Sebuah
fakta lucu tentang matahari, jika tak nampak akan dirindukan, jika tampak akan
dihindari. Kita semua melakukannya bukan?
Berbeda
dengan gadis ini. Titan, gadis yang baru saja menginjak usia dewasa ini ngefans
berat dengan cahaya mentari. Ia selalu punya cara sendiri untuk menikmati
setiap guratan sinarnya.
Pukul
lima pagi, ia berbegas ke kamar mandi berwudhu dan segera melakukan
kewajibannya. Titan tidak berniat untuk tidur lagi, ia membuka jendela kamarnya
yang masih beku oleh malam.
Ia
hanya berdiri, menanti pagi dari balik jendelanya. Pagi selalu datang
menyapanya melalui jendela ini. Sinar mentari pagi menjulur malu melalui
sela-sela teralis jendelanya yang memang sengaja dibiarkan terbuka sejak semalam.
Ia menarik nafas dalam hingga udara pagi yang segar masuk ke dalam paru-parunya
dan membersihkan segala peluh yang tertinggal. Ia mengulurkan tangannya keluar
jendela, menengadahkan telapak tangan kanannya mencoba menyentuh cahaya-cahaya
pagi yang tengah menyapa kamarnya. Merasakan hangatnya Tuhan melalui
cahaya-Nya, merasakan hembusan angin pagi yang selalu rajin memberikan hawa
baru bagi setiap makhluk yang dilewatinya. Jendela ini adalah salah satu
sahabatnya juga, sahabat yang selalu mengajari rasa syukur atas hal-hal
sederhana yang melewati jendela itu, angin, cahaya, udara, semua tampak begitu
berharga. Ia selalu menikmati paginya seperti ini, seolah waktu dapat berjalan
lebih lamban dan selalu melahirkan hidup yang baru setiap harinya.
Hari
ini, sudah genap tiga bulan ia menjadi mahasiswa salah satu kampus di Surakarta.
Titan memang sengaja memilih kampus sederhana ini untuk melanjutkan jenjang
pendidikannya, ia yakin kalau tidak ada yang lebih damai dan tenang melebihi
hidup dengan sederhana dan normal. Selama ini memang ia selalu berusaha
menjauhi lingkungan metropolis yang kehidupannya serba hedonis.
Titan
berangkat lebih awal ke kampus, agaknya cahaya mentari sudah berhasil
memberinya semangat lebih. Di kampus, seperti biasa ia mengikuti kuliah yang menurutnya
sangat membosankan. Meski dosen pengajarnya masih muda, tetap saja mata kuliah
itu tidak pernah menarik.
Seperti
beberapa mahasiswa lain, Titan juga tidak begitu menyimak tentang apa yang
disampaikan oleh dosen. Terlebih karena di belakang bangku Titan, beberapa
mahasiswi sangat berisik karena sedang menggunjingkan Aldo, teman sekelasnya
yang sudah diberi stempel “makhluk paling cakep di jurusan Linguistik”.
Sebenarnya Titan tidak peduli, toh dia sudah punya Hangga, kekasihnya yang setia
dari masa putih abu-abu sampai sekarang yang kini tengah bekerja di sebuah
perusahaan pertambangan di Kalimantan sejak tujuh bulan silam. Tapi,
suara-suara kagum yang dilebih-lebihkan oleh sahabat-sahabat barunya itu
tampaknya membuat Titan mengundurkan egonya sejenak untuk menoleh sekilas ke arah
tempat duduk Aldo. Titan sendiri sebenarnya tidak begitu memperhatikan yang
mana yang namanya Aldo, dia mengakui kalau ingatannya sangat buruk.
Titan
menengok, namun dia tidak seperti orang penasaran sama sekali. Makhluk yang
teman-temannya sebut sebagai “Aldo” mungkin duduk sederet dengannya, jadi ia
hanya menolehkan kepalanya namun tidak mencari-cari. Pandangan kosong yang
Titan pancarkan tiba-tiba terhenti beberapa detik pada mahasiswa berbaju
kotak-kotak orange. Titan sangat suka sekali warna orange seperti ia menyukai
jeruk. Tidak banyak pria yang mau menggunakan baju warna orange, teman
sekelasnya itu jadi kelihatan sedikit berbeda. Aldo cakep juga, batin Titan.
