Masa-masa
studi Titan sudah mendekati akhir semester lima, namun Titan tetaplah Titan
yang sama dengan yang sebelumnya. Caranya menjalani hari-hari kuliahnya masih
sama saja, semuanya dibawa santai dan mengalir. Selama masih ada Bagas,
semuanya pasti bisa diatasi.
Seperti
pagi-pagi biasanya, Titan masih bergulat dengan kemalasan dikamarnya.
“Mau
berangkat jam berapa nanti?” tanya Titan, ia masih bersantai di bawah naungan
selimutnya yang hangat.
“Kalau kamu udah selesai mandi nanti sms,
kamu kan mandinya lama. Aku sih udah siap dari tadi.”
Titan
nyengir mendengar ucapan Bagas barusan. Titan memang jarang mandi, tapi sekali
ia mandi lamanya akan melebihi waktu mandinya orang-orang yang rajin mandi.
Pernah suatu kali, ketika Bagas hendak menjemput Titan, Titan masih belum siap,
gara-gara ia masih mandi. Ketika itu Titan meminta Bagas untuk mengantarkannya
beli baterai untuk ponselnya. Kebetulan di waktu yang sama, salah seorang teman
Bagas juga meminta bantuannya untuk membenarkan laptopnya. Bagas menyanggupi
permintaan temannya, namun setelah ia selesai mengantar Titan. Tapi karena
Titan masih mandi, Bagas memutuskan untuk membenarkan laptop temannya dulu.
Ketika Bagas selesai membetulkan laptop temannya, ia balik lagi ke kosnya Titan
dan ternyata Titan masih mandi. Bagas geleng-geleng. Padahal tadi bagas pergi
sekitar setengah jam, dan sebelumnya ia sudah menunggu selama lima belas menit.
Jadi, Titan mandinya sudah hampir satu jam. Waww,
cewek itu kalau mandi ngapain aja sih? Tanya Bagas dalam hati. Setelah
insiden itu, Bagas memutuskan menjemput Titan kalau Titan sudah selesai mandi.
“Kamu
kok udah siap? Kan kuliahnya masih lama?”
“Iya, ini aku di kos temen. Kamu udah
siap-siap belum?”
Titan
diam...
“Ya udah nanti kalau udah siap, sms
aja.”
Bagas mengulangi ucapannya.
Bagas
rupanya memang sudah bisa menebak. Titan pasti masih bermalas-malasan dengan
kamar kosnya, berbaring di ranjang yang empuk, dan masih menggunakan selimutnya
yang tebal. Kuliah memang masih tiga jam lagi, dan sekarang baru jam tujuh
pagi. Bagi Titan jam tujuh masihlah belum pagi, pagi itu minimal jam delapan,
jadi kalau ia harus bangun pagi, berarti ia harus bangun jam delapan.
“Oke.”
Titan menutup telfonnya.
Tiga
jam kemudian. Titan kembali menghubungi Bagas, tapi tak bisa. Tiba-tiba
nomornya tidak aktif. Titan berusaha memencel nomornya berulang kali dan
hasilnya masih sama saja. Titan berusaha menelpon lagi dan lagi, masih sama,
tidak aktif.
“Kemana
sih ni anak?” Titan menggerutu kesal. Ia menunggu selama lima belas menit,
namun Bagas tak kunjung menjemputnya. Akhirnya Titan memutuskan untuk naik
sepeda saja – seperti biasa. Agaknya naik sepeda mampu membuatnya sedikit lebih
rileks.
Sesampainya
di kampus, mata Titan menelusur ke segala arah mencari sosok pacar yang sudah
cukup lama jalan dengannya. Titan sungguh berharap Bagas punya alasan yang
bagus untuk sikapnya barusan. Tapi ia tidak menemukan Bagas. Tidak biasanya
Bagas tak masuk kuliah tanpa mengatakannya pada Titan. Perasaan Titan yang
tadinya kesal perlahan berubah menjadi perasaan kawatir. Titan mengamati
teman-teman kampusnya, ternyata tak hanya Bagas yang tidak masuk namun Adam
juga iya. Sekejap Titan teringat kalau Bagas sebelumnya ada di kos temannya,
mungkin yang dimaksud adalah Adam. Secara Bagas dan Adam bisa dibilang teman
dekat.
Selepas
kuliah, Titan menghubungi Adam dan dugaannya benar, Bagas sedang bersamanya.
Tapi mengetahui hal itu bukannya lega, raut wajah Titan mendadak berubah,
matanya berkunang-kunang dan pandangannya seperti tidak fokus. Bagas sakit.
