Sunshine Story (Chapter 3)





Hari ini Titan kuliah sore, jadi ia punya kesempatan untuk membawa sepedanya ke bengkel. Sangat berbahaya baginya untuk bersepeda tanpa rem dan jelas rem kaki tidak bisa digunakan karena sepedanya adalah jenis sepeda gunung yang memiliki ban luar yang kasar, bisa-bisa kakinya terselip kalau ia nekat menggunakan rem kaki.
Titan hanya menghabiskan waktunya sebentar di bengkel, selebihnya ia gunakan untuk besepeda keliling kampus menikmati teduhnya pepohonan kampus dan merasakan jalan turunan yang memanjang dari depan kampus hingga berujung di gedung rektorat. Beberapa teman Titan pernah membahas kebiasaan Titan ini, menurut mereka Titan itu terlalu “berdedikasi” sebagai mahasiswa baru, mengisi waktu luang saja di kampus, jalan ke mall kek, ke museum kek, atau jadi anak kosan yang baik gitu. Tapi Titan cuek aja. Baginya sepeda itu adalah jiwanya. Bukannya naif, tapi ia memang tidak terlalu suka dengan gaya hidup yang selalu mengikuti kemudahan. Dalam hidup itu ada tanjakan, ada turunan, sama kayak naik sepeda. Selain itu dengan naik sepeda, segala sesuatu yang dilalui itu terasa lebih lambat – dibanding ketika seseorang naik motor atau mobil, sehingga ia bisa lebih memperhatikan apa saja yang ada di sekitarnya, itu akan mendidik seseorang untuk lebih peka lingkungan.
Setelah puas dengan sepedanya, Titan balik kosan dan mempersiapkan diri untuk kuliahnya. Di kampus, ketika ia bertemu dengan Bagas, ia mencoba memasang tampang pura-pura lupa atas kejadian memalukan kemarin. Bagas sendiri sebenarnya tidak peduli dengan hal itu. Tapi berhubung dalam mata kuliah itu mereka dibebani tugas kelompok dan kebetulan Titan dan Bagas berada di kelompok yang sama, jadinya Bagas inget lagi, tapi Bagas tetap bersikap biasa saja.
“Kalian yang cari buku teorinya ya? Nanti kalian ambil teori-teori yang mendukung penelitian kita, untuk data di lapangan nanti biar aku sama anak-anak yang handle,” ujar salah seorang cowok yang satu kelompok dengan Titan, ia dengan tegasnya menunjuk Titan dan Bagas. Sekali lagi Titan nggak tahu namanya, Titan hanya mengenali wajahnya saja. Titan agak kesal dengan orang yang suka asal main perintah saja seperti itu, kan Titan belum kenal, terlebih Titan diminta untuk mencari teori pendukung bersama Bagas.
“Deadline’nya kapan nih, Do?” ujar salah seorang cewek dengan nada manja.
Oooh, jadi ini yang namanya Aldo, Titan membatin. Lagi-lagi Titan lupa.
“Bagaimana kalau empat hari lagi. Bisa?”
Yang lain mengangguk. Titan tidak jadi kesal, melihat Aldo yang sepertinya memang punya kemampuan memimpin dan manajemen yang bagus. Selanjutnya hanya tinggal bagaimana ia menyesuaikan diri dengan Bagas.
“Besok pagi aku jemput kamu ya?”
Titan kaget dengan pertanyaan yang tiba-tiba datang dari mulut Bagas.
“Hah?” Titan bengong. “Aku bisa sendiri kok, aku naik sepeda aja.”
“Aku tahu kamu bisa naik sepeda, tapi kan kamu suka nabrak terus suka jatuh sendiri.”
Muka Titan mendadak memerah mendengar kalimat barusan.
“Aku jemput jam sembilan ya? Terus nanti balik sebelum kuliah,” ujar Bagas datar.
Titan bingung sekaligus heran tingkat nasional, dalam hatinya ia bertanya-tanya, “Ini anak sebenarnya jutek apa ramah sih?” di tengah kebingungannya Titan hanya menjawab pertanyaan Bagas dengan anggukan.
Esok harinya, dini hari sekali, Titan mendapat pesan dari nomor tak dikenal yang isinya, aku tunggu di depan kos kamu. Titan mengernyitkan dahinya. Pagi itu baru tujuh pagi. Titan yakin, pasti orang yang mengirim sms itu tidak tahu kalau jam pagi anak kosan itu jam delapan.
