Sunshine Story (Chapter 1)







Sebuah fakta lucu tentang matahari, jika tak nampak akan dirindukan, jika tampak akan dihindari. Kita semua melakukannya bukan?
Berbeda dengan gadis ini. Titan, gadis yang baru saja menginjak usia dewasa ini ngefans berat dengan cahaya mentari. Ia selalu punya cara sendiri untuk menikmati setiap guratan sinarnya.
Pukul lima pagi, ia berbegas ke kamar mandi berwudhu dan segera melakukan kewajibannya. Titan tidak berniat untuk tidur lagi, ia membuka jendela kamarnya yang masih beku oleh malam.
Ia hanya berdiri, menanti pagi dari balik jendelanya. Pagi selalu datang menyapanya melalui jendela ini. Sinar mentari pagi menjulur malu melalui sela-sela teralis jendelanya yang memang sengaja dibiarkan terbuka sejak semalam. Ia menarik nafas dalam hingga udara pagi yang segar masuk ke dalam paru-parunya dan membersihkan segala peluh yang tertinggal. Ia mengulurkan tangannya keluar jendela, menengadahkan telapak tangan kanannya mencoba menyentuh cahaya-cahaya pagi yang tengah menyapa kamarnya. Merasakan hangatnya Tuhan melalui cahaya-Nya, merasakan hembusan angin pagi yang selalu rajin memberikan hawa baru bagi setiap makhluk yang dilewatinya. Jendela ini adalah salah satu sahabatnya juga, sahabat yang selalu mengajari rasa syukur atas hal-hal sederhana yang melewati jendela itu, angin, cahaya, udara, semua tampak begitu berharga. Ia selalu menikmati paginya seperti ini, seolah waktu dapat berjalan lebih lamban dan selalu melahirkan hidup yang baru setiap harinya.
Hari ini, sudah genap tiga bulan ia menjadi mahasiswa salah satu kampus di Surakarta. Titan memang sengaja memilih kampus sederhana ini untuk melanjutkan jenjang pendidikannya, ia yakin kalau tidak ada yang lebih damai dan tenang melebihi hidup dengan sederhana dan normal. Selama ini memang ia selalu berusaha menjauhi lingkungan metropolis yang kehidupannya serba hedonis.
Titan berangkat lebih awal ke kampus, agaknya cahaya mentari sudah berhasil memberinya semangat lebih. Di kampus, seperti biasa ia mengikuti kuliah yang menurutnya sangat membosankan. Meski dosen pengajarnya masih muda, tetap saja mata kuliah itu tidak pernah menarik.
Seperti beberapa mahasiswa lain, Titan juga tidak begitu menyimak tentang apa yang disampaikan oleh dosen. Terlebih karena di belakang bangku Titan, beberapa mahasiswi sangat berisik karena sedang menggunjingkan Aldo, teman sekelasnya yang sudah diberi stempel “makhluk paling cakep di jurusan Linguistik”. Sebenarnya Titan tidak peduli, toh dia sudah punya Hangga, kekasihnya yang setia dari masa putih abu-abu sampai sekarang yang kini tengah bekerja di sebuah perusahaan pertambangan di Kalimantan sejak tujuh bulan silam. Tapi, suara-suara kagum yang dilebih-lebihkan oleh sahabat-sahabat barunya itu tampaknya membuat Titan mengundurkan egonya sejenak untuk menoleh sekilas ke arah tempat duduk Aldo. Titan sendiri sebenarnya tidak begitu memperhatikan yang mana yang namanya Aldo, dia mengakui kalau ingatannya sangat buruk.
