Sudah tiga kali
Parman tidak ikut kenduri, entah sebab apa. Padahal waktu meninggalnya mbah
Darso Selasa Kliwon pekan lalu, Parman ikut memakamkannya, tapi entah mengapa
dia tak datang waktu kenduri di malam pertama dan ketiganya. Ini aneh. Parman tidak
sakit atau pun punya hajat lain.
Biasanya, aku
dan Parman selalu berangkat kenduri bersama, karena rumah kami bersebelahan dan
kami cukup dekat sebagai tetangga. Tapi waktu aku menghampirinya untuk
berangkat kenduri, ia mengatakan, “Duluan saja Kang.” Awalnya aku berpikir
mungkin Parman belum bersiap-siap, jadi ia menyuruhku berangkat lebih dulu agar
tak merepotkan. Tapi di tempat hajatan tak kulihat juga batang hidungnya. Yang
kedua pun ia masih menjawab dengan kalimat yang sama. Aku hanya mengernyitkan
dahi, Parman tidak kelihatan sibuk, namun ia tidak bersegera dandan, memakai
sarung dan peci hitamnya, ia justru bersantai mengembangkan cakap bersama
istrinya.
Persis hari
kemarin, anaknya punya kenduri, ia pun tak berencana datang. Sempat kudengar ia
cakap dengan anaknya, “Kendurimu itu untuk apa? Keyakinan kita tidak pernah
mengajarkan hal itu. Jangan bid’ah kamu! Belum lagi, makanan yang kau pesankan
untuk kenduri itu apa halal? Kamu tidak tahu apakah ayam itu dipotong dengan
menyebut nama Tuhan atau tidak. Apa kamu mau memberi makan Bapakmu ini dengan
makanan haram?”
Suasana
hening, tak terdengar sedikit pun balasan kata dari mulut anaknya. Tak lama
kemudian, terlihat anaknya keluar rumah dengan buru-buru, raut mukanya masam. Aku
bertemu dengannya tepat ketika dia keluar dari mulut pintu. Karena mengenalnya
aku pun tersenyum menyapa, ia membalasnya, singkat sekali dan terlihat agak
dipaksakan. Lalu ia buru-buru memalingkan wajahnya dan pergi.
Aku
sebenarnya tidak ingin mengusik masalah ini, tapi entah mengapa ucapan Parman
terhadap anaknya tak mau hilang dari pikiranku. Aku jadi ikut-ikutan larut
memikirkan soal kenduri. Selama ini, yang aku tahu kita datang ke kenduri orang
lain itu kan untuk menghargai yang punya hajat, karena kita tidak hidup
sendiri. Aku pun jika mengadakan kenduri niatnya semata-mata karena ingin
berbagi rezeki, karena dalam rezeki kita itu ada rezeki orang lain. Bukankah
dulu Parman juga begitu?
Bukan hanya
soal tidak mau datang kenduri, tapi soal makanannya juga. Setiap kali ia tak
datang ke hajatan tetangga, aku pasti kebagian tugas dititipi berkat untuk
Parman, karena aku tetangganya yang paling dekat. Parman selalu mengucapkan
terima kasih setiap menerima bingkisan makanan itu. Tapi yang aku tidak habis
pikir, keesokan harinya pasti kulihat kucing Parman lahap memakan ayam yang
olahannya persis seperti ayam yang aku dapat dari kenduri. Eh, eh, ini kucing
Parman yang semakin liar atau Parman yang semakin baik hingga memberikan ayam
kenduri itu untuk kucingnya. Padahal dia makan pakai lauk saja belum tentu
sebulan sekali. Bukan merendahkan, tapi sebagai sesama melarat aku ini mengenalnya
dengan baik.
Lalu jika
dikaitkan dengan ucapan Parman pada anaknya kala itu, aku yakin pasti keengganan
Parman selama ini salah satu alasannya dikarenakan apakah ayam yang diberikan
itu disembelih dengan menyebut nama Tuhan atau tidak. Ah, Parman ini ada-ada
saja. Orang miskin kok berpikiran sejauh itu, kita dapat rezeki nasi saja
alhamdulillah, apalagi ayam. Toh, selama kita memakannya pakai bismillah kan
urusan berkah tidak berkah atau halal tidak halal itu jadi urusan penyembelih
dengan Tuhan. Dosanya bukan tanggungan kita. Ya, kupikir begitu. Jadi tak perlu
lah kita menggantikan tugas malaikat untuk mengatur timbangan.
Aku pun sebenarnya
demikian, tak mau menggantikan tugas malaikat dengan menimbang sikap Parman
akhir-akhir ini. Tapi ada satu hal yang menjadi keresahanku. Aku baru saja
dapat rezeki nomplok. Sawahku satu-satunya sudah lama tandus, tak bisa ditanami
padi atau pun tanaman lain. Tanah itu sudah coba kujual pada orang-orang tapi
tak ada yang mau. Tapi belum lama ini ada konglomerat mendatangiku, mau membeli
sawahku. Katanya mau dibikin mol, mal, mul, ah entah apa itu namanya. Katanya
itu semacam pasar modern, isinya orang-orang kaya, yang jual dan yang beli hanya
orang-orang kaya. Makanya orang miskin seperti aku namanya saja tidak tahu.
