Sudah
lebih dari setengah jam Titan tak beranjak dari papan pengumuman yang ada di
kampusnya. Matanya tertuju di satu poster – poster yang isinya acara pendakian
masal. Entah apa yang dipikirkan Titan, seharusnya cukup lima menit ia berdiri
jika hendak membaca poster itu saja. Efeknya, orang-orang yang melintas
ngeliatin Titan dengan tatapan aneh.
“Tan,”
Dewi menyenggol tiba-tiba. “Kamu serius dulu lulus SD? Masak baca gini aja
butuh waktu setengah jam.”
Titan
diem, hatinya makin bergejolak seperti ada keinginan yang kuat untuk ikut. Tapi
di sisi lain, ia takut kalau hasrat itu adalah jelmaan kenangannya bersama
Bagas yang belum hilang. Ia takut itu akan menjadi obsesi yang akan membuatnya
selalu teringat Bagas.
“Tan?
Lo nggak apa-apa?” Dewi mulai khawatir.
“Kayaknya
gue galau lagi deh Dew...”
***
Titan
memberesi semua perlengkapan yang sebelumnya asing dengannya. Ia telah
memutuskan untuk ikut pendakian massal untuk mendaki gunung Merbabu yang
terletak di perbatasan Boyolali, Magelang, dan Semarang.
Faktor
“Bagas” tampaknya sukses membuat Titan mencoba berpetualang lagi, bukan karena
Titan masih sayang, tapi karena Titan penasaran. Gejolaknya itu, apakah itu
datang dari dirinya sendiri atau karena Bagas. Jadi, ia memutuskan untuk ikut
pendakian untuk mencari tahu.
Selain
itu, ia juga merasa sedikit jenuh dengan rutinitas hariannya. Menulis novel
telah memaksanya untuk lebih banyak mengurung diri di kamar karena ia hanya
mampu menulis di tempat yang tenang, tanpa ada orang lain. Tak hanya itu, Dewi
dan Stella pun juga jadi agak aneh sejak dari pantai. Mereka tidak selepas
biasanya, tampak seperti menyembunyikan sesuatu dari Titan. Penat dengan
kondisi itu, Titan berpikir untuk menjernihkan pikirannya sejenak.
Ia
berharap, dengan mendaki gunung ia akan mendapatkan angin segar. Lagipula di
luar negeri, pendakian gunung sudah dijadikan kegiatan outbond. Siapa tahu ia akan mendapatkan inspirasi dan mendapati
dirinya mendadak dewasa karena itu. Bagas bilang mendaki gunung akan
mengajarkan banyak hal. Benar tidaknya, Titan akan mengetahuinya nanti.
Titan
berangkat tanpa pamit pada kedua sahabatnya. Dia pergi sendiri ke fakultas
teknik di kampusnya, bertemu dengan para peserta lainnya. Ada enam belas orang
yang ikut pendakian tersebut dengan empat perempuan di dalamnya, terhitung
Titan. Tidak banyak yang mengikuti pendakian massal itu, karena sedang ada
banyak event pendakian juga dengan tujuan gunung-gunung terkenal di Jawa,
seperti Semeru, Slamet, Merapi, dan gunung-gunung lainnya. Secara logika para
pendaki akan memilih gunung yang lokasinya jauh karena sudah bosan mendaki
gunung Merbabu atau pun Lawu yang lokasinya dekat dengan kota Solo.
Awalnya,
Titan merasa asing sekali di kerumunan itu. Namun, lambat laun ia akrab juga
dengan peserta pendakian lainnya. Titan merasa, anak gunung itu friendly, mudah akrab dengan siapa saja.
Meski kadang mereka menunjukkan tingkah-tingkah yang agak “unik”, tapi rasanya
asik aja gitu bareng mereka.
Rombongan
sepakat menggunakan jalur pendakian Selo. Mereka berangkat menuju basecamp pukul enam sore. Mereka sampai
di basecamp yang berada di Dusun Pakis Desa Terubatang Kecamatan Selo Kabupaten
Boyolali sekitar pukul delapan malam. Sebelum memulai pendakian, mereka
melaksanakan sholat isak berjamaah. Selanjutnya, mereka packing ulang dan
mengecek barang bawaan masing-masing.
“Sebelum
berangkat, kita berdoa dulu ya?” ujar Mas Joko, selaku ketua rombongan. Semua
anggota pun langsung berdiri membentuk lingkaran.
“Berdoa
menurut keyakinan masing-masing mulai...”
Semua
menundukkan kepala, berdiam diri dan mulai menggunakan hatinya untuk berbicara
pada Tuhan, memohon keselamatan dan apapun yang terbaik untuk perjalanan
mereka.
“Aamiin...”
“Ingat
ya, perjalanan ini bukanlah untuk menaklukkan puncak tertinggi gunung ini,
namun untuk menaklukkan diri kita sendiri. Kita di sini bukan untuk mengukur
seberapa tinggi gunung ini, namun untuk mengukur diri kita sendiri. Selama
perjalanan nanti, kita harus sebisa mungkin menjaga diri dan hati kita. Hindari
mengeluh, hindari berkata dan berpikiran kotor, tidak boleh melamun, tidak
boleh berbuat mesum, banyak-banyak berdoa dan berzikir, dan jangan sungkan
untuk minta break kalau kelelahan.”
Semua
anggota mengangguk sepakat. Sebelum pendakian, ketua rombongan juga meneriakan
kode etik pegiat alam, yaitu dilarang mengambil apapun kecuali gambar, dilarang
meninggalkan apapun kecuali jejak, dilarang membunuh apapun kecuali waktu, dan
dilarang membakar apapun kecuali semangat. Memang mereka hanya pendaki amatir,
namun mereka tetap berusaha menghargai alam.
