Hari
ini Titan kuliah sore, jadi ia punya kesempatan untuk membawa sepedanya ke
bengkel. Sangat berbahaya baginya untuk bersepeda tanpa rem dan jelas rem kaki
tidak bisa digunakan karena sepedanya adalah jenis sepeda gunung yang memiliki
ban luar yang kasar, bisa-bisa kakinya terselip kalau ia nekat menggunakan rem
kaki.
Titan
hanya menghabiskan waktunya sebentar di bengkel, selebihnya ia gunakan untuk
besepeda keliling kampus menikmati teduhnya pepohonan kampus dan merasakan
jalan turunan yang memanjang dari depan kampus hingga berujung di gedung
rektorat. Beberapa teman Titan pernah membahas kebiasaan Titan ini, menurut
mereka Titan itu terlalu “berdedikasi” sebagai mahasiswa baru, mengisi waktu
luang saja di kampus, jalan ke mall kek, ke museum kek, atau jadi anak kosan
yang baik gitu. Tapi Titan cuek aja. Baginya sepeda itu adalah jiwanya.
Bukannya naif, tapi ia memang tidak terlalu suka dengan gaya hidup yang selalu
mengikuti kemudahan. Dalam hidup itu ada tanjakan, ada turunan, sama kayak naik
sepeda. Selain itu dengan naik sepeda, segala sesuatu yang dilalui itu terasa
lebih lambat – dibanding ketika seseorang naik motor atau mobil, sehingga ia
bisa lebih memperhatikan apa saja yang ada di sekitarnya, itu akan mendidik
seseorang untuk lebih peka lingkungan.
Setelah
puas dengan sepedanya, Titan balik kosan dan mempersiapkan diri untuk
kuliahnya. Di kampus, ketika ia bertemu dengan Bagas, ia mencoba memasang
tampang pura-pura lupa atas kejadian memalukan kemarin. Bagas sendiri
sebenarnya tidak peduli dengan hal itu. Tapi berhubung dalam mata kuliah itu
mereka dibebani tugas kelompok dan kebetulan Titan dan Bagas berada di kelompok
yang sama, jadinya Bagas inget lagi, tapi Bagas tetap bersikap biasa saja.
“Kalian
yang cari buku teorinya ya? Nanti kalian ambil teori-teori yang mendukung penelitian
kita, untuk data di lapangan nanti biar aku sama anak-anak yang handle,” ujar salah seorang cowok yang
satu kelompok dengan Titan, ia dengan tegasnya menunjuk Titan dan Bagas. Sekali
lagi Titan nggak tahu namanya, Titan hanya mengenali wajahnya saja. Titan agak
kesal dengan orang yang suka asal main perintah saja seperti itu, kan Titan
belum kenal, terlebih Titan diminta untuk mencari teori pendukung bersama
Bagas.
“Deadline’nya
kapan nih, Do?” ujar salah seorang cewek dengan nada manja.
Oooh, jadi ini yang namanya Aldo, Titan
membatin. Lagi-lagi Titan lupa.
“Bagaimana
kalau empat hari lagi. Bisa?”
Yang
lain mengangguk. Titan tidak jadi kesal, melihat Aldo yang sepertinya memang
punya kemampuan memimpin dan manajemen yang bagus. Selanjutnya hanya tinggal
bagaimana ia menyesuaikan diri dengan Bagas.
“Besok
pagi aku jemput kamu ya?”
Titan
kaget dengan pertanyaan yang tiba-tiba datang dari mulut Bagas.
“Hah?”
Titan bengong. “Aku bisa sendiri kok, aku naik sepeda aja.”
“Aku
tahu kamu bisa naik sepeda, tapi kan kamu suka nabrak terus suka jatuh sendiri.”
Muka
Titan mendadak memerah mendengar kalimat barusan.
“Aku
jemput jam sembilan ya? Terus nanti balik sebelum kuliah,” ujar Bagas datar.
Titan
bingung sekaligus heran tingkat nasional, dalam hatinya ia bertanya-tanya, “Ini anak sebenarnya jutek apa ramah sih?”
di tengah kebingungannya Titan hanya menjawab pertanyaan Bagas dengan anggukan.
Esok
harinya, dini hari sekali, Titan mendapat pesan dari nomor tak dikenal yang
isinya, aku tunggu di depan kos kamu.
Titan mengernyitkan dahinya. Pagi itu baru tujuh pagi. Titan yakin, pasti orang
yang mengirim sms itu tidak tahu kalau jam pagi anak kosan itu jam delapan.