Biarlah, aku juga tidak peduli. Pokoknya selama aku dapat uang banyak, aku “iya-iya”
saja, nanti tinggal disedekahkan sedikit aku sudah bisa memiliki uang itu
sepenuhnya, tidak ada hak orang lain lagi. Lalu aku bisa membeli sawah lagi, lebih
kecil pun tak masalah, asal bisa ditanami.
Makanya kali
ini aku mau bikin kenduri, syukuran atas tanahku yang telah terjual. Yang
menjadi kebingunganku adalah Parman itu tetanggaku, teman dekatku, ia juga tak
jarang memberiku sayuran hasil petiknya untuk dimasak, masak aku punya kenduri dia
tidak ikut merasakan?
Soal
keyakinannya itu, aku sebenarnya lebih suka dengan Parman yang dulu, Parman
yang melarat dan tidak banyak syarat. Sekarang sudah berbeda, soal kenduri saja
harus begini harus begitu. Tapi Parman tetap sahabatku, bagaimana pun aku ingin
membantunya, biar pun hanya memberi sesuap lauk.
Pagi sekali,
aku datang ke rumahnya. Mumpung ia belum ke sawah, aku ingin menemuinya.
“Man...,”
sapaku dari luar pintu.
“Iya Kang,
mari masuk.” Ia menyilakan aku untuk duduk. “Ada apa Kang? Tumben pagi sekali
Kang Sardi datang kemari.”
“Iya, begini
Man. Hari ini aku mau mengadakan kenduri, kalau kamu longgar aku mau minta
tolong untuk menyembelih ayam, karena jumlahnya lumayan banyak, ada delapan
ekor. Aku sudah membelinya. Sekarang tinggal disembelih saja. Itu juga kalau
kamu tidak repot.”
Parman agak
tersentak. Aku sudah memperkirakan. Ini bukan karena aku minta tolong padanya,
tapi ia pasti kaget karena aku kenduri pakai ayam, bukan telur suwir seperti
biasanya.
“Wah, ada
rezeki banyak ya Kang?” katanya sambil diikuti senyum.
Aku tertawa
sebentar. “Iya, alhamdulillah Man.”
“Kok tidak pesan
yang jadi saja di warung Mbok Dharmi Kang, seperti tetangga-tetangga yang lain,”
ucapnya lagi masih diikuti senyum.
“Ah, nanti
mahal. Beli yang hidup saja, nanti dimasak sendiri biar hemat,” kelakarku. “Jadi
bagaimana?”
Senyumnya
memudar, dahinya terlihat agak mengkerut ketika hendak menjawab pertanyaanku.
Aku tidak menyela waktunya, membiarkan ia mempertimbangkan masak-masak karena
mungkin ini menyangkut keyakinan yang akhir-akhir ini diagungkannya.
“Baiklah
Kang.”
Sekarang, aku
yang kaget. Wah, ini berita bagus, berarti kemungkinan besar ia akan datang
pada kenduriku juga karena ia sendiri yang menyembelih ayamnya.
“Makasih Man.
Kalau begitu ajaklah sekalian istrimu kalau tidak repot, agar istriku ada
teman.”
“Baik Kang.”
***
Aku memberikan
pisau paling tajam yang aku punya pada Parman. Pinggirannya putih mengkilap
memberikan kilau tajam, pisau baja memang yang paling baik. Sekali iris saja
pasti ayam langsung mati.
Aku memegangi
ayam itu satu per satu, kucekal bagian pangkal sayap dan kakinya agar tidak
kabur, lalu Parman segera menyembelihnya, dan benar ia menggunakan bismillah.
Jujur aku baru tahu, sebab aku tak pernah menyembelih ayam, beli ayam hidup
saja baru kali ini. Kalau yang biasanya kan ayam kenduri, aku tidak tahu proses
menyembelihnya, pokoknya terima jadi saja, yang penting bisa merasakan makan enak,
ayam gratis.
Satu per satu
ayam disembelih, para istri pun segera merendam ayam-ayam itu ke dalam air
panas lalu membubuti bulunya. Tugas menyembelih selesai, tinggal pekerjaan
dapur dan beberapa tugas lain seperti menyiapkan tempat dan mengundang
tetangga.
“Makasih ya
Man, kamu sangat membantu sekali.”
“Ah, jangan
begitu Kang. Kita ini kan tetangga.”
“Nanti malam
datang ya, ba’da Isya. Sekalian saja aku undang sekarang, biar nanti langsung
bisa undang tetangga yang lain.”
“Baik Kang.”
Aku tersenyum
lega. Ini adalah berkah yang luar biasa. Pertama, ini pertama kalinya aku
mengadakan kenduri memakai ayam. Kedua, Parman mau membantuku dan ia jelas
mengatakan akan datang. Aku senang karena undanganku kali ini tidak menyinggung
perasaannya, tidak menyinggung keyakinannya, jadi tidak perlu ada perdebatan.