Pendakian
dimulai, semuanya berbaris memanjang. Paling depan adalah Mas Joko selaku
navigator. Titan berada di tengah rombongan dengan diapit laki-laki. Setiap
perempuan yang ada di rombongan itu memang sengaja dibariskan secara acak di
antara laki-laki, agar ada yang menjaga mereka.
Jalur
pendakian menuju pos 1 berupa jalan setapak. Jalur yang didominasi hutan pinus
ini tampak sunyi senyap. Tak jarang mereka mendengar suara binatang-binatang
malam yang bersahutan.
“Itu
suara apa sih mas? Serem banget,” tanya Titan pada orang di depannya.
“Itu
suara kera ekor panjang,” jawab Irfan singkat. Ia adalah orang yang berada di
belakang Titan.
“Waww,”
seru Titan. Keren juga Indonesia,
batinnya berkata.
“Eh,
jalannya hati-hati ya, ini tepinya tebing sama jurang.” Mas-mas ini meski bukan
pendaki profesional, dia sudah mendaki gunung Merbabu tiga kali dengan jalur
yang berbeda. Dan pendakian ini adalah pendakiannya yang keempat.
“Oke
mas,” jawab Titan.
Perjalanan
masih berlanjut, hingga mereka sampai pos 2 dan mengambil istirahat sejenak.
“Jauh
juga ya?” ujar Luna, salah satu perempuan dalam rombongan ini.
“Perjalanan
yang kamu tempuh akan terbayar lebih, jadi kamu santai aja, Na. Enjoy our trip,” ujar Galih, orang yang
ada dibelakang Luna.
Tak
lama kemudian Mas Joko memberi aba-aba lagi, “Udah siap jalan lagi?”
“Siap,”
jawab yang lain.
“Kita
jalan pelan-pelan aja, jangan kelamaan istirahat, nanti kita malah kecapekan.
Kita jalan sebentar lagi, setelah itu kita akan nge-camp di pos 3.”
Rombongan
kembali bersiap-siap, memulai perjalanan lagi. Pos 3 atau yang sering disebut
dengan Watu Tulis, memiliki pemandangan yang berbeda dari pos-pos sebelumnya.
Pada jalur ini, tutupan lahan mulai berupa semak dan semakin naik titik
ketinggian semakin didominasi rumput dan edelweis. Pohon edelweiss mulai
terlihat pada ketinggian sekitar 2500 mdpl.
“Wuah,
edelweis ya?” tanya Titan sambil mengarahkan senternya ke pohon-pohon di
sekelilingnya.
“Mmh,”
jawab Irfan.
“Wuah,
sayang nggak kelihatan ya.”
“Besok
kalau sudah turun, kamu bisa menikmati pemandangan ini sepuas kamu. Sekarang
waktunya menikmati pemandangan malam yang Maha Indah. Coba deh lihat ke atas,”
ujar Irfan sambil menunjuk langit yang terhampar luas di atas mereka.
“Waww...”
Titan speechless. Langit malam tampak
seperti pasir bintang. Tak jarang muncul bintang jatuh di beberapa titik. Titan
jadi merasa kecil banget. Tidak rugi ia membiarkan dirinya berelah-lelahan
untuk dapat menikmati pemandangan agung seperti ini. Sungguh harmonisasi malam
yang sempurna. Hutan edelweis, padang ilalang, lautan bintang, semua berpadu
menunjukkan betapa indahnya lukisan yang dibuat oleh tangan Tuhan. Sejenak,
Titan teringat pada Bagas. Benar apa yang
Bagas bilang, di sini Tuhan deket banget.
Selama
perjalanan mereka terkadang bertemu dengan pendaki lain dan saling sapa.
Sensasi ketemu orang lain di gunung tuh sensasinya beda banget. Rasanya seneng
banget kalau bisa melihat manusia dari rombongan lain, jadi tahu kalau diri
kita sebenarnya nggak sendirian. Setelah sampai di pos tiga, rombongan
mempersiapkan diri untuk istirahat. Yang cowok kebagian tugas mendirikan tenda,
yang perempuan kegian tugas memasak makan malam. Mereka duduk membentuk
lingakaran, makan malam bersama di luar tenda.
Titan
seneng banget bisa ngerasain kebersamaan yang erat seperti itu. Dan makan malam
itu adalah makan malam paling indah yang pernah ia rasakan. Makan malam
sederhana dengan beratapkan langit yang gemerlap dan beralaskan bumi hijau yang
luas, dengan desiran angin yang begitu dingin, namun tetap hangat karena canda
tawa dan kebersamaan mereka. Titan belum pernah merasa sedekat ini dengan alam,
dengan Tuhan, dengan manusia. Dan yang mengisi hati Titan hanyalah rasa syukur.
Titan serasa nemu keluarga baru.
“Persahabatan
yang dibangun di gunung itu adalah persahabatan yang telah diuji. Jadi, biarpun
kita ketemu hanya sekali, dalam perjalanan ini, kita bakal inget seumur hidup,”
ujar Luna.
“Yo’i
boss!!” jawab Galih. Yang lain pun mengangguk setuju.
Ah, manisnya, hati Titan
bicara.
“Selesai
makan, langsung istirahat ya! Kita harus mengumpulkan tenaga buat besok. Tidak
boleh ada yang begadang!”
Yang
lain pun menurut. Rombongan yang cewek langsung tidur di satu tenda, dan yang
laki-laki tidur di tenda terpisah. Untuk yang senior, mereka tidur secara
bergantian sambil menjaga anggota lain.
***
“Bangun!!Bangun!!
Ayo yang sholat subuh bangun!!” teriak ketua rombongan.
Titan
masih berat untuk membuka matanya, karena rasa lelah yang menimpa tubuhnya.
Namun ia memaksakan diri untuk bangun, sholat bukanlah hal yang bisa
ditinggalkan. Terlebih, saat ini. Sholat di alam pegunungan seperti ini rasanya
seperti sholat dengan hamparan sajadah yang langsung diberikan oleh Tuhan.
