Hijrah



“Dah, aku mau pindah kosan. Kamu ikutan nggak?”
Itu kalimat yang akhirnya gue ucapkan setelah dua tahun jadi anak kos di “LA*ASATI”. Tempat kos yang ada di belakang kampus ini lama-lama terasa gerah karena keberadaan makhluk-makhluk yang kejam di dalamnya. Mulai dari makhluk gaib sampai makhluk nyata semuanya suka ganggu.
“Serius jadi pindah ni Yas?” tanya Dalia balik. “Sama siapa aja?”
“Aku, Memey, sama Mbak Lina, sama kamu juga kalo jadi.”
“Aku idem aja deh Yas.”
Awal gue ngekos di situ semua terasa damai, tapi entah sejak kapan beberapa mbak kos mulai rese. Tingkahnya aneh-aneh, mulai dari suka ngebully temen kos, suka mendominasi remote TV, suka ngajakin ribut nggak jelas, suka makan kuaci sama kulitnya, dan seabrek tingkah nggak lazim lainnya. Melihat kelakuan mbak-mbak yang jahatnya tralala-trilili itu, kami membulatkan tekad untuk pindah. Sebenarnya, dari setahun yang lalu udah banyak anak kos yang pindah gara-gara nggak kuat sama tingkah mereka dan sisanya adalah kami berempat. Kami udah kayak makhluk terbuang di sana, dijauhi dan dilarang nonton TV. *hiks
Dalia lagi sibuk, jadi misi pencarian kos baru dilakukan kami bertiga. Pencarian kami lakukan door to door demi menghindari calo. Maklum ya, jadi anak kos kudu irit *teteup. Layaknya Kera Sakti yang berkelana mencari kitab suci, kami bertiga membolang kesana-kemari sambil nyanyi “perjalanan ini...terasa sangat menyedihkan...” *pasang muka tersiksa sambil bawa kaleng kosong.
Demi menemukan peradaban yang lebih layak, kami mengetuk pintu kosan yang satu dan beralih ke pintu kosan yang lain. Tak jarang kami ditolak, sisanya... nggak mau bukain pintu *pasang muka merana. Memang faktanya kosan yang murah banyak yang minat dan kalo mau ngekos di situ mesti indent jauh-jauh hari.
“Eh, yang itu bagus kayaknya?” ujar gue sambil nunjuk sebuah rumah. Pintunya diplitur, depan pintu ada parkirannya luas. “Ayo samperin, siapa tau ada kamar kosong.”
Mbak Lina dan Memey mengikuti. Kami mendekati pintu lalu mengucapkan salam.
“Assalamu’alaikum...assalamu’alaikum...”
“Permisiiii...”
“Buuuuk..Paaaakk..Permisiiiii...”
Nggak ada jawaban. Tapi kami masih belum nyerah. Lantas, kami meninggalkan norma sopan santun sejenak, lalu clingukan di jendela depan yang agak terbuka. Hati berdegup, harap-harap cemas, berharap nggak dikira maling. Kami mengintip semakin dalam.
Kepala gue masukin ke dalam jendela, tampaklah sebagian isi rumah itu. Ada bangku berjajar banyak sekali, juga ada...eh, apa itu? Gue berpikir sejenak. Kok rasanya mirip ....
“Itu bukannya patung Bunda Maria ya?” tanya gue ragu.
Semua mata tertuju pada benda yang gue maksud. Tak lama kemudian mbak Lina tersadar, “Woeyy!! Ini gereja, dodol!!”
“Ah, Tias, dasar sesat lo. Mau ngajakin kebaktian di sini?” Memey nggak terima.
“Haduh, iya, maaf maaf..” gue langsung minta mangap, eh maaf ke mereka. Sorry bukannya SARA, tapi kami kan muslim, masak ya mau ngekos di gereja. Bisa disangka murtad gue.
Kami melanjutkan perjalanan, menelusuri jalan tikus yang sebelumnya nggak pernah dilewatin. Rumah demi rumah kami datengin. Tapi tetep aja yang nolak banyak. Sekalinya ada kamar kosong, kosannya mahal, bisa mencapai 500 ribu per bulan. Jaman segitu duit 500 ribu buat beli es cendol bisa dapet sekarung. Kami langsung balik badan, kabur. Udah jelas nggak cucok buat kami yang kemana-mana pake sendal jepit, kalo mandi nggak pake shower, tapi pake pancuran, kalo ngampus nggak bawa tas, tapi bawa karung. *Pemulung dong?
“Kemana lagi nih mbak? Kita udah muter-muter jungkir balik tapi nggak nemu-nemu.” Gue mulai kelelahan. “Belum lagi sekarang kita nggak tau ada dimana?”
“Haduh, iya, kita dimana nih?” tanya mbak Lina. *Bagus, pertanyaan gue dijawab dengan pertanyaan.