“Bukan
yang itu Titan, sebelahnya lagi,” bisik Dewi pelan hampir tak terdengar. Dewi
yang duduk tepat di sebelah Titan sudah tidak kuat menahan hasrat untuk
menegur.
“Hah?”
Titan bengong. “Itu Bagas, kalau Aldo yang sebelah kirinya tuh yang baju biru,”
Dewi menjelaskan pelan.
“Hah?”
Titan semakin bengong sama Dewi yang baru sebentar jadi temannya tapi selalu
bisa menebak segala tingkah Titan. Selain itu, Titan jadi merasa kalau ia
memang tidak peka dengan cowok ganteng.
“Kamu
nggak nyadar udah berapa menit kamu ngelihatin dia?” tanya Dewi.
Merasa
tertangkap basah, Titan hanya bisa nyengir kuda. Pandangan Titan masih mengarah
pada Bagas, namun Bagas tak menyadarinya sedikitpun. Namun ada yang membuat
Titan resah. Ia merasa kalau ada seseorang yang sedang memperhatikannya pula.
Namun ia tak menemukan sosok itu karena tiap kali Titan menoleh, ia selalu
lebih dulu memalingkan muka.
Tak
ingin berlama-lama dengan pikirannya yang tak tentu, ia kembali mengalihkan
pandangannya pada Pak Dosen dan mencoba kembali fokus pada kuliahnya. Tapi
telat, karena kuliah sudah ditutup lima menit yang lalu dan Pak Dosen juga baru
saja keluar kelas.
“Makanya
jangan bengong mulu Tan, jadinya Pak Dosen udah pergi aja kamu nggak tahu kan?”
lanjut Dewi.
“Hish,”
Titan yang merasa tertangkap basah pun langsung pasang muka cemberut. “Ada
tugas nggak tadi?”
“Cuma
bikin makalah tentang fenomena psikolinguistik yang ada di masyarakat. Di
kumpulin minggu depan. Udah ah, ke kantin yuk?” ajak Dewi yang sudah selesai
beres-beres dengan bukunya.
“Males
ah, di kantin banyak kakak tingkat yang gatel.” Titan jutek. “Beli cemilan aja
yuk?” ujar Titan lagi.
“Yeeee...
itu mah ke kantin juga namanya.”
“Ih,
bukan ke kantin, tapi ngapelin baksonya Bang Jefri.”
“Bushet
dah ni anak, kemarin lo udah beli empat mangkok, sekarang masih mau lagi?”
Titan
emang terkenal ngefans banget sama baksonya Bang Jefri sekaligus sama abang
penjualnya. Bahkan meski tak ada kuliah pun Titan bakal bela-belain ke kampus
buat beli baksonya Bang Jefri pas lagi pengen. Jika sudah makan baksonya Bang
Jefri, segala kepenatan yang Titan rasakan seolah hilang, termasuk pikiran-pikiran
tentang kekasih LDR-nya.
Meski
Dewi bosan nemenin Titan ke situ, ujung-ujungnya mereka pergi bareng juga,
soalnya Dewi paling males kalo pergi nggak ada temennya. Titan dan Dewi paling
suka menikmati bakso di shelter kampusnya.
“Rasanya
enak aja gitu, ketika bisa santai makan bakso sementara orang lain sibuk
berlalu-lalang dengan urusan kuliahnya, hahaha,” ujar Titan niruin logatnya
penjahat di film anak-anak.
Dewi
diem, memilih tidak berkomentar. Titan kalau pagi memang lemah lembut seperti
makhluk halus, tapi kalau paginya sudah habis, dunia bakal liat kelakuan
aslinya kayak apa.
