SUNSHINE STORY (Chapter 12 - END)




Sudah lebih dari setengah jam Titan tak beranjak dari papan pengumuman yang ada di kampusnya. Matanya tertuju di satu poster – poster yang isinya acara pendakian masal. Entah apa yang dipikirkan Titan, seharusnya cukup lima menit ia berdiri jika hendak membaca poster itu saja. Efeknya, orang-orang yang melintas ngeliatin Titan dengan tatapan aneh.
“Tan,” Dewi menyenggol tiba-tiba. “Kamu serius dulu lulus SD? Masak baca gini aja butuh waktu setengah jam.”
Titan diem, hatinya makin bergejolak seperti ada keinginan yang kuat untuk ikut. Tapi di sisi lain, ia takut kalau hasrat itu adalah jelmaan kenangannya bersama Bagas yang belum hilang. Ia takut itu akan menjadi obsesi yang akan membuatnya selalu teringat Bagas.
“Tan? Lo nggak apa-apa?” Dewi mulai khawatir.
“Kayaknya gue galau lagi deh Dew...”
***
Titan memberesi semua perlengkapan yang sebelumnya asing dengannya. Ia telah memutuskan untuk ikut pendakian massal untuk mendaki gunung Merbabu yang terletak di perbatasan Boyolali, Magelang, dan Semarang.
Faktor “Bagas” tampaknya sukses membuat Titan mencoba berpetualang lagi, bukan karena Titan masih sayang, tapi karena Titan penasaran. Gejolaknya itu, apakah itu datang dari dirinya sendiri atau karena Bagas. Jadi, ia memutuskan untuk ikut pendakian untuk mencari tahu.
Selain itu, ia juga merasa sedikit jenuh dengan rutinitas hariannya. Menulis novel telah memaksanya untuk lebih banyak mengurung diri di kamar karena ia hanya mampu menulis di tempat yang tenang, tanpa ada orang lain. Tak hanya itu, Dewi dan Stella pun juga jadi agak aneh sejak dari pantai. Mereka tidak selepas biasanya, tampak seperti menyembunyikan sesuatu dari Titan. Penat dengan kondisi itu, Titan berpikir untuk menjernihkan pikirannya sejenak.
Ia berharap, dengan mendaki gunung ia akan mendapatkan angin segar. Lagipula di luar negeri, pendakian gunung sudah dijadikan kegiatan outbond. Siapa tahu ia akan mendapatkan inspirasi dan mendapati dirinya mendadak dewasa karena itu. Bagas bilang mendaki gunung akan mengajarkan banyak hal. Benar tidaknya, Titan akan mengetahuinya nanti.
Titan berangkat tanpa pamit pada kedua sahabatnya. Dia pergi sendiri ke fakultas teknik di kampusnya, bertemu dengan para peserta lainnya. Ada enam belas orang yang ikut pendakian tersebut dengan empat perempuan di dalamnya, terhitung Titan. Tidak banyak yang mengikuti pendakian massal itu, karena sedang ada banyak event pendakian juga dengan tujuan gunung-gunung terkenal di Jawa, seperti Semeru, Slamet, Merapi, dan gunung-gunung lainnya. Secara logika para pendaki akan memilih gunung yang lokasinya jauh karena sudah bosan mendaki gunung Merbabu atau pun Lawu yang lokasinya dekat dengan kota Solo.
Awalnya, Titan merasa asing sekali di kerumunan itu. Namun, lambat laun ia akrab juga dengan peserta pendakian lainnya. Titan merasa, anak gunung itu friendly, mudah akrab dengan siapa saja. Meski kadang mereka menunjukkan tingkah-tingkah yang agak “unik”, tapi rasanya asik aja gitu bareng mereka.
Rombongan sepakat menggunakan jalur pendakian Selo. Mereka berangkat menuju basecamp pukul enam sore. Mereka sampai di basecamp yang berada di Dusun Pakis Desa Terubatang Kecamatan Selo Kabupaten Boyolali sekitar pukul delapan malam. Sebelum memulai pendakian, mereka melaksanakan sholat isak berjamaah. Selanjutnya, mereka packing ulang dan mengecek barang bawaan masing-masing.
“Sebelum berangkat, kita berdoa dulu ya?” ujar Mas Joko, selaku ketua rombongan. Semua anggota pun langsung berdiri membentuk lingkaran.
“Berdoa menurut keyakinan masing-masing mulai...”
Semua menundukkan kepala, berdiam diri dan mulai menggunakan hatinya untuk berbicara pada Tuhan, memohon keselamatan dan apapun yang terbaik untuk perjalanan mereka.
“Aamiin...”
“Ingat ya, perjalanan ini bukanlah untuk menaklukkan puncak tertinggi gunung ini, namun untuk menaklukkan diri kita sendiri. Kita di sini bukan untuk mengukur seberapa tinggi gunung ini, namun untuk mengukur diri kita sendiri. Selama perjalanan nanti, kita harus sebisa mungkin menjaga diri dan hati kita. Hindari mengeluh, hindari berkata dan berpikiran kotor, tidak boleh melamun, tidak boleh berbuat mesum, banyak-banyak berdoa dan berzikir, dan jangan sungkan untuk minta break kalau kelelahan.”
Semua anggota mengangguk sepakat. Sebelum pendakian, ketua rombongan juga meneriakan kode etik pegiat alam, yaitu dilarang mengambil apapun kecuali gambar, dilarang meninggalkan apapun kecuali jejak, dilarang membunuh apapun kecuali waktu, dan dilarang membakar apapun kecuali semangat. Memang mereka hanya pendaki amatir, namun mereka tetap berusaha menghargai alam.
