Titan
lagi capek. Capek fisik, capek hati, capek pikiran. Ia memutuskan untuk hotspotan
di kampus. Titan yang paling suka sama pohon pun memilih hotspotan di fakultas
pertanian yang memang terkenal sama hutan buatannya. Meski Titan sudah mengerti
kalau malam hari pohon akan mengeluarkan zat karbondioksida yang buruk untuk
kesehatan, ia tidak peduli. Pikirannya sungguh sedang kacau kala itu, ia ingin
mencari angin untuk meringankan beban di kepalanya. Titan juga sengaja memilih
tempat di luar fakultasnya agar kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang ia
kenal sangat kecil.
Langit
sedang bagus, banyak bintang yang mendiami angkasa tanpa batas itu, semua
tampak seperti titik-titik kecil dengan ukuran yang hampir sama. Hati Titan
serasa melihat satu lagi kebesaran Tuhan. Hatinya menjadi sedikit lega. Entah
mengapa Titan begitu murung malam itu. Ia tiba-tiba saja berubah menjadi
sedikit pemarah sejak membaca pesan terakhir yang masuk ke ponselnya.
Dari
Hangga.
“Kenapa
sih nggak pernah bisa meluangkan waktu buat denger curhatanku sebentar? Aku kan
masih pacarnya.” Gerutu Titan kesal. Sebelumnya Titan selalu berusaha agar
tidak egois, tapi kenyataan membuatnya sadar kalau ia hanyalah perempuan pada
umumnya. Jauh di lubuk hatinya, ia merindukan perhatian yang dulu sering ia
dapatkan dari Hangga – meski ia berusaha menekan perasaan itu.
Titan
hanya memainkan laptopnya, memainkan kursornya kesana-kemari tanpa tujuan yang
jelas. Beberapa orang yang datang ke tempat itu memandangi Titan dengan tatapan
penuh tanya. Titan cuek. Ia memang sengaja membawa banyak buku dan barang untuk
diletakkan di mejanya. Ia sengaja membuat tempat itu berserakan agar orang yang
datang tidak minat untuk duduk di dekatnya. Titan tetap cuek, ia masih
memainkan kursornya dan memutar musik dari laptopnya.
“Mejanya
mau dikasih stempel hak milik nih?” ujar seseorang yang berhasil membuat Titan
kaget.
Titan
menoleh. Owh God, Bagas. Titan masih
bisa mengenali wajahnya meski agak samar karena malam hari. Titan diam memaku.
“Aku
duduk sini ya?” ujar Bagas lagi.
Titan
masih diam, ia memberesi bukunya, namun masih membiarkan beberapa berantakan
agar tidak semakin banyak orang yang memaksa untuk duduk ditempat itu – ia
masih lupa kalau itu tempat umum.
Mereka
tidak berbicara beberapa saat.
“Sering
kesini?” Titan mulai bicara.
“Enggak.
Baru ini.”
Perasaan
Titan tersentak. Sama, pikirnya.
“Kenapa
nggak hotspotan di gedung kuliah kita aja? Disana pasti banyak anak-anak.”
Tanya Titan lagi.
“Lagi
males ketemu sama anak-anak. Kalau di sini kan ketemunya sama orang asing.”
Glekk. Kok bisa samaan lagi gini ya, ujar Titan dalam hati.
“Tapi
di sini malah ketemu sama kamu. Jadinya sama aja dong, hehe ” Bagas
melanjutkan.
Titan
hanya diam, ia sedang berperang dengan hatinya. Kehadiran Bagas yang seperti
ini lah yang sudah mengganggu pikirannya. Sebuah kebetulan yang terlalu sering
datang, itu bukan kebetulan lagi, mungkin takdir. Titan tidak tahu. Pikirannya
mengambang. Tapi mengapa Bagas? Sedangkan di belahan bumi lain ada seorang pria
yang masih menggantung di hati Titan.
“Hoey...
Bengong aja dari tadi. Kamu jauh-jauh dari kosan ke kampus buat bengong doang?”
tanya Bagas.