“Memey tuh yang anak Geografi, masak nggak inget jalan?” gue nyeletuk.
“Aku belum diajari navigasi ya, tapi menurut pemetaan yang terekam di otakku, kayaknya kita masih di belakang kampus nih.”
GUBRAKK!! Iyalah. Daerah belakang kampus kan segitu luasnya. Tapi masalahnya itu daerah apa namanya? Itu dimana? Semua terlihat asing. Kami cuma bisa tengok kanan kiri tak tau arah, udah mirip anak ayam yang ditinggal emaknya. Batin kami menjerit, aku tersesat dan tak tau arah jalan pulang..uwoo..uwooow..
“Haduh, nggak tau deh, aku juga udah berasa kurus banget ini. Tapi kita udah pamitan, masak nggak jadi pindah?” ujar mbak Lina.
Oh iya, gue jadi inget kalo punya harga diri. Masak iya, mau balikan sama hantu di kosan lama, belum lagi udah pamitan sama mbak-mbak kosnya. Kalo ketahuan nggak jadi pindah, bisa disihir jadi tepung terigu ntar.
Nyari kosan ternyata susah, yang kami dapet cuma capek. Medan di daerah belakang kampus yang naik turun dan berkelok-kelok memaksa kami istirahat sejenak di tepi jalan. Lalu tak lama kemudian seorang ibu-ibu muda melintas.
“Cari kosan mbak?”
“Iya buk,” ujar Memey.
“Buat berapa orang?”
“Empat.”
“Di tempat saya ada sih, tapi tinggal satu kamar. Mau?”
Kami senyum-senyum...”Enggak buk, makasih.”
Ibu itu diam sejenak, lalu berbicara lagi, “Ooh..coba saya tanyakan di situ.”
Kami semua masih diem. Di dalam hati gue bersyukur banget, alhamdulillah ada yang mau nolongin. Padahal ibu itu punya kosan sendiri loh, tapi mau bantuin kami nyari kosan di tempat orang lain. Setelah beberapa saat, ibu itu menghampiri lagi.
“Mbak, di sini ada yang kosong. Coba dilihat dulu,” ujar ibu itu lagi.
Kami saling melirik dengan sesekali memandang ke arah kos yang dimaksud.
“Itu kosan?” tanya gue berbisik. Dari tadi kami neduh di depan tempat itu dan nggak pernah sekalipun terlintas di pikiran kalau itu adalah kosan.
“Aku juga mikir gitu, tadinya kukira itu gudang,” ujar Memey.
“Bukan gudang Mey, itu kayaknya garasi deh,” mbak Lina menimpali.
Tapi kami memantapkan hati untuk melihat dulu kondisinya. Kalo dilihat dari luar memang agak aneh. Tidak seperti rumah-rumah yang lain, rumah ini nggak begitu kelihatan kayak “rumah”. Tapi tampaknya prasangka kami salah, setelah dimasuki, semuanya jadi terasa wajar. Pertama kali masuk, kami disambut parkiran yang udah mejeng di depan ruang TV, ventilasi cukup, kamar mandi lengkap dengan tempat cucian dan banyak kran untuk wudhu, ruang dapur ada, tempat jemuran ada, TV kosan berwarna – remotenya juga alhamdulillah sehat, belum lagi mbak kosnya ramah banget kayak SPG Matahari.  Ternyata bener kata pepatah, don’t judge the book just from it’s writer, eh it’s cover. Kosan itu ternyata nggak seburuk kelihatannya. Kami langsung semangat buat pindah.
Setelah membayar sejumlah DP, kami berempat segera menyiapkan semua barang untuk dibawa pindahan. Kami mulai pindahan secepat mungkin. Sekarang kami udah bisa senyum-senyum sadis melihat kos lama yang terkutuk itu. Sementara itu di kosan baru, kami disambut dengan keramahan mbak-mbak kos. Rasanya tuh kayak anak tiri yang menemukan kembali ibu kandungnya *halah lebaaayyy.
Kos baru ini, namanya “LESTARI”, hampir mirip sama yang sebelumnya, tapi suasananya beda jauh. Meski di kos baru ini nggak ada penjaganya, mbak-mbak kos yang tangguh siap siaga 24 jam untuk bantu apa aja – kecuali ngasih makan. Bapak kos yang berdomisili di luar kota pun menitipkan kos adem ayem ini ke tangan Bu RT yang rumahnya di bawah kosan – maklum terpisah tanjakan. Jadi semuanya baik-baik aja.
“Yas, barang kamu yang tersisa apa aja?” tanya Dalia waktu pindahan.
Meski belum ditempatkan di kamar masing-masing, semua barang udah berhasil kami pindahin, kecuali yang satu ini.