Pendakian dimulai, semuanya berbaris memanjang. Paling depan adalah Mas Joko selaku navigator. Titan berada di tengah rombongan dengan diapit laki-laki. Setiap perempuan yang ada di rombongan itu memang sengaja dibariskan secara acak di antara laki-laki, agar ada yang menjaga mereka.
Jalur pendakian menuju pos 1 berupa jalan setapak. Jalur yang didominasi hutan pinus ini tampak sunyi senyap. Tak jarang mereka mendengar suara binatang-binatang malam yang bersahutan.
“Itu suara apa sih mas? Serem banget,” tanya Titan pada orang di depannya.
“Itu suara kera ekor panjang,” jawab Irfan singkat. Ia adalah orang yang berada di belakang Titan.
“Waww,” seru Titan. Keren juga Indonesia, batinnya berkata.
“Eh, jalannya hati-hati ya, ini tepinya tebing sama jurang.” Mas-mas ini meski bukan pendaki profesional, dia sudah mendaki gunung Merbabu tiga kali dengan jalur yang berbeda. Dan pendakian ini adalah pendakiannya yang keempat.
“Oke mas,” jawab Titan.
Perjalanan masih berlanjut, hingga mereka sampai pos 2 dan mengambil istirahat sejenak.
“Jauh juga ya?” ujar Luna, salah satu perempuan dalam rombongan ini.
“Perjalanan yang kamu tempuh akan terbayar lebih, jadi kamu santai aja, Na. Enjoy our trip,” ujar Galih, orang yang ada dibelakang Luna.
Tak lama kemudian Mas Joko memberi aba-aba lagi, “Udah siap jalan lagi?”
“Siap,” jawab yang lain.
“Kita jalan pelan-pelan aja, jangan kelamaan istirahat, nanti kita malah kecapekan. Kita jalan sebentar lagi, setelah itu kita akan nge-camp di pos 3.”
Rombongan kembali bersiap-siap, memulai perjalanan lagi. Pos 3 atau yang sering disebut dengan Watu Tulis, memiliki pemandangan yang berbeda dari pos-pos sebelumnya. Pada jalur ini, tutupan lahan mulai berupa semak dan semakin naik titik ketinggian semakin didominasi rumput dan edelweis. Pohon edelweiss mulai terlihat pada ketinggian sekitar 2500 mdpl.
“Wuah, edelweis ya?” tanya Titan sambil mengarahkan senternya ke pohon-pohon di sekelilingnya.
“Mmh,” jawab Irfan.
“Wuah, sayang nggak kelihatan ya.”
“Besok kalau sudah turun, kamu bisa menikmati pemandangan ini sepuas kamu. Sekarang waktunya menikmati pemandangan malam yang Maha Indah. Coba deh lihat ke atas,” ujar Irfan sambil menunjuk langit yang terhampar luas di atas mereka.
“Waww...” Titan speechless. Langit malam tampak seperti pasir bintang. Tak jarang muncul bintang jatuh di beberapa titik. Titan jadi merasa kecil banget. Tidak rugi ia membiarkan dirinya berelah-lelahan untuk dapat menikmati pemandangan agung seperti ini. Sungguh harmonisasi malam yang sempurna. Hutan edelweis, padang ilalang, lautan bintang, semua berpadu menunjukkan betapa indahnya lukisan yang dibuat oleh tangan Tuhan. Sejenak, Titan teringat pada Bagas. Benar apa yang Bagas bilang, di sini Tuhan deket banget.
Selama perjalanan mereka terkadang bertemu dengan pendaki lain dan saling sapa. Sensasi ketemu orang lain di gunung tuh sensasinya beda banget. Rasanya seneng banget kalau bisa melihat manusia dari rombongan lain, jadi tahu kalau diri kita sebenarnya nggak sendirian. Setelah sampai di pos tiga, rombongan mempersiapkan diri untuk istirahat. Yang cowok kebagian tugas mendirikan tenda, yang perempuan kegian tugas memasak makan malam. Mereka duduk membentuk lingakaran, makan malam bersama di luar tenda.
Titan seneng banget bisa ngerasain kebersamaan yang erat seperti itu. Dan makan malam itu adalah makan malam paling indah yang pernah ia rasakan. Makan malam sederhana dengan beratapkan langit yang gemerlap dan beralaskan bumi hijau yang luas, dengan desiran angin yang begitu dingin, namun tetap hangat karena canda tawa dan kebersamaan mereka. Titan belum pernah merasa sedekat ini dengan alam, dengan Tuhan, dengan manusia. Dan yang mengisi hati Titan hanyalah rasa syukur. Titan serasa nemu keluarga baru.
“Persahabatan yang dibangun di gunung itu adalah persahabatan yang telah diuji. Jadi, biarpun kita ketemu hanya sekali, dalam perjalanan ini, kita bakal inget seumur hidup,” ujar Luna.
“Yo’i boss!!” jawab Galih. Yang lain pun mengangguk setuju.
Ah, manisnya, hati Titan bicara.
“Selesai makan, langsung istirahat ya! Kita harus mengumpulkan tenaga buat besok. Tidak boleh ada yang begadang!”
Yang lain pun menurut. Rombongan yang cewek langsung tidur di satu tenda, dan yang laki-laki tidur di tenda terpisah. Untuk yang senior, mereka tidur secara bergantian sambil menjaga anggota lain.
***
“Bangun!!Bangun!! Ayo yang sholat subuh bangun!!” teriak ketua rombongan.
Titan masih berat untuk membuka matanya, karena rasa lelah yang menimpa tubuhnya. Namun ia memaksakan diri untuk bangun, sholat bukanlah hal yang bisa ditinggalkan. Terlebih, saat ini. Sholat di alam pegunungan seperti ini rasanya seperti sholat dengan hamparan sajadah yang langsung diberikan oleh Tuhan. Jadi, sayang kalau dilewatkan.
