Struk



Ada banyak alasan kenapa makhluk kosan baik-baik macam gue ini nggak begitu rukun sama TV. Pertama, TV itu nggak punya tombol pause. Kedua, TV itu penuh dengan mbak-mbak cantik. Orang-orang cantik itulah yang membuat para pemirsa TV khilaf tiap beli kosmetik, dengan harapan ingin jadi cantik seperti idola mereka. Ketiga, gue heran kenapa serangga semacam semut bisa hidup di TV. Keempat, kenapa TV itu penuh dengan iklan-iklan yang menggiurkan. Nahh, alasan yang terakhir ini agaknya sering bikin manajemen keuangan gue morat-marit. Seperti yang terjadi kali ini.
Entah mengapa di TV lagi gencar-gencarnya iklan coklat. Gue nggak tahu rasanya udah dua minggu ini gue ngidam coklat. Gara-gara iklan terkutuk itu juga sih, nggak pakai sensor, efeknya gue kepincut dengan mudahnya deh. Belum lagi kegiatan kampus mulai padat lengkap dengan deadline tugas yang bertubi-tubi, bikin gue stres. Gue pengennya kalau udah mulai sumpek gini sih larinya ke cowok cakep buat ngademin pikiran. Tapi berhubung cowok-cowok pada lari kalo lihat gue, ya udah gue lari ke coklat aja. Meski harus mempertaruhkan jatah uang makan selama sebulan, pada akhirnya gue memutuskan untuk membeli coklat.
Seperti biasa, gue pergi ke minimarket dekat kosan. Sebelumnya gue udah menyiapkan budget yang kira-kira cukup lah buat beli sesuap coklat. Ketika sampai di TKP, gue langsung cus pergi ke rak coklat.
Alamaak, coklatnya, banyak nian. Ada yang impor, ada yang lokal. Dari yang bentuknya bulet-bulet, batangan, stick, semuanya ada. Ukurannya juga bermacam-macam lagi. Semuanya gue selami satu per satu, spontan mata gue mupeng, serasa melihat surga dunia. Pikiran aneh-aneh mulai hinggap di kepala gue.
“Andai aja gigi gue kuat makan coklat sebanyak ini, pasti gue beli semua.” Ujar gue ngedumel sendiri. Tapi mimpi kali ya, mana mungkin gue ikhlas beli coklat sebanyak itu, kan uang makan plus kesehatan gigi gue dipertaruhkan.
Gue balik lagi ke niat semula, beli sesuap coklat alias secukupnya aja. Gue milih satu yang rasa orange, satu strawberry, satu coklat putih, dan satu lagi yang original. Coklat yang gue beli ini emang lagi jadi tren di kalangan coklat. Semoga aja dengan makan coklat ini, nantinya gue bisa ngetren juga. *Amiiiin
Coklat udah di tangan, gue langsung pergi ke kasir. Nggak tahu kenapa minimarket lagi rame. Jadi gue harus antri di barisan yang panjang itu. Setelah menunggu beberapa lama tibalah giliran gue. Mbak kasir langsung cekatan melaser semua barang.
“Totalnya lima puluh empat ribu mbak.”
Gue mengeluarkan selembar uang seratus ribu dari dompet buat bayar. Mbak kasir menerimanya lalu memberikan struk plus uang kembalian.
“Ada recehnya nggak apa-apa?” ujar mbak kasir.
“Nggak masalah.”
Lalu terdengar bunyi “pyaaaarr...krincing... krincing... krincing”. Recehan gue jatuh tercecer di lantai. Gue langsung sigap memungut semua koin itu satu per satu. Gue melihat ada struk juga, spontan langsung gue ambil. Antrian jadi macet gara-gara ada aktifitas ambil koin di situ, sialnya pelakunya adalah gue sendiri. Setelah terpungut semua, gue langsung balik ke kosan sebelum dikeroyok antrian panjang itu.
