Sunshine Story (Chapter 4)




Titan lagi capek. Capek fisik, capek hati, capek pikiran. Ia memutuskan untuk hotspotan di kampus. Titan yang paling suka sama pohon pun memilih hotspotan di fakultas pertanian yang memang terkenal sama hutan buatannya. Meski Titan sudah mengerti kalau malam hari pohon akan mengeluarkan zat karbondioksida yang buruk untuk kesehatan, ia tidak peduli. Pikirannya sungguh sedang kacau kala itu, ia ingin mencari angin untuk meringankan beban di kepalanya. Titan juga sengaja memilih tempat di luar fakultasnya agar kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang ia kenal sangat kecil.
Langit sedang bagus, banyak bintang yang mendiami angkasa tanpa batas itu, semua tampak seperti titik-titik kecil dengan ukuran yang hampir sama. Hati Titan serasa melihat satu lagi kebesaran Tuhan. Hatinya menjadi sedikit lega. Entah mengapa Titan begitu murung malam itu. Ia tiba-tiba saja berubah menjadi sedikit pemarah sejak membaca pesan terakhir yang masuk ke ponselnya.
Dari Hangga.
“Kenapa sih nggak pernah bisa meluangkan waktu buat denger curhatanku sebentar? Aku kan masih pacarnya.” Gerutu Titan kesal. Sebelumnya Titan selalu berusaha agar tidak egois, tapi kenyataan membuatnya sadar kalau ia hanyalah perempuan pada umumnya. Jauh di lubuk hatinya, ia merindukan perhatian yang dulu sering ia dapatkan dari Hangga – meski ia berusaha menekan perasaan itu.
Titan hanya memainkan laptopnya, memainkan kursornya kesana-kemari tanpa tujuan yang jelas. Beberapa orang yang datang ke tempat itu memandangi Titan dengan tatapan penuh tanya. Titan cuek. Ia memang sengaja membawa banyak buku dan barang untuk diletakkan di mejanya. Ia sengaja membuat tempat itu berserakan agar orang yang datang tidak minat untuk duduk di dekatnya. Titan tetap cuek, ia masih memainkan kursornya dan memutar musik dari laptopnya.
“Mejanya mau dikasih stempel hak milik nih?” ujar seseorang yang berhasil membuat Titan kaget.
Titan menoleh. Owh God, Bagas. Titan masih bisa mengenali wajahnya meski agak samar karena malam hari. Titan diam memaku.
“Aku duduk sini ya?” ujar Bagas lagi.
Titan masih diam, ia memberesi bukunya, namun masih membiarkan beberapa berantakan agar tidak semakin banyak orang yang memaksa untuk duduk ditempat itu – ia masih lupa kalau itu tempat umum.
Mereka tidak berbicara beberapa saat.
“Sering kesini?” Titan mulai bicara.
“Enggak. Baru ini.”
Perasaan Titan tersentak. Sama, pikirnya.
“Kenapa nggak hotspotan di gedung kuliah kita aja? Disana pasti banyak anak-anak.” Tanya Titan lagi.
“Lagi males ketemu sama anak-anak. Kalau di sini kan ketemunya sama orang asing.”
Glekk. Kok bisa samaan lagi gini ya, ujar Titan dalam hati.
“Tapi di sini malah ketemu sama kamu. Jadinya sama aja dong, hehe ” Bagas melanjutkan.
Titan hanya diam, ia sedang berperang dengan hatinya. Kehadiran Bagas yang seperti ini lah yang sudah mengganggu pikirannya. Sebuah kebetulan yang terlalu sering datang, itu bukan kebetulan lagi, mungkin takdir. Titan tidak tahu. Pikirannya mengambang. Tapi mengapa Bagas? Sedangkan di belahan bumi lain ada seorang pria yang masih menggantung di hati Titan.
“Hoey... Bengong aja dari tadi. Kamu jauh-jauh dari kosan ke kampus buat bengong doang?” tanya Bagas.