Jadi, sayang kalau dilewatkan.
Selesai
sholat, anggota rombongan tiba-tiba heboh, karena beberapa orang berlarian
menuju tebing ke arah timur. Anggota lain jadi tersita perhatiannya. Semuanya
berbalik ke timur dan secara ajaib berpasang-pasang mata itu terbelalak –
termasuk Titan.
“Subhanallah,
keren banget...”
Beberapa
di antara mereka ada yang berucap kagum dan beberapa lainnya ada yang tak
sanggup berkata apa pun.
Pemandangan
matahari terbit yang luar biasa indah. Wuah, ini pertama kalinya Titan
menikmati pagi semewah ini. Awan berkumpul di hamparan udara yang kosong. Di
atasnya menyembul bulatan matahari yang belum penuh. Cahayanya menyebar
membentuk garis-garis kuning yang halus sehingga langit yang lebih tinggi
memiliki rona jingga yang sempurna. Di sisi lain, masih tampak sisa-sisa
bintang di subuh hari di langit yang masih agak keabuan, juga bulan yang
semakin pudar dan menjauh dari matahari. Di sebelah selatan tampak gunung
merapi yang mengepulkan asap, berdiri dengan kokohnya.
“Subhanallah,”
Titan berdecak kagum. “Ini surga kah?”
Tidak
terhenti di situ. Keindahan agung lainnya juga menemani mereka dalam perjalanan
menuju pos 4. Hamparan sabana yang sangat luas hingga seluruh daratan tampak
hijau, dengan bukit-bukit indah di sekelilingnya. Rumput-rumput yang tumbuh
merata di daratan itu adalah kesegaran tersendiri bagi setiap pendaki yang
melaluinya. Dari sabana ini tampak gunung Lawu dan Merapi disisi timur dan
barat. Sedang di barat tampak juga Gunung Sindoro dan Sumbing. Tak hanya itu,
pemandangan indah gunung Merapi juga semakin terlihat jelas dan begitu dekat
dari sini.
“Subhanallah,”
lagi-lagi Titan berdecak kagum. Rasanya tidak ada kata satu pun yang mampu
mewakili ungkapan rasa kagum pada karya indah Sang Pencipta ini. Setiap
pemandangan yang ia temui seolah menjadi energi positif tersendiri yang mengisi
perjalanan Titan.
Kaki
masih melangkah maju. Perjalanan masih panjang. Rasa lelah tidak jenuh
menghampiri setiap pendaki. Namun, hati mereka yang kuat selalu mampu
mengalihkan rasa lelah itu sejenak di belakang ego mereka.
“Eh,
coba deh lihat. Hutan Edelweis!!”
“Wuahhh
iyaa!!” teriak Titan kagum setengah mati melihat pohon-pohon edelweis dengan
bunganya yang bermekaran. “Indah bangeeet.” Muka Titan langsung memerah melihat
pemandangan hutan kecil edelweis yang ada di hadapannya.
“Kita
istirahat di sana sejenak ya untuk makan siang,” ujar ketua rombongan sambil
menunjuk hutan edelweis itu.
Titan
langsung tertawa girang. Dari awal perjalanan, memang Titan tidak bisa tampak
dewasa karena ia tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya. Untuk pendaki lain,
mungkin kekaguman itu cukup disimpan dalam hati mereka. Namun, Titan tidak
bisa, karena ini adalah keindahan pertama yang ia lihat.
Hati
Titan tidak mengucapkan syukur dan kagum melihat pemandangan-pemandangan yang
terpampang nyata di hadapannya. Menurutnya, pemandangan ini lebih dari sekadar
cethar membahana badai. Ini adalah pemandangan yang sangat amat cethar
menggegana badai sekali banget.
“Kita
tetap harus fokus ya. Puncak tinggal satu langkah lagi!” ujar ketua rombongan.
Titan
sudah semakin lelah, begitu juga pendaki yang lain. Namun, selalu ada senyum
kagum yang selalu menghiasi kelelahan di wajah mereka, sehingga semua orang
menjadi tampak dewasa ketika itu. Semua benar-benar seperti pendewasaan yang
instan, seolah makhluk-makhluk ini dilatih langsung oleh Tuhan melalui alamnya.
Perjalanan
semakin menantang, dengan persediaan air yang semakin menipis dan tenaga yang
semakin habis. Mereka semua berjuang sampai titik darah penghabisan agar mereka
sampai puncak.
“Semangat
ya Tan, perjalanan ini bukan untuk menggapai puncak, namun untuk mengukur
seberapa jauh diri kita mampu bertahan dalam kondisi yang susah. Belajar dari
kesusahan,” ujar Irfan.
“Mmmh,”
Titan mengangguk setuju. Ia tidak menjawab panjang, karena nafasnya
ngos-ngosan.
Medan
dari Sabana 2 menuju puncak lumayan berat berupa tanjakan-tanjakan yang terjal
dan sedikit dataran. Matahari semakin meninggi, awan-awan putih dan kabut makin
pekat menghiasi gunung.
Kaki
Titan semakin lelah, pergelangan kakinya mulai memerah karena gesekan kakinya
dan sendal yang ia kenakan. Bahunya mulai lecet karena beban yang ia pikul
cukup berat untuk ukuran pemula. Sarafnya kakinya mulai terasa ngilu.
Titan
meyakinkan dirinya sendiri, ia pasti bisa. Maka ia mengumpulkan tekad lebih
banyak agar ia sampai ke puncak. Ia ingin melihat langit lebih dekat, ia
merasakan Tuhan lebih dekat, ia ingin melihat batas tanah yang ia pijak. Titan
memejamkan matanya, memantapkan hatinya untuk melangkah lagi dengan lebih
semangat.
