SUNSHINE STORY (Chapter 6)




Masa-masa studi Titan sudah mendekati akhir semester lima, namun Titan tetaplah Titan yang sama dengan yang sebelumnya. Caranya menjalani hari-hari kuliahnya masih sama saja, semuanya dibawa santai dan mengalir. Selama masih ada Bagas, semuanya pasti bisa diatasi.
Seperti pagi-pagi biasanya, Titan masih bergulat dengan kemalasan dikamarnya.
“Mau berangkat jam berapa nanti?” tanya Titan, ia masih bersantai di bawah naungan selimutnya yang hangat.
Kalau kamu udah selesai mandi nanti sms, kamu kan mandinya lama. Aku sih udah siap dari tadi.
Titan nyengir mendengar ucapan Bagas barusan. Titan memang jarang mandi, tapi sekali ia mandi lamanya akan melebihi waktu mandinya orang-orang yang rajin mandi. Pernah suatu kali, ketika Bagas hendak menjemput Titan, Titan masih belum siap, gara-gara ia masih mandi. Ketika itu Titan meminta Bagas untuk mengantarkannya beli baterai untuk ponselnya. Kebetulan di waktu yang sama, salah seorang teman Bagas juga meminta bantuannya untuk membenarkan laptopnya. Bagas menyanggupi permintaan temannya, namun setelah ia selesai mengantar Titan. Tapi karena Titan masih mandi, Bagas memutuskan untuk membenarkan laptop temannya dulu. Ketika Bagas selesai membetulkan laptop temannya, ia balik lagi ke kosnya Titan dan ternyata Titan masih mandi. Bagas geleng-geleng. Padahal tadi bagas pergi sekitar setengah jam, dan sebelumnya ia sudah menunggu selama lima belas menit. Jadi, Titan mandinya sudah hampir satu jam. Waww, cewek itu kalau mandi ngapain aja sih? Tanya Bagas dalam hati. Setelah insiden itu, Bagas memutuskan menjemput Titan kalau Titan sudah selesai mandi.
“Kamu kok udah siap? Kan kuliahnya masih lama?”
“Iya, ini aku di kos temen. Kamu udah siap-siap belum?”
Titan diam...
“Ya udah nanti kalau udah siap, sms aja.” Bagas mengulangi ucapannya.
Bagas rupanya memang sudah bisa menebak. Titan pasti masih bermalas-malasan dengan kamar kosnya, berbaring di ranjang yang empuk, dan masih menggunakan selimutnya yang tebal. Kuliah memang masih tiga jam lagi, dan sekarang baru jam tujuh pagi. Bagi Titan jam tujuh masihlah belum pagi, pagi itu minimal jam delapan, jadi kalau ia harus bangun pagi, berarti ia harus bangun jam delapan.
“Oke.” Titan menutup telfonnya.
Tiga jam kemudian. Titan kembali menghubungi Bagas, tapi tak bisa. Tiba-tiba nomornya tidak aktif. Titan berusaha memencel nomornya berulang kali dan hasilnya masih sama saja. Titan berusaha menelpon lagi dan lagi, masih sama, tidak aktif.
“Kemana sih ni anak?” Titan menggerutu kesal. Ia menunggu selama lima belas menit, namun Bagas tak kunjung menjemputnya. Akhirnya Titan memutuskan untuk naik sepeda saja – seperti biasa. Agaknya naik sepeda mampu membuatnya sedikit lebih rileks.
Sesampainya di kampus, mata Titan menelusur ke segala arah mencari sosok pacar yang sudah cukup lama jalan dengannya. Titan sungguh berharap Bagas punya alasan yang bagus untuk sikapnya barusan. Tapi ia tidak menemukan Bagas. Tidak biasanya Bagas tak masuk kuliah tanpa mengatakannya pada Titan. Perasaan Titan yang tadinya kesal perlahan berubah menjadi perasaan kawatir. Titan mengamati teman-teman kampusnya, ternyata tak hanya Bagas yang tidak masuk namun Adam juga iya. Sekejap Titan teringat kalau Bagas sebelumnya ada di kos temannya, mungkin yang dimaksud adalah Adam. Secara Bagas dan Adam bisa dibilang teman dekat.
Selepas kuliah, Titan menghubungi Adam dan dugaannya benar, Bagas sedang bersamanya. Tapi mengetahui hal itu bukannya lega, raut wajah Titan mendadak berubah, matanya berkunang-kunang dan pandangannya seperti tidak fokus. Bagas sakit.
