“Hai...haaaaaaiiiii....” Dewi yang baru pulang
ngelesin mencengangkan kosan dengan suaranya yang cetar menggegana badai.
Stela
geleng-geleng, sedang Titan yang dari tadi menyimpan dendam kesumat
mengernyitkan kedua alisnya sehingga membentuk kerutan yang sangat jelas di
keningnya. Terbesit penyesalan yang amat dalam di hati mereka karena sudah
menobatkan Dewi sebagai ibu kosan angkat karena naluri keibuannya.
“Kosan
sepi banget...” ujar Dewi yang tiba-tiba ikutan nimbrung duduk di karpet.
Suasana
masih hening sejenak.
“Terus
kalian pada ngapain di sini? Nonton TV enggak, ngerumpi juga enggak, aneh tau
nggak?” Dewi melihat Stella dan Titan dengan tatapan penuh curiga.
“Jangan...jangaaaan...kalian abis mesum terus ketahuan aku ya?”
“Enak
aja lo!!” teriak Titan dan Stella bersamaan sambil ngelempar bantal ke Dewi.
Mereka saling berpandangan sejenak, kemudian saling melempar senyum kecil dan
suasana menjadi cair kembali.
“Eh,
Dew, kamu bohongin aku tadi pagi? Bilangnya ada tugas, nyatanya nggak ada. Tau
nggak sih, gara-gara itu aku jadi malu,” ujar Titan kesal.
Tapi
Dewi malah ketawa puas banget, “Iye...iye...maap aje buk, abis kamu bengong
mulu sih. Eh, ini ada oleh-oleh, kebetulan muridku ada yang abis liburan.”
“Mauuuu!!”
jawab mereka kompak. Sekejap mereka lupa sama penyesalan barusan. Stella yang
notabenya tajir pun ternyata juga punya kelakuan standar anak kosan. Dewi
tersenyum senang melihat teman-temannya ternyata cukup mudah untuk diluluhkan.
“Kenapa kamu Dew?” tanya Titan yang penasan
sama muka bahagia Dewi.
“Nggak
apa-apa, udah dilanjutin aja makannya,” ujar Dewi lembut kayak ibunya
anak-anak.
“Murid
lo pasti sayang banget ya sama lo, sampai dibawain oleh-oleh banyak kayak
gini,” ujar Titan.
Dewi
hanya senyum.
“Secara
ya Tan, Dewi tipikal guru idaman, dimana-mana disayang orang, nggak kayak lo,”
Stella ikut andil.
Titan
manyun-manyun. Sementara Dewi masih diam, entah mengapa dia sedikit terganggu
dengan apa yang diucapkan Stella barusan. Sudah beberapa hari terakhir ini Dewi
mikir kalau ia mungkin sudah salah jalan karena ambil jurusan Linguistik,
secara dia suka banget ngajar. Dia sendiri nggak sadar sejak kapan ia mulai
suka ngajar, ia merasa ngajar anak-anak adalah hal yang paling ia rindukan
setiap harinya.
Dewi
menunduk lesu. Ia menghela nafas sejenak, terdiam untuk beberapa saat, raut
wajahnya perlahan tampak murung dan mulai gelisah.
“Aku
sayang banget sama mereka, nggak tau kenapa mereka itu ngangenin,” ujar Dewi
tiba-tiba.
Stella
dan Titan mendadak hening, menyimak Dewi dengan seksama. Mereka mengakui belum
cukup terlatih untuk menenangkan orang yang lebih dewasa, jadi mereka berusaha
untuk menjadi pendengar yang baik.
“Aku
suka banget ngajar, tapi aku nggak bakat jadi guru. Aku nggak tau gimana cara
ngajar yang efektif buat mereka, kadang juga aku nggak ngerti sama apa yang
mereka tanyain. Bingung...”
Tiba-tiba
saja suasana menjadi serius.
“Ya,
kan kamu nggak harus tahu semuanya Dew...” Stella menghibur.
“Bener
Dew, kan kamu juga bisa ngeles. Bilang aja, ‘maaf ya dik, ibu lagi banyak
masalah rumah tangga, suami ibu...hamil...’” Titan menggoda.