Di
perjalanan, rombongan bertemu dengan banyak pendaki lain yang menyalip ataupun
yang sudah balik dari puncak. Setiap orang yang mereka temui selalu memberikan
semangat.
“Tiera...tieraaa!!”
teriak Irfan.
“Kita
udah di daratan kali Fan,” Titan geram.
“Puncak
Tan, sedikit lagi!” Irfan teriak sambil berlari kecil agar cepat menggapai
puncak.
Mendengar
itu anak-anak lain jadi ikutan semangat mengejar puncak. Titan juga tidak mau
kalah. Ia kembali mengumpulkan sisa-sisa tenaganya dan....
“Selamat
ya Titan, welcome to the mountain pass.”
Irfan berdiri membungkukkan badannya untuk menyalami Titan.
“How beautifull...” ujar Titan tanpa
sadar. Matanya terpana melihat keindahan di sekitarnya. Gumpalan-gumpalan awan
putih berkumpul menjadi satu mengelilingi puncak gunung. Awan-awan itu begitu
dekat sehingga seolah mereka dapat tersentuh. Melihat keindahan itu, Titan
bersujud dengan segala kerendahan hati menghadap Tuhan, mengakui kebesaran-Nya.
Titan
sendiri tidak menyangkau kalau ia akan sampai di tanah tertinggi gunung
Merbabu, tanah agung yang disebut sebagai
puncak Triangulasi dengan ketinggian 3142 mdpl. Titan berdiri di atas
lautan awan merasakan satu lagi kebesaran Tuhan. Sungguh hari yang indah, pilihan yang tidak salah untuk berpetualang ke
sini, batin Titan.
Titan
menjelajahi puncak satu per satu. Puncak Triangulasi, puncak Kentheng Songo,
dan puncak Syarif. Matanya merekam dalam-dalam setiap pemandangan yang ia
lihat. Pemandangan di puncak terbuka ke segala arah, Gunung Lawu di timur, Gunung
Sindoro dan Sumbing di barat, Gunung Ungaran, Andong dan Gunung Telomoyo di
barat laut, Gunung Merapi disisi selatan, serta tebing-tebing dan jurang.
Setelah
puas menikmati pemandangan itu, rombongan kembali turun gunung. Turun gunung
ternyata tidak memakan waktu lama, karena medan yang dilalui kebanyakan jalan
yang menurun jadi mereka dapat bergerak cepat, berlari, berguling-guling, dan
kadang-kadang meluncur, sehingga mereka berhasil sampai di pos tiga dengan
selamat.
Perjalanan
masih berlangsung, semua pendaki terlihat kelelahan. Kabut mulai datang, awan
putih makin pekat, dan sesekali angin kencang menerpa. Tiba-tiba beberapa wajah
mulai kelihatan panik.
Mereka
masih berjalan, namun agak pelan. Kabut makin lama makin pekat, hingga jarak
pandang mereka hanya mencapai jarak sepuluh meter. Tidak ada petir, tidak
hujan, hanya kabut dan angin yang sekali kencang. Mereka menjaga jarak agar
masing-masing orang tidak berjauhan dari teman yang ada di depan ataupun di
belakangnya. Perjalanan masih berlanjut hingga pos 2.
Di
pos ini, ketua regu menghentikan perjalanan sejenak. Ia mengajak beberapa
pendaki yang sudah berpengalaman naik gunung untuk berunding.
“Mau
lanjut apa istirahat ini? Perjalanan masih sekitar dua jam lagi, kalau kita
cepat.” Kata ketua regu.
“Kita
hampir kehabisan bekal nih, mie instan dan cemilan lain masih ada sih, tapi
persediaan airnya tinggal 1 liter,” navigator menambahi.
“Senter
yang masih nyala ada berapa?” tanya ketua regu lagi.
Hanya
sepuluh orang yang mengangkat tangan. Dari enam belas orang yang ikut, enam
orang yang ikut adalah pendaki pemula – termasuk Titan, yang artinya itu adalah
pengalaman pertama mereka naik gunung. Jadi, mereka tidak mempersiapkan senter
ataupun baterei cadangan.
“Tapi
ini kayaknya juga nggak bertahan lama, paling hanya sejam.”
“Kalau
punyaku masih bisa tahan sih, tapi ini nggak tembus kabut,” ujar yang lain.
Setelah
berpikir dan berunding agak lama, akhirnya ketua regu memutuskan untuk tetap
tinggal di pos 2 kalau kabut masih belum reda. Namun, jika kabutnya sudah
berkurang mereka akan turun.
Pukul 15.00 WIB
Rombongan
sudah berdiam diri di pos 2 sekitar satu jam, suhu udara sangat dingin hingga
mencapai hampir 5oC. Beberapa pendaki lain mulai merasakan gejala
hipotermi.
“Jangan
ada yang tidur ya? Usahakan untuk tetap sadar. Gerakkan badan untuk apa aja
biar tetap hangat,” ujar ketua rombongan.
Entah
mengapa di pos 2 hanya ada mereka, terakhir kali mereka bertemu dengan pendaki
lain adalah ketika mereka berada di pos 3, lalu rombongan ini memutuskan untuk
turun duluan.
Kabut
sudah sedikit berkurang, namun jarak pandang masih sekitar lima belas meter.
Beberapa pendaki laki-laki yang merasa tidak kuat mulai meminum suplemen untuk
menjaga kondisi tubuh mereka. Mereka mulai memasak persediaan air terakhir
mereka untuk membuat minuman hangat.
“Ini
persediaan parafin terakhir kita,” ujar Deni, orang yang bertugas membawa
peralatan.
“Kok
bisa sih?” tanya Luna.
“Sorry,
tadi waktu packing di pos tiga,
kayaknya ada yang jatuh gitu, pas aku nyari nggak ketemu. Sekarang baru tahu,
kalau yang jatuh tadi ternyata parafin,” ujar Deni lemas.