Selesai sholat, anggota rombongan tiba-tiba heboh, karena beberapa orang berlarian menuju tebing ke arah timur. Anggota lain jadi tersita perhatiannya. Semuanya berbalik ke timur dan secara ajaib berpasang-pasang mata itu terbelalak – termasuk Titan.
“Subhanallah, keren banget...”
Beberapa di antara mereka ada yang berucap kagum dan beberapa lainnya ada yang tak sanggup berkata apa pun.
Pemandangan matahari terbit yang luar biasa indah. Wuah, ini pertama kalinya Titan menikmati pagi semewah ini. Awan berkumpul di hamparan udara yang kosong. Di atasnya menyembul bulatan matahari yang belum penuh. Cahayanya menyebar membentuk garis-garis kuning yang halus sehingga langit yang lebih tinggi memiliki rona jingga yang sempurna. Di sisi lain, masih tampak sisa-sisa bintang di subuh hari di langit yang masih agak keabuan, juga bulan yang semakin pudar dan menjauh dari matahari. Di sebelah selatan tampak gunung merapi yang mengepulkan asap, berdiri dengan kokohnya.
“Subhanallah,” Titan berdecak kagum. “Ini surga kah?”
Tidak terhenti di situ. Keindahan agung lainnya juga menemani mereka dalam perjalanan menuju pos 4. Hamparan sabana yang sangat luas hingga seluruh daratan tampak hijau, dengan bukit-bukit indah di sekelilingnya. Rumput-rumput yang tumbuh merata di daratan itu adalah kesegaran tersendiri bagi setiap pendaki yang melaluinya. Dari sabana ini tampak gunung Lawu dan Merapi disisi timur dan barat. Sedang di barat tampak juga Gunung Sindoro dan Sumbing. Tak hanya itu, pemandangan indah gunung Merapi juga semakin terlihat jelas dan begitu dekat dari sini.
“Subhanallah,” lagi-lagi Titan berdecak kagum. Rasanya tidak ada kata satu pun yang mampu mewakili ungkapan rasa kagum pada karya indah Sang Pencipta ini. Setiap pemandangan yang ia temui seolah menjadi energi positif tersendiri yang mengisi perjalanan Titan.
Kaki masih melangkah maju. Perjalanan masih panjang. Rasa lelah tidak jenuh menghampiri setiap pendaki. Namun, hati mereka yang kuat selalu mampu mengalihkan rasa lelah itu sejenak di belakang ego mereka.
“Eh, coba deh lihat. Hutan Edelweis!!”
“Wuahhh iyaa!!” teriak Titan kagum setengah mati melihat pohon-pohon edelweis dengan bunganya yang bermekaran. “Indah bangeeet.” Muka Titan langsung memerah melihat pemandangan hutan kecil edelweis yang ada di hadapannya.
“Kita istirahat di sana sejenak ya untuk makan siang,” ujar ketua rombongan sambil menunjuk hutan edelweis itu.
Titan langsung tertawa girang. Dari awal perjalanan, memang Titan tidak bisa tampak dewasa karena ia tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Untuk pendaki lain, mungkin kekaguman itu cukup disimpan dalam hati mereka. Namun, Titan tidak bisa, karena ini adalah keindahan pertama yang ia lihat.
Hati Titan tidak mengucapkan syukur dan kagum melihat pemandangan-pemandangan yang terpampang nyata di hadapannya. Menurutnya, pemandangan ini lebih dari sekadar cethar membahana badai. Ini adalah pemandangan yang sangat amat cethar menggegana badai sekali banget.
“Kita tetap harus fokus ya. Puncak tinggal satu langkah lagi!” ujar ketua rombongan.
Titan sudah semakin lelah, begitu juga pendaki yang lain. Namun, selalu ada senyum kagum yang selalu menghiasi kelelahan di wajah mereka, sehingga semua orang menjadi tampak dewasa ketika itu. Semua benar-benar seperti pendewasaan yang instan, seolah makhluk-makhluk ini dilatih langsung oleh Tuhan melalui alamnya.
Perjalanan semakin menantang, dengan persediaan air yang semakin menipis dan tenaga yang semakin habis. Mereka semua berjuang sampai titik darah penghabisan agar mereka sampai puncak.
“Semangat ya Tan, perjalanan ini bukan untuk menggapai puncak, namun untuk mengukur seberapa jauh diri kita mampu bertahan dalam kondisi yang susah. Belajar dari kesusahan,” ujar Irfan.
“Mmmh,” Titan mengangguk setuju. Ia tidak menjawab panjang, karena nafasnya ngos-ngosan.
Medan dari Sabana 2 menuju puncak lumayan berat berupa tanjakan-tanjakan yang terjal dan sedikit dataran. Matahari semakin meninggi, awan-awan putih dan kabut makin pekat menghiasi gunung.
Kaki Titan semakin lelah, pergelangan kakinya mulai memerah karena gesekan kakinya dan sendal yang ia kenakan. Bahunya mulai lecet karena beban yang ia pikul cukup berat untuk ukuran pemula. Sarafnya kakinya mulai terasa ngilu.
Titan meyakinkan dirinya sendiri, ia pasti bisa. Maka ia mengumpulkan tekad lebih banyak agar ia sampai ke puncak. Ia ingin melihat langit lebih dekat, ia merasakan Tuhan lebih dekat, ia ingin melihat batas tanah yang ia pijak. Titan memejamkan matanya, memantapkan hatinya untuk melangkah lagi dengan lebih semangat.