Adam
menemukan Bagas pingsan di lantai kamarnya. Adam juga tidak tahu mengapa, tapi
suhu badan Bagas panas sekali. Adam menunggui Bagas hingga sadar, Bagas sendiri
menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Sekarang, Bagas masih istirahat di kos
Adam, ia belum ingin pulang ke rumah.
Bagas
agak sibuk akhir-akhir ini, sibuk dengan acara bazar yang harus dilaksanakan
pada akhir semester lima ini. Bagas memang sering lembur dan gentayangan
sana-sini mencari sponsor dan lain sebagainya. Meski masih muda, kepiawaiannya
dalam hal berorganisasi tidak perlu diragukan lagi. Oleh karena itu, dia
dipercayakan untuk memegang beberapa tugas sekaligus.
Titan
selaku kekasih yang terlanjur baik pun menjalankan perannya merawat Bagas yang
sedang sakit. Sepulang kuliah Titan langsung menuju kos Adam dan membawa bubur
ayam untuk mereka makan bertiga. Adam yang baru pertama kalinya diperhatikan
seperti ini pun langsung menyambut dengan senyum bahagia – seolah sekejap ia
jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Ini
aku bawakan bubur. Aku masak sendiri loooh....” ujar Titan sok imut.
Bagas
pun langsung semangat mengambil bubur ayam yang dibawakan Titan lalu
memakannya. Rona pucat diwajahnya sedikit pudar, karena ia melihat ketulusan Titan.
“Makasih
ya Titan sayang, masakan kamu enak banget,” ujar Bagas. Ia lahap sekali.
Titan
tersipu malu, ia jadi tak tega untuk mengungkapkan kalau sebenarnya tadi ia
hanya bercanda, bubur ayam itu kan Titan beli di belakang kampus. Mana mungkin
Titan bisa masak bubur ayam, makan bubur ayam aja juga baru kali itu.
“Dimakan
Dam, buburnya.” Titan menawari Adam – sesungguhnya
ia sedang mengalihkan topik pembicaraan.
Adam
membuka bungkusan bubur itu. Ia tersenyum tipis lalu matanya melirik curiga ke
Titan seolah menyiratkan kata-kata, “Gue kayaknya
kenal bubur ini!” Titan yang tahu tanda-tanda itu pun membalasnya dengan
kedip-kedip ke Adam.
Adam
membuang sinis senyum kecilnya. Ia yang setiap pagi selalu langganan bubur ayam
belakang kampus mana mungkin bisa dibodohi. Namun, karena ia tidak ingin
merusak kebahagiaan (semu) Bagas, Adam pun hanya diam dan pura-pura tidak tahu.
Jadi, Titan terselamatkan.
“Aku
anter periksa ke dokter ya Gas?” ujar Titan selesai memberesi sisa-sisa makanan
mereka.
“Enggak
ah, makasih. Aku hanya butuh istirahat aja kok.”
“Mulai
sekarang, kerjaan kamu aku aja yang handle.
Tinggal dikit kan?” ujar Adam mantap. Rupanya ia tak tega melihat kondisi
Bagas.
Titan
langsung angkat suara. “Setuju. Adam sekarang udah pinter kok Gas, jadi kamu
bisa percaya sama dia.”
“Eeergh!!”
Adam skeptis. Namun, ia memandang Titan lama sekali. Seperti menangkap keluguan
yang manis dari dalam diri Titan. Hingga tanpa disadari hatinya berujar, kamu beruntung banget ya Gas.
“Iya,
mungkin aku akan butuh bantuan kamu Adam. Nggak berat kok. Makasih ya,” ujar
Bagas memecah lamunan Adam.
Adam
tersentak, ia berusaha mencerna kata-kata Bagas, lalu ia tersenyum simpul dan mengangguk.
***
Bagas
terlihat sangat serius sekali. Titan sangat suka melihat Bagas yang sedang
sibuk dengan pekerjaannya ketika menjadi koordinator acara bazar. Ia berlari
kesana-kemari dengan name tag yang
menggantung di lehernya. Kaos oblong warna putih bertuliskan kalimat we can’t stop to be different dengan
logo kecil dibawahnya, logo UKM yang telah menjadi rumahnya selama lebih dari
dua tahun ini sangat pas melekat pada badannya yang gagah. Kaos itu terlihat
seperti mengungkapkan jiwa Bagas yang sesungguhnya. Titan merasa beruntung
sekali punya kekasih seperti Bagas.