“Siapa
sih, iseng banget,” ujar Titan masih dengan mata kriyip-kriyip. Titan tidur
lagi. Titan punya satu kebiasaan buruk yaitu selalu tidur lagi setelah selesai
menikmati sinar mentari pertama.
Tapi
ponsel Titan berdering semakin sering. Ada beberapa pesan dan panggilan tak
terjawab, masih dari nomor yang sama, namun Titan mengabaikan. Lalu kosan
tiba-tiba mendadak ricuh ramai. Titan mendengar beberapa dialog yang mau nggak
mau menganggu pikirannya.
“Itu
siapa sih? Kok dari tadi di situ terus, temen siapa sih?”
“Nggak
tahu, bukan temen aku.”
“Aduuuh,
jadi kawatir kalo kayak gini. Kemarin tetangga kos kita kan abis kemalingan
laptop sama motor.”
“Coba
deh tanya sama anak-anak, jangan-jangan temen salah satu dari mereka.”
“Tadi
aku udah nanya sama Pita, Anna, Della, Dewi, Stella, Melly, nggak ada yang
ngaku, katanya kalau temennya pasti udah sms dulu.”
“Jangan-jangan
temen Titan?”
“Ah,
nggak mungkin. Titan kan nggak pernah diapelin cowok.”
Eeerggh...Titan
manyun-manyun sendiri di dalam kamar. Titan yakin, pasti yang dibicarakan
adalah orang yang baru saja mengirimi ia pesan.
Titan
akhirnya menemuinya juga tentu dengan agak enggan, karena memang itu terlalu
pagi untuk seseorang datang bertamu. Dengan tatanan rambut yang masih
berantakan dan wajah kusut karena tidak cuci muka, Titan pede keluar kosan.
“Bagas??”
Titan terkejut sekali dengan sosok Bagas yang rupanya berhasil menjadi trending topic di kosannya sejak tadi.
“Kan kita janjian jam sembilan?”
“Dimajuin.
Siap-siap sana, aku tungguin lima belas menit.” Ujar Bagas jutek.
“Perpus
juga belum buka kalo jam segini Gas,” Titan menjelaskan.
“Udaaaah...buruan
ah.”
Meski
hati Titan gondok dan menolak, tapi ia nurut juga.
Lima belas menit kemudian...
“Ini
pakai helm,” ujar Bagas sambil menyerahkan helm ke Titan.
“Eeerghh!!
Gas, kita itu cuma mau ke perpustakaan. Dan di kampus kita adanya cuma pos
satpam, jadi kamu nggak perlu kawatir kena tilang. Lagian jaraknya juga cuma
setengah kilo. Jadi kenapa kita harus bawa helm?”
Bagas
hanya diam dan mulai menstater motornya. Titan hanya pasrah dan nurut aja atas
segala sikap Bagas yang menurutnya nggak jelas. Seperti yang mereka tahu,
perpustakaan memang baru buka jam sembilan dan itu baru jam setengah delapan.
Titan
yang cemberut sejak awal tak sabar akhirnya ngedumel juga, “Aku bilang juga
apa.” Titan manyun-manyun.
Bagas
hanya diam. Titan makin geram. Tapi lama-lama ia malu juga, habis kalau
dilihatin dari jauh Titan kayak ngomong sendiri. Jadi ia diam dan menahan
kesalnya. Tak lama kemudian datang dua orang mahasiswa yang berboncengan naik
motor mendekati mereka berdua. Motor itu terhenti tepat disamping Bagas.
“Gas,
langsung aja yak?” ujar pria yang memboncengkan di depan. Ia bahkan tidak
mematikan motornya.
“Oke,”jawab
Bagas singkat.
Lelaki
itu kemudian melaju dan Bagas mengikutinya. Titan semakin tidak mengerti dengan
apa yang dilakukan Bagas, Titan tidak
tahu apa yang sedang terjadi, Bagas juga tidak membertahukan apapun, bahkan
Titan belum sempat bertanya namun Bagas langsung membawanya pergi begitu saja.
“Jadi,
kita mau ke?” tanya Titan.
“Jogja.”
“Jogja??”
Titan syok. “Kita mau ngapain ke Jogja? Kita juga nanti ada kuliah jam dua.”
“Kita
mau ke perpus linguistik pusat.”
“Hah??”
Titan heran, “Aduh.. berlebihan nggak sih Gas? Kan kita juga punya
perpustakaan? Memangnya buku yang kita cari nggak ada di perpus kita sendiri?”
