SUNSHINE STORY (Chapter 5)




Titan sedang mencari angin segar untuk otaknya yang penat karena Uji Kompetensi yang bertubi-tubi dan tanpa ampun. Stella menyarankan Titan untuk ke pantai. Titan awalnya enggan, namun pada akhirnya ia luluh juga karena Stella memang jago merayu. Stella sendiri sudah tidak tahan melihat wajah kusut Titan yang semakin hari semakin mengerikan. Yah, mungkin pantai akan menjadi akhir pekan yang menyenangkan.
“Aku mau melihat matahari terbenam,” ujar Titan.
“Ya, nanti aku antar.” Stella menjawab singkat.
“Tapi aku sedang ingin sendiri...”
Stella terdiam sejenak. Ia cukup mengerti apa yang dibutuhkan temannya. Ruang.
“Aku mau antar, tapi kamu harus janji kamu bakal hati-hati. Setelah antar kamu, aku antar Dewi dulu ambil pesanan buku buat murid-muridnya. Sorenya kita jemput kamu. Kamu mau dijemput jam berapa?”
“Setelah senja hilang...”
***
Titan melepaskan penat dengan duduk bersantai menikmati rona senja yang terpampang di hadapannya. Ternyata senja itu begitu indah sehingga membuat siapapun yang menyadari keberadaannya enggan mengalihkan pandangan. Harmonisasi senja yang agung seperti telah dilukiskan oleh tangan yang tidak biasa – tangan Tuhan.
Hembusan udara sore yang semilir dan sedikit hangat disambut ramah oleh Titan dan seluruh penghuni pantai ini. Daun-daun kelapa tampak menggoyangkan sedikit tubuhnya, menari di atas senja. Kali ini tanpa sampah, petugas kebersihan tak pernah mengerjakan tugasnya lebih dari jam lima sore. Hanya ada pasir putih yang terhampar luas, juga kepiting-kepiting kecil yang mulai menggali pasir untuk ditinggalinya selama semalam. Kepiting-kepiting ini adalah teman penikmat senja. Kepiting di senja hari, sinar surya dari ufuk barat selalu membuat rona kulit mereka menjadi lebih indah. Kepiting-kepiting itu tampak seperti peri kecil dengan warna jingga dicangkangnya.
Rona langit yang indah berpadu dengan awan putih membuat lukisan senja yang begitu sempurna. Matahari sudah berjalan perlahan ke ujung pantai, cahanya yang memenuhi pantai seperti memberi kehidupan tersendiri bagi makhluk-makhluk yang menghuni pantai dan lautan itu – juga bagi Titan.
Hari yang terang sudah hampir berganti. Matahari tidak akan bisa bertahan sampai malam. Mungkin sesungguhnya senja itu adalah peperangan antara matahari dan bintang. Dan mungkin suara deburan ombak yang saling menghantam itu adalah suara peperangan mereka. Biarlah, biar senja di pantai ini tak pernah sepi, desis Titan dalam hati.
Perlahan air mulai surut, karang-karang yang tadinya bersembunyi pun mulai tampak. Pantai ini tampaknya menyimpan lebih banyak kehidupan dari yang dapat kita lihat. Beberapa ganggang dan rumput laut mulai layu karena tak terkena air lagi. Kepiting-kepiting kecil yang tadinya bersembunyi di dalam pasir pun mulai keluar mencari makan dan membawa makanan mereka kembali ke sarang.
Kali ini mata Titan melihat lebih luas dari biasanya. Ia melihat pantai ini, pantai yang tampak seperti rumah, rumah bagi seluruh makhluk yang ada disekitarnya. Dan senja adalah lukisan yang menambah kemegahan di dalam rumah itu.
Langit luas yang membentang di atasnya begitu ramah menatap setiap kehidupan yang ada di pantai ini. Perlahan awan mulai berganti dengan awan lain. Beberapa burung juga tampak beterbangan mencari pohon untuk disinggahi. Makhluk-makluk ini hidup dengan sederhana, ini sama sekali berbeda dengan manusia. Mereka mungkin tak memiliki beban, sehingga tak mengalami pergolakan batin seperti yang Titan rasakan.