Setelah
habis tiga porsi bakso, Titan tiba-tiba jadi anteng.
“Kenapa
lo?” Kekenyangan?” Dewi penasaran.
“Enggak
apa-apa, rindu aja masa-masa SMA.”
Sumpah
ini anak random banget, Dewi nggak nyangka kalau overdosis baksonya Bang Jefri
bisa bikin orang jadi aneh kayak Titan.
“Eh,
kenapa lo?” Dewi heran, soalnya nggak biasa melihat Titan galau setelah
kenyang, biasanya malah beringas.
“Gue
kangen...” ujar Titan lirih.
Mata
Titan sedikit meredup. Tubuhnya memang berada di dekat Dewi, tapi pikirannya
tidak. Entah mengapa, sepintas ia merindukan sosok kekasih yang telah
bersamanya sejak jaman putih abu-abu dulu.
Hangga.
Ya, Titan lebih sering memanggilnya seperti itu. Tak seperti kekasih lain yang
punya panggilan khusus untuk kekasihnya. Titan dan Hangga berpacaran sudah
lebih dari dua tahun. Hangga adalah teman sejak kecil Titan hingga ia lulus
SMA. Mereka selalu berada di sekolah yang sama.
Sayangnya
kini hubungan mereka terpisah oleh jarak yang sangat jauh. Kesibukan Hangga dan
Titan menyebabkan komunikasi di antara keduanya tidak seharmoni dulu. Tentang
hubungannya ini, tak satupun teman kuliahnya yang tahu.
Dewi
tak mengerti apa yang telah merasuki temannya. Tapi, melihat ekspesi Titan yang
serius, Dewi langsung pasang kuping buat dengerin Titan. Naluri keibuan Dewi
memang selalu muncul di saat-saat seperti ini.
“Ah,
udah yuk, kita ke kantin aja,” Titan mengalihkan pembicaraan. Ia sungguh rindu
sosok pria teduh itu. Pria yang selalu menjaganya dengan kasih sayang. Tapi di
sisi lain dirinya, Titan sudah bertekad untuk menjadi gadis yang periang.
Itulah tekad yang ia tancapkan ketika Hangga memutuskan untuk bekerja di
Kalimantan. Titan akan menjadi gadis yang ceria, meski tanpa Hangga.
Sementara
itu, Dewi hanya bisa geleng-geleng melihat sikap aneh temannya.
“Titaaaan,
gue udah serius dengerin lo dari tadi! Kalau cerita itu jangan
setengah-setengah kayak barang diskon bisa nggak sih?” Dewi menghela nafas
kesal.
“Galau
bikin gue laper,” jawab Titan datar. Ia berusaha menyembunyikan perasaannya.
“Eh,
lo galaunya juga cuma sebentar doang tadi!!” seru Dewi.
Titan
tidak menggubris. Di kantin, Titan membeli sebungkus kripik kentang dan sebotol
air putih. Ia menyodorkan jajanannya ke kasir. Sementara Dewi berusaha jaga
jarak sejauh mungkin dengan Titan biar dikira nggak kenal sama cewek yang
maniak makan. Tiba-tiba terdengar bunyi sms dari hp Titan. Dari nomor baru,
Titan membuka dengan enggan, namun tiba-tiba saja raut muka Titan berubah
secara ajaib.
“Nanti
kuliahnya kosong Deeeeew!!” teriak Titan yang tanpa sadar telah menyita
perhatian orang-orang yang berada di kantin itu *emang dari jamannya Om Rano Karno sampai jamannya abang Lee Sung Gi
yang namanya kuliah kosong itu rasanya nyenengin banget.
Titan
nggak sadar kalau orang-orang di sekitarnya tiba-tiba ngeliatin dia, Dewi yang dari
tadi mencoba jaga jarak pun merasa usahanya sia-sia karena namanya telah
disebut secara paksa.
“Aku
pengen ke perpus, mau ikut nggak?” tanya Titan.
“Ih,
males banget. Kayak rayap lo, makan kertas.”