“Udah
deh, nggak usah berisik, lagian perjalanan juga cuma dua jam.”
Titan
diem, merasa heran dan kesal sekaligus. Maklum, ini pertama kalinya ia keluar
kampus dan meninggalkan bakso Bang Jefri demi tugas kuliah. Titan tak
menyangka, ternyata Bagas seperfectionist itu.
“Sebelum
balik ntar aku ajak ketemu sama temen dulu ya?” ujar Bagas.
“Lhah,
ini kan udah sama temen kamu Gas?”
“Masih
ada lagi yang nunggu di Jogja.”
Titan
jadi kawatir dan mulai berpikir yang aneh-aneh.
“Eh,
kamu nggak mau jual aku kan Gas?” tanya Titan.
Bagas
ketawa ngakak mendengar pertanyaan Titan yang tiba-tiba dan terdengar sangat
aneh.
“Enggaklah.
Belum lama kemarin ada temen yang nawarin aku buat belajar tentang event
organizer, kebetulan mereka mau ada proyek. Cuma bentar doang kok, jadi kita
nggak akan telat kuliah.”
“Oooh..”
Titan manggut-manggut. Titan mulai mengerti cara bersikap Bagas yang selama ini
ia anggap agak kurang wajar. Titan janji sama dirinya sendiri untuk tidak lagi
mengeluarkan judgement sebelum ia
tahu apa yang sedang ia hadapi. Titan mulai membiasakan dirinya untuk lebih
ramah dan tidak buru-buru curiga setiap berhadapan dengan Bagas.
Sejak
saat itu, entah mengapa, Titan sering kebetulan satu kelompok dengan Bagas
setiap ada tugas. Tak hanya itu, Titan juga sering bertemu secara tidak sengaja
dengan Bagas di tempat-tempat yang tidak pernah Titan duga.
Seperti
ketika Titan sedang backpakeran ke kota Semarang, ia bertemu Bagas yang
ternyata juga doyan backpakeran. Waktu Titan jadi sukarelawan ketika Merapi
sedang erupsi, Bagas juga ada. Waktu Titan mendonorkan darah di PMI, ia ketemu
Bagas juga. Ketika Titan sedang diajak menjenguk temennya temen di rumah sakit
juga sama, ia ketemu Bagas juga, Bagas juga lagi diajak temennya buat jenguk
temen – orang yang sama dengan orang yang dijenguk Titan. Entah mengapa Bagas
seolah menjelma jadi bayangan Titan yang entah keberadaannya disadari atau
tidak, ia selalu ada. Kadang Titan jadi senyum-senyum aneh sendiri kalo
kepikiran pengalaman bertemu Bagas di tempat-tempat yang tidak biasa seperti
itu. Aneh, pikirnya.
Satu
lagi yang Titan nggak bisa lupa. Ketika Titan sedang jalan-jalan sendirian ke
perkebunan di lereng gunung Lawu, ia bertemu dengan Bagas juga. Titan langung
pasang muka heran melihat sosok Bagas yang tiba-tiba menghampirinya saat ia
sedang asik duduk menikmati pemandangan.
Titan
tidak menanyakan lagi pertanyaan-pertanyaan yang wajar diucapkan oleh orang
yang sedang kaget seperti “Lhoh, kamu?” atau “Kok kamu di sini?”, karena itu
sudah terlalu sering Titan ucapkan.
“Suka
jalan ke perkebunan juga?” tanya Titan menutupi perasaan penasarannya.
“Lumayan.”
“Lumayan
itu sama saja dengan ‘biasa aja’ dan orang-orang seperti kamu mana mungkin mau
melakukan hal yang menurut kamu ‘biasa aja’. Jadi, kamu ngapain di sini?” tanya
Titan lagi seolah ia tahu kalau melihat perkebunan itu bukan Bagas banget.
“Naik
gunung. Itu base camp – nya.” Ujar Bagas sambil menunjuk sebuah bangunan kecil
sederhana yang ada di seberang jalan.
“Aku
bilang juga apa...” Titan mengangguk-anggukkan kepalanya bangga karena
tebakannya tepat. Pandangannya kemudian diarahkan menuju base camp yang penuh
dengan puluhan laki-laki itu. “Naik sama siapa?”
“Sendiri.”
“Sendiri??
Lhah, itu laki-laki banyak, kenapa naik sendiri?”
