Titan
sedang mencari angin segar untuk otaknya yang penat karena Uji Kompetensi yang
bertubi-tubi dan tanpa ampun. Stella menyarankan Titan untuk ke pantai. Titan
awalnya enggan, namun pada akhirnya ia luluh juga karena Stella memang jago
merayu. Stella sendiri sudah tidak tahan melihat wajah kusut Titan yang semakin
hari semakin mengerikan. Yah, mungkin pantai akan menjadi akhir pekan yang
menyenangkan.
“Aku
mau melihat matahari terbenam,” ujar Titan.
“Ya,
nanti aku antar.” Stella menjawab singkat.
“Tapi
aku sedang ingin sendiri...”
Stella
terdiam sejenak. Ia cukup mengerti apa yang dibutuhkan temannya. Ruang.
“Aku
mau antar, tapi kamu harus janji kamu bakal hati-hati. Setelah antar kamu, aku
antar Dewi dulu ambil pesanan buku buat murid-muridnya. Sorenya kita jemput
kamu. Kamu mau dijemput jam berapa?”
“Setelah
senja hilang...”
***
Titan
melepaskan penat dengan duduk bersantai menikmati rona senja yang terpampang di
hadapannya. Ternyata senja itu begitu indah sehingga membuat siapapun yang
menyadari keberadaannya enggan mengalihkan pandangan. Harmonisasi senja yang
agung seperti telah dilukiskan oleh tangan yang tidak biasa – tangan Tuhan.
Hembusan
udara sore yang semilir dan sedikit hangat disambut ramah oleh Titan dan
seluruh penghuni pantai ini. Daun-daun kelapa tampak menggoyangkan sedikit
tubuhnya, menari di atas senja. Kali ini tanpa sampah, petugas kebersihan tak
pernah mengerjakan tugasnya lebih dari jam lima sore. Hanya ada pasir putih
yang terhampar luas, juga kepiting-kepiting kecil yang mulai menggali pasir
untuk ditinggalinya selama semalam. Kepiting-kepiting ini adalah teman penikmat
senja. Kepiting di senja hari, sinar surya dari ufuk barat selalu membuat rona
kulit mereka menjadi lebih indah. Kepiting-kepiting itu tampak seperti peri
kecil dengan warna jingga dicangkangnya.
Rona
langit yang indah berpadu dengan awan putih membuat lukisan senja yang begitu
sempurna. Matahari sudah berjalan perlahan ke ujung pantai, cahanya yang
memenuhi pantai seperti memberi kehidupan tersendiri bagi makhluk-makhluk yang
menghuni pantai dan lautan itu – juga bagi Titan.
Hari
yang terang sudah hampir berganti. Matahari tidak akan bisa bertahan sampai
malam. Mungkin sesungguhnya senja itu adalah peperangan antara matahari dan
bintang. Dan mungkin suara deburan ombak yang saling menghantam itu adalah
suara peperangan mereka. Biarlah, biar
senja di pantai ini tak pernah sepi, desis Titan dalam hati.
Perlahan
air mulai surut, karang-karang yang tadinya bersembunyi pun mulai tampak.
Pantai ini tampaknya menyimpan lebih banyak kehidupan dari yang dapat kita
lihat. Beberapa ganggang dan rumput laut mulai layu karena tak terkena air
lagi. Kepiting-kepiting kecil yang tadinya bersembunyi di dalam pasir pun mulai
keluar mencari makan dan membawa makanan mereka kembali ke sarang.
Kali
ini mata Titan melihat lebih luas dari biasanya. Ia melihat pantai ini, pantai
yang tampak seperti rumah, rumah bagi seluruh makhluk yang ada disekitarnya.
Dan senja adalah lukisan yang menambah kemegahan di dalam rumah itu.
Langit
luas yang membentang di atasnya begitu ramah menatap setiap kehidupan yang ada
di pantai ini. Perlahan awan mulai berganti dengan awan lain. Beberapa burung
juga tampak beterbangan mencari pohon untuk disinggahi. Makhluk-makluk ini
hidup dengan sederhana, ini sama sekali berbeda dengan manusia. Mereka mungkin
tak memiliki beban, sehingga tak mengalami pergolakan batin seperti yang Titan
rasakan.