“Siapa sih, iseng banget,” ujar Titan masih dengan mata kriyip-kriyip. Titan tidur lagi. Titan punya satu kebiasaan buruk yaitu selalu tidur lagi setelah selesai menikmati sinar mentari pertama.
Tapi ponsel Titan berdering semakin sering. Ada beberapa pesan dan panggilan tak terjawab, masih dari nomor yang sama, namun Titan mengabaikan. Lalu kosan tiba-tiba mendadak ricuh ramai. Titan mendengar beberapa dialog yang mau nggak mau menganggu pikirannya.
“Itu siapa sih? Kok dari tadi di situ terus, temen siapa sih?”
“Nggak tahu, bukan temen aku.”
“Aduuuh, jadi kawatir kalo kayak gini. Kemarin tetangga kos kita kan abis kemalingan laptop sama motor.”
“Coba deh tanya sama anak-anak, jangan-jangan temen salah satu dari mereka.”
“Tadi aku udah nanya sama Pita, Anna, Della, Dewi, Stella, Melly, nggak ada yang ngaku, katanya kalau temennya pasti udah sms dulu.”
“Jangan-jangan temen Titan?”
“Ah, nggak mungkin. Titan kan nggak pernah diapelin cowok.”
Eeerggh...Titan manyun-manyun sendiri di dalam kamar. Titan yakin, pasti yang dibicarakan adalah orang yang baru saja mengirimi ia pesan.
Titan akhirnya menemuinya juga tentu dengan agak enggan, karena memang itu terlalu pagi untuk seseorang datang bertamu. Dengan tatanan rambut yang masih berantakan dan wajah kusut karena tidak cuci muka, Titan pede keluar kosan.
“Bagas??” Titan terkejut sekali dengan sosok Bagas yang rupanya berhasil menjadi trending topic di kosannya sejak tadi. “Kan kita janjian jam sembilan?”
“Dimajuin. Siap-siap sana, aku tungguin lima belas menit.” Ujar Bagas jutek.
“Perpus juga belum buka kalo jam segini Gas,” Titan menjelaskan.
“Udaaaah...buruan ah.”
Meski hati Titan gondok dan menolak, tapi ia nurut juga.

Lima belas menit kemudian...
“Ini pakai helm,” ujar Bagas sambil menyerahkan helm ke Titan.
“Eeerghh!! Gas, kita itu cuma mau ke perpustakaan. Dan di kampus kita adanya cuma pos satpam, jadi kamu nggak perlu kawatir kena tilang. Lagian jaraknya juga cuma setengah kilo. Jadi kenapa kita harus bawa helm?”
Bagas hanya diam dan mulai menstater motornya. Titan hanya pasrah dan nurut aja atas segala sikap Bagas yang menurutnya nggak jelas. Seperti yang mereka tahu, perpustakaan memang baru buka jam sembilan dan itu baru jam setengah delapan.
Titan yang cemberut sejak awal tak sabar akhirnya ngedumel juga, “Aku bilang juga apa.” Titan manyun-manyun.
Bagas hanya diam. Titan makin geram. Tapi lama-lama ia malu juga, habis kalau dilihatin dari jauh Titan kayak ngomong sendiri. Jadi ia diam dan menahan kesalnya. Tak lama kemudian datang dua orang mahasiswa yang berboncengan naik motor mendekati mereka berdua. Motor itu terhenti tepat disamping Bagas.
“Gas, langsung aja yak?” ujar pria yang memboncengkan di depan. Ia bahkan tidak mematikan motornya.
“Oke,”jawab Bagas singkat.
Lelaki itu kemudian melaju dan Bagas mengikutinya. Titan semakin tidak mengerti dengan apa yang dilakukan Bagas,  Titan tidak tahu apa yang sedang terjadi, Bagas juga tidak membertahukan apapun, bahkan Titan belum sempat bertanya namun Bagas langsung membawanya pergi begitu saja.
“Jadi, kita mau ke?” tanya Titan.
“Jogja.”
“Jogja??” Titan syok. “Kita mau ngapain ke Jogja? Kita juga nanti ada kuliah jam dua.”
“Kita mau ke perpus linguistik pusat.”
“Hah??” Titan heran, “Aduh.. berlebihan nggak sih Gas? Kan kita juga punya perpustakaan? Memangnya buku yang kita cari nggak ada di perpus kita sendiri?”