Titan hanya menghela nafas. “Lagi penat, males buat ngapa-ngapain,” jawab Titan males-malesan.
Bagas memandang wajah Titan yang tampak seperti siluet. Entah mengapa jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Pandangan matanya menatap dalam kepada dua bola mata Titan yang hitam. Bagas seperti terpaku pada sesuatu yang tidak terlihat, entah apa, mereka telah bertemu untuk yang kesekian kalinya namun sebelumnya Bagas tidak pernah merasa seperti ini.
“Hoey.. kok jadi kamu yang bengong!!” Sentak Titan.
Sekejap Bagas membuyarkan lamunannya.
“Jalan yuk? Cari angin,” ajak Bagas tiba-tiba.
Mata Titan meredup, ia kembali teringat pada Hangga. Seharusnya Hangga lah yang lebih sering membuatnya terhibur, bukan orang lain. Hangga yang entah mengapa selalu bilang sibuk membuat perasaan Titan sedikit berbubah.
“Tan?” Bagas bertanya lagi. “Yah, bengong lagi ni anak. Ya udah deh, orang bengong kalau sama orang bengong jadi bahaya kalau jalan bareng. Ya udah kita di sini aja.”
Ujung-ujungnya mereka nggak jadi pergi.
And here we are...” Titan berujar sekenanya.
Karena tidak jadi pergi, Bagas membenarkan duduknya, mencari posisi yang enak. Dan seperti laki-laki pada umumnya, ia memainkan game DOTA. Ia main seru sekali. Titan yang baru kali ini melihat secara langsung gimana cowok pas main Dota pun langsung berpikir kalau cowok itu adalah makhluk yang paling amazing kalau masalah game.
Titan sendiri paling benci dengan permainan Dota sialan dan terkutuk itu. Titan sudah terlalu sering menemui teman-teman lelakinya yang lebih milih main Dota ketimbang jalan sama ceweknya, hingga  ujung-ujungnya mereka diputusin ceweknya. Dan ketika mereka putus, pihak cowok selalu mengatakan, “Gue nggak tahu kenapa gue diputusin. Gue curiga jangan-jangan cewek gue punya cowok idaman lain.” Sementara itu, nasib pihak cewek yang sudah lepas dari maniak Dota yang satu akan jatuh ke dalam pelukan maniak Dota yang lain, sehingga ia akan mengalami nasib yang sama seterusnya dan seterusnya.
“Cowok itu kayak orang sakit ya?” ujar Titan heran.
“Kok bisa?” jawab Bagas agak lama, ia masih fokus pada game-nya.
“Iya, mereka selalu maen Dota tiga kali sehari, udah kayak minum obat aja tau nggak?”
Bagas tertawa. “Aku sih maennya setiap ada sela, nggak tau deh berapa kali. Tapi kadang sekali doang sih, tapi seharian.”
“Wah, parah lo,” Titan geleng-geleng. Sejenak Titan lupa akan penat yang sebelumnya ia rasakan. “Eh, tau nggak sih aku pernah denger berita, kalau tempo dulu itu pernah ada seorang istri yang terpaksa jual suaminya gara-gara suaminya keseringan nge-game.”
“Serius? Dimana tuh?”
“Di luar negeri, aku lupa dimana. Ati-ati lo ntar,” Titan menakut-nakuti.
Bagas tersenyum simpul. “Tenang aja, nanti kalau aku udah nikah, istriku mau tak ajak main Dota juga kok. Lebih seru kalau ada temennya.”
Krik...krik...krik...Titan speechless.
“Eh, mau coba main?” ajak Bagas.
“Enggak, makasih. Nanti kekalemanku ilang.”
Bagas tidak tahan untuk tidak tertawa. Bagaimana tidak, Titan yang nggak mirip perempuan sama sekali baru saja mengatakan kalau dirinya punya sisi kalem.
Titan manyun-manyun. “Eh, serius ya, aku itu kalem. Kalau nggak percaya coba deh tanya sama aku.” Titan membela diri.