Adam menemukan Bagas pingsan di lantai kamarnya. Adam juga tidak tahu mengapa, tapi suhu badan Bagas panas sekali. Adam menunggui Bagas hingga sadar, Bagas sendiri menolak untuk dibawa ke rumah sakit. Sekarang, Bagas masih istirahat di kos Adam, ia belum ingin pulang ke rumah.
Bagas agak sibuk akhir-akhir ini, sibuk dengan acara bazar yang harus dilaksanakan pada akhir semester lima ini. Bagas memang sering lembur dan gentayangan sana-sini mencari sponsor dan lain sebagainya. Meski masih muda, kepiawaiannya dalam hal berorganisasi tidak perlu diragukan lagi. Oleh karena itu, dia dipercayakan untuk memegang beberapa tugas sekaligus.
Titan selaku kekasih yang terlanjur baik pun menjalankan perannya merawat Bagas yang sedang sakit. Sepulang kuliah Titan langsung menuju kos Adam dan membawa bubur ayam untuk mereka makan bertiga. Adam yang baru pertama kalinya diperhatikan seperti ini pun langsung menyambut dengan senyum bahagia – seolah sekejap ia jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Ini aku bawakan bubur. Aku masak sendiri loooh....” ujar Titan sok imut.
Bagas pun langsung semangat mengambil bubur ayam yang dibawakan Titan lalu memakannya. Rona pucat diwajahnya sedikit pudar, karena ia melihat ketulusan Titan.
“Makasih ya Titan sayang, masakan kamu enak banget,” ujar Bagas. Ia lahap sekali.
Titan tersipu malu, ia jadi tak tega untuk mengungkapkan kalau sebenarnya tadi ia hanya bercanda, bubur ayam itu kan Titan beli di belakang kampus. Mana mungkin Titan bisa masak bubur ayam, makan bubur ayam aja juga baru kali itu.
“Dimakan Dam, buburnya.”  Titan menawari Adam – sesungguhnya ia sedang mengalihkan topik pembicaraan.
Adam membuka bungkusan bubur itu. Ia tersenyum tipis lalu matanya melirik curiga ke Titan seolah menyiratkan kata-kata, “Gue kayaknya kenal bubur ini!” Titan yang tahu tanda-tanda itu pun membalasnya dengan kedip-kedip ke Adam.
Adam membuang sinis senyum kecilnya. Ia yang setiap pagi selalu langganan bubur ayam belakang kampus mana mungkin bisa dibodohi. Namun, karena ia tidak ingin merusak kebahagiaan (semu) Bagas, Adam pun hanya diam dan pura-pura tidak tahu. Jadi, Titan terselamatkan.
“Aku anter periksa ke dokter ya Gas?” ujar Titan selesai memberesi sisa-sisa makanan mereka.
“Enggak ah, makasih. Aku hanya butuh istirahat aja kok.”
“Mulai sekarang, kerjaan kamu aku aja yang handle. Tinggal dikit kan?” ujar Adam mantap. Rupanya ia tak tega melihat kondisi Bagas.
Titan langsung angkat suara. “Setuju. Adam sekarang udah pinter kok Gas, jadi kamu bisa percaya sama dia.”
“Eeergh!!” Adam skeptis. Namun, ia memandang Titan lama sekali. Seperti menangkap keluguan yang manis dari dalam diri Titan. Hingga tanpa disadari hatinya berujar, kamu beruntung banget ya Gas.
“Iya, mungkin aku akan butuh bantuan kamu Adam. Nggak berat kok. Makasih ya,” ujar Bagas memecah lamunan Adam.
Adam tersentak, ia berusaha mencerna kata-kata Bagas, lalu ia tersenyum simpul dan mengangguk.
***
Bagas terlihat sangat serius sekali. Titan sangat suka melihat Bagas yang sedang sibuk dengan pekerjaannya ketika menjadi koordinator acara bazar. Ia berlari kesana-kemari dengan name tag yang menggantung di lehernya. Kaos oblong warna putih bertuliskan kalimat we can’t stop to be different dengan logo kecil dibawahnya, logo UKM yang telah menjadi rumahnya selama lebih dari dua tahun ini sangat pas melekat pada badannya yang gagah. Kaos itu terlihat seperti mengungkapkan jiwa Bagas yang sesungguhnya. Titan merasa beruntung sekali punya kekasih seperti Bagas.