“Ooh.. ya udah nggak apa-apa. Nanti kalau kita
terpaksa nginep di sini, kita nyari kayu aja. Di sini kan banyak pinus,” ujar
Mas Joko menengahi.
“Kok
bisa ya cuacanya mendadak berubah kayak gini?” tanya Titan polos.
“Di
gunung itu segala sesuatunya bisa terjadi. Ya beginilah alam bekerja,” ujar Mas
Joko lagi.
Mereka
masih bertahan di pos 2 hingga setengah jam lamanya. Menikmati minuman hangat
yang baru saja mereka buat. Beberapa orang mulai tampak mengantuk, karena
berdiam diri sejak tadi. Istirahat yang terlalu lama memang hasilnya akan
seperti ini. Suasana semakin hening. Ketua regu berjalan-jalan ke sekitar
melihat keadaan beberapa kali. Lalu ia memandang ke beberapa orang dalam rombongan
seperti berbicara dengan menggunakan kode, lalu orang-orang itu menganggukkan
kepalanya.
“Masih
fit?” tanya Mas Joko.
Yang
lain hanya menoleh kaget mendengar suaranya.
“Gimana
masih kuat jalan nggak nih?”
“Masiiiih,”
semua menjawab lemas.
“Kita
lanjut ya, kabutnya udah mulai hilang. Buat jaga-jaga kalau kabutnya turun
lagi, kita pakai tali kermantel. Nanti setiap orang harus memegang tali ini dan
menjaga jarak agar tetap dekat, jangan sampai jarak kalian lebih dari dua
meter,” ujar Mas Joko memberikan pengarahan.
“Oh
ya, untuk yang perempuan, nanti ada di barisan depan ya? Barisannya di selingi
sama cowok kayak semalem. Jangan lupa untuk menghafalkan siapa orang yang ada
di depan dan di belakang kalian. Kalau ada apa-apa langsung bilang, kalau mau break bilang, kalau merasa ada yang aneh
juga bilang. Oke?”
“Oke,
siap!!” jawab semuanya.
Mereka
mulai packing ulang dan melanjutkan perjalanan lagi. Mereka berjalan dengan
pelan dan hati-hati, karena jalan yang mereka lalui berbatasan langsung dengan
tebing. Jalan setapak yang mereka lalui mulai tampak gelap seiring datangnya
petang. Beberapa senter mulai dinyalakan untuk menerangi jalan.
Senter
Titan masih menyala, tapi redup sekali, bahkan cahayanya tidak sampai menyentuh
tanah, senternya hanya mampu berpendar karena batereinya sudah hampir habis. Ia
berencana untuk memasukkan senternya kembali ke dalam ransel. Ketika ia membuka
menyelipkan senter itu di kantong ranselnya, tiba-tiba ia merasa ada sesuatu
yang menggeliat di kakinya. Ia pun langsung reflek berjingkrak-jingkrak
ketakutan.
“Ati-ati
Titan, ini samping kita tebing,” tegur Irfan.
Titan
masih risih dengan sesuatu yang menggeliat di kakinya. Ia makin lincah
menggerakkan kakinya mencoba mengusir binatang itu. Lalu kakinya membentur akar
yang menjalar di permukaan tanah, ia tersandung dan kepalanya membentur batu
yang ada di depannya. Dan ketika ia mencoba bangun, kakinya terpeleset akar
yang sama, dan....
“Aaaaaaaaaaaargh!!!”
Titan terpeleset ke dalam jurang.
Semua
terjadi begitu cepat. Bahkan orang yang berada di depan dan di belakang Titan
sampai tak menyadarinya. Semua tercengang mendengar jeritan yang makin lama
makin tak terdengar itu. Beberapa orang mulai gemetaran. Melihat musibah itu,
Mas Joko langsung sigap meminta sebagian laki-laki untuk tetap tinggal, dan
membawa yang lain untuk turun dan meminta bantuan.
***
Tim
SAR memulai pencarian sejak sehari Titan dinyatakan hilang. Mendengar kabar
ini, orang-orang terdekat Titan langsung panik – terutama Adam. Dewi dan
Stella, hanya bisa pasrah dan berharap kalau Titan akan segera ditemukan. Orang
tua Titan juga masih menunggu kabar.
Adam
yang kebetulan menjadi salah satu anggota Tim SAR pun tidak melewatkan satu
detik pun dalam operasi pencarian Titan. Seluruh tim dikerahkan untuk menyisiri
daerah tebing dekat lokasi jatuhnya Titan. Pencarian juga dilakukan di
daerah-daerah sekitar lokasi, untuk berjaga-jaga kalau Titan mencoba survival.
Adam
sangat panik ketika itu, ia bahkan belum sempat mengutarakan isi hatinya dan
kini Titan hilang. Selama pencarian, Adam selalu berdoa kepada Tuhan agar Titan
segera ditemukan.
Semua
peralatang di pasang, tebing di susuri dari segala sisi. Adam ikut menyusuri
tebing itu dari bawah. Ia mencari-cari Titan di dalam lautan semak yang
tingginya hampir sebahu orang dewasa.
Tiba-tiba
terdengar suara “ grusuk...grusukk...” di semak-semak sekitar Adam. Ia diam,
mencermati suara itu dalam-dalam, mencoba mencari tahu dari mana arahnya. Adam
melihat sekelilingnya, tiba-tiba matanya terpaku pada sesuatu yang tampak
seperti ekor binatang buas.
“Macan?”
desisnya pelan. “Mungkinkah?”
Adam
merasakan ada sesuatu yang menggetarkan hatinya. Ia mencegah pikirannya dari
hal yang tidak-tidak. Namun, hatinya tak tenang, jadi ia memutuskan untuk
mengikuti macan itu, memastikan apakah ia membawa jasad Titan atau tidak.