Titan menengok, namun dia tidak seperti orang penasaran sama sekali. Makhluk yang teman-temannya sebut sebagai “Aldo” mungkin duduk sederet dengannya, jadi ia hanya menolehkan kepalanya namun tidak mencari-cari. Pandangan kosong yang Titan pancarkan tiba-tiba terhenti beberapa detik pada mahasiswa berbaju kotak-kotak orange. Titan sangat suka sekali warna orange seperti ia menyukai jeruk. Tidak banyak pria yang mau menggunakan baju warna orange, teman sekelasnya itu jadi kelihatan sedikit berbeda. Aldo cakep juga, batin Titan.
“Bukan yang itu Titan, sebelahnya lagi,” bisik Dewi pelan hampir tak terdengar. Dewi yang duduk tepat di sebelah Titan sudah tidak kuat menahan hasrat untuk menegur.
“Hah?” Titan bengong. “Itu Bagas, kalau Aldo yang sebelah kirinya tuh yang baju biru,” Dewi menjelaskan pelan.
“Hah?” Titan semakin bengong sama Dewi yang baru sebentar jadi temannya tapi selalu bisa menebak segala tingkah Titan. Selain itu, Titan jadi merasa kalau ia memang tidak peka dengan cowok ganteng.
“Kamu nggak nyadar udah berapa menit kamu ngelihatin dia?” tanya Dewi.
Merasa tertangkap basah, Titan hanya bisa nyengir kuda. Pandangan Titan masih mengarah pada Bagas, namun Bagas tak menyadarinya sedikitpun. Namun ada yang membuat Titan resah. Ia merasa kalau ada seseorang yang sedang memperhatikannya pula. Namun ia tak menemukan sosok itu karena tiap kali Titan menoleh, ia selalu lebih dulu memalingkan muka.
Tak ingin berlama-lama dengan pikirannya yang tak tentu, ia kembali mengalihkan pandangannya pada Pak Dosen dan mencoba kembali fokus pada kuliahnya. Tapi telat, karena kuliah sudah ditutup lima menit yang lalu dan Pak Dosen juga baru saja keluar kelas.
“Makanya jangan bengong mulu Tan, jadinya Pak Dosen udah pergi aja kamu nggak tahu kan?” lanjut Dewi.
“Hish,” Titan yang merasa tertangkap basah pun langsung pasang muka cemberut. “Ada tugas nggak tadi?”
“Cuma bikin makalah tentang fenomena psikolinguistik yang ada di masyarakat. Di kumpulin minggu depan. Udah ah, ke kantin yuk?” ajak Dewi yang sudah selesai beres-beres dengan bukunya.
“Males ah, di kantin banyak kakak tingkat yang gatel.” Titan jutek. “Beli cemilan aja yuk?” ujar Titan lagi.
“Yeeee... itu mah ke kantin juga namanya.”
“Ih, bukan ke kantin, tapi ngapelin baksonya Bang Jefri.”
“Bushet dah ni anak, kemarin lo udah beli empat mangkok, sekarang masih mau lagi?”
Titan emang terkenal ngefans banget sama baksonya Bang Jefri sekaligus sama abang penjualnya. Bahkan meski tak ada kuliah pun Titan bakal bela-belain ke kampus buat beli baksonya Bang Jefri pas lagi pengen. Jika sudah makan baksonya Bang Jefri, segala kepenatan yang Titan rasakan seolah hilang, termasuk pikiran-pikiran tentang kekasih LDR-nya.
Meski Dewi bosan nemenin Titan ke situ, ujung-ujungnya mereka pergi bareng juga, soalnya Dewi paling males kalo pergi nggak ada temennya. Titan dan Dewi paling suka menikmati bakso di shelter kampusnya.
“Rasanya enak aja gitu, ketika bisa santai makan bakso sementara orang lain sibuk berlalu-lalang dengan urusan kuliahnya, hahaha,” ujar Titan niruin logatnya penjahat di film anak-anak.
Dewi diem, memilih tidak berkomentar. Titan kalau pagi memang lemah lembut seperti makhluk halus, tapi kalau paginya sudah habis, dunia bakal liat kelakuan aslinya kayak apa.