Mata
Titan hari itu seperti hanya bisa terpaku pada satu orang saja. Kemanapun Bagas
melangkah, mata Titan entah mengapa serasa tak mampu melepaskan pandangan
darinya. Pesona Bagas tampaknya sudah jauh merasuk ke ruang hati Titan yang selama
ini tidak mudah untuk disentuh.
Tanpa
sadar bibir Titan menyunggingkan senyum, matanya berbinar, dan hatinya seolah
menjadi begitu teduh dengan melihat Bagas dari kejauhan. Bagas yang memang
tidak tahu kalau dirinya sedang diperhatikan pun bersikap acuh tak acuh, hingga
seorang perempuan mendekatinya dan membisikkan sesuatu. Dari kejauhan, Titan
bisa melihat perubahan mimik wajah Bagas yang tiba-tiba terkejut akan sesuatu.
Lalu Bagas menoleh ke kanan dan ke kiri seolah mencari-cari, dan tolehan
kepalanya terhenti ketika Bagas melihat sosok Titan.
Senyum
simpul Titan yang tadi sekejap menjadi tawa kecil melihat Bagas yang kaget akan
keberadaannya di situ. Bagas melambaikan tangannya dan Titan membalas. Lalu
Bagas melanjutkan tugasnya.
Ponsel
Titan berdering, satu pesan diterima. Dari Bagas.
Tunggu aku di sudut stand sebelah barat
lapangan, aku baru akan selesai satu jam lagi, kamu bisa duduk-duduk disana
sambil makan orange soup, mungkin kamu akan suka J
Titan
tersenyum, ia langsung menuju stand yang dimaksud, ternyata benar, banyak
sekali aneka olahan jeruk yang disediakan di sana. Mulai dari jus, dessert,
cake, hingga manisan. Air liur Titan serasa meleleh melihat semua menu menarik
itu. Tapi pikirannya menyimpan tanya, mengapa Bagas menyarankan orange soup?
Ia
lalu memesan menu itu karena penasaran.
“Orange soup-nya satu.”
Penjaga
stand itu tersenyum. Kami memiliki dua menu sup jeruk, ada Titan’s soup dan ada orange
cheese soup. Mbak mau yang mana?”
“Hah?”
Titan bengong. Ini pasti kerjaan Bagas,
batinnya. “Saya pesan dua-duanya mbak. Makasih.”
Titan
kelihatan senyum-senyum sendiri sejak ia mendapatkan pesanannya. Ia mengamati
dalam-dalam kedua jenis soup itu.
Dari aromanya ia sudah bisa menebak, pasti yang satu rasanya gurih yang satu
rasanya manis. Setelah Titan merasakan, ternyata dugaannya benar.
Titan’s
soup yang berisikan orange essense, vanilla milk, whipped cream, dan sedikit
potongan buah jeruk dan stroberi segar memberikan paduan rasa manis yang nikmat
di mulut. Ini sama enaknya dengan orange
cheese soup yang berasakan paduan sari jeruk, milk, dan cream cheese.
Sungguh kombinasi sederhana yang memiliki rasa mewah di mulut.
Titan
tak berhenti tersenyum ketika memakan kedua jenis makanan itu hingga orang
disekitarnya melihatnya dengan tatapan aneh. Tapi ia cuek saja. Menikmati
orange soup itu membuat Titan tak merasakan jalannya waktu yang menyelimutinya.
Ia sudah duduk sekitar satu jam dan senyum yang ia punya masih sama dengan satu
jam sebelumnya, setiap orang yang melihatnya pasti akan berpikir kalau gadis
yang baru saja menginjak usia dewasa ini pasti sedang bahagia.
“Tan,
kamu lagi ngapain senyum-senyum sendiri?” ujar seseorang dari belakang.
Titan
menoleh. “Dewi?? Kamu ke sini juga?” Titan kaget melihat sosok sahabat kampus
sekaligus sahabat kosnya di situ. “Kamu datang sama siapa?”
Dewi
tersenyum, lalu seorang pria tiba-tiba datang menghampirinya. Ya Tuhan, ternyata dia Adam.
“Kalian???”
Titan terhenti pada kata-katanya.
Dewi
hanya senyum-senyum, namun Adam hanya diam. Titan sebenarnya bingung, itu stay cool atau bengong, soalnya
pandangan mata Adam rada-rada aneh. Tapi Adam nggak diem lagi setelah Dewi
menyenggol bahunya.
“Sebentar
lagi Bagas ke sini kok, acaranya udah kelar,” ujar Adam tiba-tiba. Adam seolah
sudah tahu mengapa Titan berada di tempat itu. “Oh ya Tan, udah nyoba orange soup yang ada di sini?”