Setelah
diikuti ternyata, macan itu tidak membawa apapun. Adam lega, berarti masih ada
harapan kalau Titan masih hidup.
Adam
masih terus mencari. Ia yakin kalau Titan pasti akan tetap dijaga Tuhan sampai
ia menemukannya.
Adam
masih mencari di semak-semak yang lebat itu. Tak jarang ia menemui binatang
buas seperti ular atau binatang lainnya. Namun, ia tak menyerah.
“Dam,
kalau jatuhnya di sini, kayaknya mustahil kalau masih utuh ya? Binatangnya
banyak benget gini,” ujar teman Adam.
Adam
panas mendengar kata-kata itu, namun ia menahan diri.
“Aku
yakin, pasti di sini kok,” ujar Adam mantap.
“Yakin
lo?”
Adam
diam. Ia tidak menjawab, namun entah mengapa ada sesuatu yang memantapkan
hatinya untuk tetap mencari di situ.
“Ayo
kita cari lagi, kita optimis aja. Kan tugas kita buat mencari dan
menyelematkan, bukan buat nge-judge
yang enggak-enggak,” ujar Adam.
Teman
Adam langsung diam dan melanjutkan mencari. Ia mulai kelelahan, lalu ia duduk
sejenak, merenggangkan bahunya yang lama lama digunakan membungkuk.
Samar-samar, ia mendengar suara pelan dari balik semak-semak lagi. Spontan Adam
langsung siaga, ia mengeluarkan parangnya dan perlahan menyingkap semak-semak
yang menjadi sumber suara itu. Betapa terkejutnya ia dengan apa yang
dilihatnya, kali ini bukan binatang buas lagi, namun orang yang selama ini ia
cari, Titan.
Tubuh
Titan terkulai lemas di bawah semak-semak, mukanya pucat sekali dengan banyak
sekali benjolan biru-biru di tubuhnya. Tulang lengan atasnya patah dan menonjol
keluar. Banyak darah yang sudah ia keluarkan, namun Titan masih hidup dan
sadar, meski matanya terpejam. Adam langsung meminta bantuan rekan timnya untuk
mengevakuasi Titan. Adam sungguh tak sanggup melihat Titan seperti itu. Tanpa
sadar, air mata Adam mengalir deras.
***
Titan
masih terbaring di ranjangnya. Sudah lima hari ia tidak sadarkan diri. Selama
itu Adam selalu menjaganya siang malam. Dari musibah itu semua orang jadi tahu
seberapa besar cinta Adam untuk Titan. Dewi juga tidak mengharapkan Adam lagi,
Dewi belajar banyak hal dari mereka, ketulusan, kesabaran, pengorbanan,
ternyata yang terbaik dari jatuh cinta adalah membiarkan orang yang kita cintai
bahagia bersama orang yang mampu membuatnya bahagia. Membiarkan Adam dan Titan
bersama masih jauh lebih baik daripada membiarkan Adam jatuh cinta pada orang
lain yang belum tentu tepat untuknya.
Di
ruang 306 itu Titan masih terbaring lemas. Adam hanya mampu menggenggam
tangannya. Seperti malam-malam sebelumnya, malam itu ia hanya tidur dua jam,
matanya kembali terjaga jika mendengar suara apa pun. Ia berharap setiap suara
yang ia dengar adalah suara Titan yang mulai siuman. Namun, sampai detik ini
Titan masih juga terdiam dalam tidurnya. Adam tak pernah berhenti mengucapkan
doa untuk kesembuhannya. Ia yakin kalau Tuhan pasti akan mengabulkan doa yang
diperuntukkan kepada orang baik.
Pagi
ini Adam mengganti bunga di vas dengan bungan mawar, para ahli terapis sering
menggunakan mawar untuk relaksasi pikiran, ia berharap Titan akan suka. Adam
juga sudah membuka jendela kamar VIP itu sejak jam lima pagi, agar Titan tidak
meninggalkan kebiasaannya menyapa pagi seperti yang biasa ia lakukan. Kini
Titan merasakan pagi itu dengan tangan Adam, seolah pagi sudah menjadi bagian
dari diri mereka berdua.
Setiap
pagi, dokter selalu memeriksa Titan dan melaporkan kondisinya. Menurut dokter,
kondisi Titan sudah sedikit membaik, mungkin sebentar lagi ia akan siuman. Tapi
sebentar menurut dokter, belum tentu sebentar untuk orang-orang yang sudah lama
merindukan senyum Titan, seperti Adam. Namun, Adam tetap optimis.
Tak
lama setelah dokter memeriksa kondisi Titan, Dewi datang. Ia selalu datang
setiap hari menjenguk Titan juga. Biasanya Dewi selalu datang bersama Stella,
namun kali ini entah mengapa dia datang sendiri.
“Ini
aku bawakan bubur ayam untuk kamu sarapan,” ujar Dewi pada Adam.
“Kamu
nggak perlu repot-repot, Dew. Nggak enak juga kalau setiap hari ngerepotin
kamu.”
“Kan
aku bawa bubur ayam baru kali ini. Udah deh, nggak usah protes. Kamu tu sadar
nggak sih, kalau kamu sekarang jadi kurus banget kayak zombie,” Dewi mulai
cerewet kayak perempuan.
Adam
heran, mengapa perempuan selalu cerewet seperti ini ketika mereka memperhatikan
laki-laki. Adam juga paham sekali kalau perempuan sudah cerewet seperti itu,
tidak akan bisa dilawan. Jadi, Adam diam saja dan mulai membuka bungkusan bubur
ayam yang dibawakan Dewi.
Setelah
dibuka, betapa terkejutnya Adam melihat bubur ayam itu adalah bubur ayam
belakang kampus yang selalu jadi langganannya. Kebetulan yang aneh. Adam jadi
teringat ketika Titan membawakan bubur ayam belakang kampus untuk Bagas dan
mengaku kalau bubur itu adalah buatannya sendiri. Adam jadi senyum-senyum
sendiri.