Di perjalanan, rombongan bertemu dengan banyak pendaki lain yang menyalip ataupun yang sudah balik dari puncak. Setiap orang yang mereka temui selalu memberikan semangat.
“Tiera...tieraaa!!” teriak Irfan.
“Kita udah di daratan kali Fan,” Titan geram.
“Puncak Tan, sedikit lagi!” Irfan teriak sambil berlari kecil agar cepat menggapai puncak.
Mendengar itu anak-anak lain jadi ikutan semangat mengejar puncak. Titan juga tidak mau kalah. Ia kembali mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan....
“Selamat ya Titan, welcome to the mountain pass.” Irfan berdiri membungkukkan badannya untuk menyalami Titan.
How beautifull...” ujar Titan tanpa sadar. Matanya terpana melihat keindahan di sekitarnya. Gumpalan-gumpalan awan putih berkumpul menjadi satu mengelilingi puncak gunung. Awan-awan itu begitu dekat sehingga seolah mereka dapat tersentuh. Melihat keindahan itu, Titan bersujud dengan segala kerendahan hati menghadap Tuhan, mengakui kebesaran-Nya.
Titan sendiri tidak menyangkau kalau ia akan sampai di tanah tertinggi gunung Merbabu, tanah agung yang disebut sebagai  puncak Triangulasi dengan ketinggian 3142 mdpl. Titan berdiri di atas lautan awan merasakan satu lagi kebesaran Tuhan. Sungguh hari yang indah, pilihan yang tidak salah untuk berpetualang ke sini, batin Titan.
Titan menjelajahi puncak satu per satu. Puncak Triangulasi, puncak Kentheng Songo, dan puncak Syarif. Matanya merekam dalam-dalam setiap pemandangan yang ia lihat. Pemandangan di puncak terbuka ke segala arah, Gunung Lawu di timur, Gunung Sindoro dan Sumbing di barat, Gunung Ungaran, Andong dan Gunung Telomoyo di barat laut, Gunung Merapi disisi selatan, serta tebing-tebing dan jurang.
Setelah puas menikmati pemandangan itu, rombongan kembali turun gunung. Turun gunung ternyata tidak memakan waktu lama, karena medan yang dilalui kebanyakan jalan yang menurun jadi mereka dapat bergerak cepat, berlari, berguling-guling, dan kadang-kadang meluncur, sehingga mereka berhasil sampai di pos tiga dengan selamat.
Perjalanan masih berlangsung, semua pendaki terlihat kelelahan. Kabut mulai datang, awan putih makin pekat, dan sesekali angin kencang menerpa. Tiba-tiba beberapa wajah mulai kelihatan panik.
Mereka masih berjalan, namun agak pelan. Kabut makin lama makin pekat, hingga jarak pandang mereka hanya mencapai jarak sepuluh meter. Tidak ada petir, tidak hujan, hanya kabut dan angin yang sekali kencang. Mereka menjaga jarak agar masing-masing orang tidak berjauhan dari teman yang ada di depan ataupun di belakangnya. Perjalanan masih berlanjut hingga pos 2.
Di pos ini, ketua regu menghentikan perjalanan sejenak. Ia mengajak beberapa pendaki yang sudah berpengalaman naik gunung untuk berunding.
“Mau lanjut apa istirahat ini? Perjalanan masih sekitar dua jam lagi, kalau kita cepat.” Kata ketua regu.
“Kita hampir kehabisan bekal nih, mie instan dan cemilan lain masih ada sih, tapi persediaan airnya tinggal 1 liter,” navigator menambahi.
“Senter yang masih nyala ada berapa?” tanya ketua regu lagi.
Hanya sepuluh orang yang mengangkat tangan. Dari enam belas orang yang ikut, enam orang yang ikut adalah pendaki pemula – termasuk Titan, yang artinya itu adalah pengalaman pertama mereka naik gunung. Jadi, mereka tidak mempersiapkan senter ataupun baterei cadangan.
“Tapi ini kayaknya juga nggak bertahan lama, paling hanya sejam.”
“Kalau punyaku masih bisa tahan sih, tapi ini nggak tembus kabut,” ujar yang lain.
Setelah berpikir dan berunding agak lama, akhirnya ketua regu memutuskan untuk tetap tinggal di pos 2 kalau kabut masih belum reda. Namun, jika kabutnya sudah berkurang mereka akan turun.

Pukul 15.00 WIB
Rombongan sudah berdiam diri di pos 2 sekitar satu jam, suhu udara sangat dingin hingga mencapai hampir 5oC. Beberapa pendaki lain mulai merasakan gejala hipotermi.
“Jangan ada yang tidur ya? Usahakan untuk tetap sadar. Gerakkan badan untuk apa aja biar tetap hangat,” ujar ketua rombongan.
Entah mengapa di pos 2 hanya ada mereka, terakhir kali mereka bertemu dengan pendaki lain adalah ketika mereka berada di pos 3, lalu rombongan ini memutuskan untuk turun duluan.
Kabut sudah sedikit berkurang, namun jarak pandang masih sekitar lima belas meter. Beberapa pendaki laki-laki yang merasa tidak kuat mulai meminum suplemen untuk menjaga kondisi tubuh mereka. Mereka mulai memasak persediaan air terakhir mereka untuk membuat minuman hangat.
“Ini persediaan parafin terakhir kita,” ujar Deni, orang yang bertugas membawa peralatan.
“Kok bisa sih?” tanya Luna.
“Sorry, tadi waktu packing di pos tiga, kayaknya ada yang jatuh gitu, pas aku nyari nggak ketemu. Sekarang baru tahu, kalau yang jatuh tadi ternyata parafin,” ujar Deni lemas.