Titan
hanya menghela nafas. “Lagi penat, males buat ngapa-ngapain,” jawab Titan
males-malesan.
Bagas
memandang wajah Titan yang tampak seperti siluet. Entah mengapa jantungnya
berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Pandangan matanya menatap dalam kepada
dua bola mata Titan yang hitam. Bagas
seperti terpaku pada sesuatu yang tidak terlihat, entah apa, mereka telah
bertemu untuk yang kesekian kalinya namun sebelumnya Bagas tidak pernah merasa
seperti ini.
“Hoey..
kok jadi kamu yang bengong!!” Sentak Titan.
Sekejap
Bagas membuyarkan lamunannya.
“Jalan
yuk? Cari angin,” ajak Bagas tiba-tiba.
Mata
Titan meredup, ia kembali teringat pada Hangga. Seharusnya Hangga lah yang
lebih sering membuatnya terhibur, bukan orang lain. Hangga yang entah mengapa
selalu bilang sibuk membuat perasaan Titan sedikit berbubah.
“Tan?”
Bagas bertanya lagi. “Yah, bengong lagi ni anak. Ya udah deh, orang bengong
kalau sama orang bengong jadi bahaya kalau jalan bareng. Ya udah kita di sini
aja.”
Ujung-ujungnya
mereka nggak jadi pergi.
“And here we are...” Titan berujar
sekenanya.
Karena
tidak jadi pergi, Bagas membenarkan duduknya, mencari posisi yang enak. Dan
seperti laki-laki pada umumnya, ia memainkan game DOTA. Ia main seru sekali.
Titan yang baru kali ini melihat secara langsung gimana cowok pas main Dota pun
langsung berpikir kalau cowok itu adalah makhluk yang paling amazing kalau masalah game.
Titan
sendiri paling benci dengan permainan Dota sialan dan terkutuk itu. Titan sudah
terlalu sering menemui teman-teman lelakinya yang lebih milih main Dota
ketimbang jalan sama ceweknya, hingga
ujung-ujungnya mereka diputusin ceweknya. Dan ketika mereka putus, pihak
cowok selalu mengatakan, “Gue nggak tahu
kenapa gue diputusin. Gue curiga jangan-jangan cewek gue punya cowok idaman
lain.” Sementara itu, nasib pihak cewek yang sudah lepas dari maniak Dota
yang satu akan jatuh ke dalam pelukan maniak Dota yang lain, sehingga ia akan
mengalami nasib yang sama seterusnya dan seterusnya.
“Cowok
itu kayak orang sakit ya?” ujar Titan heran.
“Kok
bisa?” jawab Bagas agak lama, ia masih fokus pada game-nya.
“Iya,
mereka selalu maen Dota tiga kali sehari, udah kayak minum obat aja tau nggak?”
Bagas
tertawa. “Aku sih maennya setiap ada sela, nggak tau deh berapa kali. Tapi
kadang sekali doang sih, tapi seharian.”
“Wah,
parah lo,” Titan geleng-geleng. Sejenak Titan lupa akan penat yang sebelumnya
ia rasakan. “Eh, tau nggak sih aku pernah denger berita, kalau tempo dulu itu
pernah ada seorang istri yang terpaksa jual suaminya gara-gara suaminya
keseringan nge-game.”
“Serius?
Dimana tuh?”
“Di
luar negeri, aku lupa dimana. Ati-ati lo ntar,” Titan menakut-nakuti.
Bagas
tersenyum simpul. “Tenang aja, nanti kalau aku udah nikah, istriku mau tak ajak
main Dota juga kok. Lebih seru kalau ada temennya.”
Krik...krik...krik...Titan
speechless.
“Eh,
mau coba main?” ajak Bagas.
“Enggak,
makasih. Nanti kekalemanku ilang.”
Bagas
tidak tahan untuk tidak tertawa. Bagaimana tidak, Titan yang nggak mirip
perempuan sama sekali baru saja mengatakan kalau dirinya punya sisi kalem.
Titan
manyun-manyun. “Eh, serius ya, aku itu kalem. Kalau nggak percaya coba deh
tanya sama aku.” Titan membela diri.