Bagas ketawa makin kenceng, kata-kata Titan udah bikin Bagas geli dan nggak konsen sama mainannya sampai-sampai dia kalah. Suasana menjadi tidak kaku lagi.
Titan dan Bagas membicarakan banyak hal malam itu. Keheningan malam tak menyurutkan semangat mereka untuk berbagi kisah, tentang apapun. Titan kembali lagi mengeluarkan senyum cerianya yang lama tersembunyi di balik bibirnya.
“Eh, Tan, doyan ini nggak?” Bagas mengeluarkan sesuatu dari tasnya. “Ah, aku nggak tahu ini namanya apa,” ujar Bagas sambil menyodorkan makanan pada Titan.
“Apaan nih? Es krim?”
“Bukan. Ini jeruk.”
Titan memandang aneh makanan itu, bentuknya seperti bubur tapi Bagas bilang itu jeruk, Titan jadi ragu.
“Ini jeruk, tapi aku campur dengan whipped cream,” lanjut Bagas.
“Hah?” Titan terkejut, nggak banyak cowok yang mau bawa makanan kemana-mana, apalagi Bagas kan macho banget, tapi kok dia bawa makanan kayak gini ya, tanya Titan dalam hati. “Ini kayak desert.” Titan tampak masih mengamati bentuknya yang susah untuk digolongkan jenisnya. “Kamu suka jeruk?”
“Suka.”
Wuaaaaah, samaaaaa... jerit Titan dalam hati. Titan senang sekali, jadi dia punya sekutu baru yang sama-sama menggemari jeruk.
“Cobain...” Bagas memberikan sendoknya.
“Wah, aman nggak nih? Aku belum diasuransikan loh?” Titan yang sebenarnya udah pengeeen banget nyobain, tapi ia sengaja basa-basi dulu biar keliatan wajar.
“Aman. Udah banyak yang nyobain dan nggak ngefek gimana-gimana kok, paling mentok gatel-gatel.”
Titan nyengir.
“Udah deh cobain dulu, sebelum aku habisin nih.” Bagas mengambil sepotong jeruk berlapis krim lembut dan menyuapkannya ke mulut Titan.
Titan berontak, bahkan teriak-teriak. Tapi ketika orange cream itu menyentuh bibirnya dan nggak sengaja terjilat, ekspresi Titan sekejap berubah. “Enaaaaak,” raut wajah Titan sekejap menjadi sumringah sekali. Ia langsung mengambil paksa makanan itu dari tangan Bagas. “Buat aku aja ya, kamu kan bisa bikin lagi,” ujar Titan enteng banget sambil melahap orange cream itu dengan cepat.
“Yeee..tadi nggak mau,” desis Bagas.
“Nambah boleh nggak?” Titan menyunggingkan senyum paling manis yang ia punya, tapi sungguh senyum itu terlihat menjijikkan sekali. Bagas langsung diem, pura-pura nggak denger.
Bagas, cowok yang lumayan cakep nan kekar ini entah mengapa semakin lama semakin kelihatan menarik di mata Titan. Di mata Titan, ia lebih tampak seperti cowok yang karismatik ketimbang cowok cakep. Tadinya Titan berpikir ia mungkin udah nggak bisa jatuh cinta karena sudah ada Hangga, tapi nyatanya ia salah. Titan sadar betul akan apa yang ia rasakan, ia mungkin telah jatuh cinta. Dan sekarang Titan galau tingkat dewa. Salah sendiri juga nggak bakat jadi playgirl.
***
Pikiran Titan sedang kacau, Bagas yang belum lama dikenal, udah berani nyelip-nyelip aja gitu di hati orang. Hangga? Kenapa ia nggak ada di saat hati Titan mulai berpaling? Titan sendiri, kenapa harus jatuh cinta lagi? Kenapa harus ketemu Hangga dan Bagas? Apa ini yang namanya jatuh cinta gelombang kedua ya? Pikiran Titan mulai aneh-aneh. Memang benar yang Einstein bilang, hukum gravitasi itu tidak bertanggung jawab atas orang-orang yang jatuh cinta – dan Titan benci teori itu.
