling sekitar 300 meter.”
Bagas yang memimpin rombongan, ia berada di depan untuk menunjukkan jalan, Dewi dan Titan berjalan mengikutinya. Adam, berada di paling belakang untuk memastikan semua temannya aman. Dengan membawa semua peralatan dan bekal, mereka mulai berjalan menyusuri jalan setapak melewati semak-semak dan tegal milik warga.
Titan terlihat bersemangat sekali, di sepanjang perjalanan bibirnya sering menyunggingkan senyum-senyum nggak jelas. Matanya berbinar melihat teduhnya pemandangan sekitar.
“Udah hampir sampai ni Gas,” Adam berseru dari belakang.
Bagas mengangguk. Ia menghentikan langkahnya. Suara gemericik air mulai terdengar.
“Guys. Selamat datang di Banyunibo,” ujar Bagas sambil memandang ke air terjun.
Teman-teman yang lain mengikuti Bagas. Berdiri tegap memandang air terjun dari kejauhan. Dari tempat mereka berdiri tampak sebuah air terjun berketinggian kurang lebih 18 meter mengalir dengan derasnya.
Perjuangan mereka belum selesai. Di hadapan mereka sudah berdiri kokoh berbagai bongkahan batu yang super besar di sepanjang rute menuju air terjun. Dari titik inilah Adam mulai pasang badan memilihkan celah di antara bebatuan itu untuk mereka lewati.
“Kok bisa ada batu di sini ya?” tanya Titan.
“Menurut warga sini sih, batu-batu besar ini rubuh saat gempa bumi di Jogja tahun 2006 silam,” Adam menjelaskan.
Lagi-lagi Titan hanya bisa manggut-manggut.
“Barang bawaan, kita tinggal di sini aja ya. Cukup bawa alat dokumentasi dan bekal sekucupnya aja,” ujar Adam memberikan komando.
Yang lain mengikuti apa yang disarankan Adam dan mulai bergerak. Dengan beberapa carabiner, Adam memasangkan tali di setiap bongkahan batu agar mudah dilalui temannya.
Perlahan mereka mendaki bebatuan itu. Raut muka Titan agak aneh, entah mengapa petualangannya kali ini mengingatkan ia pada Bagas, mengingatkan pada kenangan mereka yang sering menikmati pagi bersama, mengingatkan betapa Bagas sangat menyukai dunia yang penuh petualangan seperti ini. Sementara Bagas cuek aja. Mungkin benar kata orang, orang yang sering naik gunung itu hidupnya bebas. Mungkin Bagas seperti itu. Sekejap hati Titan berontak minta move on dan sekali lagi Titan pun memantapkan hatinya.
Di sisi lain, jauh di lubuk hati Titan bersemayam perasaan senang yang bukan main. Hatinya seperti terbangun dari tidur yang sangat lama. Hatinya seolah bergairah mencium aroma petualangan. Mata Titan yang awalnya redup mulai menyala mengobarkan semangat. Perlahan tersirat senyum di bibirnya.
 “Keren ya Dew? Seruu!!” ungkap Titan. “Nggak tahu kenapa, rasanya seperti ini jiwa gue.”
Dewi senyum-senyum melihat Titan yang senengnya kayak anak kecil nemu mainan baru, nemu passion baru. Dewi pun tak kalah bahagia, dengan setulus hati ia tidak menyesal karena telah rajin joging sebelumnya. Kini ia bisa menggunakan kekuatan kakinya.
Langkah demi langkah mereka kerahkan dengan pasti. Tak lama kemudian, mereka mulai merasakan percikan-percikan kecil air yang datang dari air terjun.
“Segarnyaaaaa!! Suhanallah,” ucap Titan lagi. “Akhirnya sampai juga.” Memang di sepanjang perjalanan ini Titan yang paling cerewet. Komen ini itu, tanya ini itu, kagum ini itu, tak ada jedanya.
Debit air terjun yang lumayan besar membuat suara gemuruh yang kencang. Percikan-percikan air yang mengenai bebatuan tampak jernih. Senyuman mulai mengembang di bibir mereka, perasaan lega karena telah menemukan air terjun terungkap jelas di mata mereka.
Tuhan keren banget, batin Titan.
“Bagus ya tempatnya,” ujar Dewi kagum. “Bersih lagi.”
“Iya dong Dew, kan masih virgin. Belum banyak orang yang tahu tempat ini,” Adam memberi penjelasan.
Dewi tersenyum, melihat Adam memberikan penjelasan tanpa ragu, Dewi merasa kalau memang tidak perlu ada jarak yang khusus di antara mereka. Ia tak harus jaga jarak.  Ia harus mulai terbiasa berbicara dengan cara yang biasa dengan Adam.