Bagas
ketawa makin kenceng, kata-kata Titan udah bikin Bagas geli dan nggak konsen
sama mainannya sampai-sampai dia kalah. Suasana menjadi tidak kaku lagi.
Titan
dan Bagas membicarakan banyak hal malam itu. Keheningan malam tak menyurutkan
semangat mereka untuk berbagi kisah, tentang apapun. Titan kembali lagi
mengeluarkan senyum cerianya yang lama tersembunyi di balik bibirnya.
“Eh,
Tan, doyan ini nggak?” Bagas mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Ah, aku nggak
tahu ini namanya apa,” ujar Bagas sambil menyodorkan makanan pada Titan.
“Apaan
nih? Es krim?”
“Bukan.
Ini jeruk.”
Titan
memandang aneh makanan itu, bentuknya seperti bubur tapi Bagas bilang itu
jeruk, Titan jadi ragu.
“Ini
jeruk, tapi aku campur dengan whipped
cream,” lanjut Bagas.
“Hah?”
Titan terkejut, nggak banyak cowok yang
mau bawa makanan kemana-mana, apalagi Bagas kan macho banget, tapi kok dia bawa
makanan kayak gini ya, tanya Titan dalam hati. “Ini kayak desert.” Titan
tampak masih mengamati bentuknya yang susah untuk digolongkan jenisnya. “Kamu
suka jeruk?”
“Suka.”
Wuaaaaah, samaaaaa... jerit Titan
dalam hati. Titan senang sekali, jadi dia punya sekutu baru yang sama-sama
menggemari jeruk.
“Cobain...”
Bagas memberikan sendoknya.
“Wah,
aman nggak nih? Aku belum diasuransikan loh?” Titan yang sebenarnya udah pengeeen
banget nyobain, tapi ia sengaja basa-basi dulu biar keliatan wajar.
“Aman.
Udah banyak yang nyobain dan nggak ngefek gimana-gimana kok, paling mentok
gatel-gatel.”
Titan
nyengir.
“Udah
deh cobain dulu, sebelum aku habisin nih.” Bagas mengambil sepotong jeruk
berlapis krim lembut dan menyuapkannya ke mulut Titan.
Titan
berontak, bahkan teriak-teriak. Tapi ketika orange
cream itu menyentuh bibirnya dan nggak sengaja terjilat, ekspresi Titan
sekejap berubah. “Enaaaaak,” raut wajah Titan sekejap menjadi sumringah sekali.
Ia langsung mengambil paksa makanan itu dari tangan Bagas. “Buat aku aja ya,
kamu kan bisa bikin lagi,” ujar Titan enteng banget sambil melahap orange cream itu dengan cepat.
“Yeee..tadi
nggak mau,” desis Bagas.
“Nambah
boleh nggak?” Titan menyunggingkan senyum paling manis yang ia punya, tapi
sungguh senyum itu terlihat menjijikkan sekali. Bagas langsung diem, pura-pura
nggak denger.
Bagas,
cowok yang lumayan cakep nan kekar ini entah mengapa semakin lama semakin
kelihatan menarik di mata Titan. Di mata Titan, ia lebih tampak seperti cowok
yang karismatik ketimbang cowok cakep. Tadinya Titan berpikir ia mungkin udah
nggak bisa jatuh cinta karena sudah ada Hangga, tapi nyatanya ia salah. Titan
sadar betul akan apa yang ia rasakan, ia mungkin telah jatuh cinta. Dan
sekarang Titan galau tingkat dewa. Salah sendiri juga nggak bakat jadi playgirl.
***
Pikiran
Titan sedang kacau, Bagas yang belum lama dikenal, udah berani nyelip-nyelip
aja gitu di hati orang. Hangga? Kenapa ia nggak ada di saat hati Titan mulai
berpaling? Titan sendiri, kenapa harus jatuh cinta lagi? Kenapa harus ketemu
Hangga dan Bagas? Apa ini yang namanya
jatuh cinta gelombang kedua ya? Pikiran Titan mulai aneh-aneh. Memang benar
yang Einstein bilang, hukum gravitasi itu tidak bertanggung jawab atas
orang-orang yang jatuh cinta – dan Titan benci teori itu.