Bagas yang sebenarnya biasa saja pada mulanya, entah mengapa semakin lama semakin perhatian sama Titan. Bagas sering bawain Titan orange cream yang disukai Titan dan nggak malu meski diledekin teman-teman sekelasnya karena itu. Bagas sering nemenin Titan pas pulang kuliah naik sepeda. Jadi Titan naik sepeda, Bagas naik motor gede, mereka berjalan beriringan, dan Bagas selalu sabar setiap nungguin Titan yang ngayuhnya lama banget pas ketemu tanjakan. Kalau dilihat dari jauh, peristiwa ini memang agak aneh, dan setiap orang yang melihatnya pasti berpikir, “Kenapa sih ceweknya nggak diboncengin aja?”. Mereka nggak tahu, Titan nggak pernah mau ninggalin sepedanya, karena sepeda itu Titan banget. Bagas yang emang nggak mungkin bawa sepeda ontel karena rumahnya jauh dari kampus pun cuma bisa nemenin Titan pakai motor gedenya.
Bagas juga sering main ke kos Titan. Teman-teman kos Titan yang dulu mengira Bagas adalah maling yang suka ngincer barangnya anak-anak kosan kini nggak curiga lagi setelah tahu kalau ia adalah calon pacarnya Titan. Bahkan mereka seneng banget kalau Bagas lagi main, karena Bagas enak banget kalau dimintain tolong buat gantiin lampu yang mati, benerin kran kamar mandi yang lagi rusak, selain itu, Bagas adalah tempat yang paling gratis untuk servis barang-barang elektronik. Kehadiran Bagas yang semakin sering di kosan, spontan membuat anak-anak kos lain iri, termasuk Stella yang pacarnya lebih ganteng dan tajir. Secara Bagas perhatian banget, Titan kena pilek aja Bagas paniknya minta ampun. Anak-anak kos yang udah kenal Bagas pun jadi nyumpahin Titan, kalau sampai ia nyakitin Bagas, Titan bakal dijual. Titan speechless.
Titan beruntung sekali ketemu sama Bagas. Titan juga nggak tahu kenapa Bagas bisa loveable banget. Bagas baik sebenernya juga bukan karena sedang mendekati Titan, dia memang dia baik dari sananya. Buat dia, berbuat baik itu nggak boleh pilih-pilih.
Kedekatan Titan dengan Bagas yang udah nggak wajar kalau dibilang hanya sekadar teman ini pun tampaknya sudah membawa Titan pada tingkat depresi yang paling tinggi hingga akhirnya ia tidak tahan. Namun Titan tahu pasti, ia tidak boleh egois. Ia tidak bisa menempatkan Bagas di tengah-tengah hubungan mereka yang tengah renggang.
Titan merenungkan hal ini sudah cukup lama. Ia mungkin menyimpan perasaan untuk Bagas, namun ia tak memungkiri kalau ia juga menyayangi Hangga, lelaki yang pernah juga membuat kisah-kisah manis bersamanya – meski kini tidak lagi.
Titan memutar ponselnya, ia sedang ragu apakah ia akan nekat menelfon Hangga untuk meminta kejelasan statusnya atau mengurungkan niat itu dan menghapus segala keraguan tentang Hangga yang ada di hatinya.
“Eeeerghh!!” Titan bersuara kesal. Ia mengacak-acak rambutnya  hingga kelihatan seperti perempuan rimba yang lusuh. Mukanya sudah tidak enak dilihat lagi, apalagi hatinya, jangan ditanya lagi, pasti sangat berantakan. Ia kembali melihat ponselnya, perasaannya masih bimbang tapi ia memaksakan dirinya untuk menghubungi Hangga.
Tut...tut..tut...Halo? Iya sayang ada apa?