“Gini
nih, gimana bangsa Indonesia mau maju kalau rakyatnya nggak pernah makan buku?”
Titan menyindir.
“Kan
gue makan kabel, nggak makan buku.” Dewi keukeuh. “Lagian ya Tan, kamu kan bawa
sepeda gunung yang jelas-jelas nggak ada boncengannya, terus nanti aku
diboncengin dimana?”
“Oh
iya ya...nggak enak juga kalau disangka ke perpus dianter nyokap,” ucap Titan
diikuti tawa puas sekali.
Dewi
manyun-manyun. Dewi memang pobhia bawa kendaraan. Jadi meski mereka sekosan,
Dewi lebih memilih jalan kaki ketimbang berangkat bareng Titan.
“Ya
udah aku sendiri aja ntar,” lanjut Titan.
“Sorry ya Tan, aku tu mau ngelesin
anak-anak habis ini. Nanti deh, kalau udah musim skripsian aku temenin ke
perpus,” ujar Dewi sambil senyum-senyum sok imut.
“Emang
kamu tu rajinnya di musim genting doang,” ujar Titan mengakhiri pembicaraan dan
akhirnya ia milih nggak usaha lagi. Titan menyadari sebuah fakta, kalaupun ia
tiap hari rajin ke perpus juga nggak akan bisa ngalahin pinternya Dewi yang
lagi malas-malasan, jadi wajar aja kalo ngajakin Dewi ke perpus memang agak
susah. Entah mengapa, Dewi keliatan sempurna banget di mata Titan.
Finally, Titan ke
perpus sendiri dengan sepeda kesayangannya, Biru. Setiap hari, Titan memang
selalu ngampus dengan Si Biru. Kebiasaan naik sepeda ini yang bikin Titan kelihatan
beda banget di kampusnya, Titan lebih kelihatan buluk dibanding mahasiswi lain.
Alasan ini juga yang bikin Titan nggak begitu suka sama yang namanya mandi,
habis nggak ngefek, mandi nggak mandi di kampus tetep buluk juga, mandi nggak
mandi Titan tetep dikira nggak mandi, ya udah.
Dengan
dandanan rambut kuncir belakang dengan beberapa helai rambut yang dibiarkan
terurai berantakan Titan pede aja berangkat ke perpus yang isinya mahasiswa-mahasiswi
yang udah modis dan stylish. Ia
mengayuh sepedanya dengan santai. Titan nyaman banget sama gayanya. Titan memang
tomboi banget, sekalinya dia feminim jadinya malah kayak banci, jadi dia nggak
pernah nyoba buat jadi feminim lagi. Jadinya ya ia seperti ini setiap harinya, be herself, dan selalu enjoy sama apa aja yang ada di
hadapannya.
“Titaaaaan!!” sapa salah seorang temen Titan
yang kebetulan ketemu Titan di jalan. Sekejap Titan yang lagi bengong jadi
sadar.
“Hooey!”
Titan menoleh tapi udah nggak ada orang, secara Titan naek onthel dan temennya
naik motor. Soal gaya bicara Titan yang gagah banget, itu disebabkan waktu SMA
ia pernah magang jadi kenek.
Titan
balik fokus lagi sama jalannya, tapi Titan merasa ada aneh dengan sepedanya
yang melaju semakin kencang, tapi remnya mendadak tak berfungsi.
“Lhoh...lhoh...lhoh,
remnya kenapa nih?” kedua rem Titan tidak berfungsi, ia melaju semakin cepat,
jalan turunan belakang kampus meski tidak begitu curam telah berhasil membuat
sepeda gunung Titan meluncur dengan kecepatan 40km/jam. Titan panik, terakhir
kali rem-nya blong, Titan nabrak ayam di komplek kosnya dan kali ini ia tidak
mau kalau nilai kriminalitasnya meningkat jadi nabrak orang. Ia berusaha fokus
dan mengendalikan setirnya sambil
teriak-teriak ke orang-orang yang di depannya biar minggir. Anehnya,
orang-orang bukannya menyingkir tapi justru terpukau melihat kelakuan aneh
Titan.
