Tunggulah Aku



Aku menutup bukuku agak keras, “Sudah, cukup, Tommy! Jangan memandangku seperti itu. Kamu menyiksaku.”
“Baiklah, kalau begitu tetaplah di sini, tak perlu meliput ke Suriah, lalu aku akan bersikap seperti biasanya.”
Aku menghela nafas. “Tugas ini penting sayang. Oh, ayolah, bulan depan aku akan kembali.”
Hening. Dia sama sekali tak mampu menyembunyikan raut wajahnya yang lesu.
Kutarik lembut dagunya, lalu kuhadapkan lekat dengan wajahku, “Tersenyumlah, aku pun pasti akan merindukanmu.”
Dia berontak, “Ah, Dylan, aku bisa gila! Baiklah, jika kau memaksa pergi, kau harus marah dan menamparku dengan sangat keras agar aku bisa membencimu untuk sementara.”
Aku menggeleng cepat, “Tak adil, itu terlalu berat.”
“Nah, sekarang kau tahu kita tak bisa jauh kan?”
“Sayang, pleeaaaase, setelah ini kau boleh melamarku.”
“Benarkah?”
Aku tak menyangka ia akan menyahut dengan cepat. Ada raut kaget serta gembira di wajahnya, namun raut khawatir itu belum juga sirna. Hatiku berdegup. Oh Tuhan, sungguh, terima kasih Kau hadirkan dia yang begitu mencintaiku. Kutatap dalam kedua bola matanya, kusapu lembut rambutnya hingga tampak sedikit berantakan.
“Tunggulah aku... I love you.”





0 komentar:

Posting Komentar

Tunggulah Aku