Sunshine Story (Chapter 2)



 “Hai...haaaaaaiiiii....” Dewi yang baru pulang ngelesin mencengangkan kosan dengan suaranya yang cetar menggegana badai.
Stela geleng-geleng, sedang Titan yang dari tadi menyimpan dendam kesumat mengernyitkan kedua alisnya sehingga membentuk kerutan yang sangat jelas di keningnya. Terbesit penyesalan yang amat dalam di hati mereka karena sudah menobatkan Dewi sebagai ibu kosan angkat karena naluri keibuannya.
“Kosan sepi banget...” ujar Dewi yang tiba-tiba ikutan nimbrung duduk di karpet.
Suasana masih hening sejenak.
“Terus kalian pada ngapain di sini? Nonton TV enggak, ngerumpi juga enggak, aneh tau nggak?” Dewi melihat Stella dan Titan dengan tatapan penuh curiga. “Jangan...jangaaaan...kalian abis mesum terus ketahuan aku ya?”
“Enak aja lo!!” teriak Titan dan Stella bersamaan sambil ngelempar bantal ke Dewi. Mereka saling berpandangan sejenak, kemudian saling melempar senyum kecil dan suasana menjadi cair kembali.
“Eh, Dew, kamu bohongin aku tadi pagi? Bilangnya ada tugas, nyatanya nggak ada. Tau nggak sih, gara-gara itu aku jadi malu,” ujar Titan kesal.
Tapi Dewi malah ketawa puas banget, “Iye...iye...maap aje buk, abis kamu bengong mulu sih. Eh, ini ada oleh-oleh, kebetulan muridku ada yang abis liburan.”
“Mauuuu!!” jawab mereka kompak. Sekejap mereka lupa sama penyesalan barusan. Stella yang notabenya tajir pun ternyata juga punya kelakuan standar anak kosan. Dewi tersenyum senang melihat teman-temannya ternyata cukup mudah untuk diluluhkan.
 “Kenapa kamu Dew?” tanya Titan yang penasan sama muka bahagia Dewi.
“Nggak apa-apa, udah dilanjutin aja makannya,” ujar Dewi lembut kayak ibunya anak-anak.
“Murid lo pasti sayang banget ya sama lo, sampai dibawain oleh-oleh banyak kayak gini,” ujar Titan.
Dewi hanya senyum.
“Secara ya Tan, Dewi tipikal guru idaman, dimana-mana disayang orang, nggak kayak lo,” Stella ikut andil.
Titan manyun-manyun. Sementara Dewi masih diam, entah mengapa dia sedikit terganggu dengan apa yang diucapkan Stella barusan. Sudah beberapa hari terakhir ini Dewi mikir kalau ia mungkin sudah salah jalan karena ambil jurusan Linguistik, secara dia suka banget ngajar. Dia sendiri nggak sadar sejak kapan ia mulai suka ngajar, ia merasa ngajar anak-anak adalah hal yang paling ia rindukan setiap harinya.
Dewi menunduk lesu. Ia menghela nafas sejenak, terdiam untuk beberapa saat, raut wajahnya perlahan tampak murung dan mulai gelisah.
“Aku sayang banget sama mereka, nggak tau kenapa mereka itu ngangenin,” ujar Dewi tiba-tiba.
Stella dan Titan mendadak hening, menyimak Dewi dengan seksama. Mereka mengakui belum cukup terlatih untuk menenangkan orang yang lebih dewasa, jadi mereka berusaha untuk menjadi pendengar yang baik.
“Aku suka banget ngajar, tapi aku nggak bakat jadi guru. Aku nggak tau gimana cara ngajar yang efektif buat mereka, kadang juga aku nggak ngerti sama apa yang mereka tanyain. Bingung...”
Tiba-tiba saja suasana menjadi serius.
“Ya, kan kamu nggak harus tahu semuanya Dew...” Stella menghibur.