Matahari sudah menenggelamkan setengah bagian dari dirinya. Beberapa makhluk hampir tidak terlihat lagi. Sang Surya, penguasa senja hampir terbenam, seperti kehidupan seluruh makhluk yang tinggal di sini, semuanya harus berakhir pada senja itu dan harus diganti dengan awal yang baru. Seperti mengganti rona jingga sang Surya dengan kemerlap bintang-bintang.
Titan membenamkan dirinya menikmati paduan senja yang sempurna itu. Matanya seperti nyaman untuk selalu terbuka dan menikmati keindahan yang terpapar di hadapannya. Bagaimana mungkin ia mampu melewatkan pemandangan yang tidak bisa ia temui setiap hari ini?
Perlahan senja mulai hilang dan suara-suara perlahan menjadi sunyi, namun ada satu yang mengganggu telinganya. Ia seperti mendengar suara langkah yang semakin lama terdengar semakin dekat. Titan tak beranjak, ia hanya membalikkan badannya. Ia mengarahkan pandangannya mencari asal suara itu.
Awalnya Titan yakin sekali bahwa sejak satu jam yang lalu hanya dia yang menghuni pantai ini, tampaknya ia salah. Di kejauhan, tampak sosok siluet, mungkin seorang pria atau mungkin wanita. Entahlah, hari sudah agak gelap, pandangan Titan jadi tak sejelas sebelumnya. Sosok itu mendekat perlahan. Mungkin Stella, pikir Titan.
Titan semakin penasaran. Ia terdiam, menanti sosok itu datang menampakkan mukanya – memastikan kalau itu Stella. Tapi tiba-tiba Titan dikejutkan oleh seruan lembut seseorang yang entah sejak kapan ada di belakangnya.
“Tan...,” ujarnya sambil menepuk lembut bahu Titan.
“Bagas...?” Titan kaget.
Bagas tersenyum. Ia duduk di samping Titan, kakinya disilakan. Sementara Titan masih mengarahkan pandangannya ke arah siluet itu datang.
Aneh. Siluet itu telah hilang.
“Sedang belajar apa dari senja?” Bagas berkata pelan.
Sepintas ucapan Bagas memecah kegelisahan Titan, namun Titan masih terdiam dalam pandangannya. Pikirannya masih tak jelas antara kaget dengan keberadaan Bagas dan siluet secara tiba-tiba.
Titan menarik nafas dalam, mencoba menenangkan diri. Ia tak ingin membebani pikirannya lebih dalam. Mungkin bayangan itu hanya ada di pikirannya. Ia menyadari betul kalau ia sedang kacau.
Titan kembali menarik nafas dalam, menghilangkan pikiran-pikiran yang tidak perlu dalam otaknya. Perlahan Titan mengarahkan pandangannya ke Bagas yang masih duduk bersila.
“Aku benci senja, ia selalu menghindari matahari terbit. Senja dan mentari pagi tak pernah rukun,” lanjut Bagas.
Titan masih beku dalam diamnya. Ia sungguh mengerti apa yang dimaksudkan Bagas. Namun, Titan sadar bahwa ia tak bermaksud seperti itu.
“Jangan pergi lagi...senja...” ujar Bagas perlahan. “Kamu tahu senja selalu menjadi akhir dari perjalanan cahaya matahari dan tanpa cahaya isi dunia ini tidak akan terlihat.”
Titan masih membisu. Mulutnya terkunci dan terasa berat untuk digerakkan. Matanya mulai basah oleh air mata. Ia tak tahu harus melakukan apa dan bagaimana memperbaikinya.
“Kita tidak berhenti di sini, Tan...” ujar Bagas lagi. Tangannya yang kekar memegang tangan Titan, ia perlahan menggenggamnya. Matanya menatap dalam pada kedua mata Titan yang masih sedikit tersinari oleh sisa-sisa senja. Mereka berdua saling menatap dalam dan saling berkomunikasi dalam tatapan itu. Perlahan Titan mengembangkan senyum, Bagas pun membalasnya dengan senyum ramah sekali.
“Ayo pulang, udara malam nggak baik buat kesehatan.” Bagas menuntun Titan bangkit dari duduknya. Mereka berdua berjalan dengan tangan yang masih saling menggenggam, berjalan dalam keheningan petang yang baru saja mengisi hari itu.
Dari tempat parkir, Titan sangat kaget, ternyata Stella dan Dewi sudah menunggu. Sepertinya mereka sudah lama. Di lubuk hatinya, terbesit kelegaan – mungkin bayangan tadi benar bayangan Stella.