Bagas
yang sebenarnya biasa saja pada mulanya, entah mengapa semakin lama semakin
perhatian sama Titan. Bagas sering bawain Titan orange cream yang disukai Titan dan nggak malu meski diledekin
teman-teman sekelasnya karena itu. Bagas sering nemenin Titan pas pulang kuliah
naik sepeda. Jadi Titan naik sepeda, Bagas naik motor gede, mereka berjalan
beriringan, dan Bagas selalu sabar setiap nungguin Titan yang ngayuhnya lama banget
pas ketemu tanjakan. Kalau dilihat dari jauh, peristiwa ini memang agak aneh,
dan setiap orang yang melihatnya pasti berpikir, “Kenapa sih ceweknya nggak
diboncengin aja?”. Mereka nggak tahu, Titan nggak pernah mau ninggalin
sepedanya, karena sepeda itu Titan banget. Bagas yang emang nggak mungkin bawa
sepeda ontel karena rumahnya jauh dari kampus pun cuma bisa nemenin Titan pakai
motor gedenya.
Bagas
juga sering main ke kos Titan. Teman-teman kos Titan yang dulu mengira Bagas
adalah maling yang suka ngincer barangnya anak-anak kosan kini nggak curiga
lagi setelah tahu kalau ia adalah calon pacarnya Titan. Bahkan mereka seneng
banget kalau Bagas lagi main, karena Bagas enak banget kalau dimintain tolong
buat gantiin lampu yang mati, benerin kran kamar mandi yang lagi rusak, selain
itu, Bagas adalah tempat yang paling gratis untuk servis barang-barang
elektronik. Kehadiran Bagas yang semakin sering di kosan, spontan membuat
anak-anak kos lain iri, termasuk Stella yang pacarnya lebih ganteng dan tajir.
Secara Bagas perhatian banget, Titan kena pilek aja Bagas paniknya minta ampun.
Anak-anak kos yang udah kenal Bagas pun jadi nyumpahin Titan, kalau sampai ia
nyakitin Bagas, Titan bakal dijual. Titan speechless.
Titan
beruntung sekali ketemu sama Bagas. Titan juga nggak tahu kenapa Bagas bisa loveable banget. Bagas baik sebenernya
juga bukan karena sedang mendekati Titan, dia memang dia baik dari sananya.
Buat dia, berbuat baik itu nggak boleh pilih-pilih.
Kedekatan
Titan dengan Bagas yang udah nggak wajar kalau dibilang hanya sekadar teman ini
pun tampaknya sudah membawa Titan pada tingkat depresi yang paling tinggi
hingga akhirnya ia tidak tahan. Namun Titan tahu pasti, ia tidak boleh egois.
Ia tidak bisa menempatkan Bagas di tengah-tengah hubungan mereka yang tengah
renggang.
Titan
merenungkan hal ini sudah cukup lama. Ia mungkin menyimpan perasaan untuk
Bagas, namun ia tak memungkiri kalau ia juga menyayangi Hangga, lelaki yang
pernah juga membuat kisah-kisah manis bersamanya – meski kini tidak lagi.
Titan
memutar ponselnya, ia sedang ragu apakah ia akan nekat menelfon Hangga untuk
meminta kejelasan statusnya atau mengurungkan niat itu dan menghapus segala
keraguan tentang Hangga yang ada di hatinya.
“Eeeerghh!!”
Titan bersuara kesal. Ia mengacak-acak rambutnya hingga kelihatan seperti perempuan rimba yang
lusuh. Mukanya sudah tidak enak dilihat lagi, apalagi hatinya, jangan ditanya
lagi, pasti sangat berantakan. Ia kembali melihat ponselnya, perasaannya masih
bimbang tapi ia memaksakan dirinya untuk menghubungi Hangga.
Tut...tut..tut...Halo? Iya sayang ada
apa?