Mata Titan hari itu seperti hanya bisa terpaku pada satu orang saja. Kemanapun Bagas melangkah, mata Titan entah mengapa serasa tak mampu melepaskan pandangan darinya. Pesona Bagas tampaknya sudah jauh merasuk ke ruang hati Titan yang selama ini tidak mudah untuk disentuh.
Tanpa sadar bibir Titan menyunggingkan senyum, matanya berbinar, dan hatinya seolah menjadi begitu teduh dengan melihat Bagas dari kejauhan. Bagas yang memang tidak tahu kalau dirinya sedang diperhatikan pun bersikap acuh tak acuh, hingga seorang perempuan mendekatinya dan membisikkan sesuatu. Dari kejauhan, Titan bisa melihat perubahan mimik wajah Bagas yang tiba-tiba terkejut akan sesuatu. Lalu Bagas menoleh ke kanan dan ke kiri seolah mencari-cari, dan tolehan kepalanya terhenti ketika Bagas melihat sosok Titan.
Senyum simpul Titan yang tadi sekejap menjadi tawa kecil melihat Bagas yang kaget akan keberadaannya di situ. Bagas melambaikan tangannya dan Titan membalas. Lalu Bagas melanjutkan tugasnya.
Ponsel Titan berdering, satu pesan diterima. Dari Bagas.
Tunggu aku di sudut stand sebelah barat lapangan, aku baru akan selesai satu jam lagi, kamu bisa duduk-duduk disana sambil makan orange soup, mungkin kamu akan suka J
Titan tersenyum, ia langsung menuju stand yang dimaksud, ternyata benar, banyak sekali aneka olahan jeruk yang disediakan di sana. Mulai dari jus, dessert, cake, hingga manisan. Air liur Titan serasa meleleh melihat semua menu menarik itu. Tapi pikirannya menyimpan tanya, mengapa Bagas menyarankan orange soup?
Ia lalu memesan menu itu karena penasaran.
Orange soup-nya satu.”
Penjaga stand itu tersenyum. Kami memiliki dua menu sup jeruk, ada Titan’s soup dan ada orange cheese soup. Mbak mau yang mana?”
“Hah?” Titan bengong. Ini pasti kerjaan Bagas, batinnya. “Saya pesan dua-duanya mbak. Makasih.”
Titan kelihatan senyum-senyum sendiri sejak ia mendapatkan pesanannya. Ia mengamati dalam-dalam kedua jenis soup itu. Dari aromanya ia sudah bisa menebak, pasti yang satu rasanya gurih yang satu rasanya manis. Setelah Titan merasakan, ternyata dugaannya benar.
Titan’s soup yang berisikan orange essense, vanilla milk, whipped cream, dan sedikit potongan buah jeruk dan stroberi segar memberikan paduan rasa manis yang nikmat di mulut. Ini sama enaknya dengan orange cheese soup yang berasakan paduan sari jeruk, milk, dan cream cheese. Sungguh kombinasi sederhana yang memiliki rasa mewah di mulut.
Titan tak berhenti tersenyum ketika memakan kedua jenis makanan itu hingga orang disekitarnya melihatnya dengan tatapan aneh. Tapi ia cuek saja. Menikmati orange soup itu membuat Titan tak merasakan jalannya waktu yang menyelimutinya. Ia sudah duduk sekitar satu jam dan senyum yang ia punya masih sama dengan satu jam sebelumnya, setiap orang yang melihatnya pasti akan berpikir kalau gadis yang baru saja menginjak usia dewasa ini pasti sedang bahagia.
“Tan, kamu lagi ngapain senyum-senyum sendiri?” ujar seseorang dari belakang.
Titan menoleh. “Dewi?? Kamu ke sini juga?” Titan kaget melihat sosok sahabat kampus sekaligus sahabat kosnya di situ. “Kamu datang sama siapa?”
Dewi tersenyum, lalu seorang pria tiba-tiba datang menghampirinya. Ya Tuhan, ternyata dia Adam.
“Kalian???” Titan terhenti pada kata-katanya.
Dewi hanya senyum-senyum, namun Adam hanya diam. Titan sebenarnya bingung, itu stay cool atau bengong, soalnya pandangan mata Adam rada-rada aneh. Tapi Adam nggak diem lagi setelah Dewi menyenggol bahunya.
“Sebentar lagi Bagas ke sini kok, acaranya udah kelar,” ujar Adam tiba-tiba. Adam seolah sudah tahu mengapa Titan berada di tempat itu. “Oh ya Tan, udah nyoba orange soup yang ada di sini?”