Titan terdiam. Mulutnya serasa terkunci oleh sesuatu yang tidak telihat. Ia diam agak lama...Jantungnya berdegup kencang. Perasaannya makin berantakan mendengar suara Hangga yang begitu lembut terhadapnya. Berulang kali Titan menghembuskan nafas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri. Namun, jauh di dalam hatinya ada satu tekad yang sudah terbentuk, kali ini Titan harus benar-benar bicara.
Sayang? Kamu nggak apa-apa?
Dheg. Hati Titan bergetar lagi. Suara Hangga yang sangat peduli kembali menyelimuti dirinya. Titan memejamkan matanya, membulatkan tekad yang ada dalam dirinya, meyakinkan kembali dirinya bahwa ia tidak dapat seterusnya seperti ini. Pada akhirnya, Titan
“Hangga...a...ku...aku...nggak...bisa... ngelanjutin hubungan kita, maaf...” ujar Titan dengan nada berat, hati dan tenggorokannya sepertinya sama-sama enggan mengucapkan hal itu. Namun Titan sudah bulat. Ia harus tegas, bahkan dengan dirinya sendiri. Hangga memang baik dan sempurna, hanya saja kedua hal itu tak lagi tampak karena jarak yang sangat jauh. Titan tak sanggup lagi menyimpan kerinduan yang semakin lama semakin membesar namun tak pernah mendapat tempat yang semestinya. Titan berharap hatinya bebas dan tidak lagi dirisaukan oleh kerinduan-kerinduan yang tidak jelas akhirnya. Dan keputusan ini, sudah Titan pertimbangkan. Ia yakin, kalau putusan ini juga yang terbaik untuk Hangga. Titan mengenal Hangga dengan baik, dia pria yang amat baik dan rupawan, ia sangat mudah dicintai, jadi pastilah ia akan sangat mudah mendapatkan pengganti. Titan berharap Hangga mendapatkan yang lebih baik, karena ia memang patut, juga karena Titan tak lagi pantas. Mungkin ia telah  menyadari bahwa sebagian rasa setianya telah ingkar.
Hangga terdiam, matanya memerah, sejujurnya ia tak tahu apa yang sedang menimpanya, hatinya tiba-tiba susah untuk merasakan sesuatu dan ia sendiri tidak tahu mengapa dan harus bagaimana. Hangga sedang berada dalam kondisi yang tidak mungkin menuntut, meski jauh di dalam hatinya ia sangat menyayangi Titan. Proyek yang sedang ditangani Hangga di luar Jawa memang telah menyita sebagian besar waktunya, bahkan Hangga pun hampir tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Setiap hari harus kerja dan lembur.
Titan juga masih terdiam, matanya berair, tapi ia berusaha menahannya. Ia tidak ingin Hangga mengetahuinya. Ia tahu pasti, Hangga tidak akan membiarkan Titan menangis, kalau sampai Hangga tahu pasti ia tidak akan pernah mau menerima putusan itu. Titan terdiam lama, pikirannya entah mengapa melayang pada bayang-bayang kebersamaan dia dengan Hangga, masa-masa indah yang telah mereka bentuk berdua – anehnya, tak terbesit sedikitpun wajah Bagas ketika itu.
Hati Titan terasa sesak. Tadinya Titan berpikir mungkin karena keberadaan Bagas, perasaan Titan terhadap Hangga jadi berubah. Namun, ia sangat sadar kalau Bagas sama sekali tidak bersalah. Bagas tidak tahu apa pun. Titan merasa dirinya sudah berbuat sangat jahat sekali karena telah membohongi kedua pria baik yang selama ini tulus menjaga hatinya. Hangga begitu baik, Bagas juga, namun apa yang telah Titan lakukan terhadap mereka, Titan sungguh menyesal hingga perasaannya tak karuan.
Jelas hati Titan tak lagi sama, karena ia telah kehilangan sebagian hatinya yang sebelumnya telah lekat. Di satu sisi, Titan memang sudah tak mampu membuat keadaan mereka berdua menjadi lebih baik. Titan berperang dengan dirinya sendiri.