Bagas
tertawa. “Iya, mereka mau naik juga, tapi nggak bareng. Nanti di jalur juga
bakal ketemu sama banyak pendaki-pendaki lain. Jadi nggak masalah kalau naik
sendiri, lagian juga udah pernah naik sini. Insya Allah bisa.”
Titan
yang memang nggak ngerti sama sekali tentang gunung hanya manggut-manggut aja.
Dalam hati Titan berkata sendiri, udah
berapa kali sih Gas kita kayak gini? Bertemu dalam kebetulan. Titan
memandangi hamparan perkebunan hijau yang ada di hadapannya, namun hatinya
masih lekat dengan bayangan Bagas. Bagas
keren banget. Diam-diam Titan menyimpan kagum pada Bagas yang ternyata
tidak mudah ditebak.
“Kenapa
naik gunung Gas?” tanya Titan lagi.
Bagas
tersenyum, matanya tiba-tiba berubah menatap dalam, ia menghembuskan nafas
panjang.
“Naik
gunung itu perjalanan hati,” jawab Bagas singkat. Seolah hanya kalimat
sederhana itu yang mampu mengungkapkan banyak hal yang tersimpan dalam
benaknya.
“Aku
kayak pernah baca kalimat itu di novel. Jangan-jangan kamu demam naik gunung
gara-gara novel 5cm ya?”
Bagas
tertawa kecil. “Gimana ya Tan jelasinnya. Mendaki gunung itu...seperti berjalan
di atas miniatur kehidupan. Kita akan menemui tanjakan yang terjal, jalanan sempit yang berbatasan dengan jurang, turunan yang curam, atau hanya padang ilalang datar
yang luasnya ratusan meter, di situ kita bisa melepas lelah setelah perjalanan
panjang. Sama
halnya dengan hidup kita, ada banyak jalan yang sudah digariskan untuk kita
lalui.”
“Puncak gunung bukanlah tujuan akhir, karena
pendaki masih dihadapkan jalan untuk kembali turun. ‘The adventure is not the destination, but the journey’ benar kan?”
Titan
hanya terpaku mendengar penjelasan Bagas yang begitu dalam. Sementara Bagas
masih dengan tatapannya yang dalam.
“Mendaki
gunung juga dapat mengajarkan kita untuk hidup seimbang. Hidup harmoni dengan
Tuhan, hidup harmoni dengan alam, hidup harmoni dengan manusia lain di sekitar
kita. Selain itu, mendaki juga telah membuka mataku untuk melihat ciptaan Allah
dengan lebih dekat. Filosofi-filosofi itulah yang menjadi alasan mengapa
mendaki gunung tidak bisa disebut dengan jalan-jalan, namun perjalanan hati.”
Bagas
menghembuskan nafasnya lagi, kemudian memandang Titan dengan lembut. “Kamu bisa
coba, di sana Tuhan terasa dekat sekali.”
Titan
speechless. Titan sampai bingung
harus menanggapi Bagas bagaimana, Bagas keren banget.
“Tentang
novel itu, aku baca juga. Setiap pendaki memang punya caranya sendiri untuk
mengungkapkan kekagumannya terhadap gunung, seperti penulis itu. Aku sependapat
dengan apa yang ditulisnya Tan, namun semuanya hanya aku tulis di sini...” ujar
Bagas lagi sambil menepuk lembut dadanya.
Titan
hanya mampu tertegun mendengar setiap kalimat yang baru saja Bagas ucapkan.
Bagas tampak seperti tanpa cela di mata Titan. Kalau sudah seperti ini, mau
tidak mau, akhirnya Titan jadi kepikiran Bagas juga. Titan kembali memutar
memorinya tentang Bagas, sudah berapa kali Bagas membuatnya tertegun seperti
ini? Sering. Lama-lama Bagas menjelma seperti pohon, pohon yang selalu tumbuh
dan tampak sangat rindang sehingga membuat setiap orang yang berada di dekatnya
merasa teduh. Titan sangat nyaman dengan Bagas yang seperti ini.
Cerita
tentang Bagas telah membuat Titan sedikit menganggap miring kehidupan yang
awalnya normal. Agak susah untuk mengungkapkan seperti apa tepatnya perasaan itu,
yang jelas Titan jadi lebih sering kelihatan senyum-senyum sendiri. Bagas yang
ini, Bagas yang itu, semuanya berputar-putar di pikiran Titan.
***
(Gambar diambil dari : http://ruffledblog.com/library-wedding-ideas/)
0 komentar:
Posting Komentar