“Konyol,”
ujar Adam tanpa sadar.
“Apanya
yang konyol, Dam? Itu cuma bubur ayam.” Dewi melihat Adam dengan tatapan heran.
“Eh,
enggak.” Adam jadi malu ketahuan ngomong sendiri. “Makasih ya, kamu baik
banget, Dew.”
Mereka
terdiam sejenak.
“Jadi,
kamu sayang banget sama Titan ya?” Dewi memulai pembicaraan.
Adam
tersentak dan sekejap menghentikan suapannya.
“Iya,”
jawabnya singkat.
“Titan
nggak akan pernah tahu kalau kamu nggak bilang sama dia.”
Adam
terdiam.
“Bagas
tau?”
Adam
menggeleng.
“Aku
sudah jatuh cinta sama Titan, bahkan sebelum dia mengenal Bagas. Tapi, akhirnya
justru Bagas yang bisa bikin dia bahagia kan? Aku bisa apa?”
“Cinta
sejati kan memang nggak mudah buat ditemuin Dam, mungkin Titan yang belum siap
buat ketemu sama cinta sejatinya, jadi ia harus bertemu dengan beberapa orang
dulu buat dia belajar,” ujar Dewi lirih.
Adam
diam lagi. Ia memandangi Titan yang masih terbaring lemas.
“Jangan
pernah sakitin Titan, aku juga peduli banget sama dia,” ujar Dewi lagi.
Adam
terdiam. Pandangannya kembali ke Titan. Ia memandang Titan dengan sangat dalam,
berharap sekali ia cepat sembuh, dan melihatnya tertawa lagi.
“Aku...juga
nggak bisa lihat dia sakit,” jawab Adam.
“Kamu
jadi ke luar Jawa?”
Mendengar
pertanyaan itu, Adam merasa hatinya tersayat. Di sampingnya, orang yang begitu
ia sayang sedang terbaring sakit, sedangkan satu minggu lagi ia harus berangkat
ke luar Jawa. Adam hanya mampu terdiam. Ia kembali menggenggam tangan Titan.
“Kalau
kamu memang harus pergi, aku bisa jaga Titan buat...”
“Aku
sangat mencintai Titan.” Adam menyela Dewi. “Aku nggak bisa ninggalin dia dalam
kondisi kayak gini. Aku merasa nggak berguna, aku nggak bisa selalu jaga dia.
Aku nggak tahu harus gimana, Dew...”
Tanpa
sadar air mata Adam keluar dan membasahi selimut Titan.
“Siapa
bilang kamu nggak bisa jaga Titan. Kamu udah nyelamatin dia dari musibah itu,
kamu yang udah nemuin dia. Kamu yang berhasil bawa dia ke sini. Kalau nggak ada
kamu, aku sendiri nggak tahu nasib Titan kayak gimana,” ucap Dewi. “Jangan
menyerah Dam, kamu sudah sejauh ini.”
Adam
terdiam. Suasana menjadi hening. Tanpa mereka sadari, Titan mengeluarkan air
mata, jemarinya bergerak pelan, dan perlahan ia mulai siuman.
“Kalian
berisik sekali sih?” ujar Titan pelan.
“Titan??”
Dewi dan Bagas terkejut.
Spontan
Dewi langsung meluk Titan.
“Titan,
akhirnya kamu sadar juga!” Dewi berteriak senang. Sementara itu Titan memandang
Dewi dengan tatapan penuh sesal.
“Maafin
aku ya Dew, maaf kalau selama ini ternyata aku yang bikin kalian...”
“Ssssttt!!”
Dewi memotong secepatnya. “It’s okay..”
ujar Dewi dengan senyum. Rupanya ia sudah benar-benar mengikhlaskan.
Adam
yang sejak tadi menggenggam tangan Titan, jadi malu sendiri. Ia hendak
melepaskan tangannya, tapi justru Titan menahannya.
“Jangan
dilepasin. Kamu harus tanggung jawab!” ujar Titan, suaranya sudah mampu sedikit
lebih keras.
“Hah?”
Adam bingung. “Tanggung jawab?”
“Tanggung
jawab karena sudah diam-diam mencintaiku.”
Adam
tersenyum malu. Mukanya merona merah muda. Dewi yang tidak ingin mengganggu moment penting itu pun pergi keluar
meninggalkan mereka berdua.
“Jadi
benar kamu mencintai aku?”
Adam
mengangguk pelan.
“Berarti
kamu jahat sekali,” kata Titan.
“Hah?”
Adam tidak mengerti.
“Kamu
bilang kamu mencintai aku, tapi kamu mau ninggalin aku ke luar Jawa.”
“Jadi,
kamu dengar semua pembicaraanku tadi?”
“Hey...kamu
udah diam-diam jatuh cinta sama aku, lalu kamu diam-diam akan pergi ninggalin
aku, dan sekarang kamu diam-diam mengira kalau aku tuli. Kenapa kamu jahatnya
bertubi-tubi?!”
Adam
jadi salah tingkah sendiri. “Aduh, bukan kayak gitu maksud aku, Tan. Aku...”
“Aku
ijinin kamu pergi...” potong Titan. “Tapi kamu harus janji buat balik lagi.”
“Mmh.”
Adam mengangguk mantap. “I promise!
Tapi kamu juga janji jangan naik gunung lagi atau bahkan naik gunung diam-diam
tanpa ijin. Deal?”
Titan
menggelengkan kepalanya, sambil tersenyum.
“Kamu
nakal sekali,” ujar Adam.
“Gunung
itu indah banget, Dam. Aku nggak nyesel kok,” ujar Titan pelan. Kini ia tahu, hasratnya
untuk mendaki kala itu bukanlah karena Bagas, tapi murni karena keinginan dalam
dirinya.