“Almari,” ujar gue sambil ngelirik almari plastik yang masih anteng di kamar kos lama.
“Sama.”
“Jadi gimana nih mindahinnya?”
Gue sama Dalia bingung berjamaah. Jarak kos lama dengan kos baru sekitar dua ratus meter, deket sih. Tapi jalannya naik turun berkelok-kelok dan bergelombang kayak bulu ketek. Mau bawa almari itu pakai motor, susah. Mau sewa jasa angkut, mahal. Setelah cukup lama berpikir, akhirnya kami memutuskan untuk membawa almari itu dengan tangan kosong. Iya, dengan tangan kosong. Jangan bayangin kami mindahin almari kayak wonder woman, almarinya punya roda, jadi tinggal dorong aja dari tempat lama ke tempat baru.
Bawa almarinya sih memang nggak susah-susah amat, tapi nahan malunya itu loh yang susah. Di sepanjang jalan kami dilihatin orang-orang. Ibu-ibu yang beli sayur juga terpana, terlebih pas ngelihat gue. Gimana enggak, posisi gue ada di belakang almari sambil dorong almarinya, sedangkan almari itu tingginya setinggi badan gue. Jadi kalo dilihat dari depan almarinya kayak jalan sendiri. Raut muka mereka seolah heran, takjub, tapi juga bercampur takut. Tapi masih untung mereka nggak teriak.
ADA HANTU ALMARIIIII!!! ADA HANTU ALMARIII!!! *Sambil lemparin sayuran
Kalo yang lihat dari depan ada anak-anak ya teriaknya, “Ada Megatron!! Ada Megatrooon!! Awas Megatron kembali menyerang bumi! Cepat, panggil Optimus!!”
PLAKK! Gue nabok kepala gue sendiri dan khayalan gue pun sirna. Jalanan awalnya sepi, tapi entah mengapa waktu gue sama Dalia lewat kok jadi rame. Pas gue tengok ke belakang.
HADUUHH!! Anak-anak kecil di komplek ternyata pada ngikutin – kayang ngiring apa gitu. Spontan gue teriak, “Hush!! Hush!! Sono sekolah!!”
Tapi nggak digubris, gue lupa kalo ini hari Minggu. Jadi gue sama Dalia cuma bisa pasrah. Ya udah, nggak apa-apa deh, cuma sekali ini, batin gue.
Sesampainya di kos baru, kami udah disambut mbak-mbak kos yang lagi bersih-bersih kamar yang mau kami tempatin – beda banget sama mbak kos yang dulu. Tak hanya itu, mbak kos juga bantu mindahin dipan keluar kamar, soalnya nggak ada yang mau pake dipan. Gue takjub melihat mbak-mbak kos yang ramah itu punya kekuatan super untuk mengangkat dipan yang segitu gedhenya. *Waww mereka makannya apa ya?
 “Aduh mbak makasih banyak loh,” ujar gue cengengesan. Abis seneng udah dibantuin.
“Iya nggak masalah. Lagian yang seneng justru kita,” ujar mbak Wiwied – salah satu mbak kos yang merangkap sebagai bendahara kosan.
“Kok bisa gitu?”
“Iya, jadi sekarang bayar listriknya murah.”
Gue masih belum “ngeh”. *Apa hubungannya gue sama listrik? Gue nggak kenal. Sayur apa tuh? Gue nggak pernah makan. Melihat ekspresi muka gue yang kayaknya nggak bisa nangkep, mbak kos langsung angkat bicara lagi.
“Di sini kan bayar listriknya mandiri, jadi kalau ada kalian, tagihannya bisa disangga lebih banyak orang. Jadi murah kan?”
“Oooohh, semacam asuransi gitu...” gue manggut-manggut. Pantesan dari awal kayaknya mbak kos seneng banget liat kita dateng, ternyata.... Tapi tak apalah, itung-itung “simbiosis anakkosisme”, lagian juga nggak mungkin balik ke kos lama – takut dimakan.
“Oh iya mbak, ibu-ibu yang anter kami kemarin itu, punya hubungan apa sama yang punya kos sini? Kok baik banget mau nolongin?” tanya gue.
“Nahh, itu!!” mbak kos bikin gue kaget.
“Kenapa mbak?”
“Itu calo! Lagian kenapa sih kalian nggak ngetuk pintu sendiri, aku denger kalian nyari kos door to door? DP kalian yang kemarin tuh, separuhnya udah diminta sama calonya. Jadi kalian udah bisa tinggal di sini dengan tenang, nggak ada urusan sama calo lagi.”
“Haaahh?” gue bengong-bengong blo’on sambil garuk-garuk bibir. Ya ampun gue sama temen-temen udah mirip sales  door to door biar nggak ketemu calo, tapi ujung-ujungnya kena juga. Ternyata gue selama ini terlalu lugu.