 Bagi Titan, Dewi dan Stella adalah pengungkapan makna sahabat yang sempurna. They’re always like how a friend suppose to be. Titan banyak belajar tentang kasih sayang dari mereka. Titan jadi tersipu malu, namun ia tak berniat melepas genggamannya, ia sedang nyaman dengan itu dan benar-benar enggan untuk mengakhirinya.
“Hati-hati ya pulangnya..Aku sama Dewi balik dulu,” ujar Stella yang kemudian masuk ke mobilnya bersama Dewi. Mereka pulang terlebih dahulu, mungkin karena tidak ingin menganggu moment yang sudah terbentuk indah di hati kedua makhluk yang sedang jatuh cinta itu.
Di dalam hati Titan yang paling dalam, ia menyangkal tegas dengan apa telah dikatakan Bagas senja itu. Senja bukan akhir Gas, nyatanya senja ini menjadi awal kisah kita, Titan berseru dalam hati. Titan bahagia sekali,ia menyambut senang kehadiran malaikat pembawa senyum yang sedang bersamanya kala itu.
Titan sungguh-sungguh mendapati senyumnya kembali, orang-orang di dekatnya pun tak lagi menyimpan kawatir atau perasaan was-was yang berujung pada pemikiran yang tidak-tidak lagi.
Titan memulai lembaran barunya bersama Bagas lagi. Kini tak lagi Bagas yang membuat orange cream untuk mereka berdua, namun Titan. Memang ajaib, itu pertama kalinya Titan mau membuat sesuatu untuk laki-laki. Tak hanya itu, kini Titan juga sudah bersedia diboncengkan Bagas kalau kuliah, meski ia memberi batasan maksimal tiga kali seminggu, Titan masih belum sepenuhnya bisa jauh-jauh dari sepedanya.
Bagas juga merasakan hal yang sama. Ia menjadi pribadi yang lebih murah senyum dari sebelumnya, nada bicaranya juga tak lagi jutek dan datar, ia sudah mampu berimprovisasi.
Mereka pasangan yang cocok sekali. Titan sendiri sering merasa kalau Bagas itu seperti cermin, gelagatnya mirip Titan banget. Bedanya hanya, Bagas lebih rajin mandi, Bagas lebih perfectionist, Bagas lebih sabar, dan Titan lebih aneh dari Bagas. Tapi kalau orang-orang bilang, Bagas pasti lagi khilaf karena mau pacaran sama Titan. Secara Bagas itu banyak yang naksir dan cewek-cewek Bagas lover itu rata-rata cantik, kalau dibandingin dengan Titan mungkin sebelas-dua puluh satu lah. Tapi Titan cuek aja, Titan yang selalu merasa kalau dia beda dari yang lain dan susah kebawa arus tetep pede aja jalan sama Bagas.
Titan sendiri jarang berpikir kenapa Bagas bisa suka sama dia, secara Titan itungannya biasa aja, nggak modis, nggak update, dan sering dapet stempel “kurang gaul” dari temen-temennya. Yang Titan tahu hanyalah Titan nyaman di deket Bagas, itu aja. Bagas juga, ia tidak pernah memikirkan lebih jauh tentang fisik dan penampilan Titan, selama Titan mau mandi dua kali sehari rasanya segala kesalahan dapat dimaafkan. Bagas memang sama persis dengan Titan dalam menilai orang, mereka tidak pernah mementingkan fisik. Bagas suka dengan Titan, karena ia melihat Titan mau dan berani menjadi dirinya sendiri, nggak pura-pura, nggak pakai topeng, dan nggak berusaha buat jadi orang lain. Titan selalu menjadi dirinya sendiri. Bagas tidak membutuhkan alasan yang panjang untuk mencintai Titan, karena bagi dia cinta cukup dibangun dengan alasan yang sederhana. Cinta tidak harus rumit.
Kecocokan itulah yang membuat mereka nyaman menjalani hubungan mereka, hingga berjalan selama dua tahun. Segala yang mereka lalui selalu terasa indah. Segalanya menjadi manis bagi kedua makhluk yang hatinya telah terikat dalam satu komitmen yang mereka sebut dengan “cinta”.
*** 
Sumber gambar https://www.pinterest.com/pin/59109813832875523/





0 komentar:

Posting Komentar

SUNSHINE STORY (Chapter 5)