Setelah habis tiga porsi bakso, Titan tiba-tiba jadi anteng.
“Kenapa lo?” Kekenyangan?” Dewi penasaran.
“Enggak apa-apa, rindu aja masa-masa SMA.”
Sumpah ini anak random banget, Dewi nggak nyangka kalau overdosis baksonya Bang Jefri bisa bikin orang jadi aneh kayak Titan.
“Eh, kenapa lo?” Dewi heran, soalnya nggak biasa melihat Titan galau setelah kenyang, biasanya malah beringas.
“Gue kangen...” ujar Titan lirih.
Mata Titan sedikit meredup. Tubuhnya memang berada di dekat Dewi, tapi pikirannya tidak. Entah mengapa, sepintas ia merindukan sosok kekasih yang telah bersamanya sejak jaman putih abu-abu dulu.
Hangga. Ya, Titan lebih sering memanggilnya seperti itu. Tak seperti kekasih lain yang punya panggilan khusus untuk kekasihnya. Titan dan Hangga berpacaran sudah lebih dari dua tahun. Hangga adalah teman sejak kecil Titan hingga ia lulus SMA. Mereka selalu berada di sekolah yang sama.
Sayangnya kini hubungan mereka terpisah oleh jarak yang sangat jauh. Kesibukan Hangga dan Titan menyebabkan komunikasi di antara keduanya tidak seharmoni dulu. Tentang hubungannya ini, tak satupun teman kuliahnya yang tahu.
Dewi tak mengerti apa yang telah merasuki temannya. Tapi, melihat ekspesi Titan yang serius, Dewi langsung pasang kuping buat dengerin Titan. Naluri keibuan Dewi memang selalu muncul di saat-saat seperti ini.
“Ah, udah yuk, kita ke kantin aja,” Titan mengalihkan pembicaraan. Ia sungguh rindu sosok pria teduh itu. Pria yang selalu menjaganya dengan kasih sayang. Tapi di sisi lain dirinya, Titan sudah bertekad untuk menjadi gadis yang periang. Itulah tekad yang ia tancapkan ketika Hangga memutuskan untuk bekerja di Kalimantan. Titan akan menjadi gadis yang ceria, meski tanpa Hangga.
Sementara itu, Dewi hanya bisa geleng-geleng melihat sikap aneh temannya.
“Titaaaan, gue udah serius dengerin lo dari tadi! Kalau cerita itu jangan setengah-setengah kayak barang diskon bisa nggak sih?” Dewi menghela nafas kesal.
“Galau bikin gue laper,” jawab Titan datar. Ia berusaha menyembunyikan perasaannya.
“Eh, lo galaunya juga cuma sebentar doang tadi!!” seru Dewi.
Titan tidak menggubris. Di kantin, Titan membeli sebungkus kripik kentang dan sebotol air putih. Ia menyodorkan jajanannya ke kasir. Sementara Dewi berusaha jaga jarak sejauh mungkin dengan Titan biar dikira nggak kenal sama cewek yang maniak makan. Tiba-tiba terdengar bunyi sms dari hp Titan. Dari nomor baru, Titan membuka dengan enggan, namun tiba-tiba saja raut muka Titan berubah secara ajaib.
“Nanti kuliahnya kosong Deeeeew!!” teriak Titan yang tanpa sadar telah menyita perhatian orang-orang yang berada di kantin itu *emang dari jamannya Om Rano Karno sampai jamannya abang Lee Sung Gi yang namanya kuliah kosong itu rasanya nyenengin banget.
Titan nggak sadar kalau orang-orang di sekitarnya tiba-tiba ngeliatin dia, Dewi yang dari tadi mencoba jaga jarak pun merasa usahanya sia-sia karena namanya telah disebut secara paksa.
“Aku pengen ke perpus, mau ikut nggak?” tanya Titan.
“Ih, males banget. Kayak rayap lo, makan kertas.”