“Bagusnya lagi, masyarakat sekitar sini ramah-ramah loh. Kemarin waktu survei, ada warga sekitar sini yang nunjukin jalannya ke aku, hehe,” Adam menambahkan lagi. “Kita mulai yuk?”
Segera Adam menyiapkan kameranya untuk dokumentasi. Tak mau kalah, Titan diam-diam membawa handycam untuk membuat video tentang tempat itu, ia meminta Dewi untuk jadi naratornya – secara suara Dewi bagus. Sementara itu Bagas, mencari warga yang kebetulan ada di sekitar air terjun untuk diwawancarai. Semua Titan kemas dalam rekamannya.
Setelah semua selesai, mereka pun memanjakan diri dengan bermain air. Semua tampak senang menikmati pemandangan alam itu.
“Foto-foto yuk?” seru Titan.
Adam kembali pasang badan meladeni permintaan sahabatnya.
Berbagai pose mereka paparkan. Perlahan-lahan Titan pun semakin mencair, tak kaku lagi ketika ada Bagas. Tak lupa jua, ia foto sebanyak-banyaknya dengan Dewi. Dari dulu kan Titan diem-diem kagum sama sosok emak angkat ini. Tercurahkan semua canda dan tawa, menghiasi kebersamaan mereka.
“Dam, dari tadi motret melulu. Sini gantian, aku yang fotoin,” ujar Dewi. Ia melaju ke arah Adam, meraih kameranya dan memaksa Adam untuk bergabung dengan yang lain. Tak sengaja jarinya menekan tombol sehingga menampakkan semua koleksi foto yang tersimpan di dalamnya.
Ketika melihat ke kamera, mata Dewi tertegun, mendapati banyak sekali foto seorang gadis, gadis yang ia kenal. Hatinya bertanya, kenapa bisa ada banyak sekali fotonya di sini? Jadi benar dia? Semua fotonya tampak diambil dengan diam-diam.
Dewi tak mampu mengungkapkan tanya dalam benaknya. Ia hanya diam, lalu mencoba tersenyum. Toh Adam sudah bukan miliknya sejak lama, batinnya sambil menertawakan dirinya sendiri. Lagipula ia sudah mantab untuk mengejar mimpinya, jadi biarlah...biarlah semua berlalu. Cukup kenangan itu yang bersamanya.
Dewi menghela nafas, menenangkan diri. Ia kembali menatap kawan-kawannya. Meminta mereka berfose. Ia berusaha sekali untuk tersenyum, bahkan ketika melihat Adam. Tapi mungkin hatinya tak cukup mampu, jadi ia memalingkan pandangannya lagi. Adam sepertinya mengatahui perubahan sikap Dewi yang tiba-tiba. Ia tak mampu tersenyum. Wajahnya menoleh.
Tak terasa hari sudah agak sore, matahari mulai tak bersemangat lagi menampakkan cahayanya. Mereka memutuskan untuk segera pergi ke kota mencari penginapan agak esok harinya bisa menyiapkan liputan berikutnya.
“Turunnya hati-hati ya..” ujar Bagas memberi peringatan. Beberapa bebatuan memang agak licin karena lumut yang menempel. Musim hujan memang sudah berlangsung cukup lama. Oleh karenanya lumut-lumut itu tumbuh subur menyelimuti bebatuan.
Dengan hati-hati mereka menapakkan kaki di bebatuan, mencari bagian yang aman untuk dipijak. Tiba-tiba...
Sruuuuggggghhh...terdengar suara bagaian dari bebatuan terjatuh.
Bebatuan yang diinjak Dewi runtuh. Tubuh Dewi terperosok ke bawah. Secepat kilat tangan Adam menangkapnya, menggenggam tangan Dewi lalu menariknya ke atas. Tapi naas, Adam justru terpeleset lumut ketika bergerak menarik Dewi. Sekejap, tubuh mereka berdua terguling ke bawah. Mereka jatuh bersamaan, tubuh kekar Adam berusaha melindungi Dewi dengan memeluknya agar tak mengenai batu.
Tubuh mereka terhenti di bebatuan besar. Keduanya tak sadarkan diri karena membentur banyak batu sebelumnya. Parahnya lagi, kaki Adam terjepit di antara bebatuan. Semua terjadi begitu cepat, sampai-sampai Bagas dan Titan tak mampu menolong. Secepatnya mereka pergi mencari bantuan.