Di kosan lagi sepi, jagi gue langsung masuk ke kamar. Gue udah nggak sabar nyicipin coklat yang gue beli barusan. Jadi gue segera membongkar belanjaan gue dan gue mengambil satu coklat yang rasa strawberry. Ya ampun rasanya, lembut banget, kombinasi coklat sama milknya pas, jadi nggak bikin eneg. Perisa strawberry-nya juga nggak kebanyakan, belum lagi ada potongan buahnya yang enak banget. Rasanya lidah gue jadi mudah akrab sama coklat ini. Jadi nggak nyesel gue belinya.
Selesai makan, gue langsung beresin belanjaan gue. Coklat plus struknya gue taruh di rak kosmetik dan bungkus plastiknya gue kumpulin sama keluarga plastik yang lain. Lalu gue balik lagi ke ranjang gue yang nyaman dan nonton film di lepi. Tiba-tiba terdengar suara dari luar kamar.
“Yas, kamu lagi ngapain?”
Dari suaranya sih kayaknya mbak kos.
“Lagi nonton film mbak, buka aja bajunya, eh pintunya.”
Mbak kos pun membuka pintu. Dari tempat gue duduk, terlihat kepala mbak kos yang nongol melalui daun pintu, tapi badannya masih di luar.
“Yas, abis borong apa tadi?”
“Hah?”
“Tadi aku lihat kamu di minimarket. Aku nyapa kamu, tapi kamunya nggak lihat. Padahal aku udah heboh loh tadi.”
“Hah?” Gue berpikir mbak kos pasti salah orang. Soalnya tadi gue nggak lihat mbak kos, yang gue lihat hanya sekumpulan coklat yang nunggu dibeli. Lalu gue kembali teringat, oh iya..kan minimarket tadi rame. “Maaf mbak, mungkin aku nggak lihat mbak, jadi nggak ngerespon.”
“Iya nggak masalah. Eh, beli apaan tadi kamu?”
“Itu,” ujar gue sambil nunjuk ke arah rak kosmetik tempat gue naruh coklat.
Mbak kos pun mengarahkan pandangannya ke arah yang gue tunjuk, lalu mengambil sebuah struk. Muka mbak kos tiba-tiba berubah jadi serius banget.
“Mbak mau coba? Aku tadi udah coba yang rasa stawberry enak loh.”
“Kamu udah coba yang strawberry?” tanya mbak kos terbata.
 “Iya,” jawab gue pendek. Entah kenapa mbak kos jadi mandangin gue aneh. Spontan otak gue langsung berpikir, mbak kos pasti nggak suka coklat. Jadi, gue makin gencar menjelaskan kalau coklat itu enak dan mbak kos wajib ngerasain enaknya kaya gimana.
“Mbak mending coba dulu deh. Yang rasa buah, aku masih punya tuh yang rasa jeruk.”
“Enggak. Makasih.”
“Tapi ini enak mbak. Rasanya tuh lembut banget, pokoknya langsung lumer deh di mulut.”
“Hiiyeeekkk!!”
“Hah?”
Ekspresi mbak kos makin aneh. Tangannya bergerak perlahan meletakkan struk yang di pegangnya ke tempat semula. Lalu ia balik badan dan pergi ninggalin gue gitu aja. Gue jadi makin aneh sama tingkah mbak kos. Masak nggak suka coklat sampe segitunya.
“Dasar mbak kos yang aneh,” ujar gue heran.
Gue langsung berdiri menutup pintu. Mata gue melirik sejenak ke arah rak kosmetik, gue ambil struk yang tadi dibaca mbak kos.
Ohemji! Struk apa ini. Mata gue terbelalak. Gue menemukan struk kondom sodara! Spontan gue menarik nafas panjang.
Jadi struk yang tadi gue ambil itu...?
Ketika orang lain membeli kondom dan meninggalkan struknya, gue justru memungut struk itu dengan semangat. Bodohnya.




0 komentar:

Posting Komentar

Struk