Titan
terdiam. Mulutnya serasa terkunci oleh sesuatu yang tidak telihat. Ia diam agak
lama...Jantungnya berdegup kencang. Perasaannya makin berantakan mendengar
suara Hangga yang begitu lembut terhadapnya. Berulang kali Titan menghembuskan
nafas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri. Namun, jauh di dalam hatinya
ada satu tekad yang sudah terbentuk, kali ini Titan harus benar-benar bicara.
Sayang? Kamu nggak apa-apa?
Dheg. Hati Titan bergetar lagi. Suara
Hangga yang sangat peduli kembali menyelimuti dirinya. Titan memejamkan
matanya, membulatkan tekad yang ada dalam dirinya, meyakinkan kembali dirinya
bahwa ia tidak dapat seterusnya seperti ini. Pada akhirnya, Titan
“Hangga...a...ku...aku...nggak...bisa...
ngelanjutin hubungan kita, maaf...” ujar Titan dengan nada berat, hati dan
tenggorokannya sepertinya sama-sama enggan mengucapkan hal itu. Namun Titan
sudah bulat. Ia harus tegas, bahkan dengan dirinya sendiri. Hangga memang baik
dan sempurna, hanya saja kedua hal itu tak lagi tampak karena jarak yang sangat
jauh. Titan tak sanggup lagi menyimpan kerinduan yang semakin lama semakin
membesar namun tak pernah mendapat tempat yang semestinya. Titan berharap
hatinya bebas dan tidak lagi dirisaukan oleh kerinduan-kerinduan yang tidak
jelas akhirnya. Dan keputusan ini, sudah Titan pertimbangkan. Ia yakin, kalau
putusan ini juga yang terbaik untuk Hangga. Titan mengenal Hangga dengan baik,
dia pria yang amat baik dan rupawan, ia sangat mudah dicintai, jadi pastilah ia
akan sangat mudah mendapatkan pengganti. Titan berharap Hangga mendapatkan yang
lebih baik, karena ia memang patut, juga karena Titan tak lagi pantas. Mungkin
ia telah menyadari bahwa sebagian rasa
setianya telah ingkar.
Hangga
terdiam, matanya memerah, sejujurnya ia tak tahu apa yang sedang menimpanya,
hatinya tiba-tiba susah untuk merasakan sesuatu dan ia sendiri tidak tahu
mengapa dan harus bagaimana. Hangga sedang berada dalam kondisi yang tidak
mungkin menuntut, meski jauh di dalam hatinya ia sangat menyayangi Titan.
Proyek yang sedang ditangani Hangga di luar Jawa memang telah menyita sebagian
besar waktunya, bahkan Hangga pun hampir tak punya waktu untuk dirinya sendiri.
Setiap hari harus kerja dan lembur.
Titan
juga masih terdiam, matanya berair, tapi ia berusaha menahannya. Ia tidak ingin
Hangga mengetahuinya. Ia tahu pasti, Hangga tidak akan membiarkan Titan
menangis, kalau sampai Hangga tahu pasti ia tidak akan pernah mau menerima
putusan itu. Titan terdiam lama, pikirannya entah mengapa melayang pada
bayang-bayang kebersamaan dia dengan Hangga, masa-masa indah yang telah mereka
bentuk berdua – anehnya, tak terbesit sedikitpun wajah Bagas ketika itu.
Hati
Titan terasa sesak. Tadinya Titan berpikir mungkin karena keberadaan Bagas,
perasaan Titan terhadap Hangga jadi berubah. Namun, ia sangat sadar kalau Bagas
sama sekali tidak bersalah. Bagas tidak tahu apa pun. Titan merasa dirinya
sudah berbuat sangat jahat sekali karena telah membohongi kedua pria baik yang
selama ini tulus menjaga hatinya. Hangga begitu baik, Bagas juga, namun apa
yang telah Titan lakukan terhadap mereka, Titan sungguh menyesal hingga
perasaannya tak karuan.
Jelas
hati Titan tak lagi sama, karena ia telah kehilangan sebagian hatinya yang
sebelumnya telah lekat. Di satu sisi, Titan memang sudah tak mampu membuat
keadaan mereka berdua menjadi lebih baik. Titan berperang dengan dirinya
sendiri.