“Bener Dew, kan kamu juga bisa ngeles. Bilang aja, ‘maaf ya dik, ibu lagi banyak masalah rumah tangga, suami ibu...hamil...’” Titan menggoda.
Spontan tawa Stella dan Titan meledak, tapi Dewi masih tetep cemberut, seperti masalahnya memang tidak sesederhana itu. Titan dan Stella kembali terdiam perlahan.
“Aku nggak tahu jiwa aku dimana?”
Titan dan Stella makin terdiam, pikiran mereka selama ini ternyata tidak pernah sejauh itu. Ketiganya jadi berpikir serius. Berpikir tentang diri mereka masing-masing, berpikir tentang tempat yang seharusnya menjadi rumah bagi jiwa mereka.
“Terus gimana Dew?” ujar Titan tidak memberikan solusi.
“Masalah seperti ini bukan masalah Dewi aja Tan, tapi masalah kita juga,” Stella menyela.
“Kuliah di keguruan, jadi guru. Kuliah di hukum, jadi praktisi hukum. Kuliah di ekonomi, jadi ahli ekonomi. Kuliah di kedokteran, jadi dokter. Kuliah di linguistik, jadi linguist. Umumnya seperti itu, tapi apa harus seperti itu ya?” Dewi mencoba mengeluarkan uneg-unegnya.
“Ya kan biar kita bisa memainkan peran sesuai dengan bidang kita,” Stella menjawab.
“Kalau awalnya salah pilih jurusan gimana?” tanya Dewi.
“Itu masalah takdir Dew, kita nggak tahu,” Titan mencoba ikut bicara.
“Itu masalah takdir atau masalah pilihan?” tanya Dewi lagi.
Semua terdiam. Dewi hanya menghela nafas, tatapannya kosong, namun seperti membawa beban yang berat. Tidak ada yang tahu harus mengatakan apa, menghadapi diri sendiri memang selalu terasa lebih berat dibanding menghadapi orang lain. Suasana masih tenang, semuanya masih larut dalam pikirannya masing-masing.
Baik Titan, Stella, maupun Dewi, ketiganya sudah sangat akrab. Pembicaraan mengenai diri sendiri adalah masalah yang sangat sensitif sekaligus penting bagi mereka. Namun, ketiganya masih sama-sama mencari jati diri dan masih belajar. Mereka terkadang memilih untuk diam ketika membicarakan masalah berat seperti ini. Di tengah-tengah kebisuan itu...Dewi berujar perlahan.
“Tapi kayaknya...Takdir atau bukan, yang terpenting adalah bagaimana kita memberikan yang terbaik dari diri kita kan? Mungkin Tuhan memang sengaja menawarkan beberapa pilihan. Selanjutnya, terserah kita,” ucap Dewi yang spontan membuat kedua sahabatnya heran dan berpikir, tadi dia yang paling bingung, terus sekarang tiba-tiba dia jadi yang paling ngerti gitu, ajaib banget ini anak.
“Nah itu lo tau, Dew...” ujar Titan.
“Hah? Tau apaan? Ini kita lagi ngomongin apa sih?” ujar Dewi polos.
Gubrak. Dari tadi dia yang aneh karena tiba-tiba bahas masalah serius, sekarang dia yang nanya mereka ngapain. Dewi yang notabenenya dewasa ternyata punya bakat jadi orang aneh juga.
“Tapi kalo dipikir-pikir Dew, kamu bener juga. Entah pilihan atau takdir yang penting kita harus selalu mengerahkan seluruh keringat kita dan memberikan yang terbaik untuk mewujudkan pilihan yang sudah kita ambil,” lanjut Stella mantab.
“Dan mengikuti hukum tanggung jawab,” ujar Titan bersemangat mengepalkan tangannya. Sementara itu Dewi masih bengong dengan polosnya dan nggak ngerti sama tingkah mereka yang tiba-tiba serius.
Ya, di antara setumpuk pemikiran mereka yang tidak sama, ada beberapa hukum  yang sama-sama mereka yakini kalau hukum itu adalah bagian dari benang kebenaran dalam hidup manusia. Salah satunya adalah hukum tanggung jawab, yakni segala sesuatu yang kita lakukan dan kita katakan akan melahirkan sebuah tanggung jawab.