Spontan
tawa Stella dan Titan meledak, tapi Dewi masih tetep cemberut, seperti
masalahnya memang tidak sesederhana itu. Titan dan Stella kembali terdiam
perlahan.
“Aku
nggak tahu jiwa aku dimana?”
Titan
dan Stella makin terdiam, pikiran mereka selama ini ternyata tidak pernah
sejauh itu. Ketiganya jadi berpikir serius. Berpikir tentang diri mereka
masing-masing, berpikir tentang tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi jiwa
mereka.
“Terus
gimana Dew?” ujar Titan tidak memberikan solusi.
“Masalah
seperti ini bukan masalah Dewi aja Tan, tapi masalah kita juga,” Stella
menyela.
“Kuliah
di keguruan, jadi guru. Kuliah di hukum, jadi praktisi hukum. Kuliah di
ekonomi, jadi ahli ekonomi. Kuliah di kedokteran, jadi dokter. Kuliah di
linguistik, jadi linguist. Umumnya seperti itu, tapi apa harus seperti itu ya?”
Dewi mencoba mengeluarkan uneg-unegnya.
“Ya
kan biar kita bisa memainkan peran sesuai dengan bidang kita,” Stella menjawab.
“Kalau
awalnya salah pilih jurusan gimana?” tanya Dewi.
“Itu
masalah takdir Dew, kita nggak tahu,” Titan mencoba ikut bicara.
“Itu
masalah takdir atau masalah pilihan?” tanya Dewi lagi.
Semua
terdiam. Dewi hanya menghela nafas, tatapannya kosong, namun seperti membawa
beban yang berat. Tidak ada yang tahu harus mengatakan apa, menghadapi diri
sendiri memang selalu terasa lebih berat dibanding menghadapi orang lain.
Suasana masih tenang, semuanya masih larut dalam pikirannya masing-masing.
Baik
Titan, Stella, maupun Dewi, ketiganya sudah sangat akrab. Pembicaraan mengenai
diri sendiri adalah masalah yang sangat sensitif sekaligus penting bagi mereka.
Namun, ketiganya masih sama-sama mencari jati diri dan masih belajar. Mereka
terkadang memilih untuk diam ketika membicarakan masalah berat seperti ini. Di
tengah-tengah kebisuan itu...Dewi berujar perlahan.
“Tapi
kayaknya...Takdir atau bukan, yang terpenting adalah bagaimana kita memberikan
yang terbaik dari diri kita kan? Mungkin Tuhan memang sengaja menawarkan
beberapa pilihan. Selanjutnya, terserah kita,” ucap Dewi yang spontan membuat
kedua sahabatnya heran dan berpikir, tadi
dia yang paling bingung, terus sekarang tiba-tiba dia jadi yang paling ngerti
gitu, ajaib banget ini anak.
“Nah
itu lo tau, Dew...” ujar Titan.
“Hah?
Tau apaan? Ini kita lagi ngomongin apa sih?” ujar Dewi polos.
Gubrak. Dari tadi dia yang aneh karena
tiba-tiba bahas masalah serius, sekarang dia yang nanya mereka ngapain. Dewi
yang notabenenya dewasa ternyata punya bakat jadi orang aneh juga.
“Tapi
kalo dipikir-pikir Dew, kamu bener juga. Entah pilihan atau takdir yang penting
kita harus selalu mengerahkan seluruh keringat kita dan memberikan yang terbaik
untuk mewujudkan pilihan yang sudah kita ambil,” lanjut Stella mantab.
“Dan
mengikuti hukum tanggung jawab,” ujar Titan bersemangat mengepalkan tangannya.
Sementara itu Dewi masih bengong dengan polosnya dan nggak ngerti sama tingkah
mereka yang tiba-tiba serius.
Ya,
di antara setumpuk pemikiran mereka yang tidak sama, ada beberapa hukum yang sama-sama mereka yakini kalau hukum itu
adalah bagian dari benang kebenaran dalam hidup manusia. Salah satunya adalah
hukum tanggung jawab, yakni segala sesuatu yang kita lakukan dan kita katakan
akan melahirkan sebuah tanggung jawab.