Titan
tersenyum malu, pipiya memerah.
“Ah,
kamu kayak nggak tahu aja. Kamu kira senyumannya yang ilang-ilang itu efek dari
apa?” sahut Dewi.
Titan
yang malunya nambah karena merasa ketahuan dua kali pun cuma bisa
manyun-manyun. Melihat tingkah Titan yang polos banget, Adam mulai
mengembangkan senyumnya.
“Makasih
ya Dam, udah bantu Bagas selama ini,” ujar Titan lembut.
Adam
kembali melantunkan senyum simpulnya. Tatapan matanya teduh sekali. Ia terlihat
sangat dewasa untuk ukuran pria seusianya.
“Eh,
Tan, kita balik dulu ya. Jangan pulang larut malem,” sambung Dewi.
“Siap
Buk.” Titan menyunggingkan senyum imutnya yang paling menjijikan. Dewi yang
nggak bisa lama-lama nahan muntah pun langsung ngajakin Adam buat pergi dari
tempat itu.
Tak
lama kemudian Bagas datang. Senyum Titan makin lebar dan makin aneh. Bagas
tertawa pendek melihat wajah Titan yang dipaksa untuk kelihatan imut itu.
“Kamu
tu lagi senyum apa lagi nakutin anak-anak sih Tan?” Bagas ikutan ngeledek.
Spontan
Titan merubah ekspresi wajahnya. Ia mencubit manja lengan Bagas yang kekar
hingga badannya terkoyak pelan.
“Aku
antar kamu pulang. Udah malam,” ujar Bagas.
Titan
mengangguk.
Di
perjalanan Titan sudah tidak sabar menanyakan tentang orange soup yang belum
lama memanjakan mulutnya. Tapi ia menahannya hingga sampai kosan, ia tidak
ingin mengganggu konsentrasi Bagas ketika mengemudi.
“Kenapa
Titan’s soup, Gas?” tanya Titan.
Bagas
tersenyum simpul. Ia menatap mata Titan dengan dalam dan lembut. “Karena kamu
ramai, tapi rasanya tetap manis.”
“Kenapa
aku bukan orange cheese?” tanya Titan
lagi.
“Karena
kamu lebih ramai dari itu.”
Hati
Titan serasa dibawa malaikat terbang melambung tinggi ke angkasa. Titan
tersenyum manis sekali. Melihat senyum Titan, Bagas tak tahan untuk menyapu
lembut rambut Titan hingga menjadi sedikit berantakan.
“Aku
pulang dulu ya. Kamu jangan tidur larut malam. Besok jangan kesiangan lagi,
matahari terbit nggak akan nunggu kamu.”
Titan
tersenyum, benar, ia tak sabar menunggu matahari terbit esok hari. Tak boleh
telat seperti pekan sebelumnya, apalagi ini adalah matahari terbit terakhir
yang bisa mereka nikmati berdua sebelum masa liburan semester yang panjang.
***
Bagas
menepikan motornya ke sebuah gubug kecil yang berasa di samping jalan di kaki
gunung Lawu. Titan segera turun dari boncengan. Sejak Bagas dan Titan pacaran,
hampir setiap akhir pekan mereka selalu pergi ke tempat ini, menikmati matahari
terbit.
Matahari
terbit kali ini menjadi sangat istimewa karena liburan yang panjang agaknya
memaksa mereka untuk menjauh sejenak dari pagi di tempat ini. Titan melepaskan
alas kakinya dan membiarkan kakinya terbenam dalam embun pagi yang masih lekat
di rumput-rumput hijau yang tebal. Ia berlari-lari kecil menuju sungai yang menghasilkan
nyanyian-nyanyian merdu gemericik air. Sungai itu tidak besar, lebarnya hanya
sekitar dua meter dan tidak dalam sama sekali. Airnya yang jernih dan dingin
mengalir tanpa henti membasahi batuan-batuan besar yang menjadi dasar sungai
itu.
Titan
selalu duduk di batuan yang tertanam kokoh tepat di tengah-tengah sungai.
Keberadaannya seolah membelah sungai itu menjadi dua. Titan duduk di atasnya
dan membiarkan ujung kakinya tercelup ke dalam sungai hingga suhu dingin sungai
itu merasuk ke dalam kakinya. Bagas sendiri paling suka duduk di samping Titan,
dimana pun tempatnya.