Pembicaraan singkat dan dalam itu tampaknya tidak membuat waktu berjalan lebih lambat. Waktu tetap berjalan cepat mengiringi segala pembicaran mereka malam itu. Waktu juga seolah menjadi saksi perjalanan kedewasaan mereka bertiga. Malam yang panjang dan dalam namun sama sekali tidak melelahkan bagi mereka, meski hati mereka telah melalui perjalanan yang cukup panjang.
“Eh, Tan, kamu tadi ngapain ke perpus?” tanya Dewi polos.
Mendengar pertanyaan itu, dendam kesumat Titan kembali muncul. “Kok, kamu tanyanya, seolah-olah aku udah maafin kamu gitu ya Dew?!!”
Dewi terkejut, “Ohh, jadi tadi kamu nyari bahan buat tugas?” Dewi tertawa puas sekali. Sementara Titan hanya bisa menahan amarah hingga hidungnya tampak kembang kempis.
“Iya, sorry..kan aku udah minta maaf tadi.”
Stella yang nggak ngerti dengan obrolan mereka pun cuma bisa mengikuti dengan tatapan kosong. Lalu Titan menjelaskan segala yang terjadi hari itu. Spontan cerita itu mendapatkan tawa yang meriah dari kedua temannya dan Titan hanya bisa manyun-manyun.
 “Wuah, bentar lagi temen kita nggak jomblo lagi dong,” Stella melirik genit ke Titan.
Titan memang tidak pernah menceritakan tentang Hangga pada teman-temannya. Jadi, yang mereka tahu, Titan lagi jomblo.
“Apaan sih. Eh, ngomong-ngomong harga bawang sekarang lagi naik ya?” Titan mencoba mengalihkan pembicaraan.
“ Udah deh, nggak usah ganti topik. Jadi kapan nih makan-makan?” goda Dewi.
“Ini kita lagi makan, haha!!” ujar Titan yang masih asik sama makanannya Dewi.
“Ngomong-ngomong tipe kamu yang kayak gimana sih Tan?” tanya Dewi.
“Tipe gue? Yang cakep plus tajir, sedikit rabun senja, jadi dia nggak akan bermasalah kalo liat gue, haha!” jawab Titan sekenanya.
Dewi sama Stella jadi prihatin melihat temannya punya selera di bawah standar kayak gitu.
“Lo sendiri gimana Dew?”
“Aku? Ehmm.. aku nggak aneh-aneh sih,” sambil ngelirik ke Titan, “yang penting kayak aku yang versi cowok.”
Stella pun manggut-manggut mengingat Dewi memang pantes buat dapetin cowok baik-baik. Sementara Stella, tidak perlu ditanyakan lagi tentang seleranya yang tinggi dan mudah didapatkannya.
“Ngomongin cowok mulu nih, nyari makan aja yuk?” ujar Titan.
“Ya ampun ini anak, itu perut apa kulkas buuuk?” Dewi heran setengah mati melihat Titan yang nggak bisa kenyang meski udah makan banyak.
 “Eh, ternyata udah lama ya kita nggak makan-makan bareng, dinner yuk?” ajak Stella.
 “Iya juga ya? Ya udah, aku mandi dulu.” Dewi langsung cabut menuju kamar mandi. Stella juga menyusul.
Titan skeptis sama sikap Dewi, tapi ia merasa bersyukur sekali, teman-temannya nggak jadi minta traktir.
“Kamu juga Tan, mandi dulu sana, ntar kita tungguin, ” ujar Stella.
“Enggak, gue nggak mandi,”’ jawab Titan datar.
“Ya ampun serius deh Tan, kamu nggak mau bikin pelanggan lain kehilangan nafsu makan kan?” ujar Stella lagi.