Pembicaraan
singkat dan dalam itu tampaknya tidak membuat waktu berjalan lebih lambat.
Waktu tetap berjalan cepat mengiringi segala pembicaran mereka malam itu. Waktu
juga seolah menjadi saksi perjalanan kedewasaan mereka bertiga. Malam yang
panjang dan dalam namun sama sekali tidak melelahkan bagi mereka, meski hati
mereka telah melalui perjalanan yang cukup panjang.
“Eh,
Tan, kamu tadi ngapain ke perpus?” tanya Dewi polos.
Mendengar
pertanyaan itu, dendam kesumat Titan kembali muncul. “Kok, kamu tanyanya,
seolah-olah aku udah maafin kamu gitu ya Dew?!!”
Dewi
terkejut, “Ohh, jadi tadi kamu nyari bahan buat tugas?” Dewi tertawa puas
sekali. Sementara Titan hanya bisa menahan amarah hingga hidungnya tampak
kembang kempis.
“Iya,
sorry..kan aku udah minta maaf tadi.”
Stella
yang nggak ngerti dengan obrolan mereka pun cuma bisa mengikuti dengan tatapan
kosong. Lalu Titan menjelaskan segala yang terjadi hari itu. Spontan cerita itu
mendapatkan tawa yang meriah dari kedua temannya dan Titan hanya bisa
manyun-manyun.
“Wuah, bentar lagi temen kita nggak jomblo
lagi dong,” Stella melirik genit ke Titan.
Titan
memang tidak pernah menceritakan tentang Hangga pada teman-temannya. Jadi, yang
mereka tahu, Titan lagi jomblo.
“Apaan
sih. Eh, ngomong-ngomong harga bawang sekarang lagi naik ya?” Titan mencoba
mengalihkan pembicaraan.
“
Udah deh, nggak usah ganti topik. Jadi kapan nih makan-makan?” goda Dewi.
“Ini
kita lagi makan, haha!!” ujar Titan yang masih asik sama makanannya Dewi.
“Ngomong-ngomong
tipe kamu yang kayak gimana sih Tan?” tanya Dewi.
“Tipe
gue? Yang cakep plus tajir, sedikit rabun senja, jadi dia nggak akan bermasalah
kalo liat gue, haha!” jawab Titan sekenanya.
Dewi
sama Stella jadi prihatin melihat temannya punya selera di bawah standar kayak
gitu.
“Lo
sendiri gimana Dew?”
“Aku?
Ehmm.. aku nggak aneh-aneh sih,” sambil ngelirik ke Titan, “yang penting kayak aku
yang versi cowok.”
Stella
pun manggut-manggut mengingat Dewi memang pantes buat dapetin cowok baik-baik. Sementara
Stella, tidak perlu ditanyakan lagi tentang seleranya yang tinggi dan mudah
didapatkannya.
“Ngomongin
cowok mulu nih, nyari makan aja yuk?” ujar Titan.
“Ya
ampun ini anak, itu perut apa kulkas buuuk?” Dewi heran setengah mati melihat
Titan yang nggak bisa kenyang meski udah makan banyak.
“Eh, ternyata udah lama ya kita nggak
makan-makan bareng, dinner yuk?” ajak Stella.
“Iya juga ya? Ya udah, aku mandi dulu.” Dewi
langsung cabut menuju kamar mandi. Stella juga menyusul.
Titan
skeptis sama sikap Dewi, tapi ia merasa bersyukur sekali, teman-temannya nggak
jadi minta traktir.
“Kamu
juga Tan, mandi dulu sana, ntar kita tungguin, ” ujar Stella.
“Enggak,
gue nggak mandi,”’ jawab Titan datar.
“Ya
ampun serius deh Tan, kamu nggak mau bikin pelanggan lain kehilangan nafsu
makan kan?” ujar Stella lagi.