 “Ooh.. ya udah nggak apa-apa. Nanti kalau kita terpaksa nginep di sini, kita nyari kayu aja. Di sini kan banyak pinus,” ujar Mas Joko menengahi.
“Kok bisa ya cuacanya mendadak berubah kayak gini?” tanya Titan polos.
“Di gunung itu segala sesuatunya bisa terjadi. Ya beginilah alam bekerja,” ujar Mas Joko lagi.
Mereka masih bertahan di pos 2 hingga setengah jam lamanya. Menikmati minuman hangat yang baru saja mereka buat. Beberapa orang mulai tampak mengantuk, karena berdiam diri sejak tadi. Istirahat yang terlalu lama memang hasilnya akan seperti ini. Suasana semakin hening. Ketua regu berjalan-jalan ke sekitar melihat keadaan beberapa kali. Lalu ia memandang ke beberapa orang dalam rombongan seperti berbicara dengan menggunakan kode, lalu orang-orang itu menganggukkan kepalanya.
“Masih fit?” tanya Mas Joko.
Yang lain hanya menoleh kaget mendengar suaranya.
“Gimana masih kuat jalan nggak nih?”
“Masiiiih,” semua menjawab lemas.
“Kita lanjut ya, kabutnya udah mulai hilang. Buat jaga-jaga kalau kabutnya turun lagi, kita pakai tali kermantel. Nanti setiap orang harus memegang tali ini dan menjaga jarak agar tetap dekat, jangan sampai jarak kalian lebih dari dua meter,” ujar Mas Joko memberikan pengarahan.
“Oh ya, untuk yang perempuan, nanti ada di barisan depan ya? Barisannya di selingi sama cowok kayak semalem. Jangan lupa untuk menghafalkan siapa orang yang ada di depan dan di belakang kalian. Kalau ada apa-apa langsung bilang, kalau mau break bilang, kalau merasa ada yang aneh juga bilang. Oke?”
“Oke, siap!!” jawab semuanya.
Mereka mulai packing ulang dan melanjutkan perjalanan lagi. Mereka berjalan dengan pelan dan hati-hati, karena jalan yang mereka lalui berbatasan langsung dengan tebing. Jalan setapak yang mereka lalui mulai tampak gelap seiring datangnya petang. Beberapa senter mulai dinyalakan untuk menerangi jalan.
Senter Titan masih menyala, tapi redup sekali, bahkan cahayanya tidak sampai menyentuh tanah, senternya hanya mampu berpendar karena batereinya sudah hampir habis. Ia berencana untuk memasukkan senternya kembali ke dalam ransel. Ketika ia membuka menyelipkan senter itu di kantong ranselnya, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu yang menggeliat di kakinya. Ia pun langsung reflek berjingkrak-jingkrak ketakutan.
“Ati-ati Titan, ini samping kita tebing,” tegur Irfan.
Titan masih risih dengan sesuatu yang menggeliat di kakinya. Ia makin lincah menggerakkan kakinya mencoba mengusir binatang itu. Lalu kakinya membentur akar yang menjalar di permukaan tanah, ia tersandung dan kepalanya membentur batu yang ada di depannya. Dan ketika ia mencoba bangun, kakinya terpeleset akar yang sama, dan....
“Aaaaaaaaaaaargh!!!” Titan terpeleset ke dalam jurang.
Semua terjadi begitu cepat. Bahkan orang yang berada di depan dan di belakang Titan sampai tak menyadarinya. Semua tercengang mendengar jeritan yang makin lama makin tak terdengar itu. Beberapa orang mulai gemetaran. Melihat musibah itu, Mas Joko langsung sigap meminta sebagian laki-laki untuk tetap tinggal, dan membawa yang lain untuk turun dan meminta bantuan.
***
Tim SAR memulai pencarian sejak sehari Titan dinyatakan hilang. Mendengar kabar ini, orang-orang terdekat Titan langsung panik – terutama Adam. Dewi dan Stella, hanya bisa pasrah dan berharap kalau Titan akan segera ditemukan. Orang tua Titan juga masih menunggu kabar.
Adam yang kebetulan menjadi salah satu anggota Tim SAR pun tidak melewatkan satu detik pun dalam operasi pencarian Titan. Seluruh tim dikerahkan untuk menyisiri daerah tebing dekat lokasi jatuhnya Titan. Pencarian juga dilakukan di daerah-daerah sekitar lokasi, untuk berjaga-jaga kalau Titan mencoba survival.
Adam sangat panik ketika itu, ia bahkan belum sempat mengutarakan isi hatinya dan kini Titan hilang. Selama pencarian, Adam selalu berdoa kepada Tuhan agar Titan segera ditemukan.
Semua peralatang di pasang, tebing di susuri dari segala sisi. Adam ikut menyusuri tebing itu dari bawah. Ia mencari-cari Titan di dalam lautan semak yang tingginya hampir sebahu orang dewasa.
Tiba-tiba terdengar suara “ grusuk...grusukk...” di semak-semak sekitar Adam. Ia diam, mencermati suara itu dalam-dalam, mencoba mencari tahu dari mana arahnya. Adam melihat sekelilingnya, tiba-tiba matanya terpaku pada sesuatu yang tampak seperti ekor binatang buas.
“Macan?” desisnya pelan. “Mungkinkah?”
Adam merasakan ada sesuatu yang menggetarkan hatinya. Ia mencegah pikirannya dari hal yang tidak-tidak. Namun, hatinya tak tenang, jadi ia memutuskan untuk mengikuti macan itu, memastikan apakah ia membawa jasad Titan atau tidak.