“Stella sayang...yang diharapkan sama penjualnya itu tamunya laper, pesen, selanjutnya bayar, makanya ada tulisan ‘Tamu harap laper’ bukan ‘Tamu harap mandi’”
Stella geleng-geleng. Dewi yang sudah menduga akhirnya akan seperti itu tidak komentar apa-apa. Tapi ujung-ujungnya mereka berangkat makan juga.
Persahabatan mereka memang begitu aneh, kadang berantem, kadang rukun, kadang serius, kadang pinter bareng-bareng, kadang bodoh bareng-bareng. Stella, anak fakultas hukum yang datang dari keluarga kaya. Gaya hidupnya memang mewah, tapi ia tetap memegang suatu batasan untuk dirinya sendiri. Meski tajir, Stella tetap mampu menghargai orang lain. Hanya saja, ada satu hal yang tidak bisa ditoleransi oleh Stella, yaitu ia harus punya cowok cakep, tampang jelek itu sama sekali nggak bisa dimaafin. Bagi Stella, kesetiaan seorang cewek itu berbanding lurus dengan ketampanan cowoknya. Prinsip ini nih yang paling ditentang oleh Titan, buat Titan selama cowok itu baik, ia masih bisa masuk ke dalam kategori cowok cakep. Titan berpikir better good inside than just good looking or not good at all. Dewi sangat amat setuju sekali dengan pemikiran Titan ini, namun tetap saja Dewi pengennya punya cowok cakep yang emang mirip banget sama dia. Dewi sendiri sebenarnya cantik dan banyak cowok cakep yang naksir, tapi entah mengapa dia masih jomblo juga. Lama sekali Dewi berpikir, “Kenapa sih cowok cakep itu jarang yang pinter?” hingga ia menemukan jawaban kalau “Cowok cakep juga harus punya kekurangan kali”. Dewi memang senang mengamati dan menganalisis tentang apa aja di sekitarnya.
Meski ketiganya memiliki pandangan hidup yang berbeda, namun rasanya ada saja yang membuat mereka satu, yaitu keyakinan kalau sesuatu yang benar adalah benar dan tidak bisa dicampuradukkan dengan salah. Membenarkan yang benar, dan menyalahkan yang salah, dengan keyakinan kalau kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan.
“Mau makan dimana kita?” tanya Dewi.
“Yang enak dipake buat ngobrol,” jawaban Titan yang tidak memberikan solusi.
“Angkringan aja gimana?” Stella mengusulkan.
Titan bengong mendengar ucapan Stella barusan. Memang untuk orang setajir Stella, makan di angkringan adalah sesuatu yang tidak biasa dan mengesankan. Berbeda dengan Titan yang sehari-harinya makan di situ. Stella sedang ingin bersantai dan menikmati suasana yang berbeda. Dewi yang bisa makan dimana aja memilih “idem”.
“Oke,” jawab Dewi memberikan acc.
Titan langsung lesu karena kalah suara. Tapi bagaimanapun juga makan di angkringan bareng sama temen itu tetep lebih nikmat ketimbang makan makanan enak sendiri.
Di tempat makan, mereka membagi banyak hal, tentang pengalaman mereka hari itu, tentang persahabatan mereka, tentang hidup yang kadang jahat kadang baik, tentang perasaan apapun yang terselip di hati mereka.
Malam yang pekat dengan langit yang penuh dengan mendung abu-abunya. Namun, abu-abu langit itu tampaknya menjadi peneduh tersendiri bagi ketiga sahabat itu. Mendung tak lagi menjadi mendung melainkan atap dari tiang-tiang asa yang selama ini telah mereka bangun secara tidak sadar.
Malam yang sama dengan malam-malam sebelumnya, namun Titan merasa ada sesuatu, entah apa yang merasuki hati dan pikirannya. Segala kebetulan yang terjadi hari itu, perasaan gelisah juga canda tawa sederhana kawan-kawannya sepertinya telah membentuk ruang baru tersendiri di hati Titan.




0 komentar:

Posting Komentar

Sunshine Story (Chapter 2)