“Minggir
baaaaang!!!” Teriak Titan semampunya dan bruuuugggh,
Titan sukses nubruk hingga terjatuh, sedangkan abang yang ditabraknya cuma
oleng sebentar. Cowok dengan motor gede yang melaju pelan itu menoleh ke
belakang dengan heran, dia yang nabrak
kok dia yang jatuh, batinnya. Awalnya si cowok ingin marah, kalo-kalo
motornya lecet, tapi lama-lama ia justru kasihan, habis Titan yang sudah agak
lama tersungkur tidak ada yang menolong juga, cowok itu akhirnya memutar balik
motornya dan menghampiri Titan.
“Nggak
apa-apa kamu?” tanya cowok itu jutek.
“Enggggg...gaaakk,”
jawab Titan kaget melihat siapa yang ditabraknya. Ternyata dia teman sekelasnya
sendiri, orang yang sudah membuat perhatian Titan tersita sejenak dan
membuatnya lupa akan mata kuliah yang ia ikuti tadi pagi, Bagas. Titan bangun
secara perlahan dan Bagas membantunya berdiri juga mendirikan sepedanya.
“Kok
bisa nabrak sih, perasaan aku naik motornya pelan, udah minggir juga,” ujar Bagas
heran, tapi Titan hanya bengong, ia sebenarnya tidak sedang mendengarkan, tapi
sedang menikmati pemandangan indah di depannya. Bagas ternyata kelihatan lebih
cakep kalau dilihat dari deket. Kali ini untuk yang kedua kalinya Titan merasa
Bagas sudah sukses menyita perhatiannya, badannya yang tinggi, gagah, dengan
balutan baju kota-kotak warna orange
agak longgar menutupi tubuh dewasanya yang sudah terbentuk. Titan jadi nggak
nyesel nabraknya.
“Sepeda
kamu gimana nih?”
Titan
masih terdiam. Bagas mulai mengoyak bahu Titan pelan, mencoba menyadarkan
hingga ia tersentak.
“Sepeda
kamu nggak apa-apa? Masih bisa dinaikin kan?” tanyanya lagi dengan nada yang
masih jutek.
“Oh..eh,
nggak apa-apa kok,” Titan masih nggak konsen. “Aku nggak tahu kalau kampas
sepedaku habis, maaf ya.”
“Ya
udah deh, kita bawa sepeda kamu balik, nanti aku anter kamu ke kampus.”
Mendengar
kata-kata itu otak Titan langsung bekerja. Ada yang aneh sama kalimatnya.
Spontan Titan bilang, “Lhoh, nggak bisa gitu dong, kan aku yang nabrak masak
kamu yang tanggung jawab!” jelas kalimat itu nggak butuh waktu lama buat ia
sesali.
Bagas
terdiam bingung.
Titan
beneran nyesel. “Emm, sorry, maksud
aku, kamu nggak seharusnya nganter. Aku bisa sendiri kok” jawab Titan bohong.
“Udah...ayo
buruan, sebelum aku berubah pikiran.”
“Ya
udah, ayokk!!” jawab Titan semangat sekaligus memberikan tip ex atas ucapannya
barusan.
Bagas
akhirnya memboncengkan Titan yang memang sudah sepaket dengan sepedanya menuju
kosan. Sebenarnya, Titan masih merasa aneh dengan sikap Bagas, lelaki itu sama
sekali tidak menunjukkan ekspresi khawatir, nadanya selalu datar cenderung
jutek, tapi kok baik, masak ada cowok yang jutek dan baik sekaligus. Titan jadi
menyimpan sedikit rasa curiga – padahal jelas-jelas Bagas itu teman sekelasnya
sendiri. Namun, di tengah-tengah kecurigaannya itu, Titan tetap kagum juga
sampai ia senyum-senyum sendiri ngelihatin punggung Bagas yang lebar dan kekar.