Keduanya
masih sama-sama terdiam, hingga akhirnya Titan tidak tahan dan memutuskan
sambungan telfonnya. Tangannya bergetar.
“Maafkan
aku Ngga...maaf...ma...aff...” ujar Titan lirih, sambil memegangi telfon
genggam itu di dadanya. Air matanya mengalir makin deras. Kini mau tidak mau
lembaran baru harus ia ambil dan ia isi, entah dengan apa.
Sejak
saat itu, entah mengapa Titan menjadi sedikit berbeda. Ia juga sedikit menjaga jarak dengan Bagas. Titan menjadi
sensitif dan rentan galau. Dewi dan Stella pun ikutan kawatir, tapi Titan nggak
pernah mau mengaku. Selama ini memang Titan tidak pernah mengungkapkan tentang
Hangga, jadi yang ditahu orang-orang – termasuk Bagas, Titan “single”.
Dewi
yang tidak tahan melihat Titan yang hampir seperti anak kekurangan gizi pun
nggak sabar buat menginterogasi, “Titan, serius, kamu tu kenapa sih? Kamu
kelihatan berantakan banget sejak beberapa minggu yang lalu. Coba deh cerita
ada masalah apa? Seenggaknya itu bikin beban kamu jadi sedikit lebih ringan.”
Titan
hanya diam, mimik wajahnya masih belum berubah dan masih berantakan. “Kayaknya
aku kena malnutrisi deh, jadinya nggak bisa senyum.” Jawab Titan bohong.
“Tu
kan, sempet-sempetnya...” Dewi menghela nafas. “Ya udah deh, kalau kamu emang
nggak mau cerita. Tapi kalau kamu butuh temen...aku ada di sini...”
Hati
Titan tersentak, terharu. Ia memang beruntung sekali telah dianugerahi sahabat
sebaik Dewi dan Stella.
“Tan,
sekarang dengerin aku, orang yang bersama kamu saat ini, itu nggak akan jadi
satu-satunya orang dalam kehidupan kamu. Jadi kamu nggak boleh stuck, karena masih banyak hal yang
harus kamu lakukan, masih banyak hal yang harus kamu perjuangkan. Dan
kebahagiaan kamu itu nggak berhenti di sini,” lanjut Dewi.
Dewi
emang ngerti banget luar dalamnya Titan. Dia sudah seperti cenayang yang tau
apa saja yang Titan rasain.
Dengan
muka yang masih sedikit lesu, Titan memeluk Dewi sangat erat. “Makasih ya,
Dew...”
“Lo
itu udah jelek, jadi jangan cemberut, orang jelek kalo cemberut jadinya jelek
banget tau nggak? Lo nggak kasian sama orang-orang yang lihat muka lo...” Dewi
menggoda Titan.
Mendengar
Dewi mencibirnya, ia justru terkikik dan lupa sejenak akan masalahnya. Dewi itu
sudah mirip kayak obat penenang buat Titan. Titan selalu menyukai Dewi yang
selalu menawarkan persahabatan yang tulus kepadanya. Titan jadi berjanji pada
dirinya sendiri, ia harus bahagia. Namun, ia masih menjaga jarak dengan Bagas
hingga beberapa bulan. Titan nggak mau orang sebaik Bagas disangka jadi orang
ketiga atas kandasnya hubungan Titan dan Hangga.
Bagas
yang memang tidak tahu apa-apa jadi ikutan bingung karena sikap Titan yang
tiba-tiba aneh terhadapnya. Untungnya Bagas sudah cukup dewasa untuk mengerti
apa yang Titan inginkan. Ruang untuk bernafas sejenak, ruang untuk dirinya
sendiri.
Titan
masih tidak mengatakan apa-apa kepada Bagas, namun Bagas tidak keberatan
sedikitpun, mungkin penjelasan itu memang harus disimpan untuk Titan sendiri
dan tidak bisa dibagi pada orang lain.
***
Gambar diambil dari https://gordonavenue.wordpress.com/2015/01/06/how-to-fall-in-love-two-steps/
0 komentar:
Posting Komentar