Beberapa warga yang berada di dekat lokasi berdatangan turut membantu. Keduanya dilarikan di sebuah rumah sakit di Jogjakarta. Titan dan Bagas menunggui dengan perasaan cemas. Tak lama setelah perisitwa itu, Dewi siuman, lukanya tak parah, hanya ada sedikit memar. sebelumnya, ia hanya tak sadarkan diri karena tubuhnya jatuh di bebatuan berkali-kali. Namun Adam, ia belum sadar. Pergelangan kakinya tampak membiru dan bengkak. Dokter segera membawa Adam ke ruangan untuk diperiksa.
“Gimana nih Gas?” ujar Titan khawatir.
“Kamu tenangin diri kamu ya, aku udah menghubungi orang tua Adam, mereka ada di luar kota, jadi kemungkinan besok baru bisa sampai sini,” Bagas menenangkan. “Jadi, untuk sementara ini, aku aja yang jaga mereka.”
Titan paham, di saat-saat seperti ini memang dibutuhkan ketenangan agar ia tetap berpikir jernih dan bisa membantu lebih banyak.
“Soal liputan kita, mungkin cukup satu destinasi aja, kita kan nggak mungkin ninggalin mereka saat ini,” tambah Bagas. “Jadi sekarang perjuangan ada di tangan kamu Tan.”
Titan mengangguk mantab. Tak masalah bagi Titan untuk menyelesaikan bagiannya, asalkan semua teman-temannya lekas membaik.
***
Titan terlihat serius di hadapan laptopnya. Sudah sejak satu jam yang lalu ia mengerjakan laporannya. Membuat artikel tentang liputannya siang itu. Ia memutar otaknya untuk mencari sudut pandang baru agar artikelnya layak baca. Ide yang awalnya tentang wisata fotografi untuk mengenali spot bagus di beberapa kawasan pun kini akan diganti dengan ide baru.
Ia berpikir untuk mengangkat tema kearifan lokal dengan nuansa teduh yang menyelimutinya. Titan kembali menggerakkan jari-jarinya, memaksa mereka untuk bekerja lebih cepat dalam menghasilkan kata-kata. Ia  memutuskan untuk menyelesaikan laporannya malam ini juga agar bisa secepatnya kembali ke rumah sakit menjenguk Dewi dan Adam.
Beberapa waktu kemudian, ketika Titan masih terlarut dalam pekerjaannya, terdengar suara seseorang mengetuk pintu kamarnya.
Mungkin Stella, pikir Titan. Ia membukakan pintu. Ternyata benar. Stella datang dengan raut muka sedih, sebelumnya ia telah mendengar kabar dari Titan tentang kejadian siang itu.
“Kamu nggak apa-apa Tan?” tanya Stella sambil memeluk Titan.
“Aku baik-baik aja La,” jawab Titan. “Dewi sama Adam yang kenapa-kenapa. Mereka masih di rumah sakit. Tapi dokter bilang, kemungkinan besok Dewi udah bisa pulang, dia hanya butuh istirahat. Kalau Adam, mungkin harus mendapat perawatan beberapa hari.”
“Trus siapa yang jaga mereka sekarang?”
“Ada Bagas kok.”
“Ya udah, besok kita jemput Dewi, sekalian jenguk Adam.”
Titan mengiyakan, lalu ia segera merampungkan tugasnya. Segera ia mengirimkan tugasnya vie email, lalu beristirahat. Esoknya, pagi hari sekali mereka berdua berangkat ke rumah sakit. Stella mengemudikan mobilnya dengan cukup kencang agar lekas sampai. Tak salah, jarak yang cukup jauh hanya ia tempuh selama satu setengah jam.
Mereka berdua bergegas menuju kamar Dewi dan Adam dirawat. Dari kejauhan tampak Bagas duduk di luar kamar Adam. Titan mendekatinya.
“Adam udah siuman?” tanyanya.
“Udah, sejak semalem.”
“Dewi?”
“Dewi baik-baik aja. Kata dokter yang memeriksanya tadi pagi, Dewi udah boleh pulang hari ini,” Bagas menjelaskan. “Ini sekarang dia lagi di dalam jenguk Adam.”
“Ya udah, aku menemui mereka dulu ya?” ujar Titan pamit meninggalkan Bagas.
Buru-buru Bagas menggenggam lengan Titan. “Mereka lagi ngobrol serius,” selanya. “Kita tunggu di sini dulu aja.”
Langkah Titan sekejap terhenti. Ia mengurungkan niatnya untuk segera masuk. Dari balik jendela kaca kamar Adam, tampak jelas Adam dan Dewi sedang membicarakan sesuatu yang serius. Terlihat Dewi menitikkan air mata, pandangannya sayu, tatapannya dalam. Mungkin ia telah menyesal membuat keadaan Adam menjadi seperti itu. Terlebih lagi mereka punya hubungan yang dekat sebelumnya. Begitulah yang dipikirakan semua orang.