Di
perjalanan balik ke kampus. Bagas membuka pembicaraan.
“Gedung kuliah kamu yang mana nih?”
“Loh,
kan kita temen sekelas, masak kamu nggak kenal aku? Kita udah temenan selama
tiga bulan.” Titan sampai bingung harus merasa heran, malu, atau kesel dengan
pertanyaan Bagas – Titan nggak nyadar kalau dia juga nggak hafal dengan
temen-temen sekelasnya.
“Oh,
sorry...sorry...Jadi, nama kamu siapa?”
Titan
nyengir. Sombong banget jadi orang, sama
temen sendiri nggak tahu namanya, batin Titan mengomel. Lagi-lagi Titan
lupa kalau dia sendiri juga gitu. Titan tahu namanya Bagas juga baru tadi pagi,
itu juga karena kebetulan dikasih tahu sama Dewi.
“Aku
Titan,” jawab Titan kesel.
“Aku
Bagas.” Bagas enteng banget ngomongnya kayak kenalan sama anak baru.
Gue udah tahu, batin Titan.
“Mau
kemana nih?”
“Perpus,”
Titan masih bicara datar.
“Oh,
ya udah kita ke sana, kebetulan aku mau balikin buku. Kamu mau ngapain ke
perpus?”
“Nyari
referensi buat tugas.”
“Lhoh,
ada tugas?”
“Lhah,
yang tadi?”
Bagas
bingung. “Tadi mana? Kuliah kita kan hari ini cuma satu, itu juga Pak Dosen
nggak ninggalin tugas.”
Titan
keukeuh, “Bukannya kita dikasih tugas buat bikin makalah psikolinguistik?”
“Hah?”
Bagas bengong. Ini anak sebenarnya
terlalu rajin atau terlalu aneh, desis Bagas dalam hati.
“Hari
ini ada tugas nggak sih?” Titan yang tadinya yakin banget kalau ada tugas,
malah balik tanya.
“Enggak
ada kayaknya,” jawab Bagas setengah bingung. Bagas sendiri sebenarnya nggak
yakin, takutnya kalau memang ada tugas tapi dianya yang nggak ngerti. Kedua
makhluk pasca unyu-unyu itu jadinya bengong berjamaah.
Titan
diam, berpikir sejenak. Apa gue
dibohongin sama Dewi ya? Ah, kurang ajar tu anak!
Titan
merasa bodoh sekali setelah dirinya menyadari bahwa secara tidak sadar ia telah
mengizinkan dirinya untuk dikerjai Dewi yang sepertinya sangat polos. Titan
jadi merasa bersalah sama Bagas. Ia pun berusaha menutupi rasa malunya.
“Mungkin
aku yang salah denger kali ya? Oh iya, aku salah denger kan tadi aku nggak
dengerin materi dosen,” Titan ngeles sekenanya tapi malah kedengaran aneh di
telinga Bagas.
Bagas
yang memang otaknya udah di setting dengan settingan normal pun tidak dapat
menangkap maksud Titan dan mentok menjawab dengan kata “Hah?” yang secara
harfiah dapat diartikan dengan “Maksudnya? Bisa nggak kalau pakai bahasa
manusia aja?”
“Eh,
udah sampai perpus nih!” Titan berusaha mengalihkan pembicaraan. Untung saja
mereka sudah sampai perpustakaan, Titan merasa terselamatkan. Tapi
pertanyaannya adalah “Titan mau ngapain ke perpus kalau dia nggak jadi nyari
referensi buat tugasnya? Kan Titan bukan penggemar buku-buku yang suka
nongkrong di rak-rak perpustakaan?”
Di
perpustakaan, Bagas yang memang hanya ingin mengembalikan buku pun langsung
menuju ke unit pelayanan. Sedang Titan masih bengong dan menyesali
sedalam-dalamnya akan keberadaannya di tempat itu. Udah nabrak Bagas tapi dia
yang jatuh, sekarang dia terdampar di perpustakaan dengan nasib yang tidak
jelas. Titan merasa hina banget kayak anak kampus pungut, nggak punya temen,
nggak punya tujuan.