Sore
harinya...
“Semua sudah
siap Kang, tinggal sampean undang tetangga-tetangga. Nanti biar aku siapkan berkatnya
di meja,” ucap istriku.
“Aku juga tak
pamit pulang dulu Kang Di, nanti keburu suamiku pulang dari sawah, tidak ada
yang menyiapkan air hangat,” ujar Marni menyela.
“Lhoh, Yu Marni
kok buru-buru. Tidak makan dulu?” kataku.
“Sudah. Ini
malah dibawain nasi juga sama istrimu. Duh, kok malah aku yang jadi merepotkan.”
“Ah, tidak
Yu. Justru aku berterima kasih,” istriku menimpali.
“Halah, ndak usah dipikir. Namanya juga sama
tetangga, jadi harus saling bantu. Ya wis,
aku pamit pulang dulu ya?”
Marni
bergegas pulang. Istriku pun langsung menyiapkan berkat kendurinya di meja. Aku
juga segera keluar mengundang tetangga untuk datang ke hajatan. Satu rumah dua
rumah, kumasuki. Tiba-tiba waktu aku sampai di rumah Pak RT aku bertemu istriku
di jalan.
“Lhoh, Nah,
darimana kamu?” tanyaku lumayan heran.
“Dari Mbok
Dharmi, sudah sampean lanjutkan saja.”
***
Adzan sudah
berkumandang sejak dua puluh menit yang lalu. Jamaah masjid pun sudah pulang ke
rumah masing-masing. Tetangga-tetangga mulai berdatangan menghadiri kenduriku.
Aku sudah berdandan necis dan siap menyambut mereka di muka pintu.
Semua
tetangga sudah datang dan berkumpul di dalam rumah, Pak Modin juga sudah hadir.
Parman, ia juga hadir, sesuai ucapannya. Kenduri sudah bisa dimulai. Pak Modin segera
membuka acara dengan doa-doa, kami mengamini.
Lalu tiba
pada pembagian berkat. Semua orang mengambil berkat satu-satu. Suasana riuh
sejenak pada saat itu, lalu muncul bisik-bisik “Lhoh, aku belum kebagian. Berkatnya
habis.”
Kutelusuri
arah suara itu, ternyata Kang Peno tidak kebagian jatah. Tiba-tiba Parman
menyerahkan berkatnya untuk Kang Peno. Awalnya ditolak, tapi Kang Parman bertutur
setengah berkelakar.
“Sudah bawa
saja, toh aku besok bisa ke sini minta makan. Kami kan tetangga dekat,” katanya
sambil memberikan berkat.
Kang Peno menerimanya
dengan sungkan, pasti tak enak menolak permintaan orang yang lebih tua.
Selesainya, kenduri pun bubar, orang-orang berhamburan pamit pulang. Aku
sengaja tidak memandangi Parman agar ia pamit belakangan. Jadi tiap ia
menyodorkan tangannya untuk bersalaman, aku pura-pura tidak melihat. Setelah sepi
barulah aku bicara padanya.
“Tunggu
sebentar Man.” Aku bergegas ke belakang. Suasana dapur sepi, tampaknya istriku
sedang mandi. Aku mencari-cari siapa tahu ada yang bisa dibawakan untuk
mengganti berkat Parman. Lalu kulihat masih ada satu berkat di dalam tudung
saji. Lhoh, ternyata berkatnya tidak
kurang, tapi tertinggal di sini. Ah, bagaimana istriku bisa ceroboh
menyiapkannya, begitu ujarku dalam hati. Aku pun bergegas mengambilnya lalu
memberikan pada Parman. “Maaf ya Man, ternyata yang satu ketinggalan di dapur.
Aku ceroboh juga tadi tidak menghitungnya terlebih dahulu.
“Oooh, begitu
Kang. Wah, ya terima kasih ini.”
“Aku yang
harusnya berterima kasih Man, sudah kamu bantu.”
“Sama-sama
Kang. Ya sudah aku pamit dulu.”
Beberapa saat
kemudian, istriku keluar dari kamar mandi.
“Sudah pulang
semua tamunya Kang?”
“Sudah.”
“Kalau begitu
ayo ke rumah Bu Salim.”
“Lhoh, ada perlu
apa kok mengajak ke sana?”
“Dulu waktu
Bu Salim syukuran Haji kita diberi berkat, masak sekarang kita ada hajat kita
tidak ganti memberi. Berkatnya sudah aku siapkan di meja, tadi ayamnya aku
belikan di Mbok Dharmi. Untung saja tadi sore aku ingat.”
“Lhoh, jadi
ayam yang di berkat itu beli dari Mbok Dharmi? Bukan ayam yang kita sembelih
tadi pagi?”
“Ya, bukan. Wong
ayam goreng yang aku sisihkan tadi dimakan kucing semua.”
***
(Gambar diambil dari: http://sumberpost.com/feature-kenduri-blang/ )
hiks, :(
BalasHapusSedih karena ayamnya dimakan kucing yaa?
BalasHapus