Titan menoleh ke arah mereka sejenak, tak sengaja ia melihat moment itu. Penampakan Adam yang sedang membelai lembut rambut Dewi, tapi ada yang aneh, bibir bergerak pelan melantunkan kata maaf.
Mengapa Adam minta maaf? Sepintas muncul pertanyaan itu dalam benak Titan. Tapi kemudian ia menimpali sendiri. Mungkin Adam meminta maaf karena sudah membuat Dewi khawatir. Sudahlah, lagipula itu bukan urusannya. Titan mengacak-acak rambutnya sendiri, agar tak berpikir yang aneh-aneh lagi.
“Ayo, kita masuk,” ujar Bagas mengagetkan Titan.
Ketiganya pun masuk ke dalam ruangan Adam. Di dalam, Adam dan Dewi sudah menyambut dengan senyum, senyum yang mereka buat untuk menutupi luka mereka. Stella langsung mendekat menghampiri Dewi, memeluk dengan penuh khawatir.
“Gue khawatir banget Dew,” ujar Stella lirih.
“Gue nggak apa-apa La,” Dewi menenangkan.
“Gimana kondisi kamu Dam?” tanya Bagas.
“Gue nggak apa-apa kok Gas,” ujar Adam santai.
“Nggak apa-apa gimana Dam, kaki kamu biru-biru gitu,” sela Titan. “Kami khawatir tau nggak.”
“Alaaah, nggak apa-apa Tan, cuma retak dikit, hehe,” Adam cengar-cengir. “Sorry ya udah bikin khawatir.”
Semuanya lega, melihat Adam sudah bisa bercanda, itu artinya lukanya nggak sampai melukai mental. Pembicaraan mereka pun turut mengalir, Titan menyumbang suara paling banyak dengan kekonyolan-kekonyolan yang begitu saja tampak dari dirinya.
“Dewi gimana nih? Jadi pulang hari ini?” tanya Stella.
“Kata dokter sih udah boleh pulang,” jawab Dewi singkat.
“Ya udah kalo gitu biar gue sama Titan urus administrasinya sekarang.”
Titan pun langsung cabut ke bagian administrasi bareng Stella. Dewi merasa beruntung banget punya teman seperti mereka yang selalu peduli. Dengan penuh semangat Titan berjalan, hingga tak sadar ia menabrak seseorang.
“Ario?” Titan kaget setengah mati mendapati kekasihnya berada di rumah sakit yang tengah ia kunjungi. Sebelumnya Titan bahkan tidak memberikan kabar apapun kepada Ario, begitu pula sebaliknya. Ario pun kaget melihat Titan. Gerak tubuhnya seperti tidak tahu harus melakukan apa. Tubuhnya diam terpaku. Lalu datang seorang wanita paruh baya menggandengnya dengan terburu-buru.
“Ayo nak, istrimu sudah menunggu,” begitu ujarnya.
Titan semakin kaku dalam diamnya. Hatinya serasa ditusuk benda yang sangat tajam. Pikirannya kalut dengan banyak pertanyaan. Bibirnya bergetar tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Matanya hanya mampu mengikuti ke arah mereka pergi. Ario terlihat menurut dan pergi dengan buru-buru. Keduanya berjalan cepat ke arah ruang bersalin, Ario bahkan tak menoleh lagi ke belakang. Titan hanya mampu menatapnya dengan rasa kecewa yang teramat dalam.
“Istri??” tanyanya pada diri sendiri.
Mata Titan berkunang-kunang. Ia terduduk lemas. Air matanya mengalir tak terbendung.
“Tan...?” ujar Stella pelan sambil mengelus pundaknya. Ia pun tak mampu berucap kata melihat kawannya sekali lagi dikhianati.
“Selama ini Ario udah baik banget La,” Titan mulai mengungkapkan kegelisahannya. “Aku nggak nyangka ternyata selama ini aku cuma selingkuhannya.”
Stella mengelus pundak Titan, ia tahu saat itu ia harus jadi pendengar yang baik untuk sahabatnya.
“Ario jahat...” ucap Titan sambil menangis semakin deras. Mukanya memerah, ia mencoba menghela nafas berkali-kali untuk menenangkan diri, tapi tetap saja itu tak mampu menahan air matanya agar tidak keluar.
Stella menggenggam erat tangan Titan, lalu memeluk dan mengusap rambutnya.
“Kamu kuat Tan..kamu bisa,” Stella mencoba memberikan semangat.
***
Sumber gambar http://www.forbes.com/forbes/welcome/




0 komentar:

Posting Komentar

SUNSHINE STORY (Chapter 10)