“Udah deh, nggak usah berisik, lagian perjalanan juga cuma dua jam.”
Titan diem, merasa heran dan kesal sekaligus. Maklum, ini pertama kalinya ia keluar kampus dan meninggalkan bakso Bang Jefri demi tugas kuliah. Titan tak menyangka, ternyata Bagas seperfectionist itu.
“Sebelum balik ntar aku ajak ketemu sama temen dulu ya?” ujar Bagas.
“Lhah, ini kan udah sama temen kamu Gas?”
“Masih ada lagi yang nunggu di Jogja.”
Titan jadi kawatir dan mulai berpikir yang aneh-aneh.
“Eh, kamu nggak mau jual aku kan Gas?” tanya Titan.
Bagas ketawa ngakak mendengar pertanyaan Titan yang tiba-tiba dan terdengar sangat aneh.
“Enggaklah. Belum lama kemarin ada temen yang nawarin aku buat belajar tentang event organizer, kebetulan mereka mau ada proyek. Cuma bentar doang kok, jadi kita nggak akan telat kuliah.”
“Oooh..” Titan manggut-manggut. Titan mulai mengerti cara bersikap Bagas yang selama ini ia anggap agak kurang wajar. Titan janji sama dirinya sendiri untuk tidak lagi mengeluarkan judgement sebelum ia tahu apa yang sedang ia hadapi. Titan mulai membiasakan dirinya untuk lebih ramah dan tidak buru-buru curiga setiap berhadapan dengan Bagas.
Sejak saat itu, entah mengapa, Titan sering kebetulan satu kelompok dengan Bagas setiap ada tugas. Tak hanya itu, Titan juga sering bertemu secara tidak sengaja dengan Bagas di tempat-tempat yang tidak pernah Titan duga.
Seperti ketika Titan sedang backpakeran ke kota Semarang, ia bertemu Bagas yang ternyata juga doyan backpakeran. Waktu Titan jadi sukarelawan ketika Merapi sedang erupsi, Bagas juga ada. Waktu Titan mendonorkan darah di PMI, ia ketemu Bagas juga. Ketika Titan sedang diajak menjenguk temennya temen di rumah sakit juga sama, ia ketemu Bagas juga, Bagas juga lagi diajak temennya buat jenguk temen – orang yang sama dengan orang yang dijenguk Titan. Entah mengapa Bagas seolah menjelma jadi bayangan Titan yang entah keberadaannya disadari atau tidak, ia selalu ada. Kadang Titan jadi senyum-senyum aneh sendiri kalo kepikiran pengalaman bertemu Bagas di tempat-tempat yang tidak biasa seperti itu. Aneh, pikirnya.
Satu lagi yang Titan nggak bisa lupa. Ketika Titan sedang jalan-jalan sendirian ke perkebunan di lereng gunung Lawu, ia bertemu dengan Bagas juga. Titan langung pasang muka heran melihat sosok Bagas yang tiba-tiba menghampirinya saat ia sedang asik duduk menikmati pemandangan.
Titan tidak menanyakan lagi pertanyaan-pertanyaan yang wajar diucapkan oleh orang yang sedang kaget seperti “Lhoh, kamu?” atau “Kok kamu di sini?”, karena itu sudah terlalu sering Titan ucapkan.
“Suka jalan ke perkebunan juga?” tanya Titan menutupi perasaan penasarannya.
“Lumayan.”
“Lumayan itu sama saja dengan ‘biasa aja’ dan orang-orang seperti kamu mana mungkin mau melakukan hal yang menurut kamu ‘biasa aja’. Jadi, kamu ngapain di sini?” tanya Titan lagi seolah ia tahu kalau melihat perkebunan itu bukan Bagas banget.
“Naik gunung. Itu base camp – nya.” Ujar Bagas sambil menunjuk sebuah bangunan kecil sederhana yang ada di seberang jalan.
“Aku bilang juga apa...” Titan mengangguk-anggukkan kepalanya bangga karena tebakannya tepat. Pandangannya kemudian diarahkan menuju base camp yang penuh dengan puluhan laki-laki itu. “Naik sama siapa?”
“Sendiri.”
“Sendiri?? Lhah, itu laki-laki banyak, kenapa naik sendiri?”
