MAMPET



Rumah yang dari luar tampak seperti gudang atau garasi itu, kini menjadi rumah baru yang nyaman bagi gue. Hidup gue nggak suram lagi. Seperti pagi itu, gue nggak ada kuliah, jadi gue bisa nyuci dengan santai. Gue mengeluarkan seluruh cucian gue yang udah numpuk dari dua minggu yang lalu.
“MasyaAllah Yas, kamu buka laundry sekarang?” tanya mbak Wiwied heran.
“Bukan mbak, ini bajuku sendiri. Memang sengaja tak kumpulin dari jauh-jauh hari buat difermentasi, haha.”
Mbak Wiwied geleng-geleng. Tak lama kemudian mbak Ceria datang.
“Ya ampun Yas, cucianmu banyak banget. Kamu usaha laundry sekarang?” tanyanya.
“Apa?? Tias mau ke laundry?” teriak Dalia dengan tiba-tiba dari dalam kamar. “Aku nitip Yas!!”
“Eerrggh!!”
Gue nggak tau bagaimana “ide laundry” itu datang ke kepala mereka. Tapi serius, sejak pindah ke kosan ini, dunia gue mendadak aneh.
“Itu cucian dari jaman kapan sih Yas? Banyak banget,” tanya mbak Wiwied lagi.
“Dari dua minggu yang lalu mbak.”
“Waaawww!!” Mbak Wiwied langsung memberikan standing aplause. “Ya udah aku nitip.”
“Hadeh! Apa-apaan ini! Dunia apa ini?! Kenapa aku disini? Aku siapa??” gue pura-pura lupa ingatan.
“Kan cucian kamu banyak, jadi kalo aku nitip dikit nggak akan kerasa. Ayolah..,” mbak kos merayu.
“Nanti tak kasih nomor laundry antar jemput aja ya mbak. Aku nyuci dulu. Assalamu’alaikum!” gue langsung cabut ke tempat cucian dan tidak menghiraukan mereka lagi.
Semua baju, gue masukin ke ember. Seperti perempuan pada umumnya, gue mencuci baju dengan sederhana. Tiba-tiba terdengar lagi suara masih Dalia dari dalam kamarnya.
“Yas, kamu jadi ngelaundry nggak??”
Sumpah ya ni anak. Emang dari jaman semester satu sampe sekarang, dia itu udah jadi Miss. Laundry, semua bajunya dilaundry, bahkan disaat keuangannya lagi terguncang, dia lebih milih makan nasi kucing tiap hari demi bisa laundry.
“Udah Dah, sini aja, nyuci bareng,” sahut gue sambil byar byur buang air bilasan.
“Enggak ah, cucianku banyak, ini udah lima kilo lebih kayaknya.”
“Loh, sama!!”
“Bushet dah?! Kamu nyuci segitu banyak Yas? Tau gitu aku nitip, haha!!”
Kalo anak kos bawaannya emang gitu ya, titip mode on. Gue masih asik ngobrol sama Dalia. Gue gembar-gembor dari tempat cucian, sementara Dalia gembar-gembor dari dalam kamarnya. Ternyata nggak hanya orang pacaran aja yang bisa LDR, sesama anak kos juga bisa. Keasikan ngobrol, gue sampe nggak sadar kalo kaki gue terendam air.
Kenapa nih, batin gue. Gue lihat, air sudah menggenang dimana-mana. Kaki gue terendam sampai mata kaki. Gue langsung teriak-teriak.
“Mbak Wiwiiiied, mbak Ceriiiii!! Ada banjiiiiir!!”
Kedua sesepuh kosan pun langsung menghampiri gue. Mbak Wiwied yang datang duluan pun langsung mengamankan TKP. Gue sendiri juga langsung mengamankan cucian – untung udah selesai.
“Wah, mampet ini Yas,” ujar mbak Wiwied.
“Loh, kok bisa?” tanya gue innocent, padahal kan pelakunya gue. “Kalo salurannya mampet, nanti kita gimana mandinya mbak?”
“Mandi di atas WC,” jawab mbak Ceria.
“Haaaahhh?” gue syok. Mandi model apa coba itu?
“Hayo, Tias tanggung jawab,” mbak Wiwied menggoda.
Gue sih paham, maksudnya bercanda, tapi di dalam hati gue merasa bersalah juga.
“Yaaah, mbak, masak aku nikah sama air yang menggenang?”
Semuanya pun kompak ngakak-ngakak denger ucapan gue barusan. Mendengar kehebohan ini, Dalia pun langsung keluar kamar untuk update informasi.
“Ada plastik kresek nggak?” tanya mbak Wiwied.
Gue pun langsung sigap memberikan plastik kresek ke mbak Wiwied. Gue nggak tahu mbak kos mau ngapain dengan plastik itu. Tapi gue lihat mbak Wiwied pergi keluar dengan menyarungkan plastik itu ke tangannya. Ia berjalan mendekati sebuah pipa di luar kosan yang jadi satu-satunya saluran air dari kamar mandi, lalu merogoh isi pipa itu. Gue sama Dalia mengikuti mbak Wiwied, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tangan mbak Wiwied merogoh masuk ke dalam pipa, tangannya seperti menggenggam sesuatu, lalu berusaha menariknya. Lalu keluarlah kotoran-kotoran yang menyumbat pipa itu. Ada bungus shampoo, sabun, tulang ayam, duri ikan, plastik snack – siapa coba yang mandi sambil makan? Atau jangan-jangan pup sambil makan? Hiii...Ada pula yang bentuknya berserabut, ternyata itu...
“Hiiii....rambuuutt!!” teriak gue sama Dalia bersamaan.
“Hiii...sisa mie instan!!”
“Hiiii...tali kutang!!”
“Hiiiii...!!!”
Ya ampun kelakuan anak kos ternyata... Gue sama Dalia masih teriak-teriak histeris, tapi nggak bantuin sama sekali. Haduh gue mengakui nggak kuat iman kalo menghadapi yang kayak gini. Jadinya, mbak Wiwied dengan tabah berjuang sendirian.
“Ayo mbak semangat! Semangat! Kamu harus semangat!!” gue mencoba memberikan semangat.
Mbak Wiwied malah ketawa. “Dasar kalian, adek kos durhaka!!”
Dan sekali lagi mbak Wiwied berjuang mengeluarkan sesuatu. Karena terbawa suasana, gue sama Dalia jadi bengong sekaligus penasaran dengan kejutan yang akan keluar selanjutnya. Daaaaan....
“Apa tuh? Apa tuh?” gue sama Dalia bersahutan.
“Ah, siaaaal!! Cangcut siapa nih?!!” teriak mbak Wiwied.
Kami semua terpukau melihat cangcut yang baru saja berhasil ditarik mbak Wiwied dari dalam pipa. Warna pinknya mulai menghitam karena kelamaan di saluran pembuangan. Saat itu pula, semua mata tertuju ke gue. Spontan gue jadi tersangka, karena jadi satu-satunya orang yang nyuci di hari itu.
“Ooopss. Bukan aku, sumpah!! Ukuranku lebih kecil dari itu. Aku juga nggak suka warna pink!”
Mbak Wiwied akhirnya koar-koar ke seluruh anak kosan, tapi tak ada satu pun yang mau ngaku. Alhasil, semuanya dibiarkan berlalu begitu saja. Tapi, buat gue, itu tindakan yang heroik sekali. Salut. Jadi, seandainya dalam soal ujian, kalian menemukan pertanyaan, “Siapa penemu cangcut?” kalian tau kan jawabannya siapa?




0 komentar:

Posting Komentar

MAMPET