Keduanya masih sama-sama terdiam, hingga akhirnya Titan tidak tahan dan memutuskan sambungan telfonnya. Tangannya bergetar.
“Maafkan aku Ngga...maaf...ma...aff...” ujar Titan lirih, sambil memegangi telfon genggam itu di dadanya. Air matanya mengalir makin deras. Kini mau tidak mau lembaran baru harus ia ambil dan ia isi, entah dengan apa.
Sejak saat itu, entah mengapa Titan menjadi sedikit berbeda. Ia juga sedikit  menjaga jarak dengan Bagas. Titan menjadi sensitif dan rentan galau. Dewi dan Stella pun ikutan kawatir, tapi Titan nggak pernah mau mengaku. Selama ini memang Titan tidak pernah mengungkapkan tentang Hangga, jadi yang ditahu orang-orang – termasuk Bagas,  Titan “single”.
Dewi yang tidak tahan melihat Titan yang hampir seperti anak kekurangan gizi pun nggak sabar buat menginterogasi, “Titan, serius, kamu tu kenapa sih? Kamu kelihatan berantakan banget sejak beberapa minggu yang lalu. Coba deh cerita ada masalah apa? Seenggaknya itu bikin beban kamu jadi sedikit lebih ringan.”
Titan hanya diam, mimik wajahnya masih belum berubah dan masih berantakan. “Kayaknya aku kena malnutrisi deh, jadinya nggak bisa senyum.” Jawab Titan bohong.
“Tu kan, sempet-sempetnya...” Dewi menghela nafas. “Ya udah deh, kalau kamu emang nggak mau cerita. Tapi kalau kamu butuh temen...aku ada di sini...”
Hati Titan tersentak, terharu. Ia memang beruntung sekali telah dianugerahi sahabat sebaik Dewi dan Stella.
“Tan, sekarang dengerin aku, orang yang bersama kamu saat ini, itu nggak akan jadi satu-satunya orang dalam kehidupan kamu. Jadi kamu nggak boleh stuck, karena masih banyak hal yang harus kamu lakukan, masih banyak hal yang harus kamu perjuangkan. Dan kebahagiaan kamu itu nggak berhenti di sini,” lanjut Dewi.
Dewi emang ngerti banget luar dalamnya Titan. Dia sudah seperti cenayang yang tau apa saja yang Titan rasain.
Dengan muka yang masih sedikit lesu, Titan memeluk Dewi sangat erat. “Makasih ya, Dew...”
“Lo itu udah jelek, jadi jangan cemberut, orang jelek kalo cemberut jadinya jelek banget tau nggak? Lo nggak kasian sama orang-orang yang lihat muka lo...” Dewi menggoda Titan.
Mendengar Dewi mencibirnya, ia justru terkikik dan lupa sejenak akan masalahnya. Dewi itu sudah mirip kayak obat penenang buat Titan. Titan selalu menyukai Dewi yang selalu menawarkan persahabatan yang tulus kepadanya. Titan jadi berjanji pada dirinya sendiri, ia harus bahagia. Namun, ia masih menjaga jarak dengan Bagas hingga beberapa bulan. Titan nggak mau orang sebaik Bagas disangka jadi orang ketiga atas kandasnya hubungan Titan dan Hangga.
Bagas yang memang tidak tahu apa-apa jadi ikutan bingung karena sikap Titan yang tiba-tiba aneh terhadapnya. Untungnya Bagas sudah cukup dewasa untuk mengerti apa yang Titan inginkan. Ruang untuk bernafas sejenak, ruang untuk dirinya sendiri.
Titan masih tidak mengatakan apa-apa kepada Bagas, namun Bagas tidak keberatan sedikitpun, mungkin penjelasan itu memang harus disimpan untuk Titan sendiri dan tidak bisa dibagi pada orang lain.
*** 
Gambar diambil dari https://gordonavenue.wordpress.com/2015/01/06/how-to-fall-in-love-two-steps/




0 komentar:

Posting Komentar

Sunshine Story (Chapter 4)