“Gini nih, gimana bangsa Indonesia mau maju kalau rakyatnya nggak pernah makan buku?” Titan menyindir.
“Kan gue makan kabel, nggak makan buku.” Dewi keukeuh. “Lagian ya Tan, kamu kan bawa sepeda gunung yang jelas-jelas nggak ada boncengannya, terus nanti aku diboncengin dimana?”
“Oh iya ya...nggak enak juga kalau disangka ke perpus dianter nyokap,” ucap Titan diikuti tawa puas sekali.
Dewi manyun-manyun. Dewi memang pobhia bawa kendaraan. Jadi meski mereka sekosan, Dewi lebih memilih jalan kaki ketimbang berangkat bareng Titan.
“Ya udah aku sendiri aja ntar,” lanjut Titan.
Sorry ya Tan, aku tu mau ngelesin anak-anak habis ini. Nanti deh, kalau udah musim skripsian aku temenin ke perpus,” ujar Dewi sambil senyum-senyum sok imut.
“Emang kamu tu rajinnya di musim genting doang,” ujar Titan mengakhiri pembicaraan dan akhirnya ia milih nggak usaha lagi. Titan menyadari sebuah fakta, kalaupun ia tiap hari rajin ke perpus juga nggak akan bisa ngalahin pinternya Dewi yang lagi malas-malasan, jadi wajar aja kalo ngajakin Dewi ke perpus memang agak susah. Entah mengapa, Dewi keliatan sempurna banget di mata Titan.
Finally, Titan ke perpus sendiri dengan sepeda kesayangannya, Biru. Setiap hari, Titan memang selalu ngampus dengan Si Biru. Kebiasaan naik sepeda ini yang bikin Titan kelihatan beda banget di kampusnya, Titan lebih kelihatan buluk dibanding mahasiswi lain. Alasan ini juga yang bikin Titan nggak begitu suka sama yang namanya mandi, habis nggak ngefek, mandi nggak mandi di kampus tetep buluk juga, mandi nggak mandi Titan tetep dikira nggak mandi, ya udah.
Dengan dandanan rambut kuncir belakang dengan beberapa helai rambut yang dibiarkan terurai berantakan Titan pede aja berangkat ke perpus yang isinya mahasiswa-mahasiswi yang udah modis dan stylish. Ia mengayuh sepedanya dengan santai. Titan nyaman banget sama gayanya. Titan memang tomboi banget, sekalinya dia feminim jadinya malah kayak banci, jadi dia nggak pernah nyoba buat jadi feminim lagi. Jadinya ya ia seperti ini setiap harinya, be herself, dan selalu enjoy sama apa aja yang ada di hadapannya.
 “Titaaaaan!!” sapa salah seorang temen Titan yang kebetulan ketemu Titan di jalan. Sekejap Titan yang lagi bengong jadi sadar.
“Hooey!” Titan menoleh tapi udah nggak ada orang, secara Titan naek onthel dan temennya naik motor. Soal gaya bicara Titan yang gagah banget, itu disebabkan waktu SMA ia pernah magang jadi kenek.
Titan balik fokus lagi sama jalannya, tapi Titan merasa ada aneh dengan sepedanya yang melaju semakin kencang, tapi remnya mendadak tak berfungsi.
“Lhoh...lhoh...lhoh, remnya kenapa nih?” kedua rem Titan tidak berfungsi, ia melaju semakin cepat, jalan turunan belakang kampus meski tidak begitu curam telah berhasil membuat sepeda gunung Titan meluncur dengan kecepatan 40km/jam. Titan panik, terakhir kali rem-nya blong, Titan nabrak ayam di komplek kosnya dan kali ini ia tidak mau kalau nilai kriminalitasnya meningkat jadi nabrak orang. Ia berusaha fokus dan  mengendalikan setirnya sambil teriak-teriak ke orang-orang yang di depannya biar minggir. Anehnya, orang-orang bukannya menyingkir tapi justru terpukau melihat kelakuan aneh Titan.