Titan tersenyum malu, pipiya memerah.
“Ah, kamu kayak nggak tahu aja. Kamu kira senyumannya yang ilang-ilang itu efek dari apa?” sahut Dewi.
Titan yang malunya nambah karena merasa ketahuan dua kali pun cuma bisa manyun-manyun. Melihat tingkah Titan yang polos banget, Adam mulai mengembangkan senyumnya.
“Makasih ya Dam, udah bantu Bagas selama ini,” ujar Titan lembut.
Adam kembali melantunkan senyum simpulnya. Tatapan matanya teduh sekali. Ia terlihat sangat dewasa untuk ukuran pria seusianya.
“Eh, Tan, kita balik dulu ya. Jangan pulang larut malem,” sambung Dewi.
“Siap Buk.” Titan menyunggingkan senyum imutnya yang paling menjijikan. Dewi yang nggak bisa lama-lama nahan muntah pun langsung ngajakin Adam buat pergi dari tempat itu.
Tak lama kemudian Bagas datang. Senyum Titan makin lebar dan makin aneh. Bagas tertawa pendek melihat wajah Titan yang dipaksa untuk kelihatan imut itu.
“Kamu tu lagi senyum apa lagi nakutin anak-anak sih Tan?” Bagas ikutan ngeledek.
Spontan Titan merubah ekspresi wajahnya. Ia mencubit manja lengan Bagas yang kekar hingga badannya terkoyak pelan.
“Aku antar kamu pulang. Udah malam,” ujar Bagas.
Titan mengangguk.
Di perjalanan Titan sudah tidak sabar menanyakan tentang orange soup yang belum lama memanjakan mulutnya. Tapi ia menahannya hingga sampai kosan, ia tidak ingin mengganggu konsentrasi Bagas ketika mengemudi.
“Kenapa Titan’s soup, Gas?” tanya Titan.
Bagas tersenyum simpul. Ia menatap mata Titan dengan dalam dan lembut. “Karena kamu ramai, tapi rasanya tetap manis.”
“Kenapa aku bukan orange cheese?” tanya Titan lagi.
“Karena kamu lebih ramai dari itu.”
Hati Titan serasa dibawa malaikat terbang melambung tinggi ke angkasa. Titan tersenyum manis sekali. Melihat senyum Titan, Bagas tak tahan untuk menyapu lembut rambut Titan hingga menjadi sedikit berantakan.
“Aku pulang dulu ya. Kamu jangan tidur larut malam. Besok jangan kesiangan lagi, matahari terbit nggak akan nunggu kamu.”
Titan tersenyum, benar, ia tak sabar menunggu matahari terbit esok hari. Tak boleh telat seperti pekan sebelumnya, apalagi ini adalah matahari terbit terakhir yang bisa mereka nikmati berdua sebelum masa liburan semester yang panjang.
***
Bagas menepikan motornya ke sebuah gubug kecil yang berasa di samping jalan di kaki gunung Lawu. Titan segera turun dari boncengan. Sejak Bagas dan Titan pacaran, hampir setiap akhir pekan mereka selalu pergi ke tempat ini, menikmati matahari terbit.
Matahari terbit kali ini menjadi sangat istimewa karena liburan yang panjang agaknya memaksa mereka untuk menjauh sejenak dari pagi di tempat ini. Titan melepaskan alas kakinya dan membiarkan kakinya terbenam dalam embun pagi yang masih lekat di rumput-rumput hijau yang tebal. Ia berlari-lari kecil menuju sungai yang menghasilkan nyanyian-nyanyian merdu gemericik air. Sungai itu tidak besar, lebarnya hanya sekitar dua meter dan tidak dalam sama sekali. Airnya yang jernih dan dingin mengalir tanpa henti membasahi batuan-batuan besar yang menjadi dasar sungai itu.
Titan selalu duduk di batuan yang tertanam kokoh tepat di tengah-tengah sungai. Keberadaannya seolah membelah sungai itu menjadi dua. Titan duduk di atasnya dan membiarkan ujung kakinya tercelup ke dalam sungai hingga suhu dingin sungai itu merasuk ke dalam kakinya. Bagas sendiri paling suka duduk di samping Titan, dimana pun tempatnya.