Waktu
Bagas balik ke tempat parkir, ia menemui Titan masih bengong. Bagas mau
pura-pura nggak kenal tapi nggak tega. Akhirnya, dengan berat hati ia pura-pura
tanya.
“Mau
balik nggak, aku anter?”
Titan
diem, tapi ekspresi mukanya tidak menunjukkan penolakan sama sekali.
Ujung-ujungnya Titan mau juga diboncengin pulang sama Bagas. Rasanya Titan malu
banget, pengen banget dia nyari kantung kresek buat nutupin mukanya biar nggak
malu-malu amat, tapi di perpus nggak ada kantung kresek jadinya Titan cuma
pasrah.
Pengalaman
Titan yang memalukan memang cukup banyak dan kini bertambah satu lagi. Titan
sendiri heran, kenapa dia sering mengalami kejadian aneh-aneh dalam hidupnya,
terutama ketika dia bertemu dengan laki-laki. Pertemuan Titan dengan Hangga
dulu juga nggak kalah memalukan. Ketika pulang sekolah, Titan nggak sengaja nendang
pantat Hangga karena dikira Hangga adalah teman Titan yang telah usil
memasukkan kodok ke dalam tasnya. Titan hanya mampu menghela nafas lesu,
melihat bayangan-bayangan memalukan yang telah sukses terbentuk dalam
memorinya. Mukanya masih muram menahan malu, bahkan ketika ia sudah berada di
kosan dan sudah terbebas dari Bagas. Suasana kosan pun serasa jadi suram karena
pengalaman memalukan Titan hari itu.
“Tan,
gila kamu ya. Diem-diem udah bawa cowok pulang ke kosan. Aku aja yang udah
jalan dua tahun belum pernah diapelin.”
“Lhah,
masalahnya kamu jalan berdua apa sendirian?” tanya Titan menggoda.
“Eh,
kurang ajar lo ya.” Stella reflek melemparkan bantal ke Titan.
Stella
salah satu teman kos Titan yang notabenenya sama-sama tidak jelas, memang
selalu enak buat digodain. Stella anaknya paling terkenal di kosan, ia kaya,
cantik, punya pacar orang pelayaran yang cakep, baik, dan tajir pula,
keberuntungan ini yang membuat anak-anak lain kadang iri.
“Tadi
yang anterin kamu balik kos, beneran cowok kamu?”
“Bukan...
baru kenal.” Titan datar. Lagi-lagi Titan lupa kalau ia temen sekelasnya dan
sudah kenal selama tiga bulan.
“Keker
loh...” Stella menggoda.
“Ya
terus kenapa gitu La?”
Stella
langsung diem. Pembicaraan seperti itu pernah terjadi sebelumnya dan tidak ada
titik temu. Stella yang cantik percaya kalau cewek cantik itu berhak dapat
cowok yang cakep juga, sedangkan Titan bukan tipe orang yang suka memperhatikan
fisik orang, bukan karena dirinya sendiri tidak cantik, namun menurutnya
menilai orang hanya dari luarnya itu sama saja dengan menilai sepatu dari brand’nya, padahal belum tentu sepatu branded itu bagus.
Mereka
berdua terdiam, keduanya sama-sama tidak ingin membicarakan hal itu lebih lama.
Meski mereka beda pola pikir, tapi keduanya punya keyakinan yang sama, yaitu
nggak keren banget kalau temen berantem gara-gara hal kecil.
Anjir... Bayangam gw kemana2 baca blog lu..
BalasHapusSekali2 cek blog gw, kali aja lu suka
BalasHapushttp://coklat-lilin-gelap-romantis.blogspot.co.id/?m=1
tak cek nih, semoga ada aku disana, hahahaaa Ngareeep
Hapusudah aku liat, waaaooo, isinya orang keren semua,, *standing aplause :)
BalasHapus