“Minggir baaaaang!!!” Teriak Titan semampunya dan bruuuugggh, Titan sukses nubruk hingga terjatuh, sedangkan abang yang ditabraknya cuma oleng sebentar. Cowok dengan motor gede yang melaju pelan itu menoleh ke belakang dengan heran, dia yang nabrak kok dia yang jatuh, batinnya. Awalnya si cowok ingin marah, kalo-kalo motornya lecet, tapi lama-lama ia justru kasihan, habis Titan yang sudah agak lama tersungkur tidak ada yang menolong juga, cowok itu akhirnya memutar balik motornya dan menghampiri Titan.
“Nggak apa-apa kamu?” tanya cowok itu jutek.
“Enggggg...gaaakk,” jawab Titan kaget melihat siapa yang ditabraknya. Ternyata dia teman sekelasnya sendiri, orang yang sudah membuat perhatian Titan tersita sejenak dan membuatnya lupa akan mata kuliah yang ia ikuti tadi pagi, Bagas. Titan bangun secara perlahan dan Bagas membantunya berdiri juga mendirikan sepedanya.
“Kok bisa nabrak sih, perasaan aku naik motornya pelan, udah minggir juga,” ujar Bagas heran, tapi Titan hanya bengong, ia sebenarnya tidak sedang mendengarkan, tapi sedang menikmati pemandangan indah di depannya. Bagas ternyata kelihatan lebih cakep kalau dilihat dari deket. Kali ini untuk yang kedua kalinya Titan merasa Bagas sudah sukses menyita perhatiannya, badannya yang tinggi, gagah, dengan balutan baju kota-kotak warna orange agak longgar menutupi tubuh dewasanya yang sudah terbentuk. Titan jadi nggak nyesel nabraknya.
“Sepeda kamu gimana nih?”
Titan masih terdiam. Bagas mulai mengoyak bahu Titan pelan, mencoba menyadarkan hingga ia tersentak.
“Sepeda kamu nggak apa-apa? Masih bisa dinaikin kan?” tanyanya lagi dengan nada yang masih jutek.
“Oh..eh, nggak apa-apa kok,” Titan masih nggak konsen. “Aku nggak tahu kalau kampas sepedaku habis, maaf ya.”
“Ya udah deh, kita bawa sepeda kamu balik, nanti aku anter kamu ke kampus.”
Mendengar kata-kata itu otak Titan langsung bekerja. Ada yang aneh sama kalimatnya. Spontan Titan bilang, “Lhoh, nggak bisa gitu dong, kan aku yang nabrak masak kamu yang tanggung jawab!” jelas kalimat itu nggak butuh waktu lama buat ia sesali.
Bagas terdiam bingung.
Titan beneran nyesel. “Emm, sorry, maksud aku, kamu nggak seharusnya nganter. Aku bisa sendiri kok” jawab Titan bohong.
“Udah...ayo buruan, sebelum aku berubah pikiran.”
“Ya udah, ayokk!!” jawab Titan semangat sekaligus memberikan tip ex atas ucapannya barusan.
Bagas akhirnya memboncengkan Titan yang memang sudah sepaket dengan sepedanya menuju kosan. Sebenarnya, Titan masih merasa aneh dengan sikap Bagas, lelaki itu sama sekali tidak menunjukkan ekspresi khawatir, nadanya selalu datar cenderung jutek, tapi kok baik, masak ada cowok yang jutek dan baik sekaligus. Titan jadi menyimpan sedikit rasa curiga – padahal jelas-jelas Bagas itu teman sekelasnya sendiri. Namun, di tengah-tengah kecurigaannya itu, Titan tetap kagum juga sampai ia senyum-senyum sendiri ngelihatin punggung Bagas yang lebar dan kekar.
Di perjalanan balik ke kampus. Bagas membuka pembicaraan.