Setelah diikuti ternyata, macan itu tidak membawa apapun. Adam lega, berarti masih ada harapan kalau Titan masih hidup.
Adam masih terus mencari. Ia yakin kalau Titan pasti akan tetap dijaga Tuhan sampai ia menemukannya.
Adam masih mencari di semak-semak yang lebat itu. Tak jarang ia menemui binatang buas seperti ular atau binatang lainnya. Namun, ia tak menyerah.
“Dam, kalau jatuhnya di sini, kayaknya mustahil kalau masih utuh ya? Binatangnya banyak benget gini,” ujar teman Adam.
Adam panas mendengar kata-kata itu, namun ia menahan diri.
“Aku yakin, pasti di sini kok,” ujar Adam mantap.
“Yakin lo?”
Adam diam. Ia tidak menjawab, namun entah mengapa ada sesuatu yang memantapkan hatinya untuk tetap mencari di situ.
“Ayo kita cari lagi, kita optimis aja. Kan tugas kita buat mencari dan menyelematkan, bukan buat nge-judge yang enggak-enggak,” ujar Adam.
Teman Adam langsung diam dan melanjutkan mencari. Ia mulai kelelahan, lalu ia duduk sejenak, merenggangkan bahunya yang lama lama digunakan membungkuk. Samar-samar, ia mendengar suara pelan dari balik semak-semak lagi. Spontan Adam langsung siaga, ia mengeluarkan parangnya dan perlahan menyingkap semak-semak yang menjadi sumber suara itu. Betapa terkejutnya ia dengan apa yang dilihatnya, kali ini bukan binatang buas lagi, namun orang yang selama ini ia cari, Titan.
Tubuh Titan terkulai lemas di bawah semak-semak, mukanya pucat sekali dengan banyak sekali benjolan biru-biru di tubuhnya. Tulang lengan atasnya patah dan menonjol keluar. Banyak darah yang sudah ia keluarkan, namun Titan masih hidup dan sadar, meski matanya terpejam. Adam langsung meminta bantuan rekan timnya untuk mengevakuasi Titan. Adam sungguh tak sanggup melihat Titan seperti itu. Tanpa sadar, air mata Adam mengalir deras.
***
Titan masih terbaring di ranjangnya. Sudah lima hari ia tidak sadarkan diri. Selama itu Adam selalu menjaganya siang malam. Dari musibah itu semua orang jadi tahu seberapa besar cinta Adam untuk Titan. Dewi juga tidak mengharapkan Adam lagi, Dewi belajar banyak hal dari mereka, ketulusan, kesabaran, pengorbanan, ternyata yang terbaik dari jatuh cinta adalah membiarkan orang yang kita cintai bahagia bersama orang yang mampu membuatnya bahagia. Membiarkan Adam dan Titan bersama masih jauh lebih baik daripada membiarkan Adam jatuh cinta pada orang lain yang belum tentu tepat untuknya.
Di ruang 306 itu Titan masih terbaring lemas. Adam hanya mampu menggenggam tangannya. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu ia hanya tidur dua jam, matanya kembali terjaga jika mendengar suara apa pun. Ia berharap setiap suara yang ia dengar adalah suara Titan yang mulai siuman. Namun, sampai detik ini Titan masih juga terdiam dalam tidurnya. Adam tak pernah berhenti mengucapkan doa untuk kesembuhannya. Ia yakin kalau Tuhan pasti akan mengabulkan doa yang diperuntukkan kepada orang baik.
Pagi ini Adam mengganti bunga di vas dengan bungan mawar, para ahli terapis sering menggunakan mawar untuk relaksasi pikiran, ia berharap Titan akan suka. Adam juga sudah membuka jendela kamar VIP itu sejak jam lima pagi, agar Titan tidak meninggalkan kebiasaannya menyapa pagi seperti yang biasa ia lakukan. Kini Titan merasakan pagi itu dengan tangan Adam, seolah pagi sudah menjadi bagian dari diri mereka berdua.
Setiap pagi, dokter selalu memeriksa Titan dan melaporkan kondisinya. Menurut dokter, kondisi Titan sudah sedikit membaik, mungkin sebentar lagi ia akan siuman. Tapi sebentar menurut dokter, belum tentu sebentar untuk orang-orang yang sudah lama merindukan senyum Titan, seperti Adam. Namun, Adam tetap optimis.
Tak lama setelah dokter memeriksa kondisi Titan, Dewi datang. Ia selalu datang setiap hari menjenguk Titan juga. Biasanya Dewi selalu datang bersama Stella, namun kali ini entah mengapa dia datang sendiri.
“Ini aku bawakan bubur ayam untuk kamu sarapan,” ujar Dewi pada Adam.
“Kamu nggak perlu repot-repot, Dew. Nggak enak juga kalau setiap hari ngerepotin kamu.”
“Kan aku bawa bubur ayam baru kali ini. Udah deh, nggak usah protes. Kamu tu sadar nggak sih, kalau kamu sekarang jadi kurus banget kayak zombie,” Dewi mulai cerewet kayak perempuan.
Adam heran, mengapa perempuan selalu cerewet seperti ini ketika mereka memperhatikan laki-laki. Adam juga paham sekali kalau perempuan sudah cerewet seperti itu, tidak akan bisa dilawan. Jadi, Adam diam saja dan mulai membuka bungkusan bubur ayam yang dibawakan Dewi.
Setelah dibuka, betapa terkejutnya Adam melihat bubur ayam itu adalah bubur ayam belakang kampus yang selalu jadi langganannya. Kebetulan yang aneh. Adam jadi teringat ketika Titan membawakan bubur ayam belakang kampus untuk Bagas dan mengaku kalau bubur itu adalah buatannya sendiri. Adam jadi senyum-senyum sendiri.