Cheers up dek bro!” mbak Wiwied mencoba menghibur. “Udah nggak apa-apa, ikhlasin aja. Aku dulu juga gitu.”
“He?”
***
Inilah awal perjalanan konyol gue. Kehidupan miring yang gue alami, sebagian besar terlaksana karena adanya sumbangsih tingkah-tingkah absurd dari rekan-rekan gue. Inilah mereka.
Dalia. Nama panjang Dahlia Heranita. Seperti namanya, dia sering banget membuat orang jadi “heran” kalo lihat tingkahnya yang kadang slow respon dan cuek banget. Gue sering panggil dia dengan nama panjang “Dalia” atau nama pendek “Dah”. Gadis kelahiran Klaten ini, rajin pulang seminggu sekali untuk ambil uang saku. Cewek yang mengambil jurusan Pendidikan Biologi ini punya muka yang fleksibel, kalo rambutnya pendek ia jadi ganteng, kalo rambutnya panjang, ia jadi cantik. Dalia adalah seorang aktivis di dunia sosial media, meski demikian ia tidak pernah mengkonfirm ajakan pertemanan dari ayahnya sendiri di facebook. Terakhir kali statusnya jomblo, karena dikhianati pacarnya.
Mbak Lina. Cewek yang mengambil jurusan Teknologi Pangan ini punya badan yang lumayan gedhe – sesuai jurusannya. Cewek yang doyan ngemil ini paling suka muter musik ajeb-ajeb kalo di kosan. Statusnya jomblo, tapi temen cowoknya banyak banget dan mayoritas bule. Di tempat kelahirannya, Pekalongan, Mbak Lina pernah mengalami traumatik yang mendalam dalam hal percintaan yaitu ketika Mbak Lina pacaran dengan sesama pribumi. Seseorang memberikan kabar kalau pacarnya mati, tapi ternyata itu bohong, mbak Lina sempat ketemu secara nggak sengaja dengan pacar (yang katanya udah mati itu) di bus. Yang bikin kecewa itu bukan karena Mbak Lina telah dibohongi, tapi karena Mbak Lina udah bacain yasin tiap hari buat dia. *nah lo!
Memey. Nama asli Mei Nurul, tapi karena mukanya imut-imut mirip temennya Ipin dan Upin, jadilah kami panggil Memey. Cewek ini lahir di Ngawi dan besar di Ngawi, hingga akhirnya kuliah di Solo. Meski rumahnya deket, Memey jarang pulang karena sibuk banget sebagai aktivis kampus. Pernah suatu kali Memey pulang kampung, tapi baru sebentar udah balik lagi, anak-anak di kos sampai nggak sadar kalo dia udah pulang kampung. Salah satu hobi yang paling digemari adalah jalan-jalan dan tidur dan terkadang tidur sambil jalan-jalan, jadi nggak salah kalo dia miih jurusan Pendidikan Geografi. Soal hobi tidurnya, Memey punya kebiasaan bisa tidur di segala kondisi, bahkan ia bisa tidur nyenyak meski ada bencana alam melanda. Status cewek imut ini jomblo.
Mbak Wiwied – mbak kos baru. Mbak kos satu ini baik dan pintar memanajemen keuangan, setelah diusut ternyata jurusannya Pendidikan Ekonomi. Kepandaiannya dalam bidang manajemen itulah yang membuat penghuni kos mempercayakan jabatan “bendahara” kepadanya. Status terakhir, jomblo, karena cintanya udah mentok di mantan.
Mbak Ceria – mbak kos baru. Cewek satu ini adalah mahasiswa FISIP. Ngomongnya cepet banget, anak-anak yang denger biasanya minta ucapannya itu diulangi sekali atau dua kali agar bisa dimengerti. Status jomblo perak, abis dari lahir jeger sampe sekarang nggak pernah mau pacaran. Mbak Ceria tipe cewek yang smart, tubuhnya tinggi semampai, rambutnya panjang dan lurus kayak Sailor moon, badannya kurus – enak kalo dibonceng motor.
Vicky – adek kos baru. Vicky adalah mahasiswa D3 ekonomi yang punya tubuh seksi abis. Gaya bahasanya juga seseksi tubuhnya. Cewek asli Klaten ini tetangga jauhnya Dalia. Dari sekian anak kos, Vicky adalah satu-satunya yang sering berkomunikasi dengan bapak kos – karena ia saudaranya. Jadi, kalo ada komplain soal kosan, kami langsung ngadu ke Vicky.
Yup, mereka itu adalah rekan awal perjalanan dodol selanjutnya. Kami adalah Laskar KBJ. Bukan, bukan Kamus Bahasa Jawa, tapi Kos Binaan Jarot. Merdekaaa!!!




0 komentar:

Posting Komentar

Hijrah