 “Gedung kuliah kamu yang mana nih?”
“Loh, kan kita temen sekelas, masak kamu nggak kenal aku? Kita udah temenan selama tiga bulan.” Titan sampai bingung harus merasa heran, malu, atau kesel dengan pertanyaan Bagas – Titan nggak nyadar kalau dia juga nggak hafal dengan temen-temen sekelasnya.
“Oh, sorry...sorry...Jadi, nama kamu siapa?”
Titan nyengir. Sombong banget jadi orang, sama temen sendiri nggak tahu namanya, batin Titan mengomel. Lagi-lagi Titan lupa kalau dia sendiri juga gitu. Titan tahu namanya Bagas juga baru tadi pagi, itu juga karena kebetulan dikasih tahu sama Dewi.
“Aku Titan,” jawab Titan kesel.
“Aku Bagas.” Bagas enteng banget ngomongnya kayak kenalan sama anak baru.
Gue udah tahu, batin Titan.
“Mau kemana nih?”
“Perpus,” Titan masih bicara datar.
“Oh, ya udah kita ke sana, kebetulan aku mau balikin buku. Kamu mau ngapain ke perpus?”
“Nyari referensi buat tugas.”
“Lhoh, ada tugas?”
“Lhah, yang tadi?”
Bagas bingung. “Tadi mana? Kuliah kita kan hari ini cuma satu, itu juga Pak Dosen nggak ninggalin tugas.”
Titan keukeuh, “Bukannya kita dikasih tugas buat bikin makalah psikolinguistik?”
“Hah?” Bagas bengong. Ini anak sebenarnya terlalu rajin atau terlalu aneh, desis Bagas dalam hati.
“Hari ini ada tugas nggak sih?” Titan yang tadinya yakin banget kalau ada tugas, malah balik tanya.
“Enggak ada kayaknya,” jawab Bagas setengah bingung. Bagas sendiri sebenarnya nggak yakin, takutnya kalau memang ada tugas tapi dianya yang nggak ngerti. Kedua makhluk pasca unyu-unyu itu jadinya bengong berjamaah.
Titan diam, berpikir sejenak. Apa gue dibohongin sama Dewi ya? Ah, kurang ajar tu anak!
Titan merasa bodoh sekali setelah dirinya menyadari bahwa secara tidak sadar ia telah mengizinkan dirinya untuk dikerjai Dewi yang sepertinya sangat polos. Titan jadi merasa bersalah sama Bagas. Ia pun berusaha menutupi rasa malunya.
“Mungkin aku yang salah denger kali ya? Oh iya, aku salah denger kan tadi aku nggak dengerin materi dosen,” Titan ngeles sekenanya tapi malah kedengaran aneh di telinga Bagas.
Bagas yang memang otaknya udah di setting dengan settingan normal pun tidak dapat menangkap maksud Titan dan mentok menjawab dengan kata “Hah?” yang secara harfiah dapat diartikan dengan “Maksudnya? Bisa nggak kalau pakai bahasa manusia aja?”
“Eh, udah sampai perpus nih!” Titan berusaha mengalihkan pembicaraan. Untung saja mereka sudah sampai perpustakaan, Titan merasa terselamatkan. Tapi pertanyaannya adalah “Titan mau ngapain ke perpus kalau dia nggak jadi nyari referensi buat tugasnya? Kan Titan bukan penggemar buku-buku yang suka nongkrong di rak-rak perpustakaan?”
Di perpustakaan, Bagas yang memang hanya ingin mengembalikan buku pun langsung menuju ke unit pelayanan. Sedang Titan masih bengong dan menyesali sedalam-dalamnya akan keberadaannya di tempat itu. Udah nabrak Bagas tapi dia yang jatuh, sekarang dia terdampar di perpustakaan dengan nasib yang tidak jelas. Titan merasa hina banget kayak anak kampus pungut, nggak punya temen, nggak punya tujuan.