Entah
apa nama tempat ini, tempat ini hanya tempat biasa di tepi jalan yang ada di
kaki gunung Lawu yang ada di kota Karanganyar. Jaraknya hanya sekitar 50 km
dari kota Surakarta. Tak banyak orang yang sering menuju ke tempat ini kecuali
petani yang sedang lewat untuk berkebun. Kebanyakan orang lebih suka menyewa
vila-vila megah atau pergi ke restoran bintang lima yang ada di tempat ini.
Berbeda dengan Titan dan Bagas yang sama-sama tidak menyukai tempat yang sudah
umum, tempat yang biasa orang datangi, mereka sama-sama malas untuk menyukai
apa yang banyak orang sukai. Jadi, mereka memilih tempat ini sebagai tempat
mereka berdua, karena mungkin hanya mereka dan Tuhan yang tahu bahwa tempat ini
sangat indah.
“Matahari
sudah hampir terbit...” ujar Bagas.
Titan
langsung mengubah posisi duduknya. Ia menghadapkan tubuhnya ke timur, matanya
tertuju kepada lereng gunung yang seolah menjadi dinding sungai itu. Di
hamparan tanah lereng yang luas itu tampak pohon-pohon cemara yang lebat dengan
daunnya yang berwarna hijau segar. Perlahan cahaya mentari pagi masuk menyisipi
setiap sela ranting dan daun pepohonan lebat itu, sehingga menimbulkan guratan-guratan
cahaya yang indah dengan warnanya yang keemasan. Cahaya itu tampak mengambang
dan tidak sampai menyentuh tanah.
Mata
Titan tak pernah bosan menikmati matahari terbitnya dengan cara seperti itu.
Bagas paling suka melihat Titan yang nggak pernah lelah buat kagum sama apa aja
yang dilihatnya. Pagi yang sederhana namun memukau. Bagi mereka, tak perlu
melihat matahari untuk menikmati matahari terbit, karena cahayanya yang hangat
sudah cukup menunjukkan keberadaannya.
“Tuhan
keren banget ya, Gas?”
“Iya.”
“Cuma
tangan Tuhan yang bisa membuat pagi jadi indah banget kayak gini.”
“Iya.”
Mereka
menikmati pagi dengan cara mereka sendiri. Bagi mereka pagi telah mengajarkan
banyak hal, pagi telah menunjukkan bahwasanya semesta ini sangat luas. Mata
mereka masih tertuju pada kemegahan-kemagahan yang ada di sekitar mereka. Gunung
Lawu masih tampak berdiri gagah di Timur laut. Awan-awan putih pekat tampak
menyelimutinya puncaknya, sehingga membuat gunung itu tampak misterius. Berapa orang yang mampu melihat pemandangan
“besar” seperti ini? Batin Titan berkata. Ia semakin merasa kecil di
hadapan Tuhan.
Matahari
masih tak tampak dari tempat ini, ia hanya mau menampakkan dirinya ketika siang
hari. Sehingga pagi di tempat ini akan terasa lebih lama.
“Tan...”
sapa Bagas lembut.
Titan
tidak menoleh, matanya masih menerawang jauh pada keagungan Tuhan yang
terpampang di depan matanya.
“Berapa
kali kita pergi ke tempat ini?” lanjut Bagas.
“Dua
puluh satu kali...”
“Masih
sama aja ya?”
“Iya...”
Mereka
berdua terdiam, mata dan hati mereka kembali menikmati pagi yang singkat itu,
menyatu bersama alam, bersama Tuhan.
“Jadi,
libur semester kamu ngapain?” Titan membuka pembicaraan lagi.
“Balik
ke Bandung. Kemarin Papa nawarin aku buat bantuin Event Organizernya Om Heru.”
“Ada
berapa event?”
“Banyak.
Di Jakarta tiga, di Bandung dua. Yang paling besar sih yang terakhir, di
Bandung itu.”
“Jadi
kita bener-bener nggak bisa ketemu...” Titan memandang lesu.
Bagas
menoleh mendekti Titan. “Kita kan masih bisa ketemu semester depan.”
Titan
tersenyum, tapi siapapun pasti bisa menebak kalau hatinya tidak ikhlas. Aku pasti bakal kangen banget sama kamu Gas,
ujar Titan dalam hati. Ia perlahan menyandarkan kepalanya ke pundak Bagas.
Bagas pun menyambut dengan menggenggam lembut jari-jari tangan Titan yang.
Keduanya hanya diam, menyelami hati masing-masing, menikmati pagi terakhir
mereka.
***
Sumber gambar http://miwa-arashi.deviantart.com/art/Orange-love-75106073
0 komentar:
Posting Komentar