“Stella
sayang...yang diharapkan sama penjualnya itu tamunya laper, pesen, selanjutnya
bayar, makanya ada tulisan ‘Tamu harap laper’ bukan ‘Tamu harap mandi’”
Stella
geleng-geleng. Dewi yang sudah menduga akhirnya akan seperti itu tidak komentar
apa-apa. Tapi ujung-ujungnya mereka berangkat makan juga.
Persahabatan
mereka memang begitu aneh, kadang berantem, kadang rukun, kadang serius, kadang
pinter bareng-bareng, kadang bodoh bareng-bareng. Stella, anak fakultas hukum
yang datang dari keluarga kaya. Gaya hidupnya memang mewah, tapi ia tetap
memegang suatu batasan untuk dirinya sendiri. Meski tajir, Stella tetap mampu
menghargai orang lain. Hanya saja, ada satu hal yang tidak bisa ditoleransi
oleh Stella, yaitu ia harus punya cowok cakep, tampang jelek itu sama sekali
nggak bisa dimaafin. Bagi Stella, kesetiaan seorang cewek itu berbanding lurus
dengan ketampanan cowoknya. Prinsip ini nih yang paling ditentang oleh Titan,
buat Titan selama cowok itu baik, ia masih bisa masuk ke dalam kategori cowok
cakep. Titan berpikir better good inside
than just good looking or not good at all. Dewi sangat amat setuju sekali
dengan pemikiran Titan ini, namun tetap saja Dewi pengennya punya cowok cakep yang
emang mirip banget sama dia. Dewi sendiri sebenarnya cantik dan banyak cowok
cakep yang naksir, tapi entah mengapa dia masih jomblo juga. Lama sekali Dewi
berpikir, “Kenapa sih cowok cakep itu jarang yang pinter?” hingga ia menemukan
jawaban kalau “Cowok cakep juga harus punya kekurangan kali”. Dewi memang
senang mengamati dan menganalisis tentang apa aja di sekitarnya.
Meski
ketiganya memiliki pandangan hidup yang berbeda, namun rasanya ada saja yang
membuat mereka satu, yaitu keyakinan kalau sesuatu yang benar adalah benar dan
tidak bisa dicampuradukkan dengan salah. Membenarkan yang benar, dan
menyalahkan yang salah, dengan keyakinan kalau kebenaran mutlak hanyalah milik
Tuhan.
“Mau
makan dimana kita?” tanya Dewi.
“Yang
enak dipake buat ngobrol,” jawaban Titan yang tidak memberikan solusi.
“Angkringan
aja gimana?” Stella mengusulkan.
Titan
bengong mendengar ucapan Stella barusan. Memang untuk orang setajir Stella,
makan di angkringan adalah sesuatu yang tidak biasa dan mengesankan. Berbeda
dengan Titan yang sehari-harinya makan di situ. Stella sedang ingin bersantai
dan menikmati suasana yang berbeda. Dewi yang bisa makan dimana aja memilih “idem”.
“Oke,”
jawab Dewi memberikan acc.
Titan
langsung lesu karena kalah suara. Tapi bagaimanapun juga makan di angkringan
bareng sama temen itu tetep lebih nikmat ketimbang makan makanan enak sendiri.
Di
tempat makan, mereka membagi banyak hal, tentang pengalaman mereka hari itu,
tentang persahabatan mereka, tentang hidup yang kadang jahat kadang baik,
tentang perasaan apapun yang terselip di hati mereka.
Malam
yang pekat dengan langit yang penuh dengan mendung abu-abunya. Namun, abu-abu
langit itu tampaknya menjadi peneduh tersendiri bagi ketiga sahabat itu.
Mendung tak lagi menjadi mendung melainkan atap dari tiang-tiang asa yang
selama ini telah mereka bangun secara tidak sadar.
Malam
yang sama dengan malam-malam sebelumnya, namun Titan merasa ada sesuatu, entah
apa yang merasuki hati dan pikirannya. Segala kebetulan yang terjadi hari itu,
perasaan gelisah juga canda tawa sederhana kawan-kawannya sepertinya telah
membentuk ruang baru tersendiri di hati Titan.
0 komentar:
Posting Komentar