Entah apa nama tempat ini, tempat ini hanya tempat biasa di tepi jalan yang ada di kaki gunung Lawu yang ada di kota Karanganyar. Jaraknya hanya sekitar 50 km dari kota Surakarta. Tak banyak orang yang sering menuju ke tempat ini kecuali petani yang sedang lewat untuk berkebun. Kebanyakan orang lebih suka menyewa vila-vila megah atau pergi ke restoran bintang lima yang ada di tempat ini. Berbeda dengan Titan dan Bagas yang sama-sama tidak menyukai tempat yang sudah umum, tempat yang biasa orang datangi, mereka sama-sama malas untuk menyukai apa yang banyak orang sukai. Jadi, mereka memilih tempat ini sebagai tempat mereka berdua, karena mungkin hanya mereka dan Tuhan yang tahu bahwa tempat ini sangat indah.
“Matahari sudah hampir terbit...” ujar Bagas.
Titan langsung mengubah posisi duduknya. Ia menghadapkan tubuhnya ke timur, matanya tertuju kepada lereng gunung yang seolah menjadi dinding sungai itu. Di hamparan tanah lereng yang luas itu tampak pohon-pohon cemara yang lebat dengan daunnya yang berwarna hijau segar. Perlahan cahaya mentari pagi masuk menyisipi setiap sela ranting dan daun pepohonan lebat itu, sehingga menimbulkan guratan-guratan cahaya yang indah dengan warnanya yang keemasan. Cahaya itu tampak mengambang dan tidak sampai menyentuh tanah.
Mata Titan tak pernah bosan menikmati matahari terbitnya dengan cara seperti itu. Bagas paling suka melihat Titan yang nggak pernah lelah buat kagum sama apa aja yang dilihatnya. Pagi yang sederhana namun memukau. Bagi mereka, tak perlu melihat matahari untuk menikmati matahari terbit, karena cahayanya yang hangat sudah cukup menunjukkan keberadaannya.
“Tuhan keren banget ya, Gas?”
“Iya.”
“Cuma tangan Tuhan yang bisa membuat pagi jadi indah banget kayak gini.”
“Iya.”
Mereka menikmati pagi dengan cara mereka sendiri. Bagi mereka pagi telah mengajarkan banyak hal, pagi telah menunjukkan bahwasanya semesta ini sangat luas. Mata mereka masih tertuju pada kemegahan-kemagahan yang ada di sekitar mereka. Gunung Lawu masih tampak berdiri gagah di Timur laut. Awan-awan putih pekat tampak menyelimutinya puncaknya, sehingga membuat gunung itu tampak misterius. Berapa orang yang mampu melihat pemandangan “besar” seperti ini? Batin Titan berkata. Ia semakin merasa kecil di hadapan Tuhan.
Matahari masih tak tampak dari tempat ini, ia hanya mau menampakkan dirinya ketika siang hari. Sehingga pagi di tempat ini akan terasa lebih lama.
“Tan...” sapa Bagas lembut.
Titan tidak menoleh, matanya masih menerawang jauh pada keagungan Tuhan yang terpampang di depan matanya.
“Berapa kali kita pergi ke tempat ini?” lanjut Bagas.
“Dua puluh satu kali...”
“Masih sama aja ya?”
“Iya...”
Mereka berdua terdiam, mata dan hati mereka kembali menikmati pagi yang singkat itu, menyatu bersama alam, bersama Tuhan.
“Jadi, libur semester kamu ngapain?” Titan membuka pembicaraan lagi.
“Balik ke Bandung. Kemarin Papa nawarin aku buat bantuin Event Organizernya Om Heru.”
“Ada berapa event?”
“Banyak. Di Jakarta tiga, di Bandung dua. Yang paling besar sih yang terakhir, di Bandung itu.”
“Jadi kita bener-bener nggak bisa ketemu...” Titan memandang lesu.
Bagas menoleh mendekti Titan. “Kita kan masih bisa ketemu semester depan.”
Titan tersenyum, tapi siapapun pasti bisa menebak kalau hatinya tidak ikhlas. Aku pasti bakal kangen banget sama kamu Gas, ujar Titan dalam hati. Ia perlahan menyandarkan kepalanya ke pundak Bagas. Bagas pun menyambut dengan menggenggam lembut jari-jari tangan Titan yang. Keduanya hanya diam, menyelami hati masing-masing, menikmati pagi terakhir mereka.
***
 Sumber gambar http://miwa-arashi.deviantart.com/art/Orange-love-75106073




0 komentar:

Posting Komentar

SUNSHINE STORY (Chapter 6)