“Konyol,” ujar Adam tanpa sadar.
“Apanya yang konyol, Dam? Itu cuma bubur ayam.” Dewi melihat Adam dengan tatapan heran.
“Eh, enggak.” Adam jadi malu ketahuan ngomong sendiri. “Makasih ya, kamu baik banget, Dew.”
Mereka terdiam sejenak.
“Jadi, kamu sayang banget sama Titan ya?” Dewi memulai pembicaraan.
Adam tersentak dan sekejap menghentikan suapannya.
“Iya,” jawabnya singkat.
“Titan nggak akan pernah tahu kalau kamu nggak bilang sama dia.”
Adam terdiam.
“Bagas tau?”
Adam menggeleng.
“Aku sudah jatuh cinta sama Titan, bahkan sebelum dia mengenal Bagas. Tapi, akhirnya justru Bagas yang bisa bikin dia bahagia kan? Aku bisa apa?”
“Cinta sejati kan memang nggak mudah buat ditemuin Dam, mungkin Titan yang belum siap buat ketemu sama cinta sejatinya, jadi ia harus bertemu dengan beberapa orang dulu buat dia belajar,” ujar Dewi lirih.
Adam diam lagi. Ia memandangi Titan yang masih terbaring lemas.
“Jangan pernah sakitin Titan, aku juga peduli banget sama dia,” ujar Dewi lagi.
Adam terdiam. Pandangannya kembali ke Titan. Ia memandang Titan dengan sangat dalam, berharap sekali ia cepat sembuh, dan melihatnya tertawa lagi.
“Aku...juga nggak bisa lihat dia sakit,” jawab Adam.
“Kamu jadi ke luar Jawa?”
Mendengar pertanyaan itu, Adam merasa hatinya tersayat. Di sampingnya, orang yang begitu ia sayang sedang terbaring sakit, sedangkan satu minggu lagi ia harus berangkat ke luar Jawa. Adam hanya mampu terdiam. Ia kembali menggenggam tangan Titan.
“Kalau kamu memang harus pergi, aku bisa jaga Titan buat...”
“Aku sangat mencintai Titan.” Adam menyela Dewi. “Aku nggak bisa ninggalin dia dalam kondisi kayak gini. Aku merasa nggak berguna, aku nggak bisa selalu jaga dia. Aku nggak tahu harus gimana, Dew...”
Tanpa sadar air mata Adam keluar dan membasahi selimut Titan.
“Siapa bilang kamu nggak bisa jaga Titan. Kamu udah nyelamatin dia dari musibah itu, kamu yang udah nemuin dia. Kamu yang berhasil bawa dia ke sini. Kalau nggak ada kamu, aku sendiri nggak tahu nasib Titan kayak gimana,” ucap Dewi. “Jangan menyerah Dam, kamu sudah sejauh ini.”
Adam terdiam. Suasana menjadi hening. Tanpa mereka sadari, Titan mengeluarkan air mata, jemarinya bergerak pelan, dan perlahan ia mulai siuman.
“Kalian berisik sekali sih?” ujar Titan pelan.
“Titan??” Dewi dan Bagas terkejut.
Spontan Dewi langsung meluk Titan.
“Titan, akhirnya kamu sadar juga!” Dewi berteriak senang. Sementara itu Titan memandang Dewi dengan tatapan penuh sesal.
“Maafin aku ya Dew, maaf kalau selama ini ternyata aku yang bikin kalian...”
“Ssssttt!!” Dewi memotong secepatnya. “It’s okay..” ujar Dewi dengan senyum. Rupanya ia sudah benar-benar mengikhlaskan.
Adam yang sejak tadi menggenggam tangan Titan, jadi malu sendiri. Ia hendak melepaskan tangannya, tapi justru Titan menahannya.
“Jangan dilepasin. Kamu harus tanggung jawab!” ujar Titan, suaranya sudah mampu sedikit lebih keras.
“Hah?” Adam bingung. “Tanggung jawab?”
“Tanggung jawab karena sudah diam-diam mencintaiku.”
Adam tersenyum malu. Mukanya merona merah muda. Dewi yang tidak ingin mengganggu moment penting itu pun pergi keluar meninggalkan mereka berdua.
“Jadi benar kamu mencintai aku?”
Adam mengangguk pelan.
“Berarti kamu jahat sekali,” kata Titan.
“Hah?” Adam tidak mengerti.
“Kamu bilang kamu mencintai aku, tapi kamu mau ninggalin aku ke luar Jawa.”
“Jadi, kamu dengar semua pembicaraanku tadi?”
“Hey...kamu udah diam-diam jatuh cinta sama aku, lalu kamu diam-diam akan pergi ninggalin aku, dan sekarang kamu diam-diam mengira kalau aku tuli. Kenapa kamu jahatnya bertubi-tubi?!”
Adam jadi salah tingkah sendiri. “Aduh, bukan kayak gitu maksud aku, Tan. Aku...”
“Aku ijinin kamu pergi...” potong Titan. “Tapi kamu harus janji buat balik lagi.”
“Mmh.” Adam mengangguk mantap. “I promise! Tapi kamu juga janji jangan naik gunung lagi atau bahkan naik gunung diam-diam tanpa ijin. Deal?”
Titan menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum.
“Kamu nakal sekali,” ujar Adam.
“Gunung itu indah banget, Dam. Aku nggak nyesel kok,” ujar Titan pelan. Kini ia tahu, hasratnya untuk mendaki kala itu bukanlah karena Bagas, tapi murni karena keinginan dalam dirinya.
“Lagipula jatuh dari gunung juga udah mempertemukan aku sama kamu. Jadi, apa yang harus aku sesali?” Titan menambahkan.