“Lagipula
jatuh dari gunung juga udah mempertemukan aku sama kamu. Jadi, apa yang harus
aku sesali?” Titan menambahkan.
Adam
menghela nafas pendek, matanya mendadak memandang Titan kalem. Ia tak tahu apa
yang harus ia ungkapkan, ia hanya ingin Titan bahagia. Ia ingin Titan baik-baik
saja, tapi bukan berarti Titan harus meninggalkan kehidupannya kan. Tampaknya
jatuh dari gunung tidak membuat Titan sakit, tapi justru lebih hidup.
***
Dua bulan kemudian...
Adam
baru saja pulang dari tugas pelatihan diving-nya, tapi agenda baru sudah
menyambut. Yap, program internship yang ditawarkan oleh publisher Kreasindo
akan dimulai awal libur semester ini. Dari empat orang yang dapat kesempatan,
hanya Adam yang bisa mengikuti. Bagas sibuk dengan EO-nya yang punya proyek
gede banget di luar kota. Dewi, setelah cukup lama berpikir, ia lebih memilih
ikutan program mengajar di pedalaman, daripada jadi jurnalis – secara dia suka
banget ngajar. Titan? Titan sudah pulih dari sakitnya, tapi masih belum bisa
aktifitas. Ia sedang dalam masa pemulihan. Jadi, masa kangen-kangenan Titan
sama Adam bisa dibilang singkat banget. Ia harus rela membiarkan Adam pergi
jauh, lagi. Titan mencoba berpikir positif, “Calon bapak yang baik memang harus
begitu, harus terlatih kerja keras mencari nafkah, dan magang itu adalah
bekalnya.”
Pikiran-pikiran
seperti itulah yang membuat Titan tetap bersahaja melewati hari-harinya. Titan
sendiri nggak mau kalah, ia berperang melawan kemalasannya. Ia bertekad untuk
membuat hidupnya lebih berkualitas mulai sekarang.
Meski
tangannya masih diperban, ia sekarang lebih banyak belajar bersyukur.
Setidaknya sekarang ia telah kembali mendapatkan udara segar yang dihasilkan
oleh alam tanpa mencium bau obat-obatan lagi. Titan banyak belajar dari
pengalamannya kemarin. Ternyata hidup ini lebih enak dinikmati ketika badan
sedang sehat.
Titan
banyak berubah. Ia tak lagi selalu menikmati paginya dari balik jendela
kamarnya. Kini, ia sering pergi ke taman yang ada di bawah jembatan perbatasan
kota Solo-Karanganyar untuk menikmati pagi. Taman ini berhadapan langsung
dengan bengawan solo. Menurut cerita Dewi, Adam sering sekali ke taman ini
ketika ia merindukan Titan. Ia selalu membagi kerinduannya dengan suasana sepi
di taman itu. Titan menamai taman ini sebagai taman cahaya, karena cahaya
matahari tampak sangat indah dari taman ini.
Setiap
pagi cahaya itu akan muncul menyinari air sehingga menimbulkan kerlip-kerlip
kecil yang tampak indah jika dilihat dari taman. Jika melihat ke atas, akan
tampak kendaraan berlalu-lalang melintasi jembatan. Suasana yang sangat
kontras, namun keduanya dapat berpadu harmoni sehingga sangat indah untuk
dinikmati. Ternyata Tuhan telah menempatkan keindahan dimana-mana untuk kita
nikmati, sayangnya tidak banyak orang yang sadar.
Titan
sangat menyukai pemandangan sederhana ini. Ia sering mendapatkan inspirasi di
dalamnya. Inspirasi yang kemudian menjelma menjadi hasrat yang semakin menguatkan
keinginannya Titan untuk menjadi penulis besar. Setiap ia datang, ia selalu
membawa laptop ataupun sekadar membawa buku catatan kecil.
Ada
banyak hal yang ingin Titan ungkapkan dalam tulisannya. Tentang cahaya matahari
dan cinta yang begitu dekat. Tentang Adam yang kini diam-diam menjadi
cahayanya. Tentang alam yang membuatnya banyak belajar. Tentang kehidupan ini
yang selalu membawa manusia kembali kepada Tuhan. Tentang hati yang mampu
bekerja secara ajaib dalam mempertemukan seseorang dengan cintanya, dan juga tentang
apapun.
Selain
menulis, merindukan Adam, kini menjadi salah satu aktivitas yang Titan gemari. Adam
sudah menjelma menjadi pagi yang baru yang membuat Titan merasa sangat nyaman
berada di dalamnya. Adam adalah cahaya dalam penantian. Cahaya yang membuat ia
menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Cahaya yang mengajari ketulusan. Cahaya
pagi yang sempurna untuk Titan.
Titan
sadar bahwa jatuh cinta adalah salah satu perjalanan kedewasaan manusia yang
membawa manusia pada titik kedewasaan yang lebih tinggi. Ia telah melaluinya
beberapa kali dan ia dapat memetik pelajaran dari perjalanan cintanya, yakni manusia
yang jatuh cinta tidak dapat selamanya terus bersama, namun mereka diberi
kewenangan untuk membuat setiap kebersamaan itu berarti. Dan patah hati
bukanlah akhir dari perjalanan cinta seseorang, itu hanyalah pilihan untuk
menempuh perjalanan cinta yang baru. Patah hati adalah pelajaran untuk berani
mencintai lagi. Berani bangun dengan cinta yang lebih baik. Seperti matahari
yang berani mengisi pagi dengan cahaya yang selalu baru. Seperti matahari yang
tak takut untuk redup di sore hari. Jatuh cinta adalah perjalanan indah tanpa
akhir, karena jatuh cinta itu seperti perjalanan matahari yang berjalan memutar
dan selalu kembali.
The End
Sumber gambar https://www.etsy.com/listing/222054935/black-and-white-acrylic-painting-canvas
0 komentar:
Posting Komentar