Waktu Bagas balik ke tempat parkir, ia menemui Titan masih bengong. Bagas mau pura-pura nggak kenal tapi nggak tega. Akhirnya, dengan berat hati ia pura-pura tanya.
“Mau balik nggak, aku anter?”
Titan diem, tapi ekspresi mukanya tidak menunjukkan penolakan sama sekali. Ujung-ujungnya Titan mau juga diboncengin pulang sama Bagas. Rasanya Titan malu banget, pengen banget dia nyari kantung kresek buat nutupin mukanya biar nggak malu-malu amat, tapi di perpus nggak ada kantung kresek jadinya Titan cuma pasrah.
Pengalaman Titan yang memalukan memang cukup banyak dan kini bertambah satu lagi. Titan sendiri heran, kenapa dia sering mengalami kejadian aneh-aneh dalam hidupnya, terutama ketika dia bertemu dengan laki-laki. Pertemuan Titan dengan Hangga dulu juga nggak kalah memalukan. Ketika pulang sekolah, Titan nggak sengaja nendang pantat Hangga karena dikira Hangga adalah teman Titan yang telah usil memasukkan kodok ke dalam tasnya. Titan hanya mampu menghela nafas lesu, melihat bayangan-bayangan memalukan yang telah sukses terbentuk dalam memorinya. Mukanya masih muram menahan malu, bahkan ketika ia sudah berada di kosan dan sudah terbebas dari Bagas. Suasana kosan pun serasa jadi suram karena pengalaman memalukan Titan hari itu.
“Tan, gila kamu ya. Diem-diem udah bawa cowok pulang ke kosan. Aku aja yang udah jalan dua tahun belum pernah diapelin.”
“Lhah, masalahnya kamu jalan berdua apa sendirian?” tanya Titan menggoda.
“Eh, kurang ajar lo ya.” Stella reflek melemparkan bantal ke Titan.
Stella salah satu teman kos Titan yang notabenenya sama-sama tidak jelas, memang selalu enak buat digodain. Stella anaknya paling terkenal di kosan, ia kaya, cantik, punya pacar orang pelayaran yang cakep, baik, dan tajir pula, keberuntungan ini yang membuat anak-anak lain kadang iri.
“Tadi yang anterin kamu balik kos, beneran cowok kamu?”
“Bukan... baru kenal.” Titan datar. Lagi-lagi Titan lupa kalau ia temen sekelasnya dan sudah kenal selama tiga bulan.
“Keker loh...” Stella menggoda.
“Ya terus kenapa gitu La?”
Stella langsung diem. Pembicaraan seperti itu pernah terjadi sebelumnya dan tidak ada titik temu. Stella yang cantik percaya kalau cewek cantik itu berhak dapat cowok yang cakep juga, sedangkan Titan bukan tipe orang yang suka memperhatikan fisik orang, bukan karena dirinya sendiri tidak cantik, namun menurutnya menilai orang hanya dari luarnya itu sama saja dengan menilai sepatu dari brand’nya, padahal belum tentu sepatu branded itu bagus.
Mereka berdua terdiam, keduanya sama-sama tidak ingin membicarakan hal itu lebih lama. Meski mereka beda pola pikir, tapi keduanya punya keyakinan yang sama, yaitu nggak keren banget kalau temen berantem gara-gara hal kecil.




4 komentar:

  1. Anjir... Bayangam gw kemana2 baca blog lu..

    BalasHapus
  2. Sekali2 cek blog gw, kali aja lu suka

    http://coklat-lilin-gelap-romantis.blogspot.co.id/?m=1

    BalasHapus
    Balasan
    1. tak cek nih, semoga ada aku disana, hahahaaa Ngareeep

      Hapus
  3. udah aku liat, waaaooo, isinya orang keren semua,, *standing aplause :)

    BalasHapus

Sunshine Story (Chapter 1)