Matahari
sudah menenggelamkan setengah bagian dari dirinya. Beberapa makhluk hampir
tidak terlihat lagi. Sang Surya, penguasa senja hampir terbenam, seperti
kehidupan seluruh makhluk yang tinggal di sini, semuanya harus berakhir pada
senja itu dan harus diganti dengan awal yang baru. Seperti mengganti rona
jingga sang Surya dengan kemerlap bintang-bintang.
Titan
membenamkan dirinya menikmati paduan senja yang sempurna itu. Matanya seperti
nyaman untuk selalu terbuka dan menikmati keindahan yang terpapar di hadapannya.
Bagaimana mungkin ia mampu melewatkan pemandangan yang tidak bisa ia temui
setiap hari ini?
Perlahan
senja mulai hilang dan suara-suara perlahan menjadi sunyi, namun ada satu yang
mengganggu telinganya. Ia seperti mendengar suara langkah yang semakin lama
terdengar semakin dekat. Titan tak beranjak, ia hanya membalikkan badannya. Ia mengarahkan
pandangannya mencari asal suara itu.
Awalnya
Titan yakin sekali bahwa sejak satu jam yang lalu hanya dia yang menghuni
pantai ini, tampaknya ia salah. Di kejauhan, tampak sosok siluet, mungkin
seorang pria atau mungkin wanita. Entahlah, hari sudah agak gelap, pandangan
Titan jadi tak sejelas sebelumnya. Sosok itu mendekat perlahan. Mungkin Stella, pikir Titan.
Titan
semakin penasaran. Ia terdiam, menanti sosok itu datang menampakkan mukanya –
memastikan kalau itu Stella. Tapi tiba-tiba Titan dikejutkan oleh seruan lembut
seseorang yang entah sejak kapan ada di belakangnya.
“Tan...,”
ujarnya sambil menepuk lembut bahu Titan.
“Bagas...?”
Titan kaget.
Bagas
tersenyum. Ia duduk di samping Titan, kakinya disilakan. Sementara Titan masih
mengarahkan pandangannya ke arah siluet itu datang.
Aneh.
Siluet itu telah hilang.
“Sedang
belajar apa dari senja?” Bagas berkata pelan.
Sepintas
ucapan Bagas memecah kegelisahan Titan, namun Titan masih terdiam dalam
pandangannya. Pikirannya masih tak jelas antara kaget dengan keberadaan Bagas
dan siluet secara tiba-tiba.
Titan
menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tak ingin membebani
pikirannya lebih dalam. Mungkin bayangan itu hanya ada di pikirannya. Ia
menyadari betul kalau ia sedang kacau.
Titan
kembali menarik nafas dalam, menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak perlu
dalam otaknya. Perlahan Titan mengarahkan pandangannya ke Bagas yang masih
duduk bersila.
“Aku
benci senja, ia selalu menghindari matahari terbit. Senja dan mentari pagi tak
pernah rukun,” lanjut Bagas.
Titan
masih beku dalam diamnya. Ia sungguh mengerti apa yang dimaksudkan Bagas.
Namun, Titan sadar bahwa ia tak bermaksud seperti itu.
“Jangan
pergi lagi...senja...” ujar Bagas perlahan. “Kamu tahu senja selalu menjadi
akhir dari perjalanan cahaya matahari dan tanpa cahaya isi dunia ini tidak akan
terlihat.”
Titan
masih membisu. Mulutnya terkunci dan terasa berat untuk digerakkan. Matanya
mulai basah oleh air mata. Ia tak tahu harus melakukan apa dan bagaimana
memperbaikinya.
“Kita
tidak berhenti di sini, Tan...” ujar Bagas lagi. Tangannya yang kekar memegang
tangan Titan, ia perlahan menggenggamnya. Matanya menatap dalam pada kedua mata
Titan yang masih sedikit tersinari oleh sisa-sisa senja. Mereka berdua saling
menatap dalam dan saling berkomunikasi dalam tatapan itu. Perlahan Titan
mengembangkan senyum, Bagas pun membalasnya dengan senyum ramah sekali.
“Ayo
pulang, udara malam nggak baik buat kesehatan.” Bagas menuntun Titan bangkit
dari duduknya. Mereka berdua berjalan dengan tangan yang masih saling
menggenggam, berjalan dalam keheningan petang yang baru saja mengisi hari itu.
Dari
tempat parkir, Titan sangat kaget, ternyata Stella dan Dewi sudah menunggu.
Sepertinya mereka sudah lama. Di lubuk hatinya, terbesit kelegaan – mungkin
bayangan tadi benar bayangan Stella.
