KHITAN




Achi udah kelas empat, tapi kalo ditanya soal sunat, dia nggak pernah seneng. Iya, gue paham sih laki-laki mana yang seneng disunat? Gue belum pernah sekalipun ketemu lelaki yang ketagihan minta disunat, entah karena nggak suka sama model potongannya atau karena motongnya nggak enak, gue nggak tau. Nah, ponakan gue juga seolah sudah merasakan aura kengerian itu meskipun belum disunat. Makanya dia enggan dan super sensitif tiap denger kata “sunat”.
Tapi kan tetep aja dia harus menuhi kewajiban untuk mengikhlaskan sedikit dari anunya biar jadi bersih. Jadi, gue sebagai tantenya nggak berhenti memotivasi.
“Achi mau sunat kapan? Tante udah siap loh.” *maksud gue, siap nemenin dia pas kesakitan.
Achi mau senyum, tapi ditahan, hatinya sebel, gondok, karena gue menyinggung bukti akhil balighnya. Lalu dengan sengaja dia molor-molorin deadline-nya, “Nanti kelas enam tante.”
“Lhoh, jangan kelamaan, nanti keburu bertunas loh anunya!”
Achi senyum-senyum malu campur takut. Parahnya, rasa takutnya itu justru membuat dia semakin mengulur waktu.
“Nanti aja pas SMA ya tante?”
“Lhoh, kalau nunggu SMA nanti yang motong yang nggak mau.” Tante aja serem bayanginnya, apalagi yang motong beneran.
“Kenapa tante?”
Gue terdiam. Tik...tok...tik...tok... masak iya gue jelasin itu. Biar obrolannya nggak jadi pelajaran Biologi, gue mencoba mengalihkan pertanyaannya.
“Achi sunatnya kelas empat aja ya? Nanti tante kasih uang saku.” Gue mencoba kasing iming-iming, siapa tau aja berhasil, anak kecil yang biasanya suka “disuapin”.
“Berapa te?”
Hemm, kalo soal duit aja cepet nyambungnya. Gue jawab, “Lima puluh ribu.”
“Nggak mau. Dua juta ya te?”
Lagi khilaf ni anak. Itu sih bukan minta uang saku tapi nodong. Udah tau tantenya kurus kere begini, mana mungkin bisa nelurin uang segitu. Kalo dosa gue bisa digadein, nah tuh baru tante kasih.
Gue balik tanya, “Emang Achi tau dua juta itu nolnya berapa?”
Achi senyum-senyum sambil menggeliat nggak jelas. Idiiiih, ponakankyuuuh ngitung aja belum khatam, kok udah mau minta dua juta. Sini, tante kasih biji asem aja buat mainan dakon.
“Sunat minggu depan ya? Nanti tante kasih seratus ribu sama onde-onde sekresek buat sumpel perut.”
Maklum jes, Achi sekarang kurus, masa-masa keemasannya jadi orang gemuk telah berlalu. Jadi, biar dia bisa nostalgia lagi sama lemak-lemaknya, gue gelonggong aja pakai onde-onde. Sayangnya tawaran terbaik gue ditolak.
“Ah... nggak mau te! Pokoknya dua juta!” Achi keukeuh.
“Iya, dua juta. Nanti potongannya dijual online. Siapa tau dapat dua juta, tapi dinego boleh nggak?”
Achi mulai menjauh pelan-pelan. Gue nggak tahu, apa sih seremnya dari kata “online”’ dan “potongan”, perempuan aja seneng kalo denger dua kata itu, belanja online dapat potongan. Betul nggak sis? *yuuuk
“Kalo Achi nggak mau sunat minggu depan, ya udah minggu ini aja.”
“Enggaaaaak!!” dia teriak makin kenceng sambil lemparin kardus bekas ke gue. *Gue sebenarnya tersinggung, itu kan tempat tidur gue!
“Ya udah besok.”
“Emoooooooh tante!!” dia makin histeris.
Gue berdiri, ambil gunting kertas. “Sini...sini, tante aja yang nyunat! Tante nyunatnya merem deh, sini tante gunting secara acak. Apa Achi mau request, mau dibentuk apa anunya?”
Achi kabur, bruk...bruk...bruk, dia lari jumpalitan menghindari gue.
“Hemmm, sini... sini... tante sunatin, nanti tante kasih bonus liburan ke Korea Utara.”
*** 
Sumber gambar: https://rensys.wordpress.com/category/bingkai-border-untuk-undangan-dan-piagam/.




0 komentar:

Posting Komentar

KHITAN