Adam menghela nafas pendek, matanya mendadak memandang Titan kalem. Ia tak tahu apa yang harus ia ungkapkan, ia hanya ingin Titan bahagia. Ia ingin Titan baik-baik saja, tapi bukan berarti Titan harus meninggalkan kehidupannya kan. Tampaknya jatuh dari gunung tidak membuat Titan sakit, tapi justru lebih hidup.
***
Dua bulan kemudian...
Adam baru saja pulang dari tugas pelatihan diving-nya, tapi agenda baru sudah menyambut. Yap, program internship yang ditawarkan oleh publisher Kreasindo akan dimulai awal libur semester ini. Dari empat orang yang dapat kesempatan, hanya Adam yang bisa mengikuti. Bagas sibuk dengan EO-nya yang punya proyek gede banget di luar kota. Dewi, setelah cukup lama berpikir, ia lebih memilih ikutan program mengajar di pedalaman, daripada jadi jurnalis – secara dia suka banget ngajar. Titan? Titan sudah pulih dari sakitnya, tapi masih belum bisa aktifitas. Ia sedang dalam masa pemulihan. Jadi, masa kangen-kangenan Titan sama Adam bisa dibilang singkat banget. Ia harus rela membiarkan Adam pergi jauh, lagi. Titan mencoba berpikir positif, “Calon bapak yang baik memang harus begitu, harus terlatih kerja keras mencari nafkah, dan magang itu adalah bekalnya.”
Pikiran-pikiran seperti itulah yang membuat Titan tetap bersahaja melewati hari-harinya. Titan sendiri nggak mau kalah, ia berperang melawan kemalasannya. Ia bertekad untuk membuat hidupnya lebih berkualitas mulai sekarang.
Meski tangannya masih diperban, ia sekarang lebih banyak belajar bersyukur. Setidaknya sekarang ia telah kembali mendapatkan udara segar yang dihasilkan oleh alam tanpa mencium bau obat-obatan lagi. Titan banyak belajar dari pengalamannya kemarin. Ternyata hidup ini lebih enak dinikmati ketika badan sedang sehat.
Titan banyak berubah. Ia tak lagi selalu menikmati paginya dari balik jendela kamarnya. Kini, ia sering pergi ke taman yang ada di bawah jembatan perbatasan kota Solo-Karanganyar untuk menikmati pagi. Taman ini berhadapan langsung dengan bengawan solo. Menurut cerita Dewi, Adam sering sekali ke taman ini ketika ia merindukan Titan. Ia selalu membagi kerinduannya dengan suasana sepi di taman itu. Titan menamai taman ini sebagai taman cahaya, karena cahaya matahari tampak sangat indah dari taman ini.
Setiap pagi cahaya itu akan muncul menyinari air sehingga menimbulkan kerlip-kerlip kecil yang tampak indah jika dilihat dari taman. Jika melihat ke atas, akan tampak kendaraan berlalu-lalang melintasi jembatan. Suasana yang sangat kontras, namun keduanya dapat berpadu harmoni sehingga sangat indah untuk dinikmati. Ternyata Tuhan telah menempatkan keindahan dimana-mana untuk kita nikmati, sayangnya tidak banyak orang yang sadar.
Titan sangat menyukai pemandangan sederhana ini. Ia sering mendapatkan inspirasi di dalamnya. Inspirasi yang kemudian menjelma menjadi hasrat yang semakin menguatkan keinginannya Titan untuk menjadi penulis besar. Setiap ia datang, ia selalu membawa laptop ataupun sekadar membawa buku catatan kecil.
Ada banyak hal yang ingin Titan ungkapkan dalam tulisannya. Tentang cahaya matahari dan cinta yang begitu dekat. Tentang Adam yang kini diam-diam menjadi cahayanya. Tentang alam yang membuatnya banyak belajar. Tentang kehidupan ini yang selalu membawa manusia kembali kepada Tuhan. Tentang hati yang mampu bekerja secara ajaib dalam mempertemukan seseorang dengan cintanya, dan juga tentang apapun.
Selain menulis, merindukan Adam, kini menjadi salah satu aktivitas yang Titan gemari. Adam sudah menjelma menjadi pagi yang baru yang membuat Titan merasa sangat nyaman berada di dalamnya. Adam adalah cahaya dalam penantian. Cahaya yang membuat ia menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Cahaya yang mengajari ketulusan. Cahaya pagi yang sempurna untuk Titan.
Titan sadar bahwa jatuh cinta adalah salah satu perjalanan kedewasaan manusia yang membawa manusia pada titik kedewasaan yang lebih tinggi. Ia telah melaluinya beberapa kali dan ia dapat memetik pelajaran dari perjalanan cintanya, yakni manusia yang jatuh cinta tidak dapat selamanya terus bersama, namun mereka diberi kewenangan untuk membuat setiap kebersamaan itu berarti. Dan patah hati bukanlah akhir dari perjalanan cinta seseorang, itu hanyalah pilihan untuk menempuh perjalanan cinta yang baru. Patah hati adalah pelajaran untuk berani mencintai lagi. Berani bangun dengan cinta yang lebih baik. Seperti matahari yang berani mengisi pagi dengan cahaya yang selalu baru. Seperti matahari yang tak takut untuk redup di sore hari. Jatuh cinta adalah perjalanan indah tanpa akhir, karena jatuh cinta itu seperti perjalanan matahari yang berjalan memutar dan selalu kembali.
The End

Sumber gambar https://www.etsy.com/listing/222054935/black-and-white-acrylic-painting-canvas





0 komentar:

Posting Komentar

SUNSHINE STORY (Chapter 12 - END)