Bagi Titan, Dewi dan Stella adalah
pengungkapan makna sahabat yang sempurna. They’re
always like how a friend suppose to be. Titan banyak belajar tentang kasih
sayang dari mereka. Titan jadi tersipu malu, namun ia tak berniat melepas
genggamannya, ia sedang nyaman dengan itu dan benar-benar enggan untuk
mengakhirinya.
“Hati-hati
ya pulangnya..Aku sama Dewi balik dulu,” ujar Stella yang kemudian masuk ke
mobilnya bersama Dewi. Mereka pulang terlebih dahulu, mungkin karena tidak
ingin menganggu moment yang sudah
terbentuk indah di hati kedua makhluk yang sedang jatuh cinta itu.
Di
dalam hati Titan yang paling dalam, ia menyangkal tegas dengan apa telah
dikatakan Bagas senja itu. Senja bukan
akhir Gas, nyatanya senja ini menjadi awal kisah kita, Titan berseru dalam
hati. Titan bahagia sekali,ia menyambut senang kehadiran malaikat pembawa
senyum yang sedang bersamanya kala itu.
Titan
sungguh-sungguh mendapati senyumnya kembali, orang-orang di dekatnya pun tak
lagi menyimpan kawatir atau perasaan was-was yang berujung pada pemikiran yang
tidak-tidak lagi.
Titan
memulai lembaran barunya bersama Bagas lagi. Kini tak lagi Bagas yang membuat orange cream untuk mereka berdua, namun
Titan. Memang ajaib, itu pertama kalinya Titan mau membuat sesuatu untuk
laki-laki. Tak hanya itu, kini Titan juga sudah bersedia diboncengkan Bagas
kalau kuliah, meski ia memberi batasan maksimal tiga kali seminggu, Titan masih
belum sepenuhnya bisa jauh-jauh dari sepedanya.
Bagas
juga merasakan hal yang sama. Ia menjadi pribadi yang lebih murah senyum dari
sebelumnya, nada bicaranya juga tak lagi jutek dan datar, ia sudah mampu
berimprovisasi.
Mereka
pasangan yang cocok sekali. Titan sendiri sering merasa kalau Bagas itu seperti
cermin, gelagatnya mirip Titan banget. Bedanya hanya, Bagas lebih rajin mandi,
Bagas lebih perfectionist, Bagas
lebih sabar, dan Titan lebih aneh dari Bagas. Tapi kalau orang-orang bilang,
Bagas pasti lagi khilaf karena mau pacaran sama Titan. Secara Bagas itu banyak
yang naksir dan cewek-cewek Bagas lover itu rata-rata cantik, kalau dibandingin
dengan Titan mungkin sebelas-dua puluh satu lah. Tapi Titan cuek aja, Titan
yang selalu merasa kalau dia beda dari yang lain dan susah kebawa arus tetep
pede aja jalan sama Bagas.
Titan
sendiri jarang berpikir kenapa Bagas bisa suka sama dia, secara Titan
itungannya biasa aja, nggak modis, nggak update, dan sering dapet stempel
“kurang gaul” dari temen-temennya. Yang Titan tahu hanyalah Titan nyaman di
deket Bagas, itu aja. Bagas juga, ia tidak pernah memikirkan lebih jauh tentang
fisik dan penampilan Titan, selama Titan mau mandi dua kali sehari rasanya
segala kesalahan dapat dimaafkan. Bagas memang sama persis dengan Titan dalam
menilai orang, mereka tidak pernah mementingkan fisik. Bagas suka dengan Titan,
karena ia melihat Titan mau dan berani menjadi dirinya sendiri, nggak
pura-pura, nggak pakai topeng, dan nggak berusaha buat jadi orang lain. Titan
selalu menjadi dirinya sendiri. Bagas tidak membutuhkan alasan yang panjang
untuk mencintai Titan, karena bagi dia cinta cukup dibangun dengan alasan yang
sederhana. Cinta tidak harus rumit.
Kecocokan
itulah yang membuat mereka nyaman menjalani hubungan mereka, hingga berjalan
selama dua tahun. Segala yang mereka lalui selalu terasa indah. Segalanya
menjadi manis bagi kedua makhluk yang hatinya telah terikat dalam satu komitmen
yang mereka sebut dengan “cinta”.
***
Sumber gambar https://www.pinterest.com/pin/59109813832875523/
0 komentar:
Posting Komentar