Bagas tertawa. “Iya, mereka mau naik juga, tapi nggak bareng. Nanti di jalur juga bakal ketemu sama banyak pendaki-pendaki lain. Jadi nggak masalah kalau naik sendiri, lagian juga udah pernah naik sini. Insya Allah bisa.”
Titan yang memang nggak ngerti sama sekali tentang gunung hanya manggut-manggut aja. Dalam hati Titan berkata sendiri, udah berapa kali sih Gas kita kayak gini? Bertemu dalam kebetulan. Titan memandangi hamparan perkebunan hijau yang ada di hadapannya, namun hatinya masih lekat dengan bayangan Bagas. Bagas keren banget. Diam-diam Titan menyimpan kagum pada Bagas yang ternyata tidak mudah ditebak.
“Kenapa naik gunung Gas?” tanya Titan lagi.
Bagas tersenyum, matanya tiba-tiba berubah menatap dalam, ia menghembuskan nafas panjang.
“Naik gunung itu perjalanan hati,” jawab Bagas singkat. Seolah hanya kalimat sederhana itu yang mampu mengungkapkan banyak hal yang tersimpan dalam benaknya.
“Aku kayak pernah baca kalimat itu di novel. Jangan-jangan kamu demam naik gunung gara-gara novel 5cm ya?”
Bagas tertawa kecil. “Gimana ya Tan jelasinnya. Mendaki gunung itu...seperti berjalan di atas miniatur kehidupan. Kita akan menemui tanjakan yang terjal, jalanan sempit yang berbatasan dengan jurang, turunan yang curam, atau hanya padang ilalang datar yang luasnya ratusan meter, di situ kita bisa melepas lelah setelah perjalanan panjang. Sama halnya dengan hidup kita, ada banyak jalan yang sudah digariskan untuk kita lalui.”
“Puncak gunung bukanlah tujuan akhir, karena pendaki masih dihadapkan jalan untuk kembali turun. ‘The adventure is not the destination, but the journey  benar kan?”
Titan hanya terpaku mendengar penjelasan Bagas yang begitu dalam. Sementara Bagas masih dengan tatapannya yang dalam.
“Mendaki gunung juga dapat mengajarkan kita untuk hidup seimbang. Hidup harmoni dengan Tuhan, hidup harmoni dengan alam, hidup harmoni dengan manusia lain di sekitar kita. Selain itu, mendaki juga telah membuka mataku untuk melihat ciptaan Allah dengan lebih dekat. Filosofi-filosofi itulah yang menjadi alasan mengapa mendaki gunung tidak bisa disebut dengan jalan-jalan, namun perjalanan hati.”
Bagas menghembuskan nafasnya lagi, kemudian memandang Titan dengan lembut. “Kamu bisa coba, di sana Tuhan terasa dekat sekali.”
Titan speechless. Titan sampai bingung harus menanggapi Bagas bagaimana, Bagas keren banget.
“Tentang novel itu, aku baca juga. Setiap pendaki memang punya caranya sendiri untuk mengungkapkan kekagumannya terhadap gunung, seperti penulis itu. Aku sependapat dengan apa yang ditulisnya Tan, namun semuanya hanya aku tulis di sini...” ujar Bagas lagi sambil menepuk lembut dadanya.
Titan hanya mampu tertegun mendengar setiap kalimat yang baru saja Bagas ucapkan. Bagas tampak seperti tanpa cela di mata Titan. Kalau sudah seperti ini, mau tidak mau, akhirnya Titan jadi kepikiran Bagas juga. Titan kembali memutar memorinya tentang Bagas, sudah berapa kali Bagas membuatnya tertegun seperti ini? Sering. Lama-lama Bagas menjelma seperti pohon, pohon yang selalu tumbuh dan tampak sangat rindang sehingga membuat setiap orang yang berada di dekatnya merasa teduh. Titan sangat nyaman dengan Bagas yang seperti ini.
Cerita tentang Bagas telah membuat Titan sedikit menganggap miring kehidupan yang awalnya normal. Agak susah untuk mengungkapkan seperti apa tepatnya perasaan itu, yang jelas Titan jadi lebih sering kelihatan senyum-senyum sendiri. Bagas yang ini, Bagas yang itu, semuanya berputar-putar di pikiran Titan.
***
(Gambar diambil dari : http://ruffledblog.com/library-wedding-ideas/)




0 komentar:

Posting Komentar

Sunshine Story (Chapter 3)